Banyu masuk ke dalam rumah dengan memijat tengkuknya. Rasanya pegal menghampiri sekujur tubuhnya. Seharian ini, banyak sekali yang ia temukan di bengkel cabang yang baru berdiri kurang lebih satu tahun.
Selain menemukan benda terlarang di luar nalar saat membuka laci, Banyu juga menemukan banyak kejanggalan antara data gudang dan data yang dilaporkan padanya setiap bulannya. Banyu harus mengecek satu persatu data yang ada dan itu memakan banyak waktu. Terlalu sibuk membuatnya melupakan makan siang dan kini ia begitu lapar.
Baru saja Banyu akan melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada di lantai dua, namun langkahnya terhenti saat mendapati Lila sedang memasak sesuatu di dapur. Aroma masakan yang menggugah selera membuat perut banyu semakin keroncongan. Bagai pucuk dicinta, ulam pun tiba, Banyu merasa kerja kerasnya hari ini berbuah manis hanya dengan aroma masakan Lila yang menggugah selera.
Ia segera melangkah menghampiri Lila. Senyuman tersungging di wajahnya saat melihat Lila bersenandung kecil sambil mengaduk sesuatu di dalam panci.
“La? Masak apa?” tegur Banyu yang kini sudah berdiri tepat di belakang Lila.
Lila tentu saja berjengit kaget. Ia menatap kesal Banyu yang sudah berdiri di belakangnya. Wajahnya terlihat menggemaskan bagi Banyu karena bibirnya yang sudah mengerucut.
“Mas, Ngagetin!”
“Maaf,” ucap Banyu sambil tertawa geli tanpa rasa bersalah.
“Mas, butuh sesuatu? Biar aku bantu siapin,” ucap Lila yang kemudian segera mematikan kompor yang ada di hadapannya.
“Enggak, cuma mau nyamperin aja. Masak apa? Baunya harum,” ucap Banyu sambil menghirup dalam aroma masakan Lila.
“Soto ayam, Mas mau makan sekarang? Atau Mas Banyu makan yang lain? Mas mau kopi atau teh?” tanya Lila bersemangat.
“Aku makan yang ada aja, La. Aku mau mandi dulu, baru nanti makan. Kamu istirahat dulu deh, La. Dokter bilang kan jangan banyak beraktifitas kan? Temenin suamimu,” ucap Banyu.
“Mas Banyu pulang sama Mas Dimas ya?” tanya Lila dengan mata berbinar. Lila kira Banyu menyuruhnya menemani suaminya karena suaminya sudah pulang.
Lila segera melepaskan apronnya dan hendak menyambut suaminya. Senyuman merekah dari bibirnya. Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya suaminya bisa pulang ke rumah sebelum jam enam malam.
Banyu mengerutkan keningnya melihat ekspresi Lila. “Enggak, La. Aku di jemput Pak Marno. Aku gak bareng Dimas. Memang suamimu belum sampai ya?” tanya Banyu yang mengingat bahwa tadi Dimas sudah pergi lebih dulu saat Banyu akan menghampiri pria itu untuk menumpang pulang ke rumah.
Orang bengkel mengatakan bahwa Dimas sudah pulang lebih awal di jam tiga sore, tapi Dimas belum juga sampai. Dimas bahkan tidak pamit pada Banyu jika akan pulang terlebih dahulu. Ia kira Dimas pulang lebih awal karena akan menemani Lila.
Senyum Lila luntur. Pertanyaan Banyu tentu saja membuat Lila kecewa. Ia kira suaminya akan pulang bersama dengan Banyu.
“Memang waktu Mas Banyu pulang, Mas Dimas udah pulang ya? Kok Mas Dimas belum sampai ya?” tanya Lila dengan wajah kecewa yang tak bisa ia sembunyikan.
“Iya tapi gak usah khawatir. Mungkin dia perlu mampir dulu beli sesuatu atau ada urusan apa gitu. jangan terlalu dipikirin. Inget kata dokter. Kamu gak boleh banyak pikiran,” ucap Banyu sambil mengusap pundak Lila pelan.
“Pulangnya sudah dari tadi ya Mas?”
“Mm– barusan kok. Lebih cepat sedikit dari aku,” jawab Banyu mencoba menenangkan Lila.
Kata ‘mampir’ tak membuat Lila menjadi lega. Ia makin bertanya-tanya kemana suaminya pergi. Wajahnya kini menjadi murung.
“La–” panggil Banyu sambil meremas pelan pundak Lila. Matanya menatap iba Lila yang terlihat sedih.
Mendengar namanya dipanggil, Lila menatap Banyu tanpa suara.
“Aku ke kamar dulu ya, buat mandi. Sebentar. Habis ini aku langsung turun. Baunya harum banget, aku mau makan dulu tapi kotor dari luar. Bentar ya, La. Aku mau ngobrol banyak sama kamu,” ucap Banyu yang kemudian beranjak.
Lila hanya tersenyum saja menanggapi Banyu yang bersemangat entah untuk apa. Banyu tak pernah berubah. Setelah beberapa tahun tak bertemu dengannya. Banyu yang merupakan majikannya sejak berusia belia itu masih sama. Masih Banyu yang selalu ceria dan antusias jika mengobrol dengannya.
Jika bisa disebut teman, Banyu adalah teman satu-satunya yang ia miliki. Kemiskinan membuat Lila tak pernah berpikir untuk bisa berteman dengan orang lain. Hanya Banyu yang berteman dengannya dan menunjukkan banyak hal yang tidak ia ketahui. Sedangkan teman lain yang menganggap Lila tidak memiliki apa-apa memilih untuk tak berteman dengan Lila yang karena kemiskinannya, Lila bahkan tak tahu acara tontonan kartun di televisi. Bagaimana temannya mengobrol dengan Lila jika Lila saja tak tahu kabar apa yang terbaru.
“Jaga matamu itu! Sudah punya suami masih aja ngeliat laki-laki lain sampai seperti itu!” ucap Dimas ketus.
Lila beranjak dari duduknya. Senyuman mengembang dari bibirnya. Dia berpikir bahwa suaminya masih akan pulang larut malam. Lila tidak menyangka suaminya sudah sampai di hadapannya.
Begitu senangnya Lila sampai ia tak sadar kata-kata ketus suaminya.
“Mas, sudah pulang?” tanya Lila tak percaya karena begitu senang suaminya sudah ada dihadapannya.
“Menurutmu! Pria lain datang ditanya mau minum apa, mau makan apa, kenapa kamu malah tanya kayak gitu?! Nyindir kamu?” tanya Dimas dingin sambil membuka dua kancing atas kemejanya.
“Enggak, Mas! Mas mau makan? mau mandi? Aku siapin airnya, ya?” tawar Lila dengan semangat.
Dimas sendiri melihat istrinya penuh minat. Baju rumahan dengan potongan leher lebar itu hampir mengekspos kulit putih di pundak dan leher jenjang istrinya. Dimas mereguk ludahnya.
Pantas saja tadi bosnya menatap Lila dengan penuh minat. Dimas menjadi geram mengingat Banyu yang menyentuh pundak istrinya dengan sembarangan. Tanpa Kata, Dimas mencekal tangan Lila. Ia menyeret Lila menuju kamar dengan kasar.
“Mas, lepas! Pelan, Mas. Kenapa toh, Mas?” tanya Lila sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Dimas.
Sesampainya di kamar, Dimas menutup pintu kamar dengan kasar hingga pintu menimbulkan suara gema yang lumayan keras.
Saimah yang mendengarkan itu hanya bisa menggeleng pelan. Dia yang baru saja selesai beribadah dan akan membantu Lila mengurungkan niatnya. Saimah memilih untuk pergi ke halaman depan rumah dan bergabung dengan Marno yang sedang meminum kopinya.
Sementara itu di dalam kamar. Lila sudah di dorong keras ke kasur oleh Dimas.
“Aw! Pelan, Mas!” ucap Lila dengan pandangan takut-takut pada suaminya.
Dimas tidak mengatakan apapun. Dia membuka baju dan celananya dengan tergesa. Menyisakan pakaian dalamnya saja. Ia kemudian memegang dagu Lila dengan erat.
“Siapa bilang kamu bisa disentuh orang lain, La?!” ucap Dimas dengan penuh penekanan.
“Maksud Mas, apa?!” tanya Lila dengan berani. Ia tak memahami pertanyaan Dimas.
Dimas tak mengatakan apapun. Ia mencium pundak Lila dengan rakus. Ia juga mencium bibir dan leher jenjang Lila dengan penuh nafsu. Beberapa waktu kemudian, Dimas merobek pakaian rumah milik Lila. Pakaian itu memang tidak tembus pandang tapi cukup tipis karena mudah di robek. Entah apa yang ada di pikiran Dimas. Tapi gerakannya makin tak terkontrol.
“Mas, pelan-pelan! Aku hamil, Mas. Ada anak kita,” ucap Lila yang kini bukannya merasa senang dengan gerakan penuh nafsu suaminya. Ia malah ketakutan dan hampir saja menangis.
Satu tamparan mampir di pipi milik Lila dengan cukup keras Tentu saja itu membekas berwarna merah di pipi Lila yang berwarna putih bersih.
“Mas!” pekik Lila saat milik suaminya melesak masuk tanpa permisi.
***
Banyu tengah berkaca sambil mengamati penampilannya. Banyu yang biasanya yang cuek dengan penampilannya ketika dirumah, kini sedikit memperhatikan setelan baju yang ia pakai. Parfum yang hanya dipakai saat ia keluar rumah pun kini ia gunakan, padahal tidak ada agenda keluar rumah.
Aroma lemon dan melati yang bercampur, menguar dan menciptakan wangi yang segar dari tubuh Banyu. Kaos hitam dan celana pendek selutut yang ia pakai juga sukses memperlihatkan kaki panjangnya dan dada bidang, serta otot lengannya yang kekar.
Banyu yang puas dengan penampilannya keluar dari kamarnya sambil bersenandung kecil. Ia tak sabar untuk mencicipi masakan Lila. Banyu juga tak sabar untuk mengobrol lebih banyak dengan Lila. Kemarin ia ketiduran dan tadi ia harus berbagi ruang dengan Mbok Saimah dan Pak Marno, dimana Mbok Saimah yang suka berceloteh itu lebih banyak mendominasi percakapan diantara keempatnya.
Banyu menuruni tangga dengan berbagai pertanyaan di otaknya dan berbagai topik obrolan yang akan ia bahas dengan Lila. Bibir yang semula bersenandung dengan riang, makin lama makin terkatup. Dapur sepi dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Lila disana.
Ah, mungkin Dimas sudah sampai. Pikir Banyu sambil melihat ke kamar yang persis bersebelahan dengan dapur.
Saat Banyu memutuskan untuk makan dan mengambil sendiri makanan yang masih ada di atas kompor, Banyu menghentikan langkahnya. Suara decitan dan erangan bersahutan samar terdengar di telinga Banyu.
Banyu melirik ke arah kamar Lila dan Dimas. Ia sengaja tak bergerak dan hening tak bersuara. Benar saja, suara itu berasal dari kamar Lila.
Banyu menggaruk dahinya yang tak gatal dan segera berbalik arah.
“Astaga ya Tuhan, dosa apa yang sudah aku perbuat! Apa memang ini saat yang tepat untuk aku nikah ya! Setelah nemu kancut sekarang ngedenger live action! Kampret!” rapal Banyu kesal sambil keluar dari area dapur.
***
Bagai mendapat oase di padang pasir, Banyu merasa lega melihat Saimah dan Marno kini tengah memakan singkong goreng di pos jaga. Pria itu merasa terselamatkan karena ada orang lain yang bisa membuatnya mengalihkan perhatian dari suara desahan yang sudah mengkontaminasi otaknya. Mereka terlihat bercengkrama hangat sambil tertawa-tawa kecil. Entah obrolan apa yang sedang menjadi topik pembicaraan mereka, tapi renyah tawa Saimah dan Marno membuat Banyu ingin ikut mengobrol dengan para pekerja vilanya yang diketahui Banyu baru bekerja tiga tahun di vila miliknya. “Mbok, Pak,” sapa Banyu yang selanjutnya duduk di samping Saimah tanpa ragu. “Lho, Mas banyu. Ada apa? Butuh Apa?” tanya Mbok Saimah sigap. “Butuh temen ngobrol, Mbok. Di dalem panas,” ucap Banyu dengan tangan yang sudah mencomot sepotong singkong goreng di tangannya. “Panas? Kenapa Mas? Ooh.. do berantem yo, Mas?” tanya Mbok Saimah dengan mengerlingkan mata malas. “Gulat, Mbok.” “Lho! Kok gak dipisah toh? Piye sih, Mas Ba
Dokter keluar dari ruangan dengan senyum tipis di wajahnya. Setidaknya Banyu bisa menghirup nafas lega. Melihat darah yang mengalir di kaki Lila cukup membuatnya syok. Dulu saat mantan istrinya hamil dan berhubungan, Banyu tidak pernah mendapati istrinya mengalami kejadian seperti Lila. Mungkin kondisi khusus membuat Lila menjadi pendarahan. ‘Sebenarnya mereka ngelakuinnya gimana sih, mana tadi kedengeran semangat banget!’ rutuk Banyu yang terngiang suara saat ia berada di dapur sebelum akhirnya ia kabur. “Tenang saja, Pak. Kondisi Ibu dan Bayinya baik-baik saja. Saran saya mainnya pelan saja, jangan terlalu bersemangat. Besok pagi saya jadwalkan langsung ke dokter kandungan di sini agar bisa di cek lengkap. Untuk Sementara biar istri bapak istirahat terlebih dahulu,” ucap Dokter sambil menepuk pundak Banyu. Mendengar pernyataan itu, Banyu merasa malu. Bukan dia yang berulah, kenapa dia yang harus menanggung perasaan malu karena sudah melakukan hubungan intim dengan semangat. “Te
Banyu yang semenjak tadi hanya memandangi Laptop di meja kerjanya dengan kosong. Dia bahkan tak sadar bahwa laptop itu sudah kehabisan daya. Suara telepon membuat Banyu akhirnya bisa kembali ke dalam kesadarannya. Nama Ibu terpampang jelas dalam benda pipih di genggaman Banyu. Sebuah panggilan video yang tak bisa Banyu tolak. Baru saja ia memencet tombol hijau, wajah ibunya sudah memenuhi seluruh layarnya dengan wajah kesal. “Ibu! Pasti telepon sambil tiduran,” ucap Banyu dengan kesal karena terkejut dengan wajah Ibunya yang terpampang dalam satu layar penuh. “Suka-suka Ibu! Kamu ya Banyu, dari hari jum’at sampai hari ini gak bisa apa kirimin ibu pesan singkat kalau sudah sampai,” Omel Diani kepada anak sulungnya. “Kan jelas, Bu. Banyu sudah sampai kalau gak ngabari Ibu. Kalau ngabarin Ibu berarti Banyu ada apa-apa,” jawab Banyu acuh. “Omongan kamu, bisa tolong dijaga ya Banyu Ocean anaknya Bapak Samudera! Enak aja kalau ngomong. Ingat ya, gimana kalau ada malaikat lewat terus m
Banyu sudah berganti setelan rumahan saat ia turun untuk makan malam. Ia tidak melihat Lila tapi melihat Saimah tengah mempersiapkan piring di atas meja makan. “Mbok, temenin saya makan ya?” pertanyaan Banyu membuat Saimah terdiam sejenak. “Nanti aja, Mas. saya biasanya makan terakhir. Kalau malam,” jawab Saimah. Wanita paruh baya itu tak berbohong. Bahkan saat tak ada Banyu, ia selalu makan setelah semua orang di dalam rumah sudah makan. Saimah terbiasa melakukan itu. Hatinya tidak akan tenang jika yang lain belum makan terlebih dahulu. “Udah Mbok duduk aja!” pinta Banyu yang kemudian berlarian menuju dapur dan mengambil satu piring dan sendok juga garpu. Banyu meletakkan itu di depan Saimah dengan lebar. Selanjutnya pria itu mengambil nasi dan juga mempersilahkan Mbok Saimah untuk mengambil nasi dan juga lauk pauk. “Saya gak enak lho, Mas. Masa makan begini sama majikan,” ucap Mbok Saimah dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tak menyangka bahwa tuan mudanya begitu baik. Tidak me
Bengkel memang tidak ada hari libur, para pekerjanya mengambil hari libur bergantian dan. Begitu juga bos pemilik bengkel yang memilih hari Rabu sebagai hari istirahatnya. Pria itu memilih untuk duduk di halaman depan rumahnya dengan pemandangan Lila yang sedang menyiram berbagai tanaman buah yang tumbuh subur di halaman depan vila megah miliknya..Sama halnya dengan Banyu yang hanya menatap Lila dari kejauhan, Lila juga mengabaikan keberadaan Banyu. Wanita itu asyik mengamati bunga yang mekar, juga sesekali mengambil daun yang telah layu. Seolah tak terganggu dengan keberadaan Banyu, wanita itu terus saja beraktifitas.Sambil menyesap kopinya, Banyu terus menatap Lila. Ia bisa menatap Lila sesukanya karena suami Lila yang sangat hobi menghilang sedang bekerja. Banyu tahu apa yang dilakukannya sangat tidak boleh dilakukan. Tapi, matanya tidak bisa beralih menat
Lila memandangi ponselnya. Ponsel bekas yang dibelikan oleh suaminya beberapa tahun lalu. Lila yang memiliki uang untuk mengganti ponselnya, tidak berniat membeli lagi ponsel yang baru dengan fitur canggih. Bagi Lila, ponsel pemberian dari suaminya ini sangat berharga. Lagi pula ia juga menggunakan ponsel seperlunya saja. Jadi untuk apa menggantinya?Setelah merapikan beberapa bagian rumah, wanita itu duduk bersandar untuk mengistirahatkan punggungnya yang terasa nyeri. Tangannya dengan cantik menekan-nekan layar ponselnya.Tangannya berhenti setelah layar ponselnya menunjukkan situs jual beli online dengan pakaian bayi yang berjajar apik di layar ponsel miliknya. Lila yang baru saja tahu tentang situs jual beli online dari Saimah, kini memandangi baju bayi yang bermacam-macam rupa dengan variasi harga yang tentunya berbeda-beda. Ia tertarik dengan set baju bay
Senyuman terkembang dari wajah Diani. Sudah lama ia tak masuk ke dalam toko bayi dengan wangi khasnya yang membuat Diani candu. Terakhir sepertinya saat beberapa tahun lalu saat keponakan-keponakannya melahirkan anak mereka.Diani melihat pakaian anak-anak laki-laki yang tergantung dengan tema pelaut biru. Wajah Diani masih tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ingatannya tentang mantan menantunya berkelebat di benaknya. Wajah menantunya yang cantik dengan perut membuncit membuat Diani mengamati Lila dengan seksama.Perempuan itu sedang melihat baju yang tergantung dengan wajah berbinar. Melihat wajah Lila yang sangat senang membuat Diani juga berpikir, apakah jika dulu ia mau menerima mantan menantunya, wanita itu mungkin tidak lari begitu saja. Mungkin ada yang membuat mantan menantunya bertahan. Pikiran seperti itu selalu berkelebat dalam benak Diani, tanpa D
Banyu mengendarai mobil dengan santai. Membelah jalanan kota Surakarta yang begitu padat di siang hari. Ruas jalan searahnya bahkan tidak kalah macet saat jam kantor seperti ini. Kata siapa kemacetan hanya milik Ibukota Negara? Di beberapa sudut kota ini juga tidak kalah macet, apalagi jika saat jam masuk dan pulang sekolah.Banyu sesekali tersenyum tipis sambil bersenandung lirih. Situasi yang kini ia alami, sempat pernah ia idam-idamkan. Ia memiliki bayangan mengantarkan istrinya dan Ibunya secara bersamaan ke suatu tempat. Mungkin rasanya akan semenyenangkan ini. Banyu hanya bisa berharap didalam hatinya, jika suatu saat nanti ia akan memiliki istri seperti Lila yang mau bersama keluarganya. Bukannya malah memisahkannya dengan keluarganya.Walaupun di kasus-kasus tertentu ada Ibu mertua yang sangat merasa anak lelakinya akan selamanya menjadi miliknya, ia ya
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih
Lila berjalan bersama dengan suaminya. Dalam hidupnya, ia tak pernah sangat berambisi seperti ini. Mukanya sudah ia buat arogan semenjak turun dari mobil paling mewah yang mereka miliki.“Selamat datang, Bapak dan Ibu. Kepala Sekolah sudah menunggu di ruangannya,” sambut salah satu orang dari sekolah tersebut.Tak ada yang menjawab, mereka hanya mengikuti saja langkah guru tersebut.Sesampainya di ruangan kepala sekolah di sana. Lila disambut hangat oleh kepala sekolah, tapi keduanya bergeming. Tentu saja Ibu Lais memandang remeh Banyu dan Lila melihat sikap mereka yang dingin.“Pantas saja anaknya gak tau sopan santun, ternyata didikannya,” ucap Ibu Lais yang membuat Lila menahan amarahnya dengan tetap duduk tenang, tapi ia mengepalkan tangannya erat-erat.“Saya sebagai–”Banyu segera memutar video yang ada di dalam tabletnya untuk memotong ucapan kepala sekolah itu. Ia menunjukkan pada Ibu Lais dan kepala sekolah. Video itu memperlihatkan bagaimana Lais bersikap. Bukan hanya saat me
Raga menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk berwarna abu-abu. Remaja lelaki itu memandang langit-langit kamarnya sambil menghela nafas panjang.“Apa aku ikut Papa Dimas ya? Tapi di sana ada Mama Feby.”Raga mengalihkan perhatiannya pada sebingkai foto dimana ada fotonya dan ayah kandungnya yang sangat jarang ia temui. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu memperlihatkan kedekatan batin antara keduanya.Meski banyak cerita yang mulai Raga tahu tentang ayah dan ibunya di masa dulu yang kurang menyenangkan, nyatanya keduanya sudah berdamai dengan keadaan. Raga pun memahami kondisi keduanya.Banyu juga ayah yang baik. Dia penyemangat nomor satu bahkan sebelum ibunya. Raga tidak pernah menyesal berada di keluarga ini. Tapi lingkungannya selalu berusaha membuat Raga membenci dirinya.“Aku liburan di sana kali ya. Daripada aku cuma diem-diem aja selama di skors ini. Kayaknya udah lama juga gak pernah ketemu Papa Dimas,” gumam Raga yang kemudian mengambil ponsel di sakunya. Ia hendak men
Enam Tahun KemudianRaga Dewandra Adnan, itu lah nama seorang remaja yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.Anak lelaki itu menunggu jemputan seperti biasanya di taman sekolah sambil memainkan ponselnya sekedar untuk melihat-lihat komik yang episodenya baru saja terbit.Saat tangannya tengah lincah menggulir dan matanya menatap fokus ke arah ponsel keluaran terbaru dari salah satu merek ternama di seluruh dunia, tiba-tiba saja seseorang melemparkan kaleng soda yang sudah kosong dan tepat mengenai dahi Raga.Raga tak bereaksi banyak selain membuang kaleng itu asal. Ia enggan menanggapi remaja laki-laki seumurannya yang terlihat seperti preman.“Anak pungut, Show off! Mamerin apa sih? Oh, hpnya baru. Najis! Norak!” ucap pria bernama Lais itu.Dua orang anak laki-laki yang lain mengekor dan memandang remeh juga pada Raga.Namun, Raga juga tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk kembali menatap ponselnya. Sekedar untuk mengunduh beberapa komik yang ingin ia baca.“Rag