"Woi, Morgan si tukang ojek ngapain kuliah. Udah sana lanjut ngojek!!"
Sebuah suara dari belakang menyentak Morgan yang masih duduk di kursi motornya. Sebuah mobil mewah berjalan melewatinya.“Udahlah, kamu itu percuma kuliah Morgan. Ujung-ujungnya ya ngojek lagi pekerjaanmu, hahaha!”Pengemudi yang duduk di belakang membuka jendela mobil ikut menertawai kondisi Morgan. Hingga bersahut-sahutan melontarkan kalimat yang tak pantas untuk didengar.Itu adalah Derren, anak dekan yang sangat sombong dan selalu merasa sebagai penguasa di kampus itu.Tak ingin membuang tenaganya untuk menanggapi mereka, Morgan memilih diam dan tetap fokus mengemudi. Andai ada jalan lain, mungkin saat ini ia akan memilih jalan itu untuk menghindari mereka yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk menghinanya.“Hahaha! Sampai ketemu di kampus, Pecundang!”Sesampainya di kampus, Morgan menghentikan kendaraannya, di antara deretan sepeda motor lainnya di parkiran kampus.Usai mematikan mesin motornya, pria berusia 21 tahun itu melepas helm lalu menggantungkannya ke spion. Dia merasa lega bisa merasakan hembusan angin segar langsung ke wajahnya setelah melepaskan pelindung kepala yang terasa agak sesak.“Huh, sampai kapan aku harus menjalani hidup seperti ini!”Usai mengganti jaket kerjanya, dia mengenakan jaket hitam yang lebih stylish dan modern. Namun, tak berselang lama, muncul orang-orang yang memandangnya remeh seraya mendecih.“Lagi nunggu penumpang ya bang?” ujar seorang pria sambil meraih jaket Morgan yang diletakkan diatas jok.Kali ini, Derren membawa beberapa anggota gengnya untuk merundung Morgan.“Eh, balikin!” Morgan yang tersentak, segera merebut jaket tersebut. Namun beberapa pria menghentikan aksinya.“Santai aja bro! Jaket ini nggak semahal jaket kita,” sahut yang lain sambil menahan badan Morgan.Morgan mendesus kesal. Dia merasa mereka tidak mengerti betapa menyakitkannya ejekan dan cemoohan mereka.Dengan langkah mantap, dia mendekati mereka dan dengan penuh keberanian, dia berkata, "Heh, jangan macem-macem. Balikin jaketku,” ucap Morgan."Wosss santai bro! Santai,""Tenang aja, kita nggak akan jual jaket tukang ojek kok. Iya nggak?""Dijual juga enggak akan laku bro! Hahaha!"Tawa jahat mereka pecah seketika.Pria yang memegang jaket Morgan memiringkan senyumannya. Kedua matanya menatap Morgan dari ujung rambut sampai ujung sepatu."Kok bisa ya, tukang ojek kuliah disini? Padahal disini kan kampusnya orang elit," ucapnya dengan nada menyepelekan."Halah, paling cuma keberuntungan," sahut yang lain.Morgan cukup sabar menghadapi mereka semua. Ia sudah terbiasa mendapat hinaan dari teman-temannya."Balikin jaketku!" ucap Morgan sambil mengulurkan tangannya."Ambil kalau bisa!" sahut pria yang memegang jaket tersebut sambil melemparnya ke pria lainnya.Morgan berusaha sekuat tenaga untuk mengambil jaketnya dari orang-orang yang merundungnya. Namun, setiap kali jaketnya hendak ia gapai, benda itu selalu berpindah tangan ke tangan satunya. Dan begitu seterusnya.Morgan hanya bisa mendesah kesal mendapatkan perlakuan buruk seperti ini."Kasih bro! Nggak tega aku lihat muka melasnya,"Pria terakhir yang memegang jaket Morgan, segera melempar jaket tersebut ke arah pemiliknya.“Itulah resikonya jadi mahasiswa miskin, Morgan. Hahaha! Makanya enyah aja dari kampus ini!”Tak lama kemudian gerombolan pria itu meninggalkan parkiran. Itupun disertai tawa ejekan serta tatapan sinis.Morgan meratapi bayangan punggung yang semakin jauh dari pandangannya. Dia tidak membiarkan ejekan atau hinaan meruntuhkan kepercayaan dirinya. Dia menyadari bahwa sebagai individu yang kuat dan mandiri, tidak semua orang akan selalu mendukung pilihan hidupnya.Begitu tiba di lab komputer, Morgan datang paling akhir. Hingga menjadi pusat perhatian. Bukan karena paras tampannya, melainkan profesinya sebagai ojek online. Tak bisa dipungkiri, hampir semua mahasiswa maupun dosen sudah mengetahui hal itu. Pada akhirnya, yang terlihat bukan dari keluarga berada, akan menjadi bahan gunjingan. Begitulah kejamnya dunia pertemanan Morgan.Di kelas, ia memilih duduk di kursi paling pojok menghadap PC dan fokus pada teori yang akan dipraktekkan.Tak lama kemudian dosen memasuki ruangan, suasana hening seketika.Sambil mendengarkan penjelasan dosen, Morgan berusaha menahan kantuknya. Tadi malam ia rela tak cukup tidur, mencari cuan demi membayar uang kos bulan ini.Matanya semakin berat dan kepala mulai terasa pusing. Meskipun dosen sedang menjelaskan teori dengan penuh semangat, suaranya seakan jauh dan kabur."Jadi, remote server ini bisa diimplementasikan di perusahaan, sekolah, bahkan antar negara," ucap dosen mulai berkeliling.Namun, matanya tertuju pada seorang mahasiswa yang terlihat tengah tidur."Itu siapa yang tidur?" Biarpun usia dosen itu telah memasuki setengah abad, tapi matanya masih jeli melihat salah satu mahasiswa tidur saat dirinya menjelaskan materi."Morgan, pak!"Dosen itu menggelengkan kepala. Langkahnya sudah pasti menuju meja paling pojok."Kamu pikir ini kos milikmu?! Ayo bangun!" ujar pria paruh baya itu sambil menepuk pundak Morgan.Morgan tersentak dari tidurnya dengan kaget saat merasakan sentuhan di pundaknya. Tatapan matanya masih kabur, dan dia tidak langsung menyadari bahwa dosen yang sedang menjelaskan teori di kelasnya berdiri di sampingnya.“Bentar lagi sampai titik tujuan, pak,” sahut Morgan mengigau dengan spontan, masih terkecoh oleh mimpi yang masih menguasai pikirannya.Tawa pun memecah suasana. Bagaimana tidak, alih-alih segera bangun, Morgan justru memberikan jawaban mencengangkan."Woi ini kampus bukan jalanan," teriak salah satu mahasiswa."Diam semua!" tegas Dosen.Suasana kembali hening.Kali ini dosen membangunkan Morgan dengan cara berbeda."Heh bangun!!" ucapnya dengan nada membentak.Hingga akhirnya kedua mata Morgan terbuka seketika. Bukan hanya matanya, tapi pikirannya berangsur beradaptasi dengan suasana saat ini. Perlahan Morgan menegakkan badannya."Maaf pak," ucapnya begitu menyadari aksinya dipergoki Dosen."Maaf, maaf. Kamu pikir ini hotel? Sehingga kamu bisa tidur seenaknya," maki dosen."Pak, saya benar-benar minta maaf. Saya---""Ah sudah! Sekarang coba praktikkan materi yang saya jelaskan tadi. Bagaimana caranya dua komputer bisa saling tersambung internet pakai metode Remote Server.""Baik pak, akan saya praktekkan," sahut Morgan sambil mengambil kabel UTP.Morgan dengan lihainya memasang kabel UTP ke CPU dibawahnya kemudian ke CPU milik teman sebelahnya. Setelah itu Morgan, mulai mengetikkan kode dan juga mengatur IP di komputer yang menjadi server. Lalu Morgan juga memasukkan IP yang sama di komputer client. Tak sampai 5 menit, kedua komputer saling terkoneksi."Sudah konek pak," ujar Morgan menunjukkan hasil prakteknya.Dosen tersebut dibuat kagum oleh aksi Morgan. Sampai pria paruh baya itu menggelengkan kepala."Saya padahal belum menjelaskan protokol dalam remot server bahkan troublenya juga. Tapi kamu bisa praktek tanpa ada kendala," ucapnya mulai simpati pada Morgan."Sebenarnya tadi saya tidur juga karena saya sudah paham materi ini, Pak," sahut Morgan.Dosen tersebut melirik Morgan dengan sinis. Ia awalnya tak menyangka mahasiswa yang ia tegur justru yang paling memahami materinya.Namun, mendengar jawaban Morgan yang terkesan meremehkan, ia naik darah."Heh, sombong sekali kamu! Jaga attitudemu. Percuma jenius kalau attitude buruk," ucapnya dengan nada memaki."Iya pak maaf," sahut Morgan. Ia sama sekali tak tau kalau hal itu justru membuat dosennya marah.Setelah kelas berakhir, Morgan pun pergi ke parkiran untuk lanjut bekerja sebagai ojek. Seperti biasa, tatapan sinis dan ejekan terlontar dari masing-masing orang yang melihat Morgan berjalan.Begitu tiba di parkiran, Morgan segera naik ke motornya dan berjalan menjauh dari parkiran."Orang-orang disini aneh semua. Mentang-mentang cuma tukang ojek, dibully. Giliran yang kaya dipuji-puji. Lagian apa salahnya sih sama profesi tukang ojek. Pekerjaan halal kok."Tetapi, sekeluarnya dari gerbang kampus, tiba-tiba motornya mogok dan tidak bisa dinyalakan.“Sialan! Enggak abis-abis masalahku sepertinya!” ucapnya kesal.Akhirnya, ia turun dari motornya dan memilih untuk mendorongnya.Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba dia merasa seseorang menyentuh pundaknya. Morgan tersentak dan cepat-cepat berbalik untuk melihat siapa yang menyentuhnya."Siapa kalian?""Tuan muda, ini kami. Jangan khawatir kami akan selalu mengawal anda," jelas salah satu pria yang saat ini berdiri dihadapan Morgan.Morgan mengernyitkan dahi melihat pakaian yang mereka kenakan.Kedua orang itu dibungkus jaket hitam, celana hitam, dan topi hitam, tampil dengan gaya yang begitu stylish. Meskipun wajah mereka sebagian tertutup oleh topi, Morgan merasa tidak asing melihat mereka. Dua pria pria itu tampak terkejut dengan reaksi Morgan. Mereka saling menatap. "Emang kalian siapa? Orang nggak kenal," maki Morgan."Tapi kami mengenal anda. Kami yakin dari motor anda. Bukankah motor ini diberikan oleh tuan Arthur Collim kepada anda, cucu kesayangannya," Morgan mengamati motor miliknya dengan seksama. Hal yang sama juga dilakukan dua pria itu. "Enak aja! Ini motor belinya pakai uangku sendiri," elak Morgan. "Tapi kami yakin anda adalah cucu Tuan Arthur Collim, terlihat jelas dari tanda lahir di telapak tanga anda,"tegas pria itu.'Sialan! Jadi selama ini mereka ngikutin aku,' batin Morgan sambil menggengam telapak tangannya untuk menutupi tanda lahirnya."Kami diberi tugas untuk mencari anda dan memba
Ting~ Sebuah pesan masuk dari rekannya yang bernama Dion dari jurusan Elektro. [Lagi di taman nih. Join sini, aku tungguin] Begitu membaca pesan itu dari panel notifikasinya, Morgan pun segera membalasnya. [Otw] Usai mengirim pesan tersebut Morgan segera memakai helmnya. Rekannya satu ini menjadi harapan terakhir Morgan dalam mencari pinjaman uang.Rekannya itu merupakan ahli kelistrikan yang sering menangani projek desain listrik rumah maupun perusahaan. Karena itulah Morgan tak ragu meminjam uang padanya. Dari segi keakraban dan juga finansial, temannya itu membawa harapan besar bagi Morgan. Melihat Dion, Morgan segera mendekat ke arahnya. Namun, ia menyadari kalau disana ada gengnya Derren. Si anak Dekan yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengejeknya. Alih-alih meninggalkan tempat itu karena malas menghadapi geng tersebut, Derren justru memanggilnya. "Eh bro! Mau kemana, buru-buru amat," ucap Derren. Hingga akhirnya Morgan pun berbalik badan menghadap mereka. Kin
Satpam dan dua bodyguard itu diam seketika melihat sang majikan menghampiri mereka. Pria paruh baya yang mengenakan jas hitam yang harganya setara dengan gajinya selama setahun. “Morgan, masuk!!” pinta Arthur. Mendengar majikannya mengizinkan gembel itu masuk, baik satpam maupun bodyguard bergidik ketakutan. Kesalahan yang mereka lakukan kali ini pasti tidak akan ditoleransi oleh Arthur Collim.“T-tuan s-s-saya minta maaf-“ ucap satpam dengan nada terbata. Begitu Morgan berdiri dihadapannya, satpam tersebut tak punya cukup keberanian untuk menatap wajah cucu majikannya.“Maaf-maaf, enak banget ngomongnya,” sahut Morgan.Kekesalannya tak bisa dibendung lagi. Ia masih tidak menyangka dianggap gembel di rumahnya sendiri.“S-saya sungguh menyesal tuan. Saya siap menerima hukuman,” Terlihat jelas ketakutan satpam tersebut dari suaranya serta raut wajahnya.“Hajar,” pinta Arthur Collim sambil memberikan isyarat kepada dua bodyguardnya.“Baik tuan,” Dua pria bertubuh kekar itu Bersiap meng
"Ini uangnya pak” Morgan menaruh bungkusan uang di atas meja Robert Jensen. "Semua kerugian laboratorium telah saya bayar lunas," sambung Morgan. Prof. Robert Jensen masih menatapnya dengan datar. Antara kaget dan tak percaya. Begitulah yang dirasakan pria yang usianya mendekati setengah abad itu. "Morgan! Dari mana kau dapat uang ini? Hasil ngrampok ya? Uang palsu kan?!" sahutnya. Morgan merasa geli ketika mendengar komentar Profesor Robert. Tawanya pun tak bisa dibendung begitu saja. Meskipun situasinya serius, ekspresi wajah dosennya yang datar membuatnya tak bisa menahan reaksi spontan. "Pak saya memang miskin, tapi tidak dengan moral dan hati saya," ucap Morgan dengan yakin. "Lalu darimana kau dapat uang sebanyak ini?" tanya Prof. Robert. Dari nadanya terlihat jelas bahwa pria itu menyepelekan Morgan. "Dari tabungan," elak Morgan. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa kakeknya yang memberikan uang tersebut. Pasti Robert tak melewatkan kesempatan untuk menertawakan hal itu.
"Mas, silahkan!" Morgan terkejut begitu antrian dibelakangnya justru dilayani dulu. "Kang ojek minggir dulu," ujar Derren. Teman-teman Derren pun menggusurnya sampai barisan paling belakang. Morgan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan mereka semua. Begitu hinanya pakaian yang ia gunakan hari ini sampai kehilangan hak disini. "Keren bro, btw thanks bro!" Beberapa menit kemudian Derren dan kawan-kawannya menjauh dari kasir. Wajah-wajah riang mereka tak bisa disembunyikan begitu membawa tas berisi kotak jam dari brand terkenal. Begitu juga dengan Derren yang hari ini puas sekali nampaknya menunjukkan kekayaannya. "Woi, buruan bayar. Ngapain disitu? Nggak mampu ya?" Tak cukup puas menghina Morgan, Derren pun tak melewatkan kesempatan untuk menghina Morgan. "Beliin lah, kasihan," sahut yang lain tentunya dengan nada ejekan. "Iya bro, kang ojek mana sanggup," "Ah elah sok melas. Uang hasil judinya kemana? Abis ya buat bayar kerugian lab?""Iya tuh. Mending ngrampo
"Ya gimana nggak viral. Jarang loh sekarang ini mahasiswa yang kuliah sambil kerja," Percakapan awalnya yang hanya sekedar bertukar identitas, kini masih berlanjut. Bedanya hanya mereka berdua saja yang duduk di depan ruko sembari menunggu hujan reda. Sedangkan dua bodyguard tadi, menghilang entah masih memantau dari kejauhan atau pergi begitu saja. "Biasa aja," sahut Morgan. "Menurut kamu biasa aja. Tapi nggak semua orang menilai apa yang kamu lakukan itu biasa," timpal Regina. Sesama penikmat hujan itu rupanya larut dalam suasana yang tenang sore itu. "Lagian, kamu tu udah lama jadi perbincangan dosen, mahasiswa sampai satpam kampus juga," Regina tak hentinya tersenyum menceritakan perspektif orang-orang terhadap sosok Morgan. "Karena tukang ojek?" "Ih enggaklah. Lebih tepatnya karena kamu tu hebat banget, berani eksperimen di lab yang jelas-jelas risikonya fatal," jelas Regina. Morgan mengerutkan dahinya. "Buset beritanya cepet banget kesebar. Padahal---""Ya karena kamu se
"Morgan jemput aku ya," Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Kebetulan pagi itu ponselnya tersambung jaringan wifi kos. "Ni cewek apaan sih, main minta jemput aja," desusnya. Enggan membaca pesan tersebut, tibq-tiba wanita yang sama mengirimkan pesan berupa lokasi suatu tempat. Hasrat kemasalan Morgan semakin menjadi-jadi begitu mengingat nama belakang wanita itu. "Ah malas kali ketemu bapaknya," ujarnya sambil menyalakan mesin motor. Usai tiba di kampus, Morgan melepaskan helmnya. Getaran dari ponselnya, membuatnya acuh karena sudah tau siapa yang menelfon. "Nggak bapaknya, nggak anaknya, ngeselin!!" makinya. Endingnya Morgan pun membuka ponselnya untuk melihat jadwal dan kelas mana yang akan ditempati matkul hari ini. Tak hanya itu Morgan yang merasa iba akhirnya membalas pesan dari wanita itu. [Sorry ya, baru buka hp pas di kampus]pesan terkirim."Jangan sampek ni cewek ngadu ke bapaknya terus bapaknya ngadu ke rektor," ujar Morgan sambil memasukkan ponselnya ke dalam
Aroma khas mie sedaap membangkitkan selera pria yang menghabiskan malamnya didepan laptop. Sesekali pria itu membagi pikirannya untuk mengingat algoritma serta menikmati kuah mie sedaap yang sangat cocok dengan hawa sejuk gerimis yang melanda kota Jakarta. Ya, biarpun memiliki rekening yang jumlahnya tak patut disebut sedikit, rupanya tak mengubah kebiasaan sederhananya. Selama ini secara tak sadar Morgan telah menikmati hidupnya menjadi anak kost. Hingga akhirnya ia terbiasa dengan hal sederhana yang menciptakan kebahagiaan tersendiri. "Lewat jam 12 tugas harus dikumpulkan. Kalau tidak jangan harap lulus matkul saya,"Bila mengingat ocehan dosen satu ini, muncullah beberapa ide untuk membuat professsor berinisial J itu naik darah. Bukankah sangat menyenangkan berdebat dengan pak Jensen? Baru saja Morgan menekan tombol Send pada sebuah situs google form. Dimana jam laptopnya menunjukkan pukul 23.58. "Ini! baru namanya tepat waktu," ucapnya sambil memetikkan jarinya. Beribu alasa
"Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke