Banyu memandang Lila yang terus saja menatap kertas dengan latar hitam dan seorang bayi kecil dengan lekuk tubuh yang jelas. Melihat muka bayi itu, Banyu yakin anak Lila memiliki paras yang sama dengan Lila. Ia jadi tak sabar melihat Lila versi mini.
Setelah berkendara kurang lebih lima menit, Banyu sudah sampai di bengkel cabang miliknya. Lila yang semula memandangi foto USG anaknya, kini beralih melihat sebuah bangunan luas dengan banyak kendaraan terparkir di sana.
Ada beberapa drum juga alat-alat yang tak Lila ketahui namanya. Bengkel itu nampak ramai. Jadi wajar saja jika suaminya tak mau menemaninya hari ini. Lila jadi berpikir, apakah keterlaluan jika menginginkan suaminya memberi waktu untuk dirinya dan bayinya bersama. Rasanya sudah cukup lama Dimas tak mengajaknya berjalan-jalan. Apalagi beberapa bulan terakhir semenjak Lila dinyatakan hamil.
Melihat keadaan bengkel yang cukup ramai membuat Lila bisa memaklumi bahwa suaminya tak bisa menemaninya. Mungkin juga suaminya berbuat kasar karena memang pekerjaan di bengkel yang penuh itu sangat menyita tenaga Dimas. Hingga Dimas sudah terlalu lelah saat sampai di rumah.
“Kamu mau menemui suamimu, La?” tanya Banyu yang melihat Lila memandang bengkel seolah tengah mencari sesuatu.
Lila menggeleng. “Enggak, Mas.”
“Sudah pernah kesini kan?”
Lila lagi-lagi menggeleng.
Banyu mengerutkan dahinya. Lila belum pernah ke bengkel karena memang tidak ada urusan atau tidak pernah tahu tempat ini? Melihat Lila yang semenjak tadi merasa takjub sepanjang menyusuri jalan menuju ke rumah sakit tempat praktek ibu teman Banyu, pria itu meyakini bahwa wanita ini belum pernah ke kota. Apa mungkin Lila tidak pernah ke kota?
“Ya udah. Aku pergi dulu. Mbok Saimah, Pak Marno, sama Lila boleh jalan-jalan. Tapi jangan sampai lupa waktu ya. Jangan lupa kabarin suamimu La, kalau kamu pulang telat. Nanti ada perang lagi,” ledek Banyu sambil turun dari mobil.
“Makasih ya, Mas. Mbok jadi bisa represing! Ayo, No. Jalan!” ucap Mbok Saimah yang diiringi dengan berjalannya mobil. Mbok Saimah dengan entengnya melambai pada bosnya yang masih saja terkekeh geli dengan tingkah Mbok Saimah yang kocak.
Banyu hanya menggeleng-geleng melihat mobil vila itu melaju, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam bengkel. Ia mengamati suasana bengkel yang begitu ramai dan beberapa montir yang sedang mengerjakan perbaikan dan melayani pelanggan.
Banyu menghentikan langkahnya melihat salah seorang montir tengah melakukan perbaikan. Melihat caranya memperbaiki, Banyu tahu bahwa montir itu pasti masih baru. Gerakannya yang lambat tak sama dengan montir-montir lama yang pernah ia bawa dari Jakarta untuk membantu pekerjaan bengkel cabang baru miliknya.
“Mas Banyu,” sapa seorang pria dengan badan tambun. Baju yang penuh dengan noda hitam, menandakan sudah berapa lama ia berkutat dengan oli.
“Pak Ahmad, apa kabar Pak?” sapa Banyu dengan senyum sumringah.
“Baik, Mas. Mas Banyu kemari kenapa tidak berkabar? Kan kami bisa siapkan tempat,” ucap Pak Ahmad dengan antusias.
“Sengaja, Pak. Supaya saya tahu gimana biasanya bengkel. Nanti kalau saya bengkel, malah gak kayak biasanya keadannya bengkel.”
“Mas Banyu sidak?” tanya Pak Ahmad terdengar polos.
Banyu tersenyum lebar. “Kurang lebih begitu, Pak. Gimana bengkel Pak. Sudah mau satu tahun kan?”
“Ya, gini Mas. Rame terus,” jawab Pak Ahmad seadanya.
“Selalu rame?”
“Iya, Gak pernah sepi, Mas. Alhamdulillah, rejeki Mas Banyu!” ucap pak AHmad dengan sumringah.
Banyu hanya manggut-manggut saja. Setahunya, data bengkel mengatakan bahwa bengkel tak seramai ini. Sebenarnya dimana letak laporan yang salah. Apakah datanya yang salah hitung, ataukah memang selalu ramai tapi karena pekerjaannya selesai tak tepat waktu karena montir-montir baru yang Banyu lihat sehingga data pelanggan bengkel terlihat tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Ramai, tapi sebenarnya ini pekerjaan yang menumpuk.
Jadi datanya yang betul, atau memang pendapatan yang selisih banyak?
“Mas, sudah lama?” tanya Dimas yang berjalan mendekat dengan senyum ramahnya.
Pak Ahmad yang melihat Dimas mendekat memilih mundur dan pamit hanya dengan gerakan sederhana. Banyu sendiri menjawab kode Pak Ahmad dengan mengangguk samar.
“Bengkel lumayan rame ya, Dim?” tanya Banyu sambil memperhatikan bengkel dari ujung ke ujung.
“Mm– ya, beberapa minggu ini cukup bagus, Mas. Laporan bulan ini sepertinya labanya meningkat,” ucap Dimas dengan gugup.
“Oh ya? Bagus juga. Kamu pakai promosi apa sampai pelanggan bertambah dengan jumlah yang lumayan?”
“I–itu.. Kita ngobrol di dalam aja, Mas. Disini terlalu berisik.”
Dimas mempersilahkan Banyu untuk berjalan lebih dahulu. Sedangkan Banyu yang bisa membaca gelagat gugup Dimas, yakin bahwa banyak hal terjadi dan tak disampaikan kepadanya. Pasti ada yang dilakukan oleh Dimas hingga ia tak mau menjawab pertanyaan Banyu saat ini.
Mereka berjalan menuju sebuah sofa panjang dan duduk sambil memperhatikan pelanggan yang keluar dan masuk. Banyu kira ia akan dibawa menuju ruangan miliknya. Seingatnya ia berpesan pada Attar untuk menyediakan satu ruangan khusus untuk dirinya dan Attar jika berkunjung ke bengkel cabang.
“Silahkan, Pak.”
Banyu duduk dan menatap ruangan yang hampir penuh itu dan mendapati seorang wanita yang sedang berada di balik meja resepsionis memandangi Dimas dengan penuh minat. Matanya berbinar menatap Dimas yang ada di sampingnya. Entah mengapa firasat Banyu tak enak soal ini.
“Jadi, apa promosi yang kamu gunakan supaya bisa menarik pelanggan dengan cepat?”
“Saya rasa ini karena promosi dari pelanggan ke orang-orang terdekat. Selama ini saya tidak ada promosi khusus. Mungkin mereka tahu dari cerita pelanggan-pelanggan sebelumnya. Servis yang bagus membuat orang-orang kembali kemari lagi, Mas.”
“Syukurlah kalau begitu. Kamu sudah pernah berikan survei kepuasaan pelanggan?”
“Ah– itu–”
“Permisi, Pak. Ini kopinya,” ucap wanita yang sedari tadi sudah memperhatikan Dimas. Wajah perempuan itu nampak bersemu merah saat Dimas mengucapkan terima kasih dan berlalu begitu saja setelah Dimas kembali mengarahkan pandangannya pada Banyu.
“Saya akan berada di bengkel ini sampai satu hingga dua bulan kedepan. Saya gak mau pembicaraan kita selalu diinterupsi dengan hal-hal yang kurang penting. Ada ruangan yang bisa saya pakai untuk bekerja? Saya gak mungkin ada di ruangan ini kan?” sindir Banyu sambil menatap ruangan ramai yang diisi dengan pelanggan-pelanggan yang sibuk.
“Oh, itu– ada Mas, Mas Banyu bisa pakai ruangan saya. Mari saya antar,” ucap Dimas yang kemudian beranjak dari tempat duduknya.
Dimas mengarahkan Banyu pada sebuah ruangan di ujung bengkel. Ruangan itu nampak sederhana dan rapi. Seperti tidak sering dipakai. Sebagai Manager bengkel cabang, ruangan ini terlalu bersih. Letaknya juga sangat tenang dan berada terlalu di ujung. Terlalu tidak strategis untuk mengamati bengkel yang ramai setiap saat.
“Mas Banyu bisa disini dulu, saya ada perlu sebentar.”
Banyu hanya mengangguk, ia tahu Dimas terlalu banyak menunda penjelasan semua pertanyaan yang ia lontarkan. Banyu pun menuju tempat duduk yang digunakan sambil menunggu Dimas yang keluar entah untuk apa.
Banyu mendapati kursi tempatnya duduk ini sangat nyaman. Sangat berbanding terbalik dengan kesan ruangan yang sederhana. Banyu duduk sambil mengamati setiap sudut ruangan itu. Tangannya pun tergelitik untuk membuka satu persatu laci yang ada di ruangan itu.
“Brengsek!” umpat Banyu saat menemukan sebuah celana dalam wanita berwarna merah. Wajahnya tak bisa menutupi rasa jijik saat menemukan benda bekas dengan bau khas itu disana.
‘Milik siapa ini?! Apa Dimas melakukan ini dengan Lila di kantor?! Sialan! Mataku!’
***
Banyu masuk ke dalam rumah dengan memijat tengkuknya. Rasanya pegal menghampiri sekujur tubuhnya. Seharian ini, banyak sekali yang ia temukan di bengkel cabang yang baru berdiri kurang lebih satu tahun.Selain menemukan benda terlarang di luar nalar saat membuka laci, Banyu juga menemukan banyak kejanggalan antara data gudang dan data yang dilaporkan padanya setiap bulannya. Banyu harus mengecek satu persatu data yang ada dan itu memakan banyak waktu. Terlalu sibuk membuatnya melupakan makan siang dan kini ia begitu lapar.Baru saja Banyu akan melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada di lantai dua, namun langkahnya terhenti saat mendapati Lila sedang memasak sesuatu di dapur. Aroma masakan yang menggugah selera membuat perut banyu semakin keroncongan. Bagai pucuk dicinta, ulam pun tiba, Banyu merasa kerja kerasnya hari ini berbuah manis hanya dengan aroma masakan Lila yang menggugah selera.Ia segera melangkah menghampiri Lila. Senyuman tersungging di wajahnya saat melihat Lil
Bagai mendapat oase di padang pasir, Banyu merasa lega melihat Saimah dan Marno kini tengah memakan singkong goreng di pos jaga. Pria itu merasa terselamatkan karena ada orang lain yang bisa membuatnya mengalihkan perhatian dari suara desahan yang sudah mengkontaminasi otaknya. Mereka terlihat bercengkrama hangat sambil tertawa-tawa kecil. Entah obrolan apa yang sedang menjadi topik pembicaraan mereka, tapi renyah tawa Saimah dan Marno membuat Banyu ingin ikut mengobrol dengan para pekerja vilanya yang diketahui Banyu baru bekerja tiga tahun di vila miliknya. “Mbok, Pak,” sapa Banyu yang selanjutnya duduk di samping Saimah tanpa ragu. “Lho, Mas banyu. Ada apa? Butuh Apa?” tanya Mbok Saimah sigap. “Butuh temen ngobrol, Mbok. Di dalem panas,” ucap Banyu dengan tangan yang sudah mencomot sepotong singkong goreng di tangannya. “Panas? Kenapa Mas? Ooh.. do berantem yo, Mas?” tanya Mbok Saimah dengan mengerlingkan mata malas. “Gulat, Mbok.” “Lho! Kok gak dipisah toh? Piye sih, Mas Ba
Dokter keluar dari ruangan dengan senyum tipis di wajahnya. Setidaknya Banyu bisa menghirup nafas lega. Melihat darah yang mengalir di kaki Lila cukup membuatnya syok. Dulu saat mantan istrinya hamil dan berhubungan, Banyu tidak pernah mendapati istrinya mengalami kejadian seperti Lila. Mungkin kondisi khusus membuat Lila menjadi pendarahan. ‘Sebenarnya mereka ngelakuinnya gimana sih, mana tadi kedengeran semangat banget!’ rutuk Banyu yang terngiang suara saat ia berada di dapur sebelum akhirnya ia kabur. “Tenang saja, Pak. Kondisi Ibu dan Bayinya baik-baik saja. Saran saya mainnya pelan saja, jangan terlalu bersemangat. Besok pagi saya jadwalkan langsung ke dokter kandungan di sini agar bisa di cek lengkap. Untuk Sementara biar istri bapak istirahat terlebih dahulu,” ucap Dokter sambil menepuk pundak Banyu. Mendengar pernyataan itu, Banyu merasa malu. Bukan dia yang berulah, kenapa dia yang harus menanggung perasaan malu karena sudah melakukan hubungan intim dengan semangat. “Te
Banyu yang semenjak tadi hanya memandangi Laptop di meja kerjanya dengan kosong. Dia bahkan tak sadar bahwa laptop itu sudah kehabisan daya. Suara telepon membuat Banyu akhirnya bisa kembali ke dalam kesadarannya. Nama Ibu terpampang jelas dalam benda pipih di genggaman Banyu. Sebuah panggilan video yang tak bisa Banyu tolak. Baru saja ia memencet tombol hijau, wajah ibunya sudah memenuhi seluruh layarnya dengan wajah kesal. “Ibu! Pasti telepon sambil tiduran,” ucap Banyu dengan kesal karena terkejut dengan wajah Ibunya yang terpampang dalam satu layar penuh. “Suka-suka Ibu! Kamu ya Banyu, dari hari jum’at sampai hari ini gak bisa apa kirimin ibu pesan singkat kalau sudah sampai,” Omel Diani kepada anak sulungnya. “Kan jelas, Bu. Banyu sudah sampai kalau gak ngabari Ibu. Kalau ngabarin Ibu berarti Banyu ada apa-apa,” jawab Banyu acuh. “Omongan kamu, bisa tolong dijaga ya Banyu Ocean anaknya Bapak Samudera! Enak aja kalau ngomong. Ingat ya, gimana kalau ada malaikat lewat terus m
Banyu sudah berganti setelan rumahan saat ia turun untuk makan malam. Ia tidak melihat Lila tapi melihat Saimah tengah mempersiapkan piring di atas meja makan. “Mbok, temenin saya makan ya?” pertanyaan Banyu membuat Saimah terdiam sejenak. “Nanti aja, Mas. saya biasanya makan terakhir. Kalau malam,” jawab Saimah. Wanita paruh baya itu tak berbohong. Bahkan saat tak ada Banyu, ia selalu makan setelah semua orang di dalam rumah sudah makan. Saimah terbiasa melakukan itu. Hatinya tidak akan tenang jika yang lain belum makan terlebih dahulu. “Udah Mbok duduk aja!” pinta Banyu yang kemudian berlarian menuju dapur dan mengambil satu piring dan sendok juga garpu. Banyu meletakkan itu di depan Saimah dengan lebar. Selanjutnya pria itu mengambil nasi dan juga mempersilahkan Mbok Saimah untuk mengambil nasi dan juga lauk pauk. “Saya gak enak lho, Mas. Masa makan begini sama majikan,” ucap Mbok Saimah dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tak menyangka bahwa tuan mudanya begitu baik. Tidak me
Bengkel memang tidak ada hari libur, para pekerjanya mengambil hari libur bergantian dan. Begitu juga bos pemilik bengkel yang memilih hari Rabu sebagai hari istirahatnya. Pria itu memilih untuk duduk di halaman depan rumahnya dengan pemandangan Lila yang sedang menyiram berbagai tanaman buah yang tumbuh subur di halaman depan vila megah miliknya..Sama halnya dengan Banyu yang hanya menatap Lila dari kejauhan, Lila juga mengabaikan keberadaan Banyu. Wanita itu asyik mengamati bunga yang mekar, juga sesekali mengambil daun yang telah layu. Seolah tak terganggu dengan keberadaan Banyu, wanita itu terus saja beraktifitas.Sambil menyesap kopinya, Banyu terus menatap Lila. Ia bisa menatap Lila sesukanya karena suami Lila yang sangat hobi menghilang sedang bekerja. Banyu tahu apa yang dilakukannya sangat tidak boleh dilakukan. Tapi, matanya tidak bisa beralih menat
Lila memandangi ponselnya. Ponsel bekas yang dibelikan oleh suaminya beberapa tahun lalu. Lila yang memiliki uang untuk mengganti ponselnya, tidak berniat membeli lagi ponsel yang baru dengan fitur canggih. Bagi Lila, ponsel pemberian dari suaminya ini sangat berharga. Lagi pula ia juga menggunakan ponsel seperlunya saja. Jadi untuk apa menggantinya?Setelah merapikan beberapa bagian rumah, wanita itu duduk bersandar untuk mengistirahatkan punggungnya yang terasa nyeri. Tangannya dengan cantik menekan-nekan layar ponselnya.Tangannya berhenti setelah layar ponselnya menunjukkan situs jual beli online dengan pakaian bayi yang berjajar apik di layar ponsel miliknya. Lila yang baru saja tahu tentang situs jual beli online dari Saimah, kini memandangi baju bayi yang bermacam-macam rupa dengan variasi harga yang tentunya berbeda-beda. Ia tertarik dengan set baju bay
Senyuman terkembang dari wajah Diani. Sudah lama ia tak masuk ke dalam toko bayi dengan wangi khasnya yang membuat Diani candu. Terakhir sepertinya saat beberapa tahun lalu saat keponakan-keponakannya melahirkan anak mereka.Diani melihat pakaian anak-anak laki-laki yang tergantung dengan tema pelaut biru. Wajah Diani masih tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ingatannya tentang mantan menantunya berkelebat di benaknya. Wajah menantunya yang cantik dengan perut membuncit membuat Diani mengamati Lila dengan seksama.Perempuan itu sedang melihat baju yang tergantung dengan wajah berbinar. Melihat wajah Lila yang sangat senang membuat Diani juga berpikir, apakah jika dulu ia mau menerima mantan menantunya, wanita itu mungkin tidak lari begitu saja. Mungkin ada yang membuat mantan menantunya bertahan. Pikiran seperti itu selalu berkelebat dalam benak Diani, tanpa D
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih
Lila berjalan bersama dengan suaminya. Dalam hidupnya, ia tak pernah sangat berambisi seperti ini. Mukanya sudah ia buat arogan semenjak turun dari mobil paling mewah yang mereka miliki.“Selamat datang, Bapak dan Ibu. Kepala Sekolah sudah menunggu di ruangannya,” sambut salah satu orang dari sekolah tersebut.Tak ada yang menjawab, mereka hanya mengikuti saja langkah guru tersebut.Sesampainya di ruangan kepala sekolah di sana. Lila disambut hangat oleh kepala sekolah, tapi keduanya bergeming. Tentu saja Ibu Lais memandang remeh Banyu dan Lila melihat sikap mereka yang dingin.“Pantas saja anaknya gak tau sopan santun, ternyata didikannya,” ucap Ibu Lais yang membuat Lila menahan amarahnya dengan tetap duduk tenang, tapi ia mengepalkan tangannya erat-erat.“Saya sebagai–”Banyu segera memutar video yang ada di dalam tabletnya untuk memotong ucapan kepala sekolah itu. Ia menunjukkan pada Ibu Lais dan kepala sekolah. Video itu memperlihatkan bagaimana Lais bersikap. Bukan hanya saat me
Raga menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk berwarna abu-abu. Remaja lelaki itu memandang langit-langit kamarnya sambil menghela nafas panjang.“Apa aku ikut Papa Dimas ya? Tapi di sana ada Mama Feby.”Raga mengalihkan perhatiannya pada sebingkai foto dimana ada fotonya dan ayah kandungnya yang sangat jarang ia temui. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu memperlihatkan kedekatan batin antara keduanya.Meski banyak cerita yang mulai Raga tahu tentang ayah dan ibunya di masa dulu yang kurang menyenangkan, nyatanya keduanya sudah berdamai dengan keadaan. Raga pun memahami kondisi keduanya.Banyu juga ayah yang baik. Dia penyemangat nomor satu bahkan sebelum ibunya. Raga tidak pernah menyesal berada di keluarga ini. Tapi lingkungannya selalu berusaha membuat Raga membenci dirinya.“Aku liburan di sana kali ya. Daripada aku cuma diem-diem aja selama di skors ini. Kayaknya udah lama juga gak pernah ketemu Papa Dimas,” gumam Raga yang kemudian mengambil ponsel di sakunya. Ia hendak men
Enam Tahun KemudianRaga Dewandra Adnan, itu lah nama seorang remaja yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.Anak lelaki itu menunggu jemputan seperti biasanya di taman sekolah sambil memainkan ponselnya sekedar untuk melihat-lihat komik yang episodenya baru saja terbit.Saat tangannya tengah lincah menggulir dan matanya menatap fokus ke arah ponsel keluaran terbaru dari salah satu merek ternama di seluruh dunia, tiba-tiba saja seseorang melemparkan kaleng soda yang sudah kosong dan tepat mengenai dahi Raga.Raga tak bereaksi banyak selain membuang kaleng itu asal. Ia enggan menanggapi remaja laki-laki seumurannya yang terlihat seperti preman.“Anak pungut, Show off! Mamerin apa sih? Oh, hpnya baru. Najis! Norak!” ucap pria bernama Lais itu.Dua orang anak laki-laki yang lain mengekor dan memandang remeh juga pada Raga.Namun, Raga juga tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk kembali menatap ponselnya. Sekedar untuk mengunduh beberapa komik yang ingin ia baca.“Rag