Bakso tandas. Fitting baju pengantin selesai. Tetapi pekerjaan dan siapa yang menjadi bekingan Damian masih mengembara dengan lincah di pikiran Ace. Karena itu, di bawah langit ibukota yang mendung dan panas, Ace bergeming di rooftop perusahaan seorang diri. Sorot matanya nampak menerawang jauh sementara dua jemarinya mengapit batang rokoknya yang sudah menyala. “Aku sudah menutup akses lawyer yang berminat membantunya, keluarganya aku beri buah simalakama agar mereka sibuk mengurus perut dan emosi agar tidak memiliki dana dan waktu untuk besuk di penjara. Lantas siapa yang menjaminnya?” Ace menggeleng, benci permainan teka-teki yang akan melibatkan detektif, pembobolan rekaman cctv dan penyergapan sang penyusup ulung untuk menerjang rasa penasarannya. Namun, fakta siapa yang menjadi dalang di balik bebasnya Damian adalah kutukan seumur hidup yang akan menakut-nakuti kepercayaannya.Ace menyesap rokoknya, embusan angin lantas membuat asapnya sirna. “Mungkin papa?” Ace menerka, raha
“Siapa kamu?”“Suruhan siapa?”Ace mencoba menahan diri untuk tidak memberitahu fungsi alat setrum yang dipegangnya ke seorang pria tinggi, kurus dan berkacamata yang gelagatnya sudah ditandai sebagai tangan kanan bekingan Damian sejak langkah pertama Ace memasuki lobi hotel. Tetapi pria itu tetap bungkam setelah di sergap bersama VIP escort.“Kenapa diam? Apa yang kamu sembunyikan?” desak Ace. “Siapa orang yang menyuruhmu?”Pria pemilik tato di pergelangan tangannya itu menggeleng keras kepala. “Geledah! Ambil sidik jari, ponsel dan apapun yang bisa membuat semua bicara!” pungkas Anang Brotoseno dengan tegas. Ada tiga pria dan satu wanita yang dicurigai. Kini mereka berada di ruangan terpisah dengan mata yang tertutup kain hitam di gudang penyimpanan mobil lawas Anang Brotoseno. Seluruh alat gerak di ikat dan sampai belum ada jawaban terbaik, pantang bagi mereka melepas tawanannya apalagi yang menyebalkan satu itu. Satu-satunya yang enggan bicara.“Jangan sampai kalian keluar dari
“Orang itu menipuku!” teriak Hanung. Cangkir kopi di mejanya melayang dan jatuh berkeping-keping menjadi benda tak berguna. “Doni Firmansyah, keparat. Dia tidak melaporkan padaku situasi semalam.” Hanung mencengkeram kerah Si Pengacara. “Kamu juga nipu aku?” bentaknya dengan mata melotot. “Ace tidak ke hotel itu?”Si Pengacara tidak merespon kekacauan yang dilakukannya, ia mendorong tubuh Hanung seraya pindah ke jendela untuk menatap pemandangan di luar rumah kontrakan yang di sewa Hanung untuk mengelabui musuh-musuhnya.Si Pengacara melirik Hanung yang membuat segalanya tidak beraturan. “Aku sudah melakukan tugasku sebagai kacungmu dan agen ganda. Aku ini sejatinya penghianat. Tapi tidak dengan informasi dariku!” Si Pengacara meninggikan suaranya di tengah suara benda-benda berjatuhan. “Aku selesai hari ini, tidak lagi menjadi kacungmu atau keluarga Wiratmaja!”Hanung menolehkan kepalanya, saat itu ia menahan diri untuk tidak melukai Si Pengacara. Pria empat puluh tahun yang memp
Pamela menendangi karung beras berlumur darah, tidak mungkin darah kambing atau sapi, itu hewan terlalu mahal untuk di sembelih cuma-cuma dan menjadi barang ancaman. Aromanya pun tidak menyengat dan prengus. Pasti darah ayam, Pamela membatin dengan yakin. Sambil mereka-reka kemungkinan lain benda sialan yang membuatnya menahan rasa jijik bau anyir, Pamela menoleh, Hamidah Fitria menyeret Ace yang masih setengah sadar untuk melihat situasi yang terjadi. “Apa yang terjadi... Oh...” Hamidah Fitria menjerit histeris karena dengan beraninya Pamela mengeluarkan isi karung beras itu dengan tangan kosong.Satu ekor anak kambing, berbulu putih, lehernya tersayat dengan rapi dan di beri nama ‘Pamela’ dengan pilok merah. “Kurang ajar, berani-beraninya ada orang ngancam aku.” bentak Pamela sambil berkacak pinggang. “Orang itu nggak tahu cari masalah sama siapa?”Kesal, Pamela melinting lengan bajunya dan menghentak-hentakkan kaki menuju rumah. Gayanya sudah mirip preman anyar yang tegap dan ga
“Itu tidak bisa yang mulia. Uang yang digunakan Damian adalah uang tidak jelas. Bisa saja uang yang digunakan adalah money laundry dari pendukungnya? Hasil curian?” seru Pamela ketika Hakim menyatakan keputusannya menerima uang sebesar 450 juta dari Damian sebagai uang pengganti perusahaan Miranti dalam bentuk cek. Hakim meminta Pamela tenang dengan sabar meski kepalanya geleng-geleng. Pamela terlalu aktif mencegah kebebasan Damian dengan menyerobot ucapan Hakim, Damian dan Penasihat.“Saksi diam sebentar. Beri waktu terdakwa untuk menjelaskan uang dari mana ini. Lagipula anda itu mantan tunangannya, sudah tidak ada empati terhadap terdakwa?” Hakim berdehem, menyudutkan Pamela dengan tatapan matanya yang terbingkai kacamata oval.Pamela bersedekap dan membuang muka. “Aku hanya ingin menyuarakan pendapatku, yang mulia. Aku korban. Aku menginginkan yang terbaik untuk menghukum Damian agar setimpal dengan rasa sakit hatiku.” Pamela menyentuh dadanya yang seperti di pukul palu sidang. D
Pamela tidak menyangka dalam sekali jadi Ace mewujudkan keinginannya yang menggebu-gebu itu dalam waktu dua puluh empat jam setibanya mereka di pulau Nusa Tenggara Timur. Rombongan itu kini berada tak jauh dari pusat kota labuan bajo. Ace menyewa satu resort yang menyajikan pemandangan lepas pantai berpasir putih yang dapat di gunakan untuk snorkeling ketika ombak surut. Kolam renang luar ruangan dan taman yang asri. Rumput menghijau bagai permadani alami di tengah resor yang memiliki bangunan kerucut seperti rumah adat di Wae Rebo. Mbaru Niang. Lebih dari itu, resor di jaga ketat oleh rombongan intel yang dibawa langsung Anang Brotoseno dari Jakarta. Mereka menyebar di seluruh titik-titik yang pas untuk dijadikan pengintai termasuk mengawasi Wiratmaja. Pria itu menutupi ketidaksukaannya di hari pernikahan putranya yang lebih cepat dari jadwal dengan menyibukkan diri dengan bekerja. “Aku yakin kamu bukan Bandung Bondowoso yang mempunyai teman-teman gaib, Ace. Ini mengejutkan tau.”
Selepas ciuman mereda dan mata yang melekat tak mampu lagi menerima sinar matahari pinggir pantai. Dunia nyata kembali terpampang di sekitarnya. Pamela tak tahan mengomeli ayahnya karena Anang Brotoseno mencibirnya berciuman dengan duda empat puluh tahun. “Papa bilang aja nggak rela aku nikah secepat ini. Terus biarin aja aku jadi muda-muda keladi. Daripada tua-tua keladi, makin tua makin jadi.” Oops, Pamela bersembunyi cepat-cepat di belakang Ace ketika Wiratmaja menoleh dengan cepat. ‘Tua-tua keladi, itu kan nyindir Pak Wira. Aduh... lupa, mertuaku kan keladi.’“Aku bercanda, Ace. Sumpah, aku nggak ada niat nyindir ayahmu. Kamu juga jangan tersinggung ya.” bisik Pamela. Ace yang sedang memeluk kedua bahu Berlian meringis. “Kamu memang pandai bersilat lidah, pantas sekali kamu bekerja sebagai personalia. Cerewet, penyerang... tidak tahu malu.” cibirnya dengan nada riang dan hangat sementara ayahnya melengos pergi menuju meja makan dengan harga diri yang di remas-remas mantu kuran
“Sebetulnya, ini lebih mirip piknik keluarga daripada program bulan madu kita.” Ace mencium puncak kepala Pamela sesaat setelah merengkuh tubuh itu di deck kapal phinisi mewah yang kembali berlayar mengarungi lautan menuju pantai pasir merah muda.Berlian tidak sabar mengunjungi pantai itu, semangatnya melampaui suka cita pernikahan ayahnya, terlebih hal itu di dukung adik tiri Pamela yang menjadi kompor meleduk hingga terciptalah pelesiran keluarga yang kompak dan meriah.Dari pulau Komodo untuk menyaksikan hewan purba yang melegenda dan membuat Berlian takjub dan takut, serta ke pulau padar untuk menguji stamina kekuatan kaki para orang tua karena perlu melewati ratusan anak tangga. Agaknya semua lebih tenang mengistirahatkan diri di atas pasir lembut merah muda itu, tetapi Pamela sibuk mengabadikan momen romantis dengan ponselnya tanpa melibatkan Ace.Ponsel itu hanya merekam perbukitan, kapal lain, riak ombak yang dihasilkan kapal dan langit sore yang berawan.Ace mengembuskan nap