Bagai mendapat oase di padang pasir, Banyu merasa lega melihat Saimah dan Marno kini tengah memakan singkong goreng di pos jaga. Pria itu merasa terselamatkan karena ada orang lain yang bisa membuatnya mengalihkan perhatian dari suara desahan yang sudah mengkontaminasi otaknya.
Mereka terlihat bercengkrama hangat sambil tertawa-tawa kecil. Entah obrolan apa yang sedang menjadi topik pembicaraan mereka, tapi renyah tawa Saimah dan Marno membuat Banyu ingin ikut mengobrol dengan para pekerja vilanya yang diketahui Banyu baru bekerja tiga tahun di vila miliknya.
“Mbok, Pak,” sapa Banyu yang selanjutnya duduk di samping Saimah tanpa ragu.
“Lho, Mas banyu. Ada apa? Butuh Apa?” tanya Mbok Saimah sigap.
“Butuh temen ngobrol, Mbok. Di dalem panas,” ucap Banyu dengan tangan yang sudah mencomot sepotong singkong goreng di tangannya.
“Panas? Kenapa Mas? Ooh.. do berantem yo, Mas?” tanya Mbok Saimah dengan mengerlingkan mata malas.
“Gulat, Mbok.”
“Lho! Kok gak dipisah toh? Piye sih, Mas Banyu!”
“Gak bisa di pisah Mbok,” ucap Banyu sambil melanjutkan misinya mengunyah singkong goreng demi menahan perih lambung karena lapar. Setidaknya ia harus menahan rasa lapar itu sampai satu jam ke depan.
“Gak bisa di pisah piye toh, Mas!” ucap Mbok Saimah yang dengan tergesa segera masuk ke dalam rumah.
Marno yang sudah panik dan akan ikut menyusul Saimah ditahan oleh Banyu.
“Gulat di ranjang, Pak. Gak bisa di pisah. Nanti ngamuk,” ucap Banyu sambil mengunyah singkong goreng yang ternyata masih panas. Sesekali ia membuka mulutnya dan mengeluarkan uap-uap panas dari mulutnya.
“Ealah, Mas..” hanya itu yang diucapkan Pak Marno. Selanjutnya pria berkumis itu kembali duduk dan meminum kopinya untuk menenangkan jantungnya yang tadi sempat kacau mendengar kata Lila bergulat dengan suaminya.
Saat keduanya sedang bersantai, Mbok Saimah berjalan cepat dengan wajah jengkel.
“Oalah, Mas! Tak kira gulat tenanan lho! Aduh, jantungku wes meh copot rasane,” dumel Saimah yang membuat Marno dan Banyu jadi terkekeh geli karena wajah jengkel dan tak habis pikir atas kelakuan Lila dan Dimas.
“Sering gitu ya, Mbok?” tanya Banyu.
“Apa? Bergulat toh, Mas?” tanya Mbok Saimah dengan mengejek.
Banyu hampir saja menyemburkan minuman kopi yang ia teguk. Mbok Saimah benar-benar sangat frontal pikir Banyu.
Melihat sikap Banyu, kini giliran Saimah dan Marno yang terkekeh geli.
“Ya kalau sering apa enggak, ya gak tahu Mas. Kalau bersuara ya– baru kali ini. Ya kan, No?” ucap Saimah masih dengan senyuman geli di wajahnya.
Marno hanya mengangguk saja tanda menyetujui ucapan Saimah.
“Syukur kalau mereka akur,” ucap Banyu lirih, namun tetap bisa didengar oleh Saimah dan Marno.
Senyuman menggoda dari Saimah dan Marno seketika luntur. Rasa syukur seolah juga mereka aminkan. Saat Lila dan Dimas akur seperti ini. Keduanya berharap tidak ada lagi pertengkaran seperti tadi pagi diantara dua anak muda yang sudah mereka anggap seperti anak mereka sendiri.
“Mas Banyu pasti kaget lihat yang tadi pagi ya?” tanya Saimah memastikan.
Banyu mengangguk. “Kaget, Mbok. Kaget Lila nikah, kaget Lila hamil, dan kaget suaminya ternyata gak seperti yang ada di bayanganku,” jelas Banyu.
“Pasti Mas Banyu sudah kenal Dimas sama Lila dengan baik ya? Sudah sepuluh tahun ikut keluarga Bapak Ibu lho,” selidik Saimah.
“Saya cuma tahu Lila, Mbok. Dia teman kecil saya yang menyenangkan. Saya gak pernah lihat Lila nangis. Bahkan saat jatuh, dia bisa berdiri sendiri dan gak nangis. Ternyata waktu merubah segala ya, Mbok”
“Yo jelas, Mas. Namanya juga hidup. Tiga tahun ini gak ketemu Mas Banyu aja, Buanyak bianget yang terjadi sama Lila. Lila itu hebat banget, sopan, santun, bisa menempatkan diri, pinter lho, Mas. Hitung-hitungannya bagus. Mirip kalkulator berjalan,” cerita Saimah dengan menggebu-gebu.
“Iya, Mbok. Lila ini pinter banget. Sayang banget dia gak mau nerusin sekolahnya. Aku yakin Lila bisa jadi orang hebat kalau dia mau mengembangkan dirinya,” ucap Banyu dengan sendu.
“Iya, sebenarnya sayang banget, Mas. Cuma Mbok bisa ngerti. Untuk Lila, dunia yang kecil ini sudah cukup, Mas. Rasa syukurnya yang berlimpah membuat dia mencukupkan diri untuk berbakti dengan Bapak Ibu. Sampai waktu nikah, dia minta restu Bapak Ibu lho, Mas. Bapak Ibu sampai nangis. Lila bener-bener dianggap anaknya sendiri. Kayak nggak rela Lila nikah. Padahal ya bukan orang tuanya. Tapi ya suasananya bener-bener, haduh. Piye ya nyeritainnya,” ucap Saimah dengan bahasa Indonesia dan Jawa yang tercampur.
Banyu mengangguk mengerti. Ia bisa memahami perasaan Ibu dan Papanya. Lila memang terlalu sayang untuk dilepaskan, apalagi dengan pria yang tak bisa bertanggung jawab untuk Lila. Ia yakin Ibu dan Papanya akan jadi garda terdepan untuk memisahkan Lila jika melihat kejadian tadi pagi.
“Dulu Ibu waktu nikahannya Lila bilang lho, Mas. Mau dijodohin sama anaknya. Biar Lila jadi anaknya,” ucap Saimah mantap diakhiri dengan mengunyah singkong di hadapannya.
“Ibu, bilang gitu?” tanya Banyu tak percaya.
“Lho, iyo! Beneran Mas,” ucap Saimah menggebu-gebu.
Banyu tersenyum melihat tingkah Saimah yang benar-benar jenaka.
“Menurut Mbok, Lila mau di jodohin sama siapa?” tanya Banyu meminta pendapat.
“Anak Ibu ada tiga kan, Mas?”
Banyu mengangguk.
“Mas Kai, masih kecil. Mas Sagara, Mbok belum pernah lihat. Mungkin Mas Banyu. Lah, Mas Banyu mau sama Lila?” tanya Saimah yang membuat Banyu tergelak.
“Kenapa gak mau, Mbok?”
“Oh, mau. Kayak di sinetron loh. Nanti judulnya Pembantuku, cintaku.”
Banyu makin tergelak mendengar penuturan Saimah.
Mereka pun banyak bertukar cerita tentang bagaimana kehidupan Saimah dan Marno. Saimah adalah perempuan berusia lima puluh lima tahun yang sudah ditinggal suaminya.Ia tak memiliki anak. Sedangkan Marno adalah seorang Ayah dua anak yang berumur lebih muda, yaitu empat puluh sembilan tahun. Ia asli orang desa sekitar yang akan pulang ke rumah jika Dimas sudah kembali dari bengkel. Namun karena saat ini bos besarnya ada di rumah, biasanya ia berjaga dan pulang saat tengah malam. Marno akan kembali keesokan paginya untuk membantu Saimah dan Lila.
Saat mereka sedang asyik bercengkrama, nampak Dimas berjalan dengan tergesa keluar rumah. Wajahnya nampak panik dan ia tak sepertinya tak memperhatikan sekitarnya. Dia tak melihat Banyu, Saimah, dan Marno yang memandangi Dimas dengan tatapan bertanya. Kenapa pria itu tergesa meninggalkan rumah?
Sampai mobil itu menghilang dari pandangan ketiganya, akhirnya Banyu beranjak dari duduknya. Banyu mempersilahkan Marno jika pria itu ingin kembali ke rumahnya. Banyu bisa menjaga vilanya. Namun Marno menolak, ia akan tetap berjaga sampai malam. Banyu tak menolak keinginan Marno, ia pun akhirnya pamit ke dalam untuk makan.Karena ternyata singkong dan kopi tidak cukup untuk mengganjal perutnya.
Banyu berjalan menuju dapur, mengambil piring dan sendok yang tertata rapi di laci. Baru saja Banyu akan menyendokkan nasi ke piringnya, ia mendengar suara pintu kamar dekat dapur yang pasti milik Lila dan Dimas terbuka.
Banyu yang melihat ke asal suara itu tertegun sejenak saat melihat wanita dengan perut membuncit itu memakai baju tipis dengan wajah pucat.
“La–” ucap Banyu gugup.
“Mas– to–” belum sempat Lila menyelesaikan kalimatnya, ia sudah ambruk.
Beruntung Banyu dengan cepat berlari, sehingga ia bisa menangkap Lila tepat waktu. Jika tidak wanita itu pasti sudah jatuh keras ke lantai dengan bayi dalam kandungannya. Walaupun Banyu perlu melemparkan piring di tangannya, hingga piring itu pecah. Setidaknya ia bisa menangkap Lila.
“La! Lila!” panggil Banyu sambil menepuk-nepuk pipi Lila dengan panik.
“Mas, ada apa– Lila!” teriak Saimah yang melihat Lila berada di dekapan Banyu dengan mata terpejam. Saat Saimah melihat ke bawah kaki, ternyata darah sudah tercecer dari dalam kamar Lila.
“Mas, darah, Mas!” teriak Saimah yang membuat Banyu melirik ke arah bawah kaki Lila.
Dengan sigap banyu menggendong Lila dan Marno yang melihat kejadian itu mengambil kunci mobil. Mereka bergerak secepat mungkin untuk bisa ke rumah sakit yang jaraknya lumayan jauh dari vila mereka.
Tak ada kata yang keluar dari mulut Banyu. Hanya rapalan doa dan tangannya yang mengusap lembut wajah Lila yang begitu pucat. Pikirannya kusut. Jantungnya berdegup sangat keras, hingga ia tak sadar bahwa satu tangannya lagi sudah mengusap lembut perut Lila yang benar-benar menegang.
"Kamu harus kuat, La!"
***
Dokter keluar dari ruangan dengan senyum tipis di wajahnya. Setidaknya Banyu bisa menghirup nafas lega. Melihat darah yang mengalir di kaki Lila cukup membuatnya syok. Dulu saat mantan istrinya hamil dan berhubungan, Banyu tidak pernah mendapati istrinya mengalami kejadian seperti Lila. Mungkin kondisi khusus membuat Lila menjadi pendarahan. ‘Sebenarnya mereka ngelakuinnya gimana sih, mana tadi kedengeran semangat banget!’ rutuk Banyu yang terngiang suara saat ia berada di dapur sebelum akhirnya ia kabur. “Tenang saja, Pak. Kondisi Ibu dan Bayinya baik-baik saja. Saran saya mainnya pelan saja, jangan terlalu bersemangat. Besok pagi saya jadwalkan langsung ke dokter kandungan di sini agar bisa di cek lengkap. Untuk Sementara biar istri bapak istirahat terlebih dahulu,” ucap Dokter sambil menepuk pundak Banyu. Mendengar pernyataan itu, Banyu merasa malu. Bukan dia yang berulah, kenapa dia yang harus menanggung perasaan malu karena sudah melakukan hubungan intim dengan semangat. “Te
Banyu yang semenjak tadi hanya memandangi Laptop di meja kerjanya dengan kosong. Dia bahkan tak sadar bahwa laptop itu sudah kehabisan daya. Suara telepon membuat Banyu akhirnya bisa kembali ke dalam kesadarannya. Nama Ibu terpampang jelas dalam benda pipih di genggaman Banyu. Sebuah panggilan video yang tak bisa Banyu tolak. Baru saja ia memencet tombol hijau, wajah ibunya sudah memenuhi seluruh layarnya dengan wajah kesal. “Ibu! Pasti telepon sambil tiduran,” ucap Banyu dengan kesal karena terkejut dengan wajah Ibunya yang terpampang dalam satu layar penuh. “Suka-suka Ibu! Kamu ya Banyu, dari hari jum’at sampai hari ini gak bisa apa kirimin ibu pesan singkat kalau sudah sampai,” Omel Diani kepada anak sulungnya. “Kan jelas, Bu. Banyu sudah sampai kalau gak ngabari Ibu. Kalau ngabarin Ibu berarti Banyu ada apa-apa,” jawab Banyu acuh. “Omongan kamu, bisa tolong dijaga ya Banyu Ocean anaknya Bapak Samudera! Enak aja kalau ngomong. Ingat ya, gimana kalau ada malaikat lewat terus m
Banyu sudah berganti setelan rumahan saat ia turun untuk makan malam. Ia tidak melihat Lila tapi melihat Saimah tengah mempersiapkan piring di atas meja makan. “Mbok, temenin saya makan ya?” pertanyaan Banyu membuat Saimah terdiam sejenak. “Nanti aja, Mas. saya biasanya makan terakhir. Kalau malam,” jawab Saimah. Wanita paruh baya itu tak berbohong. Bahkan saat tak ada Banyu, ia selalu makan setelah semua orang di dalam rumah sudah makan. Saimah terbiasa melakukan itu. Hatinya tidak akan tenang jika yang lain belum makan terlebih dahulu. “Udah Mbok duduk aja!” pinta Banyu yang kemudian berlarian menuju dapur dan mengambil satu piring dan sendok juga garpu. Banyu meletakkan itu di depan Saimah dengan lebar. Selanjutnya pria itu mengambil nasi dan juga mempersilahkan Mbok Saimah untuk mengambil nasi dan juga lauk pauk. “Saya gak enak lho, Mas. Masa makan begini sama majikan,” ucap Mbok Saimah dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tak menyangka bahwa tuan mudanya begitu baik. Tidak me
Bengkel memang tidak ada hari libur, para pekerjanya mengambil hari libur bergantian dan. Begitu juga bos pemilik bengkel yang memilih hari Rabu sebagai hari istirahatnya. Pria itu memilih untuk duduk di halaman depan rumahnya dengan pemandangan Lila yang sedang menyiram berbagai tanaman buah yang tumbuh subur di halaman depan vila megah miliknya..Sama halnya dengan Banyu yang hanya menatap Lila dari kejauhan, Lila juga mengabaikan keberadaan Banyu. Wanita itu asyik mengamati bunga yang mekar, juga sesekali mengambil daun yang telah layu. Seolah tak terganggu dengan keberadaan Banyu, wanita itu terus saja beraktifitas.Sambil menyesap kopinya, Banyu terus menatap Lila. Ia bisa menatap Lila sesukanya karena suami Lila yang sangat hobi menghilang sedang bekerja. Banyu tahu apa yang dilakukannya sangat tidak boleh dilakukan. Tapi, matanya tidak bisa beralih menat
Lila memandangi ponselnya. Ponsel bekas yang dibelikan oleh suaminya beberapa tahun lalu. Lila yang memiliki uang untuk mengganti ponselnya, tidak berniat membeli lagi ponsel yang baru dengan fitur canggih. Bagi Lila, ponsel pemberian dari suaminya ini sangat berharga. Lagi pula ia juga menggunakan ponsel seperlunya saja. Jadi untuk apa menggantinya?Setelah merapikan beberapa bagian rumah, wanita itu duduk bersandar untuk mengistirahatkan punggungnya yang terasa nyeri. Tangannya dengan cantik menekan-nekan layar ponselnya.Tangannya berhenti setelah layar ponselnya menunjukkan situs jual beli online dengan pakaian bayi yang berjajar apik di layar ponsel miliknya. Lila yang baru saja tahu tentang situs jual beli online dari Saimah, kini memandangi baju bayi yang bermacam-macam rupa dengan variasi harga yang tentunya berbeda-beda. Ia tertarik dengan set baju bay
Senyuman terkembang dari wajah Diani. Sudah lama ia tak masuk ke dalam toko bayi dengan wangi khasnya yang membuat Diani candu. Terakhir sepertinya saat beberapa tahun lalu saat keponakan-keponakannya melahirkan anak mereka.Diani melihat pakaian anak-anak laki-laki yang tergantung dengan tema pelaut biru. Wajah Diani masih tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ingatannya tentang mantan menantunya berkelebat di benaknya. Wajah menantunya yang cantik dengan perut membuncit membuat Diani mengamati Lila dengan seksama.Perempuan itu sedang melihat baju yang tergantung dengan wajah berbinar. Melihat wajah Lila yang sangat senang membuat Diani juga berpikir, apakah jika dulu ia mau menerima mantan menantunya, wanita itu mungkin tidak lari begitu saja. Mungkin ada yang membuat mantan menantunya bertahan. Pikiran seperti itu selalu berkelebat dalam benak Diani, tanpa D
Banyu mengendarai mobil dengan santai. Membelah jalanan kota Surakarta yang begitu padat di siang hari. Ruas jalan searahnya bahkan tidak kalah macet saat jam kantor seperti ini. Kata siapa kemacetan hanya milik Ibukota Negara? Di beberapa sudut kota ini juga tidak kalah macet, apalagi jika saat jam masuk dan pulang sekolah.Banyu sesekali tersenyum tipis sambil bersenandung lirih. Situasi yang kini ia alami, sempat pernah ia idam-idamkan. Ia memiliki bayangan mengantarkan istrinya dan Ibunya secara bersamaan ke suatu tempat. Mungkin rasanya akan semenyenangkan ini. Banyu hanya bisa berharap didalam hatinya, jika suatu saat nanti ia akan memiliki istri seperti Lila yang mau bersama keluarganya. Bukannya malah memisahkannya dengan keluarganya.Walaupun di kasus-kasus tertentu ada Ibu mertua yang sangat merasa anak lelakinya akan selamanya menjadi miliknya, ia ya
Diani duduk di ruang makan dan melihat Banyu datang dengan Dimas. Wanita itu segera berdiri dan menyambut keduanya.“Gimana urusan kantor? Selesai?” tanya Diani pada Banyu.Banyu yang berhenti melangkah membuat Dimas yang semenjak tadi mengekor juga ikut berhenti. Dimas sedikit terkejut melihat Nyonya besarnya sudah berada di rumah itu. Ia merasa selalu tidak tahu menahu tentang kedatangan siapapun di rumah ini. Ia menjadi asing dengan posisinya.“Iya, Bu. Untung ada Dimas. Dia tadi yang bantu untuk klaim asuransi dan urusan di rumah sakit,” ucap Banyu yang kemudian menepuk pundak pria yang setahun lebih tua darinya itu.“Banyu ke kamar dulu ya, Bu. Mau mandi dulu,” ucap Banyu sambil menunjukkan beberapa noda darah.
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih
Lila berjalan bersama dengan suaminya. Dalam hidupnya, ia tak pernah sangat berambisi seperti ini. Mukanya sudah ia buat arogan semenjak turun dari mobil paling mewah yang mereka miliki.“Selamat datang, Bapak dan Ibu. Kepala Sekolah sudah menunggu di ruangannya,” sambut salah satu orang dari sekolah tersebut.Tak ada yang menjawab, mereka hanya mengikuti saja langkah guru tersebut.Sesampainya di ruangan kepala sekolah di sana. Lila disambut hangat oleh kepala sekolah, tapi keduanya bergeming. Tentu saja Ibu Lais memandang remeh Banyu dan Lila melihat sikap mereka yang dingin.“Pantas saja anaknya gak tau sopan santun, ternyata didikannya,” ucap Ibu Lais yang membuat Lila menahan amarahnya dengan tetap duduk tenang, tapi ia mengepalkan tangannya erat-erat.“Saya sebagai–”Banyu segera memutar video yang ada di dalam tabletnya untuk memotong ucapan kepala sekolah itu. Ia menunjukkan pada Ibu Lais dan kepala sekolah. Video itu memperlihatkan bagaimana Lais bersikap. Bukan hanya saat me
Raga menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk berwarna abu-abu. Remaja lelaki itu memandang langit-langit kamarnya sambil menghela nafas panjang.“Apa aku ikut Papa Dimas ya? Tapi di sana ada Mama Feby.”Raga mengalihkan perhatiannya pada sebingkai foto dimana ada fotonya dan ayah kandungnya yang sangat jarang ia temui. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu memperlihatkan kedekatan batin antara keduanya.Meski banyak cerita yang mulai Raga tahu tentang ayah dan ibunya di masa dulu yang kurang menyenangkan, nyatanya keduanya sudah berdamai dengan keadaan. Raga pun memahami kondisi keduanya.Banyu juga ayah yang baik. Dia penyemangat nomor satu bahkan sebelum ibunya. Raga tidak pernah menyesal berada di keluarga ini. Tapi lingkungannya selalu berusaha membuat Raga membenci dirinya.“Aku liburan di sana kali ya. Daripada aku cuma diem-diem aja selama di skors ini. Kayaknya udah lama juga gak pernah ketemu Papa Dimas,” gumam Raga yang kemudian mengambil ponsel di sakunya. Ia hendak men
Enam Tahun KemudianRaga Dewandra Adnan, itu lah nama seorang remaja yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.Anak lelaki itu menunggu jemputan seperti biasanya di taman sekolah sambil memainkan ponselnya sekedar untuk melihat-lihat komik yang episodenya baru saja terbit.Saat tangannya tengah lincah menggulir dan matanya menatap fokus ke arah ponsel keluaran terbaru dari salah satu merek ternama di seluruh dunia, tiba-tiba saja seseorang melemparkan kaleng soda yang sudah kosong dan tepat mengenai dahi Raga.Raga tak bereaksi banyak selain membuang kaleng itu asal. Ia enggan menanggapi remaja laki-laki seumurannya yang terlihat seperti preman.“Anak pungut, Show off! Mamerin apa sih? Oh, hpnya baru. Najis! Norak!” ucap pria bernama Lais itu.Dua orang anak laki-laki yang lain mengekor dan memandang remeh juga pada Raga.Namun, Raga juga tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk kembali menatap ponselnya. Sekedar untuk mengunduh beberapa komik yang ingin ia baca.“Rag