Diani duduk di ruang makan dan melihat Banyu datang dengan Dimas. Wanita itu segera berdiri dan menyambut keduanya.
“Gimana urusan kantor? Selesai?” tanya Diani pada Banyu.
Banyu yang berhenti melangkah membuat Dimas yang semenjak tadi mengekor juga ikut berhenti. Dimas sedikit terkejut melihat Nyonya besarnya sudah berada di rumah itu. Ia merasa selalu tidak tahu menahu tentang kedatangan siapapun di rumah ini. Ia menjadi asing dengan posisinya.
“Iya, Bu. Untung ada Dimas. Dia tadi yang bantu untuk klaim asuransi dan urusan di rumah sakit,” ucap Banyu yang kemudian menepuk pundak pria yang setahun lebih tua darinya itu.
“Banyu ke kamar dulu ya, Bu. Mau mandi dulu,” ucap Banyu sambil menunjukkan beberapa noda darah.
Lila tak menyadari, keduanya sudah tahu apa yang ada dipikiran Lila. Tapi, Ibu dan anak yang kini sedang berdiri berdampingan itu tetap meyakini bahwa Lila akan secepatnya mereka bawa ke Jakarta.Setelah berpamitan beberapa kali, akhirnya Diani pergi dengan mobilnya. Meninggalkan pelataran vila mewah miliknya.Sementara itu Lila, Banyu dan Saimah kembali masuk ke dalam rumah. Saimah kembali membereskan dapur, sedangkan Banyu duduk untuk makan beberapa makanan yang terhidang di depannya. Rasanya ia masih lapar walaupun tadi sudah sarapan bersama dengan Ibunya.Lila yang sedang membereskan meja makan setelah sarapan tadi dengan cekatan mengangkat piring-piring yang telah selesai digunakan. Tanpa ia sadari, Banyu membantunya untuk mendekatkan beberapa piring dan gelas kotor pada Lila.
Lila nampak gelisah dengan sesekali melihat keluar jendela untuk memastikan suaminya sudah kembali. Sudah pukul delapan malam dan suaminya belum juga datang. Ini pertama kalinya Dimas telat setelah beberapa hari ini selalu pulang tepat waktu karena pulang bersama Banyu. Lila takut ada sesuatu yang terjadi sehingga pria itu belum juga sampai di rumah. “La?” sapa Banyu yang berdiri tepat di belakang Lila. Lila yang kaget langsung menghadap ke belakang dan tidak menyangka Banyu begitu dekat. Ia hampir terjungkal, namun Banyu dengan cepat menangkapnya. Wajah Banyu dan Lila begitu dekat, membuat Banyu bisa melihat wajah mulus tanpa cela milik Lila. Mereka bisa merasakan sapuan nafas satu sama lain, hingga akhirnya Banyu menahan nafasnya karena sadar apa yang mereka lakukan.
Lila terjaga dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Ternyata ia tidak berada di kamarnya. Ranjang tempatnya tidur lebih luas dan ruangan itu tentu lebih tertata rapi dari kamarnya yang dipenuhi beberapa barang menumpuk. Sebagian besar barang itu adalah milik Dimas. Lila mencoba duduk dengan menyandarkan bahunya pada headboard ranjang. Kepalanya menengadah menatap langit-langit kamar. Ia mengingat kembali bagaimana malam tadi membuat dirinya begitu putus asa. Ia kira rumah tangga yang ia bangun akan berakhir dengan indah. Walaupun ia tahu hidup tidak akan selamanya indah, tapi Lila yakin Dimas yang dulu ia kenal begitu meyakinkan memberikannya dunia yang ia impikan. Bukan kemewahan duniawi yang Lila kejar dalam pernikahannya, tapi kasih sayang seorang laki-laki seperti bagaimana Kakeknya menyayangi dirinya dan melindunginya. Melihat semua kelakuan Dimas tadi
Banyu baru saja datang dari bengkel saat melihat Lila sedang menatap bunga di hadapannya dengan tatapan kosong. Walaupun bunga-bunga yang mekar bersamaan itu menambah kesan indah di halaman vila, nyatanya hati si pemilik kebun yang menanam dan merawatnya sepertinya tak terlalu suka dengan keadaan tanamannya.Usaha yang dilakukan Lila terasa seperti sia-sia saat melihat dengan hampa tanaman yang basah dengan rintikan hujan kecil sore itu. Tanaman Hortensia yang tumbuh subur dengan warna biru dan ungu. Tanaman bunga sepatu juga bunga kertas berwarna putih menyemarakkan tampilan rumah itu. Tangan-tangan ajaib Lila mampu membuat rumah ini tampak asri dan segar. Tapi sepertinya, Lila tak cukup mampu menghidupkan kebahagiaan dalam hatinya.Banyu duduk di sebelah Lila. Mereka dibatasi dengan meja kecil di antara mereka. Lila masih tenang dengan kedatangan Banyu.
Banyu baru saja datang dan seperti biasanya, ia memilih untuk berkeliling bengkel untuk melihat kegiatan para pekerja di pagi hari.Saat akan melangkah menuju gudang, Banyu menemukan Ahmad, pekerjanya dari Jakarta itu nampak sedang gusar. Kedua pegawai di depannya hanya bisa menunduk tanpa berani melihat ke arah Ahmad.Banyu mendekat dengan tenang, membuat tiga orang yang berdiri di depan gudang tak menyadari keberadaan Banyu."Lain kali, jangan sampai kalian ninggalin gudang gitu aja! Ngerti?! Kalau sampai Mas Banyu tahu, kita juga tamat! Lain kali jangan mau kalau disuruh keluar! Ngerti gak?!" ucap Ahmad dengan suara pelan tapi menekan.Kedua orang itu mengangguk, namun kemudian mereka membeku ketika melihat Banyu berdiri tepat di belakang Ahmad
Lila menatap nanar struk-struk belanjaan di tangannya. Struk yang ia dapatkan dari beberapa kantong Dimas dengan jumlah yang tak sedikit. Lila tak bisa menyembunyikan wajah kecewanya.Ia sudah membukanya satu persatu. Lila tak percaya suaminya membeli semua barang yang ada di struk itu. Kemana larinya semua barang yang Dimas beli? Kenapa ia tak pernah mendapatkannya? Bahkan ada nota pembelian pakaian dalam di sana.Lila terdiam untuk beberapa saat. Jika barang-barang itu tak sampai padanya, maka siapa yang mendapatkan barang-barang itu? Jika suaminya bisa menghabiskan uangnya untuk barang-barang itu, kenapa Lila tidak mendapatkan sepeserpun uang Dimas? Jika memang waktu itu alasan Dimas adalah Lila punya uangnya sendiri, bagaimana dengan bayi mereka? Kenapa harus orang lain yang sangat peduli dengan bayinya?Saat Li
Lila mencium bau desinfektan yang menyengat. Bau yang sangat ia hafal akhir-akhir ini. Memasuki minggu-minggu akhir, Lila menyadari bahwa dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit. Tentu saja Lila sudah tidak kaget lagi saat ia bangun dan mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit dengan infus yang sudah menusuk punggung tangannya yang putih bersih.Lila melihat ke arah perutnya yang terus bergerak seolah gelisah. Tangan Lila terulur dan mengusap pelan perutnya. Ia seolah tahu bahwa bayinya sedang tak nyaman dalam perutnya. Hanya itu yang mau Lila lakukan. Ia enggan bersuara untuk bayinya di dalam sana.“La?”Banyu mendekat dengan senyuman yang terlihat lega. Pria itu memencet tombol untuk memanggil dokter. Kemudian mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada Lila. Tangannya mengusap pel
Sudah seminggu berlalu sejak kekacauan yang ditimbulkan oleh Dimas. Luka lebam yang sempat sangat kentara itu kini sudah tak lagi nampak, kecuali garis di pelipis Banyu yang masih terlihat jelas.Pria itu tak terusik meskipun keadaan di luar bengkel sangat ramai hingga suara bising itu menembus masuk ke ruangannya. Banyu masih saja menandatangani setumpuk dokumen yang ada di mejanya dengan tenang. Ia sangat bersemangat untuk menyelesaikan semua dokumen itu agar cepat selesai.Untuk pertama kalinya, Banyu sangat bersemangat untuk kembali ke rumah Ibu dan Papanya. Padahal pada saat ia datang pertama kali, Banyu sudah mengatakan pada Ibu dan Papanya bahwa ia akan menetap di kota itu selama sebulan bahkan lebih. Tapi, kepindahan Lila membuat semua rencananya juga berubah. Ia bahkan sudah memikirkan untuk meminta tolong Attar menyelesaikan semua masalah di bengkel c
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih
Lila berjalan bersama dengan suaminya. Dalam hidupnya, ia tak pernah sangat berambisi seperti ini. Mukanya sudah ia buat arogan semenjak turun dari mobil paling mewah yang mereka miliki.“Selamat datang, Bapak dan Ibu. Kepala Sekolah sudah menunggu di ruangannya,” sambut salah satu orang dari sekolah tersebut.Tak ada yang menjawab, mereka hanya mengikuti saja langkah guru tersebut.Sesampainya di ruangan kepala sekolah di sana. Lila disambut hangat oleh kepala sekolah, tapi keduanya bergeming. Tentu saja Ibu Lais memandang remeh Banyu dan Lila melihat sikap mereka yang dingin.“Pantas saja anaknya gak tau sopan santun, ternyata didikannya,” ucap Ibu Lais yang membuat Lila menahan amarahnya dengan tetap duduk tenang, tapi ia mengepalkan tangannya erat-erat.“Saya sebagai–”Banyu segera memutar video yang ada di dalam tabletnya untuk memotong ucapan kepala sekolah itu. Ia menunjukkan pada Ibu Lais dan kepala sekolah. Video itu memperlihatkan bagaimana Lais bersikap. Bukan hanya saat me
Raga menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk berwarna abu-abu. Remaja lelaki itu memandang langit-langit kamarnya sambil menghela nafas panjang.“Apa aku ikut Papa Dimas ya? Tapi di sana ada Mama Feby.”Raga mengalihkan perhatiannya pada sebingkai foto dimana ada fotonya dan ayah kandungnya yang sangat jarang ia temui. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu memperlihatkan kedekatan batin antara keduanya.Meski banyak cerita yang mulai Raga tahu tentang ayah dan ibunya di masa dulu yang kurang menyenangkan, nyatanya keduanya sudah berdamai dengan keadaan. Raga pun memahami kondisi keduanya.Banyu juga ayah yang baik. Dia penyemangat nomor satu bahkan sebelum ibunya. Raga tidak pernah menyesal berada di keluarga ini. Tapi lingkungannya selalu berusaha membuat Raga membenci dirinya.“Aku liburan di sana kali ya. Daripada aku cuma diem-diem aja selama di skors ini. Kayaknya udah lama juga gak pernah ketemu Papa Dimas,” gumam Raga yang kemudian mengambil ponsel di sakunya. Ia hendak men
Enam Tahun KemudianRaga Dewandra Adnan, itu lah nama seorang remaja yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.Anak lelaki itu menunggu jemputan seperti biasanya di taman sekolah sambil memainkan ponselnya sekedar untuk melihat-lihat komik yang episodenya baru saja terbit.Saat tangannya tengah lincah menggulir dan matanya menatap fokus ke arah ponsel keluaran terbaru dari salah satu merek ternama di seluruh dunia, tiba-tiba saja seseorang melemparkan kaleng soda yang sudah kosong dan tepat mengenai dahi Raga.Raga tak bereaksi banyak selain membuang kaleng itu asal. Ia enggan menanggapi remaja laki-laki seumurannya yang terlihat seperti preman.“Anak pungut, Show off! Mamerin apa sih? Oh, hpnya baru. Najis! Norak!” ucap pria bernama Lais itu.Dua orang anak laki-laki yang lain mengekor dan memandang remeh juga pada Raga.Namun, Raga juga tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk kembali menatap ponselnya. Sekedar untuk mengunduh beberapa komik yang ingin ia baca.“Rag