Suka cerita ini? Kirimkan Gem 💎 untuk mendukung penulis. Terima kasih telah membaca!
"Mengapa Anda bicara seperti itu, Pak?" tanya Mahya, mencoba bersikap sabar. ia tidak terima jika Lara dijelek-jelekkan oleh suaminya sendiri. "Bicara apa?""Istri sama dengan simpanan.""Yah. Bukankah mereka itu tersembunyi? Istri-istri konglomerat tidak ditampakkan supaya tidak terkena skandal.""A—apa?"Mahya menyorot tajam perkataan Seno dengan amarah yang terpendam. Namun, sepertinya ia tak bisa menahan diri lebih lama. “Kau tidak tahu ya?”“Be—benarkah Anda berpikir seperti itu?”“Itu kenyataannya.”Mahya melongo, alih-alih marah, ia kini justru merasa kasihan dengan mental sang pengusaha baru itu. Benar-benar tidak bisa dibiarkan. Mahya segera mengambil segelaa air mineral yang belum sempat disentuh oleh si empunya—Seno—dan sekonyong-konyong menyiramkannya kepada si pemilik, tanpa berpikir panjang. “Sepertinya, otak Anda perlu didinginkan!” seru Mahya kasar. “KAU!” Seno tentu saja marah. Ia tak menyangka gadjs yang hendak dirayunya itu mah berakhir mempermalukannya seperti
Aku terkejut. Tidak ada siapa pun di rumah besar ini. Seno sudah mewanti-wanti agar aku tidak mencari siapa pun dan menemaniku masuk ke rumah ini sebentar, untuk meletakkan barang-barang kami. Sesuai perkataannya, ia harus pergi untuk rapat penting. Entah rapat apa itu. Aku tidak tahu. “Bi Yani mana?” tanyaku, tepat sebelum Seno melangkah ke luar rumah kami. Suara derap dari pantofelnya tampak membisu, menandakan bahwa lelaki itu sedikit merenungkan sesuatu. Kulihat, wajahnya mengernyit, seakan sedang berpikir terlebih dahulu untuk memberika sebuah jawaban yang kutunggu-tunggu. “Bi Yani masih libur. Besok baru kembali,” katanya sambil tersenyum kepadaku. Aku sedikit curiga tapi tidak ada alasan untuk memarahinya. Toh, sesuai perkataannya, bisa saja, Bi Yani memang sedang beristirahat di kediamannya. Besok aku baru akan mengetahui kebenarannya. *** Malam berangsur turun, kegelapan telah merajai kediaman ini. Seno belum tampak akan pulang pada jam-jam seperti ini. Berkali-kali
Alasan dibalik ketiadaan Seno di rumahnya adalah karena lelaki itu saat ini bersama Olivia. Cumbuan mesra, pelukan panas dan erangan penuh kenikmatan sedang mereka rasakan berdua. Tidak ada sehelai kain pun yang menjadi pembatas di antara keduanya. Dan, saat ini, baik Seno maupun Olivia sama-sama terkulai lemas, tanpa daya. “Sialan,” rutuk Olivia, setelah ia melepaskan kondom yang berisi penuh cairan itu dari kejantanan milik Seno. Mengapa mereka menggunakan kondom? Bahkan ketika Olivia saja tidak akan pernah bisa mengandung–setidaknya, Seno harus berhati-hati. Ia tak ingin ada anak haram yang tercipta lewat hubungan ini. Olivia mendecih tatkala menatap Seno yang tertidur pulas dalam buaian mimpi, dan beberapa persen kadar alkohol yang merajai tubuhnya. Gadis itu sebetulnya tidak ada niatan untuk menghabiskan malam bersama dengan suami Lara. Hanya saja, bartender kelab yang biasa mereka datangi berdua, tiba-tiba menghubunginya. “Pria anda mabuk berat, Nona,” ucap sang bartender k
Sinar matahari mulai meninggi, kepala Seno terasa pusing. Ia mengernyit, kala cahaya terang mengenai wajahnya. “Di mana aku?” Seno bergumam. Ia tidak mengingat apa pun. Kemarin malam, ia sangat mabuk. Penolakan Mahya membuat harga dirinya terluka. Entah mengapa, Seno akhirnya melampiaskan kekecewaannya pada alkohol dan inilah hasilnya. “Selamat pagi, Sayang,” sapa Olivia dengan senyuman nakalnya. Jemarinya menarik selimut Seno yang masih ada separuh menutupi tubuhnya, membuat siluet menggairahkan baginya. “Olivia?” Seno membeliak. Bagaimana ia bisa berada di apartemen Olivia? “Katakan, apa yang telah terjadi?” Seno mulai bangkit dari ranjang dan berusaha mengenakan pakaiannya, sementara Olivia tampak terkekeh melihat reaksi dari kekasih gelapnya itu. “Mengapa kau sangat terkejut, Sayang? Bukankah kau sudah terbiasa di sini?” ejek Olivia. Ia bahkan tidak berniat menjawab pertanyaan Seno dan ingin bermain-main dengan sang suami Lara. “Sial!” Seno menggeram. Ia segera memakai celana d
“Aww ….” Lagi-lagi, aku tergelincir. Kerikil di gang ini memang cukup tajam. Sudah seharian aku berjalan di pasar, namun rumah Bi Yani tidak juga kutemukan. “Di mana ya, rumahnya?” Aku menerka-nerka, tapi tidak ada hasilnya. Aku kembali mengeja alamat yang kulihat di formulir pendaftaran Bi Yani saat melamar menjadi pelayanku. Seharusnya benar ada di sini, kampung Duku. Entah kenapa, rumah yang tertera malah tidak ada. “Memangnya bi yani itu hantu?” Aku menggumam. Rumah no.40 yang ditulisnya di formulir itu adalah rumah kosong. Rumah itu bahkan dirambati tanaman gulma dan temboknya juga sepertinya lapuk dimakan lumut dan jamur. Matahari perlahan naik, suasana menjadi cukup terik. Bayanganku hampir tidak ada, artinya, mungkin sekarang ini sudah hampir tengah hari. “Hhhh ….” Aku menghela napas. Merasa putus asa. Aku juga tidak memberitahu siapa-siapa bahwa aku sedang mencari rumah Bi Yani, agar Seno tak curiga. Pria itu bahkan kemarin tidak pulang. Aku bahkan bisa mengira, di mana
"Apa yang kau katakan? Katakan pelan-pelan,” ucap Andre tanpa mengetahui duduk permasalahan yang dialami Lara. Wanita itu tampak terengah-engah sambil memegangi perutnya yang kian besar. Tidak ada yang bisa mengatakan, bagaimana Andre sangat khawatir dengan keadaan Lara. Pertama-tama, ia mengangkat tubuh Lara lalu menepikannya ke bahu jalan agar tidak tertabrak mobil yang sedang lewat. “Telepon, polisi,” ucap Lara sambil terengah-engah. “To … long.” Andre memegangi kedua bahu Lara dan mulai menatap kedua mata wanita itu dengan mendalam. Sorot mata Andre memancarkan kekhawatiran dan juga rasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita ini? “Mengapa aku harus menelepon polisi?” tanya Andre dengan saksama. Ia mengawasi setiap gerak-gerik tubuh Lara yang tampak tak stabil, kemudian dengan terpaksa, Andre menggenggam tangan Lara agar wanita itu bisa sedikit lebih tenang. “Lara … katakan, mengapa aku harus menelepon polisi?” “Ada pertengkaran di sana, Andre! Tolong! Pelayanku
Aku terperanjat dengan perkataan Bi Yani. Bagaimana bisa dia … berpikir seperti itu! “Bi Yani. Apa yang kau katakan?” Aku mengguncang bahunya. Titik-titik air mata merembes di wajahnya yang keriput. Bi Yani menangisi suaminya yang sedang digelandang ke kantor polisi. “Tidak! Jangan bawa suamiku!” erangnya sambil mengejar petugas yang sedang bertugas. Suami Bi Yani tampak menyeringai sambil memelas minta dibebaskan. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan memperlakukan sang istri dengan baik. “Pak. Tolong lepaskan saya! Istri saya menangis, tuh!” teriak suami Bi Yani sambil meronta-ronta. Tubuhnya yang kurus itu tampak menggeliat, minta dilepaskan dan katanya ingin memeluk istrinya yang sedang mengalami trauma psikologis. “Gila kamu! Tidak bisa!” Petugas itu tegas tidak akan melepaskan suami Bi Yani begitu saja. Kehebohan mulai tercipta. Para tetangga berbondong-bondong ke arah rumah Bi Yani yang sedang dikepung oleh mobil patroli polisi. Aku bisa mendengar teriakan-t
“Mas! Huhu!” Aku terperanjat mendengar teriakan pilu Bi Yani yang menggemparkan udara. Orang-orang berkerumun dan aku kesulitan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Permisi ….” Aku mencoba membelah kerumunan dan berpura-pura menjadi anggota keluarga orang yang sedang dikerubuti itu. Apa yang sebenarnya terjadi? “Astaga!” Aku terperangah, tak percaya, ternyata suami Bi Yani sedang terkapar tak berdaya dengan darah yang menggenang di sekitarnya. “Tengkorak kepalanya pecah!” Terdengar teriakan seseorang dari arah seberang. Suara tangis dan jeritan turut membuat suasana menjadi semakin mencekam. “A–andre, apa yang terjadi?” Aku berjalan mendekat ke arah Andre yang tampak gugup. Ia terlihat putus asa setelah melakukan sesuatu. “Apakah, kau baru saja menolongnya?” Andre mengangguk lemah. “Dia … tewas.” Jantungku terasa berhenti berdetak. Sekarang, aku mengerti mengapa Bi Yani begitu frustasi. “Lalu?” “Ambulans sedang menuju ke sini. Dia tiba–tiba lari ke arah mobil y