Sudah beberapa hari sejak pengakuan keluarga Adnan untuk menjadikan Lila sebagai putri mereka, tapi Lila masih belum terbiasa dengan perlakuan istimewa yang ia dapatkan. Perempuan itu lebih banyak menghabiskan waktunya berada di kamar sambil melihat taman belakang yang asri dari kamarnya.
Rasanya Lila seperti bermimpi. Dia terus bertanya-tanya, apakah boleh dia menikmati semuanya ini dengan cuma-cuma? Seluruh hidupnya dilalui dengan perjuangan dan kerja keras yang tidak mudah. Tapi, kini ia hanya menikmati semua kemewahan ini tanpa perlu bekerja keras. Kenapa hidup begitu timpang?
Lamunan Lila berhenti saat ada notifikasi dari sosial medianya. Sosial media yang baru saja ia gunakan karena waktunya tak harus dihabiskan untuk mencari sesuap nasi.
Diani yang mengajari Lila untuk mencari inspirasi tentang tanaman atau b
Siang itu di rumah sakit, Banyu berlari kencang menuju tempat sesuai arahan adik bungsunya. Penampilannya nampak berantakan dan peluh sebesar biji jagung menghiasi dahinya.Mendengar derap langkah yang mendekat membuat Kai segera berdiri dan menemukan Kakaknya yang begitu panik menghampirinya.“Mana Lila?”Kai menjawabnya dengan tatapan gelisah ke arah ruang operasi.“Lila kenapa Kai?!” ucap Banyu sambil menggerakkan pundak adiknya dengangusar.“Wali Nyonya Lila,” panggil seorang perawat berbaju dinas berwarna biru.“Saya,” ucap Banyu cepat yang kemudian mendekat ke arah perawat tersebut.
Banyu tetap dalam posisinya hingga ia puas menumpahkan kesedihan dalam dirinya. Saat ia merasa cukup, Banyu mendekatkan wajahnya ke telinga Lila.“La, bangun. Kita selesaikan urusan dengan Dimas. Setelah itu pergi dengan bebas. Kamu mau kebebasanmu kan? Kamu mau raih cita-citamu kan, La? Iya kan? Raih apapun yang kamu mau La, aku selalu ada dibelakangmu. Kami semua akan ada dibelakangmu. Tunjukkan, bahwa kamu bisa berdiri di atas kakimu sendiri. Kamu hebat Lila. Dia tidak ada apa-apanya dibandingkan kamu. Cepet sadar ya, La. Aku sayang banget sama kamu,” ucap Banyu yang menutup kalimatnya dengan kecupan singkat di kening Lila.Saat Banyu selesai dengan kegiatannya. Ia berbalik dan mendapati Ibu dan Papanya yang sudah berdiri di belakangnya dengan mata yang berkaca-kaca. Sepertinya mereka sudah melihat Banyu cukup lama dan Banyu tidak menyadari kehad
Bayi mungil itu tampak tenang di dekapan ibunya. Ia terlelap tenang meskipun sang Ibu terlihat tidak fokus. Mata Lila terlihat kosong dan tak fokus.Entah mengapa Lila yang terdiam tiba-tiba kehilangan kekuatan tangannya, beruntung Diani sedang ada di dekat Lila. Ia segera merebut bayi mungil yang akhirnya diberi nama Raga Devandra oleh keluarga Banyu.Telat sedikit saja, bisa dipastikan bayi tanpa dosa itu akan menggelinding ke bawah dan entah bagaimana nasibnya.Jantung Diani terasa akan jatuh saat itu juga karena terlalu terkejut dengan Lila yang tiba-tiba saja tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Perempuan itu bahkan tetap diam tak merespon apapun.“Bi– Bi Asih,” panggil Diani pada salah satu asisten rumah tangga yang paling senior di rumah itu
Samudera, Diani, Kai, dan Banyu sedang duduk bersama di ruang keluarga. kebiasaan yang mereka lakukan setelah makan malam. Terlihat Diani yang lelah, begitu juga dengan Samudera dan Banyu. Sedangkan Kai masih asyik dengan tabletnya untuk mengerjakan tugas.“Lila mau menemui psikolog?” tanya Diani yang kini sudah bersandar di bahu suaminya.“Mau, Bu. Dia juga minta maaf atas kekacauan tadi. Waktu aku tanya tentang kejadian tadi, dia juga bingung kenapa dia bisa nyebur ke kolam,” tanya banyu dengan wajah sendu.“Ini sudah di level sangat bahaya. tadi papa sudah hubungi temen papa untuk layanan perawatan psikolog full di rumah sampai Lila sembuh, ya walaupun dia bilang hal kayak gitu mungkin gak bisa sem
Sidang pembacaan talak yang seharusnya dilakukan setelah beberapa kali mediasi, entah bagaimana hanya dilakukan satu kali saja.Awalnya Dimas menolak keras keputusan Lila untuk menceraikannya. Ia juga mengancam Lila melalui pengacaranya yang di sewa oleh keluarga Adnan.Dimas meminta untuk bertemu dengan Lila, namun ditolak mentah-mentah oleh pengacara Lila. Pengacara yang memiliki lokasi tinggal di kota solo, membuat Dimas berasumsi bahwa Lila tidak jauh darinya. Ia memaksa pengacara Lila berulang kali, hingga pengacara itu begitu kesal dengan kelakuan Dimas.Pengacara yang ternama di kota itu menunjukkan rekam medis Lila tentang gangguan mental yang dialami Lila pasca melahirkan. Pria itu juga mengancam suami Lila untuk menjebloskan ke penjara, jika Dimas tidak kooperatif.
Lila melipat baju sambil memperhatikan film di layar televisi. Sesekali ia mendengar percakapan saja, tanpa memperhatikan teks terjemahan.Lila memang cukup pandai dalam berbahasa inggris saat masa sekolah menengah pertama dulu. Setelahnya Lila tidak pernah lagi belajar, jadi ia hanya tahu sedikit kosakata dalam bahasa inggris.Tiba-tiba saja Banyu datang bersama Raga yang kini sudah bisa mengangkat lehernya di usia empat bulan. Anak itu juga sangat ceria dan jarang menangis. Banyu yang mengasuh selama ini merasa bersyukur karena Raga benar-benar tidak merepotkan Lila atau orang-orang disekitarnya.“Mama lagi lipat baju adek, nih! Mama..” panggil Banyu yang mengikuti gaya bicara bayi untuk menyapa Lila.Lila hanya tersenyum kecil. Tangannya masih terus melipa
Lila kini tengah berpelukan dengan Diani lama. Pertama kalinya untuk Lila jauh dengan orang-orang yang ia anggap keluarganya sendiri. Apalagi kepergiannya kini untuk pergi ke tempat asing yang sangat berbeda dengan lingkungan tempat tinggalnya.Walaupun ia sudah biasa dengan perpisahan, tapi orang-orang ini adalah orang-orang yang masih bisa ia dengar suaranya dan lihat raganya. Bagi Lila, berpisah secara jiwa raga tanpa melihatnya memang sulit. Tapi, berjauhan dengan orang-orang yang selama ini menjadi tempat ia menggantungkan hidup akan jauh lebih sulit.Mereka ada, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan untuknya. Lila hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Tapi ini kesempatan untuk Lila Wanita itu sangat bertekad untuk bisa mandiri dan berdiri diatas kakinya sendiri.Walaupun ada Kai, tapi Lila tidak begitu de
Lila tiba di apartemen milik keluarga Adnan. Apartemen itu terlihat modern dengan banyak foto terpampang di beberapa sudut ruangan. Baru saja Lila memasuki ruangan besar dengan sofa yang langsung menghadap ke arah gedung pencakar langit di kota New York yang cukup padat itu.Mata Lila terlihat berbinar melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.Suasana sore hari di New York begitu mengagumkan dengan lampu kerlap-kerlip dari gedung-gedung di depannya. Juga lampu mobil dari jalanan yang padat terlihat seperti lautan cahaya bintang yang begitu indah di mata Lila.“Mbak, kamarnya Mbak di sini ya,” ucap Kai yang kini sudah berdiri di salah satu pintu.Lila segera berjalan mendekat. Ia tak sabar ingin tahu kamar yang akan dia tempati.Saat dibuka oleh
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih
Lila berjalan bersama dengan suaminya. Dalam hidupnya, ia tak pernah sangat berambisi seperti ini. Mukanya sudah ia buat arogan semenjak turun dari mobil paling mewah yang mereka miliki.“Selamat datang, Bapak dan Ibu. Kepala Sekolah sudah menunggu di ruangannya,” sambut salah satu orang dari sekolah tersebut.Tak ada yang menjawab, mereka hanya mengikuti saja langkah guru tersebut.Sesampainya di ruangan kepala sekolah di sana. Lila disambut hangat oleh kepala sekolah, tapi keduanya bergeming. Tentu saja Ibu Lais memandang remeh Banyu dan Lila melihat sikap mereka yang dingin.“Pantas saja anaknya gak tau sopan santun, ternyata didikannya,” ucap Ibu Lais yang membuat Lila menahan amarahnya dengan tetap duduk tenang, tapi ia mengepalkan tangannya erat-erat.“Saya sebagai–”Banyu segera memutar video yang ada di dalam tabletnya untuk memotong ucapan kepala sekolah itu. Ia menunjukkan pada Ibu Lais dan kepala sekolah. Video itu memperlihatkan bagaimana Lais bersikap. Bukan hanya saat me
Raga menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk berwarna abu-abu. Remaja lelaki itu memandang langit-langit kamarnya sambil menghela nafas panjang.“Apa aku ikut Papa Dimas ya? Tapi di sana ada Mama Feby.”Raga mengalihkan perhatiannya pada sebingkai foto dimana ada fotonya dan ayah kandungnya yang sangat jarang ia temui. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu memperlihatkan kedekatan batin antara keduanya.Meski banyak cerita yang mulai Raga tahu tentang ayah dan ibunya di masa dulu yang kurang menyenangkan, nyatanya keduanya sudah berdamai dengan keadaan. Raga pun memahami kondisi keduanya.Banyu juga ayah yang baik. Dia penyemangat nomor satu bahkan sebelum ibunya. Raga tidak pernah menyesal berada di keluarga ini. Tapi lingkungannya selalu berusaha membuat Raga membenci dirinya.“Aku liburan di sana kali ya. Daripada aku cuma diem-diem aja selama di skors ini. Kayaknya udah lama juga gak pernah ketemu Papa Dimas,” gumam Raga yang kemudian mengambil ponsel di sakunya. Ia hendak men
Enam Tahun KemudianRaga Dewandra Adnan, itu lah nama seorang remaja yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.Anak lelaki itu menunggu jemputan seperti biasanya di taman sekolah sambil memainkan ponselnya sekedar untuk melihat-lihat komik yang episodenya baru saja terbit.Saat tangannya tengah lincah menggulir dan matanya menatap fokus ke arah ponsel keluaran terbaru dari salah satu merek ternama di seluruh dunia, tiba-tiba saja seseorang melemparkan kaleng soda yang sudah kosong dan tepat mengenai dahi Raga.Raga tak bereaksi banyak selain membuang kaleng itu asal. Ia enggan menanggapi remaja laki-laki seumurannya yang terlihat seperti preman.“Anak pungut, Show off! Mamerin apa sih? Oh, hpnya baru. Najis! Norak!” ucap pria bernama Lais itu.Dua orang anak laki-laki yang lain mengekor dan memandang remeh juga pada Raga.Namun, Raga juga tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk kembali menatap ponselnya. Sekedar untuk mengunduh beberapa komik yang ingin ia baca.“Rag