Morgan mengernyitkan dahi melihat pakaian yang mereka kenakan.
Kedua orang itu dibungkus jaket hitam, celana hitam, dan topi hitam, tampil dengan gaya yang begitu stylish. Meskipun wajah mereka sebagian tertutup oleh topi, Morgan merasa tidak asing melihat mereka.Dua pria pria itu tampak terkejut dengan reaksi Morgan. Mereka saling menatap."Emang kalian siapa? Orang nggak kenal," maki Morgan."Tapi kami mengenal anda. Kami yakin dari motor anda. Bukankah motor ini diberikan oleh tuan Arthur Collim kepada anda, cucu kesayangannya,"Morgan mengamati motor miliknya dengan seksama. Hal yang sama juga dilakukan dua pria itu."Enak aja! Ini motor belinya pakai uangku sendiri," elak Morgan."Tapi kami yakin anda adalah cucu Tuan Arthur Collim, terlihat jelas dari tanda lahir di telapak tanga anda,"tegas pria itu.'Sialan! Jadi selama ini mereka ngikutin aku,' batin Morgan sambil menggengam telapak tangannya untuk menutupi tanda lahirnya."Kami diberi tugas untuk mencari anda dan membawa anda pulang. Ini sudah waktunya anda kembali, setelah sekian lama hidup seperti orang biasa. Tuan Arthur sangat mengkhawatirkan kondisi dan keselamatan anda, apalagi setelah putus kontak dengan cucu kesayangannya."Siapa yang tidak kenal Arthur Collim? Konglomerat yang mengaku sebagai kakeknya Morgan si tukang ojek online? Tentu bukan, tidak mungkin dua orang itu salah orang dan mengawal tukang ojek biasa. Mereka telah diutus oleh majikannya. Tugas mereka adalah mengawal cucu kesayangan Arthur Collim yang telah ditantang menjadi orang biasa."Siapa tadi, Arthur Collim? Orang aku nggak kenal!" elak Morgan. Dengan segala cara dia berusaha mengelak. Biarpun aktingnya tak cukup meyakinkan."Tuan Muda tidak perlu khawatir, kami tidak akan membocorkan identitas asli anda. Kami---""Alaaaahh, kebanyakan halu nih! Udah dibilangin salah orang masih aja ngeyel. Minggir, buang-buang waktu aja," pungkas Morgan sambil mendorong motornya."Tapi tuan---" mereka masih saja menghalangi langkahnya."Eh awass!! Kalau kalian nggak minggir, aku teriak begal nih," ancam Morgan.Dua pria itu akhirnya menyingkir dari hadapan Morgan.Sementara itu Morgan mendorong motornya di bawah terik matahari, tujuannya ke bengkel untuk membetulkan motornya yang mogok.Setibanya di kos, Morgan segera melepas jaketnya lalu merebahkan badannya ke atas kasur busa. Sambil menunggu ponselnya menyala, Morgan melihat wadah berasnya kosong. Naasnya air galonnya juga kosong.Tak ada setitik air yang mampu menyejukkan dahaganya ditengah panasnya kota Jakarta. Sepertinya hari ini ia harus puasa lagi, karena uangnya sudah habis untuk melunasi biaya kos, yang ia bayarkan setelah pulang dari bengkel tadi.Ting...Alih-alih melanjutkan keluh kesahnya pada dinding kos, Morgan dikejutkan dengan beberapa notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab dari ponselnya. Dan yang mengejutkan, nomernya tak dikenal.Morgan juga menemukan sebuah pesan yang isinya seseorang telah mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya.Dana Rp 4.000.000.000.000,00 masuk ke rekening 3528****0971 pada 27/7/23 ket.: Arthur Collim to Morgan J CollimDecakan kesal keluar dari bibir Morgan. Mungkin ini suatu hal yang langka. Di luar sana mata orang-orang akan berbinar melihat notif transferan dari bank. Tapi reaksi Morgan benar-benar menyimpang jauh dari peradaban orang normal pada umumnya."Alay banget sih Kakek. Dikit-dikit ngirim pengawal, dikit-dikit transfer uang," ucap Morgan.Tak ingin terlalu larut memikirkan uang tadi malam, Morgan pun memilih melupakannya dan kembali pada realita kehidupannya. Di mana pagi telah menyambutnya.Begitu tiba di kampus, Morgan berjalan menuju laboratorium sambil membaca pesan di grup whatsappnya. Ia mendesus kesal setelah membaca jadwal hari ini. Selama dua hari berturut-turut ia harus berurusan dengan server yang mana itu sangat menguras pikirannya.Belum lagi dosennya yang super resek itu. Siapa lagi kalau bukan Prof. Robert Jensen. Satu-satunya dosen yang menganggap attitudenya buruk karena tak sengaja tidur di kelas. Mengingat hal itu, membuat langkah kakinya semakin berat.Hari itu, mahasiswa akan melakukan praktek yang fokus pada konfigurasi dan pengelolaan server. Prof. Robert Jensen, yang terkenal dengan ketegasannya, memberikan instruksi singkat tentang tugas yang harus dilakukan. “Yang terpenting dari praktek hari ini ini adalah penerapan K3LH dan ketelitian,” ujarnya sambal berjalan mengamati satu persatu mahasiswa.“Manage waktu juga penting. Kuliah ya kuliah, bukannya tidur di kelas. Lagipula mana ada sarjana Teknik kerja sambil kuliah,”Morgan merasa tersindir dengan ucapan dosennya barusan. Siapa lagi bukan dirinya yang dimaksud oleh Prof. Robert. Lantaran tak ingin berurusan lagi dengan dosen tersebut, Morgan memilih diam.Setelah menjelaskan prosedur praktek, Prof. Robert mengizinkan mahasiswanya untuk praktek.Sementara itu, Morgan yang sering bereksperimen tanpa membaca dengan teliti, terlihat santai saat konfigurasi awalnya berhasil. Morgan melanjutkan konfigurasi tanpa mengambil backup sebelumnya. Dia juga menggunakan beberapa kode yang sebelumnya dia pelajari dari internet tanpa mengujinya terlebih dahulu.Tak lama kemudian, Morgan menyadari bahwa server yang dia konfigurasi tidak merespons. Layar monitor server tersebut tetap gelap, dan tidak ada tanda-tanda aktifitas pada lampu indikator. Dia mulai panik karena menyadari bahwa server tersebut tidak dapat diakses oleh dosen dan mahasiswa lainnya di laboratorium."Loh, kok down," ucap salah satu mahasiswa.Tak lama kemudian suara riuh keluh kesah mahasiswa terdengar sampai ke telinga dosen.Morgan mencoba memperbaiki konfigurasi yang salah. Dia mencoba mengakses server lagi tetapi tidak ada respon. Ketika dia mencoba reboot, tiba-tiba bau asap kecil tercium dari salah satu rak server. Morgan menyadari bahwa dia telah mengganti parameter daya yang salah pada server, menyebabkan kerusakan internal yang serius.“Kodenya bener tapi kok---” sesekali Morgan melihat jajaran huruf di layar monitornya.Bau asap semakin kuat, dan lampu indikator server lain mulai berkedip. Server yang awalnya berfungsi dengan baik mulai mati satu per satu. Laboratorium IT yang sunyi tiba-tiba menjadi ramai karena semua server berhenti beroperasi. Morgan menyadari bahwa kesalahannya telah menyebabkan kerusakan pada seluruh infrastruktur jaringan laboratorium.“Loh, loh kok ada asap,”“Kebakaran nggak sih?”“Servernya kenapa nih,”Mahasiswa lain yang menyadari kejanggalan itu, tak berhenti mengeluh.Menyadari ada yang tidak beres sampai akhirnya server menjadi down, Prof. Robert akhirnya mengambil tindakan."Semuanya berdiri!" bentaknya hingga membuat semua mahasiswa terkejut sampai ketakutan.Mengingat dosen itu tak pernah menunjukkan kesabarannya di kala praktikum apalagi saat ada trouble seperti ini.Semua mahasiswa berdiri menundukkan kepalanya. Sementara Prof. Robert memeriksa satu persatu komputer. Dan begitu menemukan penyebab masalah ini, dosen itu langsung meminta semua mahasiswa untuk keluar. Bukan tanpa alasan, kesalahan ini mengakibatkan seluruh server di lab menjadi down.Beberapa jam kemudian~Para mahasiswa masih berada diluar lab sambil mengamati tim IT dari kampus keluar masuk. Morgan tak lari dari tanggung jawabnya, mengingat ini adalah kesalahannya.Prof. Robert akhirnya keluar bersama tim IT."Morgan!!! ikut saya, sekarang," ucap pria itu dengan tegas.Mahasiswa lainnya berusaha menebak, apa dilakukan Morgan sampai berurusan dengan dosen tersebut.Sesampainya di ruang dosen, Morgan hanya bisa menunduk atas apa yang terjadi sebelumnya."Kerugiannya mencapai Rp. 850.000.000, saya harap kamu mengerti kesalahan ini bukan kesalahan sepele," ucap Prof. Robert sambil melempar nota ke wajah Morgan.Prof. Robert meluapkan emosinya pada Morgan. Kesalahan yang dilakukan Morgan kali tak dapat dimaafkan."Sudah berapa kali saya mengatakan percuma jenius tapi attitude nol besar."Morgan yang masih terngiang-ngiang dengan deretan angka 0 di nota tersebut, hingga akhirnya mengangkat kepalanya. "Apa hubungannya pak, masalah ini dengan attitude?"Prof. Robert menatapnya dengan tajam. Sekali lagi mahasiswanya membantah perkataanya. "Coba kalau kamu berattitude, kamu tidak akan cerobah apalagi sampai memasukkan kode yang salah. Jeniusmu itu lo, tidak akan berguna,"Morgan pun diam."Kerugian ini sangat besar. Saya rasa mahasiswa miskin sepertimu tidak akan sanggup membayar kerugian," maki Prof. Robert.Kini giliran Morgan yang mulai emosi begitu orang yang paling ia hormati justru merendahkannya. Apalagi dosen itu hanya melihat dari penampilannya yang mungkin mencerminkan kehidupan Morgan yang sangat jauh dari kata cukup."Mungkin keputusan akhirnya, pasti DO. Makanya besok lagi jangan sok jadi jagoan. Nggak punya duit aja sok-sok an eksperimen!!"Morgan menghela nafas beratnya. Tangan kanannya meremas kertas nota yang ia genggam. "Saya akan bayar semua kerugiannya pak," ucapnya dengan yakin.Prof. Jensen memiringkan senyumannya. "Silahkan kalau mampu! Saya tidak mau dengar kabar, bahwa ada mahasiswa mengundurkan diri karena tak sanggup membayar kesalahannya," sindirnya.Morgan tak tahan berlama-lama disini. Daripada kesabarannya habis dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik dia keluar."Saya permisi!" ucap Morgan sambil membalikkan badan.Sembari berjalan di parkiran, pikirannya terus memikirkan darimana ia bisa melunasi kerugian tersebut. 850 juta itu tak sedikit. Tak semudah membaca deretan angka nolnya.Sempat terpikirkan mengambil uang transferan tadi malam. Tapi, kalau ia menggunakan uang itu, sama saja ia menyerah dari tantangan yang ia ambil. Apalagi, kartu ATM-nya ditinggal di rumah Arthur Collins, Kakek Morgan.Hingga akhirnya Morgan memutuskan untuk meminjam uang di perusahaan. Ya perusahaan ojek online, tempatnya bekerja. Ia datang kesana dengan harapan mendapat pinjaman.Namun, tiba-tiba sebuah telepon datang di ponselnya. Melihat kontak yang menelpon adalah pak Doni, manajer kantor tempatnya bekerja, Morgan segera mengangkatnya."Permisi pak, saya Morgan. Ada yang bisa saya bantu?" ucapnya dengan sopan.“Morgan, tidak usah basa-basi!”Deg! Mendengar suara pak Doni yang meninggi, Morgan terdiam."Rate 2/5, review kurang memuaskan, belum lagi ada beberapa pelanggan yang complain langsung ke saya. Selanjutnya keluhan apalagi?” Suara di balik telepon itu semakin menggelegar."Keluhan? Mohon maaf pak, saya sudah mencoba memberikan pelayanan terbaik saya,” sahut Morgan.“Sudah, saya tak mau lagi mendengar alasanmu! Kamu saya pecat sekarang! Status keanggotaan kamu saya cabut!”Telepon dimatikan, meninggalkan Morgan yang terkesiapTangannya mengepal keras mendengar keputusan sepihak ini. Nafasnya menderu, tak ada lagi jalan yang bisa ia tempuh selain jalan itu.“Apakah sudah saatnya aku harus kembali?”Ting~ Sebuah pesan masuk dari rekannya yang bernama Dion dari jurusan Elektro. [Lagi di taman nih. Join sini, aku tungguin] Begitu membaca pesan itu dari panel notifikasinya, Morgan pun segera membalasnya. [Otw] Usai mengirim pesan tersebut Morgan segera memakai helmnya. Rekannya satu ini menjadi harapan terakhir Morgan dalam mencari pinjaman uang.Rekannya itu merupakan ahli kelistrikan yang sering menangani projek desain listrik rumah maupun perusahaan. Karena itulah Morgan tak ragu meminjam uang padanya. Dari segi keakraban dan juga finansial, temannya itu membawa harapan besar bagi Morgan. Melihat Dion, Morgan segera mendekat ke arahnya. Namun, ia menyadari kalau disana ada gengnya Derren. Si anak Dekan yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengejeknya. Alih-alih meninggalkan tempat itu karena malas menghadapi geng tersebut, Derren justru memanggilnya. "Eh bro! Mau kemana, buru-buru amat," ucap Derren. Hingga akhirnya Morgan pun berbalik badan menghadap mereka. Kin
Satpam dan dua bodyguard itu diam seketika melihat sang majikan menghampiri mereka. Pria paruh baya yang mengenakan jas hitam yang harganya setara dengan gajinya selama setahun. “Morgan, masuk!!” pinta Arthur. Mendengar majikannya mengizinkan gembel itu masuk, baik satpam maupun bodyguard bergidik ketakutan. Kesalahan yang mereka lakukan kali ini pasti tidak akan ditoleransi oleh Arthur Collim.“T-tuan s-s-saya minta maaf-“ ucap satpam dengan nada terbata. Begitu Morgan berdiri dihadapannya, satpam tersebut tak punya cukup keberanian untuk menatap wajah cucu majikannya.“Maaf-maaf, enak banget ngomongnya,” sahut Morgan.Kekesalannya tak bisa dibendung lagi. Ia masih tidak menyangka dianggap gembel di rumahnya sendiri.“S-saya sungguh menyesal tuan. Saya siap menerima hukuman,” Terlihat jelas ketakutan satpam tersebut dari suaranya serta raut wajahnya.“Hajar,” pinta Arthur Collim sambil memberikan isyarat kepada dua bodyguardnya.“Baik tuan,” Dua pria bertubuh kekar itu Bersiap meng
"Ini uangnya pak” Morgan menaruh bungkusan uang di atas meja Robert Jensen. "Semua kerugian laboratorium telah saya bayar lunas," sambung Morgan. Prof. Robert Jensen masih menatapnya dengan datar. Antara kaget dan tak percaya. Begitulah yang dirasakan pria yang usianya mendekati setengah abad itu. "Morgan! Dari mana kau dapat uang ini? Hasil ngrampok ya? Uang palsu kan?!" sahutnya. Morgan merasa geli ketika mendengar komentar Profesor Robert. Tawanya pun tak bisa dibendung begitu saja. Meskipun situasinya serius, ekspresi wajah dosennya yang datar membuatnya tak bisa menahan reaksi spontan. "Pak saya memang miskin, tapi tidak dengan moral dan hati saya," ucap Morgan dengan yakin. "Lalu darimana kau dapat uang sebanyak ini?" tanya Prof. Robert. Dari nadanya terlihat jelas bahwa pria itu menyepelekan Morgan. "Dari tabungan," elak Morgan. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa kakeknya yang memberikan uang tersebut. Pasti Robert tak melewatkan kesempatan untuk menertawakan hal itu.
"Mas, silahkan!" Morgan terkejut begitu antrian dibelakangnya justru dilayani dulu. "Kang ojek minggir dulu," ujar Derren. Teman-teman Derren pun menggusurnya sampai barisan paling belakang. Morgan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan mereka semua. Begitu hinanya pakaian yang ia gunakan hari ini sampai kehilangan hak disini. "Keren bro, btw thanks bro!" Beberapa menit kemudian Derren dan kawan-kawannya menjauh dari kasir. Wajah-wajah riang mereka tak bisa disembunyikan begitu membawa tas berisi kotak jam dari brand terkenal. Begitu juga dengan Derren yang hari ini puas sekali nampaknya menunjukkan kekayaannya. "Woi, buruan bayar. Ngapain disitu? Nggak mampu ya?" Tak cukup puas menghina Morgan, Derren pun tak melewatkan kesempatan untuk menghina Morgan. "Beliin lah, kasihan," sahut yang lain tentunya dengan nada ejekan. "Iya bro, kang ojek mana sanggup," "Ah elah sok melas. Uang hasil judinya kemana? Abis ya buat bayar kerugian lab?""Iya tuh. Mending ngrampo
"Ya gimana nggak viral. Jarang loh sekarang ini mahasiswa yang kuliah sambil kerja," Percakapan awalnya yang hanya sekedar bertukar identitas, kini masih berlanjut. Bedanya hanya mereka berdua saja yang duduk di depan ruko sembari menunggu hujan reda. Sedangkan dua bodyguard tadi, menghilang entah masih memantau dari kejauhan atau pergi begitu saja. "Biasa aja," sahut Morgan. "Menurut kamu biasa aja. Tapi nggak semua orang menilai apa yang kamu lakukan itu biasa," timpal Regina. Sesama penikmat hujan itu rupanya larut dalam suasana yang tenang sore itu. "Lagian, kamu tu udah lama jadi perbincangan dosen, mahasiswa sampai satpam kampus juga," Regina tak hentinya tersenyum menceritakan perspektif orang-orang terhadap sosok Morgan. "Karena tukang ojek?" "Ih enggaklah. Lebih tepatnya karena kamu tu hebat banget, berani eksperimen di lab yang jelas-jelas risikonya fatal," jelas Regina. Morgan mengerutkan dahinya. "Buset beritanya cepet banget kesebar. Padahal---""Ya karena kamu se
"Morgan jemput aku ya," Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Kebetulan pagi itu ponselnya tersambung jaringan wifi kos. "Ni cewek apaan sih, main minta jemput aja," desusnya. Enggan membaca pesan tersebut, tibq-tiba wanita yang sama mengirimkan pesan berupa lokasi suatu tempat. Hasrat kemasalan Morgan semakin menjadi-jadi begitu mengingat nama belakang wanita itu. "Ah malas kali ketemu bapaknya," ujarnya sambil menyalakan mesin motor. Usai tiba di kampus, Morgan melepaskan helmnya. Getaran dari ponselnya, membuatnya acuh karena sudah tau siapa yang menelfon. "Nggak bapaknya, nggak anaknya, ngeselin!!" makinya. Endingnya Morgan pun membuka ponselnya untuk melihat jadwal dan kelas mana yang akan ditempati matkul hari ini. Tak hanya itu Morgan yang merasa iba akhirnya membalas pesan dari wanita itu. [Sorry ya, baru buka hp pas di kampus]pesan terkirim."Jangan sampek ni cewek ngadu ke bapaknya terus bapaknya ngadu ke rektor," ujar Morgan sambil memasukkan ponselnya ke dalam
Aroma khas mie sedaap membangkitkan selera pria yang menghabiskan malamnya didepan laptop. Sesekali pria itu membagi pikirannya untuk mengingat algoritma serta menikmati kuah mie sedaap yang sangat cocok dengan hawa sejuk gerimis yang melanda kota Jakarta. Ya, biarpun memiliki rekening yang jumlahnya tak patut disebut sedikit, rupanya tak mengubah kebiasaan sederhananya. Selama ini secara tak sadar Morgan telah menikmati hidupnya menjadi anak kost. Hingga akhirnya ia terbiasa dengan hal sederhana yang menciptakan kebahagiaan tersendiri. "Lewat jam 12 tugas harus dikumpulkan. Kalau tidak jangan harap lulus matkul saya,"Bila mengingat ocehan dosen satu ini, muncullah beberapa ide untuk membuat professsor berinisial J itu naik darah. Bukankah sangat menyenangkan berdebat dengan pak Jensen? Baru saja Morgan menekan tombol Send pada sebuah situs google form. Dimana jam laptopnya menunjukkan pukul 23.58. "Ini! baru namanya tepat waktu," ucapnya sambil memetikkan jarinya. Beribu alasa
"Please! give me a chance to win," Seorang wanita berambut panjang duduk sambil memeluk lututnya. Morgan tak berani mendekat begitu tangisan wanita itu semakin menjadi-jadi. Dari iringan ia melihat sorot kedua mata sipit yang sembab. Bekas kacamata membekas disekeliling area bawah mata. Tampak beberapa kertas desain poster dan juga tulisan tangan yang memang dibuat dengan penuh kesungguhan. "Ya allah please, I have to win," ujarnya lagi.Morgan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan apa yang diucapkan wanita itu. "Regina.. apaan sih, ngapain juga dia nangis disini," batin Morgan. Membayangkan kesempurnaan nasib menjadi anak professor Robert membuatnya lupa bahwa wanita itu memiliki segudang beban yang tidak diketahui banyak orang. Hal yang membuat Morgan tersentuh hatinya adalah melihat dan mendengar secara langsung isak tangis seorang perempuan. Itu membuatnya tersiksa. Lantas ia mendekati wanita itu lalu duduk disampingnya. Ia memberanikan diri untuk menyentuh pundak wanit
"Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke