"Woi, Morgan si tukang ojek ngapain kuliah. Udah sana lanjut ngojek!!"
Sebuah suara dari belakang menyentak Morgan yang masih duduk di kursi motornya. Sebuah mobil mewah berjalan melewatinya.“Udahlah, kamu itu percuma kuliah Morgan. Ujung-ujungnya ya ngojek lagi pekerjaanmu, hahaha!”Pengemudi yang duduk di belakang membuka jendela mobil ikut menertawai kondisi Morgan. Hingga bersahut-sahutan melontarkan kalimat yang tak pantas untuk didengar.Itu adalah Derren, anak dekan yang sangat sombong dan selalu merasa sebagai penguasa di kampus itu.Tak ingin membuang tenaganya untuk menanggapi mereka, Morgan memilih diam dan tetap fokus mengemudi. Andai ada jalan lain, mungkin saat ini ia akan memilih jalan itu untuk menghindari mereka yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk menghinanya.“Hahaha! Sampai ketemu di kampus, Pecundang!”Sesampainya di kampus, Morgan menghentikan kendaraannya, di antara deretan sepeda motor lainnya di parkiran kampus.Usai mematikan mesin motornya, pria berusia 21 tahun itu melepas helm lalu menggantungkannya ke spion. Dia merasa lega bisa merasakan hembusan angin segar langsung ke wajahnya setelah melepaskan pelindung kepala yang terasa agak sesak.“Huh, sampai kapan aku harus menjalani hidup seperti ini!”Usai mengganti jaket kerjanya, dia mengenakan jaket hitam yang lebih stylish dan modern. Namun, tak berselang lama, muncul orang-orang yang memandangnya remeh seraya mendecih.“Lagi nunggu penumpang ya bang?” ujar seorang pria sambil meraih jaket Morgan yang diletakkan diatas jok.Kali ini, Derren membawa beberapa anggota gengnya untuk merundung Morgan.“Eh, balikin!” Morgan yang tersentak, segera merebut jaket tersebut. Namun beberapa pria menghentikan aksinya.“Santai aja bro! Jaket ini nggak semahal jaket kita,” sahut yang lain sambil menahan badan Morgan.Morgan mendesus kesal. Dia merasa mereka tidak mengerti betapa menyakitkannya ejekan dan cemoohan mereka.Dengan langkah mantap, dia mendekati mereka dan dengan penuh keberanian, dia berkata, "Heh, jangan macem-macem. Balikin jaketku,” ucap Morgan."Wosss santai bro! Santai,""Tenang aja, kita nggak akan jual jaket tukang ojek kok. Iya nggak?""Dijual juga enggak akan laku bro! Hahaha!"Tawa jahat mereka pecah seketika.Pria yang memegang jaket Morgan memiringkan senyumannya. Kedua matanya menatap Morgan dari ujung rambut sampai ujung sepatu."Kok bisa ya, tukang ojek kuliah disini? Padahal disini kan kampusnya orang elit," ucapnya dengan nada menyepelekan."Halah, paling cuma keberuntungan," sahut yang lain.Morgan cukup sabar menghadapi mereka semua. Ia sudah terbiasa mendapat hinaan dari teman-temannya."Balikin jaketku!" ucap Morgan sambil mengulurkan tangannya."Ambil kalau bisa!" sahut pria yang memegang jaket tersebut sambil melemparnya ke pria lainnya.Morgan berusaha sekuat tenaga untuk mengambil jaketnya dari orang-orang yang merundungnya. Namun, setiap kali jaketnya hendak ia gapai, benda itu selalu berpindah tangan ke tangan satunya. Dan begitu seterusnya.Morgan hanya bisa mendesah kesal mendapatkan perlakuan buruk seperti ini."Kasih bro! Nggak tega aku lihat muka melasnya,"Pria terakhir yang memegang jaket Morgan, segera melempar jaket tersebut ke arah pemiliknya.“Itulah resikonya jadi mahasiswa miskin, Morgan. Hahaha! Makanya enyah aja dari kampus ini!”Tak lama kemudian gerombolan pria itu meninggalkan parkiran. Itupun disertai tawa ejekan serta tatapan sinis.Morgan meratapi bayangan punggung yang semakin jauh dari pandangannya. Dia tidak membiarkan ejekan atau hinaan meruntuhkan kepercayaan dirinya. Dia menyadari bahwa sebagai individu yang kuat dan mandiri, tidak semua orang akan selalu mendukung pilihan hidupnya.Begitu tiba di lab komputer, Morgan datang paling akhir. Hingga menjadi pusat perhatian. Bukan karena paras tampannya, melainkan profesinya sebagai ojek online. Tak bisa dipungkiri, hampir semua mahasiswa maupun dosen sudah mengetahui hal itu. Pada akhirnya, yang terlihat bukan dari keluarga berada, akan menjadi bahan gunjingan. Begitulah kejamnya dunia pertemanan Morgan.Di kelas, ia memilih duduk di kursi paling pojok menghadap PC dan fokus pada teori yang akan dipraktekkan.Tak lama kemudian dosen memasuki ruangan, suasana hening seketika.Sambil mendengarkan penjelasan dosen, Morgan berusaha menahan kantuknya. Tadi malam ia rela tak cukup tidur, mencari cuan demi membayar uang kos bulan ini.Matanya semakin berat dan kepala mulai terasa pusing. Meskipun dosen sedang menjelaskan teori dengan penuh semangat, suaranya seakan jauh dan kabur."Jadi, remote server ini bisa diimplementasikan di perusahaan, sekolah, bahkan antar negara," ucap dosen mulai berkeliling.Namun, matanya tertuju pada seorang mahasiswa yang terlihat tengah tidur."Itu siapa yang tidur?" Biarpun usia dosen itu telah memasuki setengah abad, tapi matanya masih jeli melihat salah satu mahasiswa tidur saat dirinya menjelaskan materi."Morgan, pak!"Dosen itu menggelengkan kepala. Langkahnya sudah pasti menuju meja paling pojok."Kamu pikir ini kos milikmu?! Ayo bangun!" ujar pria paruh baya itu sambil menepuk pundak Morgan.Morgan tersentak dari tidurnya dengan kaget saat merasakan sentuhan di pundaknya. Tatapan matanya masih kabur, dan dia tidak langsung menyadari bahwa dosen yang sedang menjelaskan teori di kelasnya berdiri di sampingnya.“Bentar lagi sampai titik tujuan, pak,” sahut Morgan mengigau dengan spontan, masih terkecoh oleh mimpi yang masih menguasai pikirannya.Tawa pun memecah suasana. Bagaimana tidak, alih-alih segera bangun, Morgan justru memberikan jawaban mencengangkan."Woi ini kampus bukan jalanan," teriak salah satu mahasiswa."Diam semua!" tegas Dosen.Suasana kembali hening.Kali ini dosen membangunkan Morgan dengan cara berbeda."Heh bangun!!" ucapnya dengan nada membentak.Hingga akhirnya kedua mata Morgan terbuka seketika. Bukan hanya matanya, tapi pikirannya berangsur beradaptasi dengan suasana saat ini. Perlahan Morgan menegakkan badannya."Maaf pak," ucapnya begitu menyadari aksinya dipergoki Dosen."Maaf, maaf. Kamu pikir ini hotel? Sehingga kamu bisa tidur seenaknya," maki dosen."Pak, saya benar-benar minta maaf. Saya---""Ah sudah! Sekarang coba praktikkan materi yang saya jelaskan tadi. Bagaimana caranya dua komputer bisa saling tersambung internet pakai metode Remote Server.""Baik pak, akan saya praktekkan," sahut Morgan sambil mengambil kabel UTP.Morgan dengan lihainya memasang kabel UTP ke CPU dibawahnya kemudian ke CPU milik teman sebelahnya. Setelah itu Morgan, mulai mengetikkan kode dan juga mengatur IP di komputer yang menjadi server. Lalu Morgan juga memasukkan IP yang sama di komputer client. Tak sampai 5 menit, kedua komputer saling terkoneksi."Sudah konek pak," ujar Morgan menunjukkan hasil prakteknya.Dosen tersebut dibuat kagum oleh aksi Morgan. Sampai pria paruh baya itu menggelengkan kepala."Saya padahal belum menjelaskan protokol dalam remot server bahkan troublenya juga. Tapi kamu bisa praktek tanpa ada kendala," ucapnya mulai simpati pada Morgan."Sebenarnya tadi saya tidur juga karena saya sudah paham materi ini, Pak," sahut Morgan.Dosen tersebut melirik Morgan dengan sinis. Ia awalnya tak menyangka mahasiswa yang ia tegur justru yang paling memahami materinya.Namun, mendengar jawaban Morgan yang terkesan meremehkan, ia naik darah."Heh, sombong sekali kamu! Jaga attitudemu. Percuma jenius kalau attitude buruk," ucapnya dengan nada memaki."Iya pak maaf," sahut Morgan. Ia sama sekali tak tau kalau hal itu justru membuat dosennya marah.Setelah kelas berakhir, Morgan pun pergi ke parkiran untuk lanjut bekerja sebagai ojek. Seperti biasa, tatapan sinis dan ejekan terlontar dari masing-masing orang yang melihat Morgan berjalan.Begitu tiba di parkiran, Morgan segera naik ke motornya dan berjalan menjauh dari parkiran."Orang-orang disini aneh semua. Mentang-mentang cuma tukang ojek, dibully. Giliran yang kaya dipuji-puji. Lagian apa salahnya sih sama profesi tukang ojek. Pekerjaan halal kok."Tetapi, sekeluarnya dari gerbang kampus, tiba-tiba motornya mogok dan tidak bisa dinyalakan.“Sialan! Enggak abis-abis masalahku sepertinya!” ucapnya kesal.Akhirnya, ia turun dari motornya dan memilih untuk mendorongnya.Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba dia merasa seseorang menyentuh pundaknya. Morgan tersentak dan cepat-cepat berbalik untuk melihat siapa yang menyentuhnya."Siapa kalian?""Tuan muda, ini kami. Jangan khawatir kami akan selalu mengawal anda," jelas salah satu pria yang saat ini berdiri dihadapan Morgan.Morgan mengernyitkan dahi melihat pakaian yang mereka kenakan.Kedua orang itu dibungkus jaket hitam, celana hitam, dan topi hitam, tampil dengan gaya yang begitu stylish. Meskipun wajah mereka sebagian tertutup oleh topi, Morgan merasa tidak asing melihat mereka. Dua pria pria itu tampak terkejut dengan reaksi Morgan. Mereka saling menatap. "Emang kalian siapa? Orang nggak kenal," maki Morgan."Tapi kami mengenal anda. Kami yakin dari motor anda. Bukankah motor ini diberikan oleh tuan Arthur Collim kepada anda, cucu kesayangannya," Morgan mengamati motor miliknya dengan seksama. Hal yang sama juga dilakukan dua pria itu. "Enak aja! Ini motor belinya pakai uangku sendiri," elak Morgan. "Tapi kami yakin anda adalah cucu Tuan Arthur Collim, terlihat jelas dari tanda lahir di telapak tanga anda,"tegas pria itu.'Sialan! Jadi selama ini mereka ngikutin aku,' batin Morgan sambil menggengam telapak tangannya untuk menutupi tanda lahirnya."Kami diberi tugas untuk mencari anda dan memba
Ting~ Sebuah pesan masuk dari rekannya yang bernama Dion dari jurusan Elektro. [Lagi di taman nih. Join sini, aku tungguin] Begitu membaca pesan itu dari panel notifikasinya, Morgan pun segera membalasnya. [Otw] Usai mengirim pesan tersebut Morgan segera memakai helmnya. Rekannya satu ini menjadi harapan terakhir Morgan dalam mencari pinjaman uang.Rekannya itu merupakan ahli kelistrikan yang sering menangani projek desain listrik rumah maupun perusahaan. Karena itulah Morgan tak ragu meminjam uang padanya. Dari segi keakraban dan juga finansial, temannya itu membawa harapan besar bagi Morgan. Melihat Dion, Morgan segera mendekat ke arahnya. Namun, ia menyadari kalau disana ada gengnya Derren. Si anak Dekan yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengejeknya. Alih-alih meninggalkan tempat itu karena malas menghadapi geng tersebut, Derren justru memanggilnya. "Eh bro! Mau kemana, buru-buru amat," ucap Derren. Hingga akhirnya Morgan pun berbalik badan menghadap mereka. Kin
Satpam dan dua bodyguard itu diam seketika melihat sang majikan menghampiri mereka. Pria paruh baya yang mengenakan jas hitam yang harganya setara dengan gajinya selama setahun. “Morgan, masuk!!” pinta Arthur. Mendengar majikannya mengizinkan gembel itu masuk, baik satpam maupun bodyguard bergidik ketakutan. Kesalahan yang mereka lakukan kali ini pasti tidak akan ditoleransi oleh Arthur Collim.“T-tuan s-s-saya minta maaf-“ ucap satpam dengan nada terbata. Begitu Morgan berdiri dihadapannya, satpam tersebut tak punya cukup keberanian untuk menatap wajah cucu majikannya.“Maaf-maaf, enak banget ngomongnya,” sahut Morgan.Kekesalannya tak bisa dibendung lagi. Ia masih tidak menyangka dianggap gembel di rumahnya sendiri.“S-saya sungguh menyesal tuan. Saya siap menerima hukuman,” Terlihat jelas ketakutan satpam tersebut dari suaranya serta raut wajahnya.“Hajar,” pinta Arthur Collim sambil memberikan isyarat kepada dua bodyguardnya.“Baik tuan,” Dua pria bertubuh kekar itu Bersiap meng
"Ini uangnya pak” Morgan menaruh bungkusan uang di atas meja Robert Jensen. "Semua kerugian laboratorium telah saya bayar lunas," sambung Morgan. Prof. Robert Jensen masih menatapnya dengan datar. Antara kaget dan tak percaya. Begitulah yang dirasakan pria yang usianya mendekati setengah abad itu. "Morgan! Dari mana kau dapat uang ini? Hasil ngrampok ya? Uang palsu kan?!" sahutnya. Morgan merasa geli ketika mendengar komentar Profesor Robert. Tawanya pun tak bisa dibendung begitu saja. Meskipun situasinya serius, ekspresi wajah dosennya yang datar membuatnya tak bisa menahan reaksi spontan. "Pak saya memang miskin, tapi tidak dengan moral dan hati saya," ucap Morgan dengan yakin. "Lalu darimana kau dapat uang sebanyak ini?" tanya Prof. Robert. Dari nadanya terlihat jelas bahwa pria itu menyepelekan Morgan. "Dari tabungan," elak Morgan. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa kakeknya yang memberikan uang tersebut. Pasti Robert tak melewatkan kesempatan untuk menertawakan hal itu.
"Mas, silahkan!" Morgan terkejut begitu antrian dibelakangnya justru dilayani dulu. "Kang ojek minggir dulu," ujar Derren. Teman-teman Derren pun menggusurnya sampai barisan paling belakang. Morgan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan mereka semua. Begitu hinanya pakaian yang ia gunakan hari ini sampai kehilangan hak disini. "Keren bro, btw thanks bro!" Beberapa menit kemudian Derren dan kawan-kawannya menjauh dari kasir. Wajah-wajah riang mereka tak bisa disembunyikan begitu membawa tas berisi kotak jam dari brand terkenal. Begitu juga dengan Derren yang hari ini puas sekali nampaknya menunjukkan kekayaannya. "Woi, buruan bayar. Ngapain disitu? Nggak mampu ya?" Tak cukup puas menghina Morgan, Derren pun tak melewatkan kesempatan untuk menghina Morgan. "Beliin lah, kasihan," sahut yang lain tentunya dengan nada ejekan. "Iya bro, kang ojek mana sanggup," "Ah elah sok melas. Uang hasil judinya kemana? Abis ya buat bayar kerugian lab?""Iya tuh. Mending ngrampo
"Ya gimana nggak viral. Jarang loh sekarang ini mahasiswa yang kuliah sambil kerja," Percakapan awalnya yang hanya sekedar bertukar identitas, kini masih berlanjut. Bedanya hanya mereka berdua saja yang duduk di depan ruko sembari menunggu hujan reda. Sedangkan dua bodyguard tadi, menghilang entah masih memantau dari kejauhan atau pergi begitu saja. "Biasa aja," sahut Morgan. "Menurut kamu biasa aja. Tapi nggak semua orang menilai apa yang kamu lakukan itu biasa," timpal Regina. Sesama penikmat hujan itu rupanya larut dalam suasana yang tenang sore itu. "Lagian, kamu tu udah lama jadi perbincangan dosen, mahasiswa sampai satpam kampus juga," Regina tak hentinya tersenyum menceritakan perspektif orang-orang terhadap sosok Morgan. "Karena tukang ojek?" "Ih enggaklah. Lebih tepatnya karena kamu tu hebat banget, berani eksperimen di lab yang jelas-jelas risikonya fatal," jelas Regina. Morgan mengerutkan dahinya. "Buset beritanya cepet banget kesebar. Padahal---""Ya karena kamu se
"Morgan jemput aku ya," Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Kebetulan pagi itu ponselnya tersambung jaringan wifi kos. "Ni cewek apaan sih, main minta jemput aja," desusnya. Enggan membaca pesan tersebut, tibq-tiba wanita yang sama mengirimkan pesan berupa lokasi suatu tempat. Hasrat kemasalan Morgan semakin menjadi-jadi begitu mengingat nama belakang wanita itu. "Ah malas kali ketemu bapaknya," ujarnya sambil menyalakan mesin motor. Usai tiba di kampus, Morgan melepaskan helmnya. Getaran dari ponselnya, membuatnya acuh karena sudah tau siapa yang menelfon. "Nggak bapaknya, nggak anaknya, ngeselin!!" makinya. Endingnya Morgan pun membuka ponselnya untuk melihat jadwal dan kelas mana yang akan ditempati matkul hari ini. Tak hanya itu Morgan yang merasa iba akhirnya membalas pesan dari wanita itu. [Sorry ya, baru buka hp pas di kampus]pesan terkirim."Jangan sampek ni cewek ngadu ke bapaknya terus bapaknya ngadu ke rektor," ujar Morgan sambil memasukkan ponselnya ke dalam
Aroma khas mie sedaap membangkitkan selera pria yang menghabiskan malamnya didepan laptop. Sesekali pria itu membagi pikirannya untuk mengingat algoritma serta menikmati kuah mie sedaap yang sangat cocok dengan hawa sejuk gerimis yang melanda kota Jakarta. Ya, biarpun memiliki rekening yang jumlahnya tak patut disebut sedikit, rupanya tak mengubah kebiasaan sederhananya. Selama ini secara tak sadar Morgan telah menikmati hidupnya menjadi anak kost. Hingga akhirnya ia terbiasa dengan hal sederhana yang menciptakan kebahagiaan tersendiri. "Lewat jam 12 tugas harus dikumpulkan. Kalau tidak jangan harap lulus matkul saya,"Bila mengingat ocehan dosen satu ini, muncullah beberapa ide untuk membuat professsor berinisial J itu naik darah. Bukankah sangat menyenangkan berdebat dengan pak Jensen? Baru saja Morgan menekan tombol Send pada sebuah situs google form. Dimana jam laptopnya menunjukkan pukul 23.58. "Ini! baru namanya tepat waktu," ucapnya sambil memetikkan jarinya. Beribu alasa
Titt...Entah berapa kali Morgan menghubungi beberapa nomer dikontaknya. Namun sebagai penutup aktivitasnya malam ini, dia berniat ke parkiran rumah sakit untuk mengambil tasnya di jok motor. Begitu tiba di parkiran, Morgan langsung menuju ke motornya. Dan ini ke sekian kalinya ia mendapati ponselnya berdering. Brughh..Tasnya sudah dia ambil bersamaan dengan menjawab telpon dari seseorang. Siapa lagi kalau bukan bodyguardnya. Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Morgan merasakan sesuatu yang tidak beres. Suara langkah kaki yang pelan serta bayangan yang mengintai membuat bulu kuduknya merinding. Dalam remang-remang gelapnya parkiran, ia melihat sekelompok bayangan orang mendekatinya. Hatinya berdegup kencang, karena ia tahu ancaman telah mengintai. Ia sempat berpikir bahwa bayangan itu mungkin keluarga dari pasein lain yang dirawat di rumah sakit ini. Mungkin hal yang sama juga dilakukan orang itu. Setidaknya hal itu membuatnya tenang. Tapi yang benar saja bayangan itu semakin
Di setiap langkahnya, selalu diiringi doa. Di setiap nafasnya teriring restu untuk melangkah lebih laju. Barangkali Morgan lupa bahwa ia memiliki harta paling berharga. Tak ada tandingannya bila dibandingkan dengan harta atau sejenisnya. Detik yang dilalui terasa lebih lama, begitu melihat sosok paruh abad itu terbaring tak berdaya di ruang rawat inap. Dalam hati Morgan, untuk masih ada disini bukan di ICU. Kalau itu sampai terjadi, mungkin saat ini juga ia akan membantai musuhnya. Kalaupun boleh memutar waktu, maka Morgan memilih tidak melakukannya. Baginya untuk apa memutar waktu kalau pada akhirnya berada diluka yang sama. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Penyesalan pun bagai air liur yang ditelan tanpa rasa. Jangankan mencium kening kakeknya, cucu kesayangan Arthur Collim tak beranjak dari ambang pintu. Ada setitik kekhawatiran tapi semua itu tertutupi dengan hasrat ingin menghabisi musuhnya hari ini juga. "Permisi mas,"Alih-alih memikirkan balas dendam, su
"Kalau kamu ingat, saya pernah memaksa kalian bertiga untuk segera melakukan observasi ditempat yang jauh bahkan tempat itu hanya rekayasa. You know? Orang dan bangunan disana berasa didalam kendali saya," ucap Prof Gin. Morgan menggertakkan giginya. Ingin rasanya ia segera keluar dari ruangan ini. Namun naasnya pria itu membuatnya penasaran akan rencana murahan yang telah dirancang. "Rencana pertama berhasil. Dengan membuat kalian bertiga betah disana. Kemudian serangan terakhir saya adalah mengirimkan anak buah untuk merusak project kalian. Dengan begitu fokus kalian teralihkan pada masalah tersebut. Itu artinya semakin mudah tim IT untuk menyabotase ponselmu. Dan ternyata semua dokumen ada disitu. Sama sepertimu yang selalu memunculkan gagasan ide terbaru tentang program. Saya juga sering meluncurkan aplikasi hacker sekali klik, bisa mengakses seluruh informasi," sambung Prof Gin. 'Kurang ajar!! Jadi selama ini---' Morgan hanya bisa membatin. Sementara kedua tangannya mengepal.
Dalam hening koridor kampus yang sepi, Prof. Gin memimpin dua mahasiswa yang berjalan dibelakangnya. Morgan dan Derren mengikutinya dengan irama langkah yang sama. Sesekali mereka saling melempar tatapan sinis. Jelas di wajah mereka tersirat amarah yang belum terbalaskan. Ketika tiba didepan pintu ruangan, Prof. Gin segera membuka pintu dan mempersilakan keduanya masuk. Ruangan itu penuh dengan aroma buku serta pengharum ruangan yang khas. Rak-rak penuh dengan literatur teknologi dan dinding dipenuhi dengan sertifikat dan penghargaan. Prof. Gin duduk di meja kerjanya dengan santai, tetapi tatapannya tajam dan penuh otoritas. Morgan dan Derren berdiri di depan meja profesor itu, merasa seakan ditarik masuk ke dalam pusaran masalah yang lebih besar. "Silakan duduk," ucap Prof. Gin, suaranya yang tenang tidak mencerminkan kesabarannya. Kedua mahasiswa itu duduk di kursi yang tersedia. "Saya yakin kalian tahu mengapa kalian dipanggil ke sini," ujar Prof. Gin dengan nada naik turun
"Jadi selama ini atmnya ada di kalian?"Di depan ruko dua misterius itu menghadap Morgan. Merekalah bodyguard Arthur Collim yang berhasil dihubungi oleh Morgan. Sehingga mereka datang kesini itupun dengan penyamaran. "Benar tuan," sahut salah satu dari mereka. "KURANG AJAR! Jadi kalian yang narik uang itu," terlanjur naik pitam, Morgan menarik kerah baju pria itu hingga mendekat. "Demi Tuhan tuan, s-saya tidak pernah menyentuh apalagi mengecek isi atm tersebut," ujarnya ketakutan. "La terus siapa kalau bukan kamu," bentak Morgan. Geram dengan sikap bodyguardnya, Morgan sampai menghentakkan kaki melampiaskan amarahnya."Di rekening itu ada 4 triliun. Selama 24 jam hampir habis, ulah siapa kalau bukan ulah kalian!!!""Maaf lancang tuan muda. Beberapa hari ini tuan Arthur juga mengalami hal yang sama. Dana perusahaan juga menghilang. Jumlahnya tak sedikit tuan, hampir mendekati 2 triliun. Sedangkan rekening pak Arthur juga sepertinya dibajak oknum tak bertanggung jawab," ungkap seor
Pagi ini keluarga Jensen menyantap hidangan sarapan. Ruangan itu terhias elegan, dengan kursi-kursi empuk dan meja panjang yang dihiasi penuh dengan hidangan lezat. Semuanya terlihat begitu sempurna, seolah-olah menciptakan semacam kebahagiaan yang bersifat rutin di keluarga ini. "Itu tolong airnya ditambah ya bik,""Baik nyonya,""Sama satu lagi, ambilin buah di kulkas ya bik,""Iya nya,"Jauh sekali dengan kebiasaan Morgan sehari-hari. Yang hanya mengandalkan mie instan sebagai menu utama dan abadi. Jangankan duduk di meja makan, kos-kosannya saja tidak muat diisi seperangkat tempat duduk. Justru Kasur yang seharusnya menjadi tempat tidur malah digunakan sebagai alas apapun. Alas pantat, misalnya. Prof. Robert Jensen, duduk di ujung meja dengan sikap yang tenang. Dengan setelan jas yang rapi, dia memberikan kesan otoritas. "Ada kelas pagi yah?""Nggak,""Kok tumben berangkat pagi,""Mau rapat bentar,"Sedangkan Regina, anak semata wayangnya, duduk di seberangnya. Pakaian dan pena
Regina baru saja tiba di rumah setelah hari yang melelahkan di kampus. Namun, kelelahannya tak menjadikannya bermalas-malasan. Justru ia harus segera merawat rambutnya yang kusut. Regina berdiri di depan cermin kamar mandi, tetesan air masih terasa di kulitnya. Warna senja yang mulai meredup memancarkan sinar lembut ke dalam kamar mandi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Dia membiarkan handuk putih lembut melilit rambutnya yang basah, meresapi sensasi hangat setelah selesai keramas. Dalam kesendirian itu, Regina merasa seolah-olah kamar mandi menjadi tempat perlindungan dari segala masalah yang terjadi di luar sana. Tetesan air yang menetes dari rambutnya menciptakan melodi lembut yang seolah-olah membawanya ke dunia yang jauh dari keriuhan dan drama kampus. Ponselnya yang ditaruh di samping wastafel, tanpa disadari bergetar seiring dengan notifikasi yang masuk. Namun, Regina masih asyik mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Dalam keheningan tersebut sambil mengeringka
Teriakan dan tawa yang tak senonoh mulai mengganggu ketenangan. Geng Derren dengan bangga masih menyerbu bangku tempat ketiganya duduk. "Sekarang lihat sini, ini dia trio abal-abal! Masih nongkrong di sini sambil bermimpi sukses ya? Haha!" ujar Derren sambil menunjuk-nunjuk mereka satu per satu. Kedatangannya yang telat menjawab pertanyaan tiga trio ingusan itu. Yang sempat menanyakan keberadaan sang ketua geng. Tapi mbatin sih. "Bukan trio abal-abal tapi trio ingusan,""Oh ada baru ternyata,""Iyalah baru rilis,""Lebih cocok pakai nama itu deh. Lengkap juga formasinya ada kang ojek, ada pecundang, dan ada juga yang suka lapor ke dosen,""Ups, lengkap nggak tuh,"Jonathan yang biasanya cepat emosi, kali ini duduk dengan tenang. Ia membuka pesan dari Dion di ponselnya. Media tangkapan layar menunjukkan jumlah dana masuk di rekening Dion yang mencapai 700 juta rupiah dari klien yang telah mempercayakan proyek pada mereka. 'Gilaaak jauh dari perkiraan cuy,'batin Jonathan. Alis Jona
“Wooiii trio MJD,”Ketengangan di kantin sirna seketika. Saat itu hanya ada Morgan, Jonathan, dan Dion."MJD apaan?" Morgan melirik dua rekannya secara bergantian.Di tengah hiruk pikuk kampus Konoha, terdengar bentakan keras dari salah satu anggota geng yang dikenal sebagai musuh Morgan, seorang miliuner yang menyamar sebagai mahasiswa biasa. Geng tersebut terdiri dari Derren dan anak buahnya, yang telah menguasai kampus dengan perilaku intimidatif dan penindasan terhadap mahasiswa.Geng yang memerintah kampus tersebut memperlakukan mahasiswa berdasarkan status sosial dan kekayaan, bukan berdasarkan kemampuan akademik atau kepribadian. Mereka terus memperluas kekuasaan mereka tanpa ada yang berani melawan atau melaporkan tindakan mereka.Di tengah kondisi seperti itu, masih ada pertanyaan apakah ada mahasiswa lain yang berani menentang geng tersebut dan apakah ada harapan untuk mengembalikan keadilan di kampus Konoha.Dengan demikian, kehidupan kampus Konoha dipenuhi dengan keteganga