"Ini uangnya pak” Morgan menaruh bungkusan uang di atas meja Robert Jensen.
"Semua kerugian laboratorium telah saya bayar lunas," sambung Morgan.Prof. Robert Jensen masih menatapnya dengan datar. Antara kaget dan tak percaya. Begitulah yang dirasakan pria yang usianya mendekati setengah abad itu."Morgan! Dari mana kau dapat uang ini? Hasil ngrampok ya? Uang palsu kan?!" sahutnya.Morgan merasa geli ketika mendengar komentar Profesor Robert. Tawanya pun tak bisa dibendung begitu saja.Meskipun situasinya serius, ekspresi wajah dosennya yang datar membuatnya tak bisa menahan reaksi spontan."Pak saya memang miskin, tapi tidak dengan moral dan hati saya," ucap Morgan dengan yakin."Lalu darimana kau dapat uang sebanyak ini?" tanya Prof. Robert. Dari nadanya terlihat jelas bahwa pria itu menyepelekan Morgan."Dari tabungan," elak Morgan.Tidak mungkin dia mengatakan bahwa kakeknya yang memberikan uang tersebut. Pasti Robert tak melewatkan kesempatan untuk menertawakan hal itu."Memangnya berapa tabunganmu? Lagi pula penampilanmu tidak sesuai dengan uangmu," maki Prof Robert."Baju yang bapak pakai juga tidak sesuai dengan cicilan yang harus bapak bayar tiap bulan," sahut Morgan.Braaakk.Prof. Robert memukul meja hingga membuat semua barang yang ada diatasnya bergetar."Jaga ucapanmu," ucapnya sambil mendekatkan jari telunjuknya ke arah Morgan.Morgan pun diam. Dalam hatinya puas sekali melihat pria paruh baya itu kesal."Kalau saya mau, saya bisa membawa masalah ini ke rektor. Biar beliau sendiri yang memutuskan nasib mahasiswa tak punya attitude sepertimu," ancam Prof Robert.Sedikitpun Morgan tak gentar dengan ancaman tersebut. Justru ia punya rencana baru untuk membalas kelakuan dosen itu."Tapi untungnya saya masih punya sedikit rasa iba padamu. Kalau tidak, mungkin hari ini kamu sudah di DO. Sudah sana! Duduk," pungkas Prof Robert.Sesuai perintah dari dosennya, Morgan pun berdiri lalu mendekati bangku dengan langkah santai.*Karena hari ini kelas berakhir Morgan pun memutuskan untuk pulang. Suara klakson dan riuh rendah kendaraan lain menyelimuti telinga Morgan saat ia bergabung dengan arus lalu lintas yang semakin padat. Menyusuri jalanan yang padat, motor kecilnya terjebak dalam antrian yang tak berujung. Panas dari mesin dan aspal seolah menyatu, menciptakan rasa terbakar yang tak tertahankan.Seperti sebuah oasis yang muncul di kejauhan, dia melihat spanduk besar yang mengiklankan pusat perbelanjaan mewah. Kilauan neon menarik perhatiannya"Gassslah,"Dia menggigit bibir bawahnya dan memutuskan untuk menyusuri trotoar dengan motor sampai ke pusat perbelanjaan tersebut. Setidaknya, mungkin ada tempat yang lebih nyaman untuk melepaskan panas dan kelelahan sebelum melanjutkan perjalanan pulang.Setibanya di parkiran Mall, Morgan menghentikan motornya. Baru saja melepas helm, tiba-tiba,"Heeeeeiii, kang ojek ngapain kesini,"Seorang pria menepuk pundaknya dengan keras hingga membuatnya tersentak.Begitu berbalik badan Morgan baru tau kalau geng yang biasa menghinanya menemuinya di mall. Entah untuk apa.Yang membuat Morgan malas meladeni mereka adalah karena ketua gengnya merupakan anak Dekan, yaitu Derren. Morgan enggan sekali berurusan dengan mereka."Eh bro! Tukang ojek gini-gini juga bisa bayar kerugian lab loh," sahut yang lain."Yok’i bro. Ngomong-ngomong abis ngrampok dimana? Utang bank di mana? Atau abis---""Heh jaga mulut kalian ya!" bentak Morgan.Ia tak terima dengan apa yang mereka ucapkan."Wosss wosss santai bro. Kita cuma heran aja. Tukang ojek kok bisa sih dapet uang secepat itu. Emang orang tuamu punya sawah berapa petak haha,""Orang tuaku nggak punya sawah dan aset apapun. Asal kalian tau ya, aku lahir dari keluarga baik-baik," tegas Morgan."Alah baik apanya. Baik tampangnya doang? Dompet gimana?"Derren tak tinggal diam. Dia mendekati Morgan. Dari lagaknya yang super angkuh bukan lagi mengajak duel melainkan berhasrat menantang Morgan."Sekali-kali nongkrong sama kita lah. Bayar kerugian lab aja sanggup kok," ujar Derren membuat semua anggota gengnya diam seketika."Loh loh Derren tapi kan---""Kapan lagi coba nongkrong sama kang ojek eh maksudnya sama kang Morgan," potong Derren.Gelak tawa hampir mengejek suasana serius."Aku ada urusan," Morgan mengambil helmnya, hendak bergegas pulang karena dia sungguh enggan meladeni mereka semua.Namun Derren justru menghentikannya."Eh bro! Sekali ajalah. Berani nggak? Masa gitu doang nggak berani," bujuk Derren disertai ejekan."Mau narik penumpang bang, udah lepasin kasian," ejek yang lain.Tak tanggung-tanggung gelak tawa jahat pun mengalahkan panasnya kota Jakarta yang membakar hati Morgan.Tatapan Derren yang terlihat menyepelekan, membuat Morgan terpancing."Ayok,""Nah gitu dong," sahut Derren dengan antusiasnya.Kini Derren beserta gengnya membawa Morgan keliling mall. Tiba saatnya Derren beraksi dengan menggiring Morgan ke sebuah toko jam.Memang, berbeda dengan tempat lainnya, interiornya didesain khusus bagi orang-orang elite saja. Mereka paling tidak menyimpan uang 1 miliar rupiah di rekeningnya."Pilih yang kalian suka, aku yang bayar," ucap Derren pada teman-temannya.Tal butuh waktu lama teman-temannya berpencar mencari jam yang mereka sukai.Kini fokus Derren tertuju Morgan yang terlihat berani mendekati stand jam dengan harga fantastis."Minimal dibeli lah, jangan diliatin aja," ucap Derren. Beberapa detik kemudian dia berlalu melanjutkan langkahnya.Morgan benar-benar dibuat kesal setiap kali didekatnya. "Hoby banget bikin orang kesel," desusnya dalam hati.Kini giliran Morgan yang menghampiri pria angkuh itu. Kebetulan si Derren sedang melihat jam dari brand terkenal dengan harga cukup fantastis."Rolex Daytona. Keren sih tak kayaknya kemahalan bagi anak Dekan," ucap Morgan.Derren pun meletakkan kotak jam yang semula ia pegang, kembali pada tempatnya. "Emang kang ojek kayak kamu mampu beli jam ini? Jangan mimpi deh," sahut Derren.Morgan memiringkan senyumannya. Sementara tangan kirinya meraih kotak tersebut dan membawanya ke kasir.Hal itu membuat Derren tercengang. Karena tak percaya begitu saja, ia mengikuti langkah Morgan.Setelah tiba di kasir, kehadiran Morgan sudah pasti menjadi pusat perhatian. Sebab orang-orang di sana begitu elegan, sedangkan dia sangat kumuh. Beberapa dari mereka mencibirnya."Apa nggak salah nih, gembel masuk sini," ucap seorang perempuan."Pengemis sekarang pada pinter-pinter yak. Tau tempat," sambung temannya. Kedua perempuan itu mengipas-ngipas sambil tangan lainnya menutupi hidung.Namun cibiran mereka tidak berlangsung lama karena Morgan menatap mereka dengan tajam, bikin kedua perempuan itu ketakutan.Setelah menghadapi kedua perempuan tadi, Morgan pastinya masih harus berhadapan dengan manusia-manusia reseh lainnya. Utamanya para petugas kasir tak seorangpun mau melayaninya karena penampilannya yang kumuh. la diover kesana-kemari.Hingga akhirnya ada petugas kasir yang mau melayaninya."Cash atau debit mas?" tanya wanita itu sambil menunjukkan harga jam tersebut yang mencapai angka 500 juta."Debit," sahut Morgan sambil mengeluarkan dompetnya."Mohon maaf mas, bisa dicek lagi barangnya. Karena barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. Jam ini sudah menjadi langganan Profesor dan---""Mbak saya tau saya bukan Profesor. Mata saya juga masih sehat kok buat baca harga jamnya," potong Morgan."Mas, silahkan!" Morgan terkejut begitu antrian dibelakangnya justru dilayani dulu. "Kang ojek minggir dulu," ujar Derren. Teman-teman Derren pun menggusurnya sampai barisan paling belakang. Morgan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan mereka semua. Begitu hinanya pakaian yang ia gunakan hari ini sampai kehilangan hak disini. "Keren bro, btw thanks bro!" Beberapa menit kemudian Derren dan kawan-kawannya menjauh dari kasir. Wajah-wajah riang mereka tak bisa disembunyikan begitu membawa tas berisi kotak jam dari brand terkenal. Begitu juga dengan Derren yang hari ini puas sekali nampaknya menunjukkan kekayaannya. "Woi, buruan bayar. Ngapain disitu? Nggak mampu ya?" Tak cukup puas menghina Morgan, Derren pun tak melewatkan kesempatan untuk menghina Morgan. "Beliin lah, kasihan," sahut yang lain tentunya dengan nada ejekan. "Iya bro, kang ojek mana sanggup," "Ah elah sok melas. Uang hasil judinya kemana? Abis ya buat bayar kerugian lab?""Iya tuh. Mending ngrampo
"Ya gimana nggak viral. Jarang loh sekarang ini mahasiswa yang kuliah sambil kerja," Percakapan awalnya yang hanya sekedar bertukar identitas, kini masih berlanjut. Bedanya hanya mereka berdua saja yang duduk di depan ruko sembari menunggu hujan reda. Sedangkan dua bodyguard tadi, menghilang entah masih memantau dari kejauhan atau pergi begitu saja. "Biasa aja," sahut Morgan. "Menurut kamu biasa aja. Tapi nggak semua orang menilai apa yang kamu lakukan itu biasa," timpal Regina. Sesama penikmat hujan itu rupanya larut dalam suasana yang tenang sore itu. "Lagian, kamu tu udah lama jadi perbincangan dosen, mahasiswa sampai satpam kampus juga," Regina tak hentinya tersenyum menceritakan perspektif orang-orang terhadap sosok Morgan. "Karena tukang ojek?" "Ih enggaklah. Lebih tepatnya karena kamu tu hebat banget, berani eksperimen di lab yang jelas-jelas risikonya fatal," jelas Regina. Morgan mengerutkan dahinya. "Buset beritanya cepet banget kesebar. Padahal---""Ya karena kamu se
"Morgan jemput aku ya," Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Kebetulan pagi itu ponselnya tersambung jaringan wifi kos. "Ni cewek apaan sih, main minta jemput aja," desusnya. Enggan membaca pesan tersebut, tibq-tiba wanita yang sama mengirimkan pesan berupa lokasi suatu tempat. Hasrat kemasalan Morgan semakin menjadi-jadi begitu mengingat nama belakang wanita itu. "Ah malas kali ketemu bapaknya," ujarnya sambil menyalakan mesin motor. Usai tiba di kampus, Morgan melepaskan helmnya. Getaran dari ponselnya, membuatnya acuh karena sudah tau siapa yang menelfon. "Nggak bapaknya, nggak anaknya, ngeselin!!" makinya. Endingnya Morgan pun membuka ponselnya untuk melihat jadwal dan kelas mana yang akan ditempati matkul hari ini. Tak hanya itu Morgan yang merasa iba akhirnya membalas pesan dari wanita itu. [Sorry ya, baru buka hp pas di kampus]pesan terkirim."Jangan sampek ni cewek ngadu ke bapaknya terus bapaknya ngadu ke rektor," ujar Morgan sambil memasukkan ponselnya ke dalam
Aroma khas mie sedaap membangkitkan selera pria yang menghabiskan malamnya didepan laptop. Sesekali pria itu membagi pikirannya untuk mengingat algoritma serta menikmati kuah mie sedaap yang sangat cocok dengan hawa sejuk gerimis yang melanda kota Jakarta. Ya, biarpun memiliki rekening yang jumlahnya tak patut disebut sedikit, rupanya tak mengubah kebiasaan sederhananya. Selama ini secara tak sadar Morgan telah menikmati hidupnya menjadi anak kost. Hingga akhirnya ia terbiasa dengan hal sederhana yang menciptakan kebahagiaan tersendiri. "Lewat jam 12 tugas harus dikumpulkan. Kalau tidak jangan harap lulus matkul saya,"Bila mengingat ocehan dosen satu ini, muncullah beberapa ide untuk membuat professsor berinisial J itu naik darah. Bukankah sangat menyenangkan berdebat dengan pak Jensen? Baru saja Morgan menekan tombol Send pada sebuah situs google form. Dimana jam laptopnya menunjukkan pukul 23.58. "Ini! baru namanya tepat waktu," ucapnya sambil memetikkan jarinya. Beribu alasa
"Please! give me a chance to win," Seorang wanita berambut panjang duduk sambil memeluk lututnya. Morgan tak berani mendekat begitu tangisan wanita itu semakin menjadi-jadi. Dari iringan ia melihat sorot kedua mata sipit yang sembab. Bekas kacamata membekas disekeliling area bawah mata. Tampak beberapa kertas desain poster dan juga tulisan tangan yang memang dibuat dengan penuh kesungguhan. "Ya allah please, I have to win," ujarnya lagi.Morgan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan apa yang diucapkan wanita itu. "Regina.. apaan sih, ngapain juga dia nangis disini," batin Morgan. Membayangkan kesempurnaan nasib menjadi anak professor Robert membuatnya lupa bahwa wanita itu memiliki segudang beban yang tidak diketahui banyak orang. Hal yang membuat Morgan tersentuh hatinya adalah melihat dan mendengar secara langsung isak tangis seorang perempuan. Itu membuatnya tersiksa. Lantas ia mendekati wanita itu lalu duduk disampingnya. Ia memberanikan diri untuk menyentuh pundak wanit
"Bodoamat mau dikasih nilai Z, nggak ngaruh," ujar Morgan. Terlanjur kesal, Morgan memilih kembali ke kost untuk melanjutkan rutinitas utamanya. Apalagi kalau bukan tidur. Tapi biarpun begitu, angan-angan tidak lulus mata kuliah yang diampu oleh Prof. Robert terus menghantui pikirannya. Meskipun begitu, jiwa bar-barnya menjadi ciri khas seorang tukang ojek yang ternyata cucu konglomerat. "Besok lagi kalau ada orang mau bunuh diri nggak usah disamperin aja deh. Bikin repot aja," gerutunya sambil memakai helm. Tangan kanannya bersiap menekan stater motor. "Morgan! Morgan! Tunggu..," Suara yang tak asing di telinganya itu berhasil mengurungkan niatnya untuk pulang. "Regina," ucapnya begitu kedua matanya melihat seorang wanita berlari menghampirinya. Ia memutuskan untuk melepas helm, dan turun dari motornya. "Morgan! Kamu---" Regina berhenti tepat dihadapan Morgan. Itupun dengan keadaan nafasnya terengah-engah. Seperti habis marathon mengelilingi fakultas teknik."Atur nafas dulu
06.30~Pagi ini untuk pertama kalinya mahasiswa tersantuy seperti Morgan tiba di kampus. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, sekalipun hari ini tidak ada jadwalnya Prof. Robert. "Gabut banget hidupku sekarang. Ngojek enggak, kaya iya," ucapnya sambil berlalu melewati taman kampus. Keinginannya untuk ngojek bukan semata mencari uang. Melainkan sebagai satu-satunya cara untuk menikmati hidup sederhana dan menemukan secercah kebahagiaan baru yang mungkin tak bisa didapatkan dengan uang. "Kalau gini caranya, bisa mati bunuh diri gara-gara stres jadi cucunya Arthur Collim. Kayaknya nasibku sama anaknya Prof. Robert hampir sama deh. Ah sialan," gerutunya. Biarpun begitu tak terasa langkahnya mendekati tangga lantai dua. Dimana sebentar lagi ia tiba di ruang kelasnya. "Weiii kang ojek nongol juga akhirnya. Kemana aja kemarin," Lagi dan lagi ia dihadang oleh sekelompok geng resek itu. "Yaelah pasti ngojek lah. Kayaknya banyak orderan ya bro!" sahut yang lain sambil sok asyik mera
Bukan Morgan namanya kalau baterai ponselnya full. Ia datang ke kantin dan memilih meja yang ada stopkontak. Dengan begitu ponselnya yang tak jadul-jadul amat bisa dinyalakan."Mau pesen apa mas?" tanya seorang wanita. "Es teh aja," Baru saja wanita itu meletakkan daftar menu diatas meja, si Pelanggan tanpa pikir panjang langsung memesan menu. Pelanggannya kali ini memang sedikit menyebalkan. "Baik, ada lagi mas?""Nggak," "Baik, tunggu sebentar ya mas," Usai wanita itu pergi, Morgan mengeluarkan dompet tipuannya dimana hanya ada 5000 rupiah. "Duh, es tehnya tadi berapa ya. Auto jual ginjal kalau uangku kurang," ujarnya mendadak panik. Masa bodo dengan uang yang dia bawa, justru notifikasi telpon dari seseorang membangkitkan hasrat tangannya untuk memegang benda pipih tersebut. Tertera jelas deretan nomer tanpa nama. Yang benar saja, beberapa hari ini ia sering mendapat panggilan dari nomer tak dikenal. Seperti dikejar pinjol saja. "Hallo," ujarnya sambil mendekatkan ponselnya
Titt...Entah berapa kali Morgan menghubungi beberapa nomer dikontaknya. Namun sebagai penutup aktivitasnya malam ini, dia berniat ke parkiran rumah sakit untuk mengambil tasnya di jok motor. Begitu tiba di parkiran, Morgan langsung menuju ke motornya. Dan ini ke sekian kalinya ia mendapati ponselnya berdering. Brughh..Tasnya sudah dia ambil bersamaan dengan menjawab telpon dari seseorang. Siapa lagi kalau bukan bodyguardnya. Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Morgan merasakan sesuatu yang tidak beres. Suara langkah kaki yang pelan serta bayangan yang mengintai membuat bulu kuduknya merinding. Dalam remang-remang gelapnya parkiran, ia melihat sekelompok bayangan orang mendekatinya. Hatinya berdegup kencang, karena ia tahu ancaman telah mengintai. Ia sempat berpikir bahwa bayangan itu mungkin keluarga dari pasein lain yang dirawat di rumah sakit ini. Mungkin hal yang sama juga dilakukan orang itu. Setidaknya hal itu membuatnya tenang. Tapi yang benar saja bayangan itu semakin
Di setiap langkahnya, selalu diiringi doa. Di setiap nafasnya teriring restu untuk melangkah lebih laju. Barangkali Morgan lupa bahwa ia memiliki harta paling berharga. Tak ada tandingannya bila dibandingkan dengan harta atau sejenisnya. Detik yang dilalui terasa lebih lama, begitu melihat sosok paruh abad itu terbaring tak berdaya di ruang rawat inap. Dalam hati Morgan, untuk masih ada disini bukan di ICU. Kalau itu sampai terjadi, mungkin saat ini juga ia akan membantai musuhnya. Kalaupun boleh memutar waktu, maka Morgan memilih tidak melakukannya. Baginya untuk apa memutar waktu kalau pada akhirnya berada diluka yang sama. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Penyesalan pun bagai air liur yang ditelan tanpa rasa. Jangankan mencium kening kakeknya, cucu kesayangan Arthur Collim tak beranjak dari ambang pintu. Ada setitik kekhawatiran tapi semua itu tertutupi dengan hasrat ingin menghabisi musuhnya hari ini juga. "Permisi mas,"Alih-alih memikirkan balas dendam, su
"Kalau kamu ingat, saya pernah memaksa kalian bertiga untuk segera melakukan observasi ditempat yang jauh bahkan tempat itu hanya rekayasa. You know? Orang dan bangunan disana berasa didalam kendali saya," ucap Prof Gin. Morgan menggertakkan giginya. Ingin rasanya ia segera keluar dari ruangan ini. Namun naasnya pria itu membuatnya penasaran akan rencana murahan yang telah dirancang. "Rencana pertama berhasil. Dengan membuat kalian bertiga betah disana. Kemudian serangan terakhir saya adalah mengirimkan anak buah untuk merusak project kalian. Dengan begitu fokus kalian teralihkan pada masalah tersebut. Itu artinya semakin mudah tim IT untuk menyabotase ponselmu. Dan ternyata semua dokumen ada disitu. Sama sepertimu yang selalu memunculkan gagasan ide terbaru tentang program. Saya juga sering meluncurkan aplikasi hacker sekali klik, bisa mengakses seluruh informasi," sambung Prof Gin. 'Kurang ajar!! Jadi selama ini---' Morgan hanya bisa membatin. Sementara kedua tangannya mengepal.
Dalam hening koridor kampus yang sepi, Prof. Gin memimpin dua mahasiswa yang berjalan dibelakangnya. Morgan dan Derren mengikutinya dengan irama langkah yang sama. Sesekali mereka saling melempar tatapan sinis. Jelas di wajah mereka tersirat amarah yang belum terbalaskan. Ketika tiba didepan pintu ruangan, Prof. Gin segera membuka pintu dan mempersilakan keduanya masuk. Ruangan itu penuh dengan aroma buku serta pengharum ruangan yang khas. Rak-rak penuh dengan literatur teknologi dan dinding dipenuhi dengan sertifikat dan penghargaan. Prof. Gin duduk di meja kerjanya dengan santai, tetapi tatapannya tajam dan penuh otoritas. Morgan dan Derren berdiri di depan meja profesor itu, merasa seakan ditarik masuk ke dalam pusaran masalah yang lebih besar. "Silakan duduk," ucap Prof. Gin, suaranya yang tenang tidak mencerminkan kesabarannya. Kedua mahasiswa itu duduk di kursi yang tersedia. "Saya yakin kalian tahu mengapa kalian dipanggil ke sini," ujar Prof. Gin dengan nada naik turun
"Jadi selama ini atmnya ada di kalian?"Di depan ruko dua misterius itu menghadap Morgan. Merekalah bodyguard Arthur Collim yang berhasil dihubungi oleh Morgan. Sehingga mereka datang kesini itupun dengan penyamaran. "Benar tuan," sahut salah satu dari mereka. "KURANG AJAR! Jadi kalian yang narik uang itu," terlanjur naik pitam, Morgan menarik kerah baju pria itu hingga mendekat. "Demi Tuhan tuan, s-saya tidak pernah menyentuh apalagi mengecek isi atm tersebut," ujarnya ketakutan. "La terus siapa kalau bukan kamu," bentak Morgan. Geram dengan sikap bodyguardnya, Morgan sampai menghentakkan kaki melampiaskan amarahnya."Di rekening itu ada 4 triliun. Selama 24 jam hampir habis, ulah siapa kalau bukan ulah kalian!!!""Maaf lancang tuan muda. Beberapa hari ini tuan Arthur juga mengalami hal yang sama. Dana perusahaan juga menghilang. Jumlahnya tak sedikit tuan, hampir mendekati 2 triliun. Sedangkan rekening pak Arthur juga sepertinya dibajak oknum tak bertanggung jawab," ungkap seor
Pagi ini keluarga Jensen menyantap hidangan sarapan. Ruangan itu terhias elegan, dengan kursi-kursi empuk dan meja panjang yang dihiasi penuh dengan hidangan lezat. Semuanya terlihat begitu sempurna, seolah-olah menciptakan semacam kebahagiaan yang bersifat rutin di keluarga ini. "Itu tolong airnya ditambah ya bik,""Baik nyonya,""Sama satu lagi, ambilin buah di kulkas ya bik,""Iya nya,"Jauh sekali dengan kebiasaan Morgan sehari-hari. Yang hanya mengandalkan mie instan sebagai menu utama dan abadi. Jangankan duduk di meja makan, kos-kosannya saja tidak muat diisi seperangkat tempat duduk. Justru Kasur yang seharusnya menjadi tempat tidur malah digunakan sebagai alas apapun. Alas pantat, misalnya. Prof. Robert Jensen, duduk di ujung meja dengan sikap yang tenang. Dengan setelan jas yang rapi, dia memberikan kesan otoritas. "Ada kelas pagi yah?""Nggak,""Kok tumben berangkat pagi,""Mau rapat bentar,"Sedangkan Regina, anak semata wayangnya, duduk di seberangnya. Pakaian dan pena
Regina baru saja tiba di rumah setelah hari yang melelahkan di kampus. Namun, kelelahannya tak menjadikannya bermalas-malasan. Justru ia harus segera merawat rambutnya yang kusut. Regina berdiri di depan cermin kamar mandi, tetesan air masih terasa di kulitnya. Warna senja yang mulai meredup memancarkan sinar lembut ke dalam kamar mandi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Dia membiarkan handuk putih lembut melilit rambutnya yang basah, meresapi sensasi hangat setelah selesai keramas. Dalam kesendirian itu, Regina merasa seolah-olah kamar mandi menjadi tempat perlindungan dari segala masalah yang terjadi di luar sana. Tetesan air yang menetes dari rambutnya menciptakan melodi lembut yang seolah-olah membawanya ke dunia yang jauh dari keriuhan dan drama kampus. Ponselnya yang ditaruh di samping wastafel, tanpa disadari bergetar seiring dengan notifikasi yang masuk. Namun, Regina masih asyik mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Dalam keheningan tersebut sambil mengeringka
Teriakan dan tawa yang tak senonoh mulai mengganggu ketenangan. Geng Derren dengan bangga masih menyerbu bangku tempat ketiganya duduk. "Sekarang lihat sini, ini dia trio abal-abal! Masih nongkrong di sini sambil bermimpi sukses ya? Haha!" ujar Derren sambil menunjuk-nunjuk mereka satu per satu. Kedatangannya yang telat menjawab pertanyaan tiga trio ingusan itu. Yang sempat menanyakan keberadaan sang ketua geng. Tapi mbatin sih. "Bukan trio abal-abal tapi trio ingusan,""Oh ada baru ternyata,""Iyalah baru rilis,""Lebih cocok pakai nama itu deh. Lengkap juga formasinya ada kang ojek, ada pecundang, dan ada juga yang suka lapor ke dosen,""Ups, lengkap nggak tuh,"Jonathan yang biasanya cepat emosi, kali ini duduk dengan tenang. Ia membuka pesan dari Dion di ponselnya. Media tangkapan layar menunjukkan jumlah dana masuk di rekening Dion yang mencapai 700 juta rupiah dari klien yang telah mempercayakan proyek pada mereka. 'Gilaaak jauh dari perkiraan cuy,'batin Jonathan. Alis Jona
“Wooiii trio MJD,”Ketengangan di kantin sirna seketika. Saat itu hanya ada Morgan, Jonathan, dan Dion."MJD apaan?" Morgan melirik dua rekannya secara bergantian.Di tengah hiruk pikuk kampus Konoha, terdengar bentakan keras dari salah satu anggota geng yang dikenal sebagai musuh Morgan, seorang miliuner yang menyamar sebagai mahasiswa biasa. Geng tersebut terdiri dari Derren dan anak buahnya, yang telah menguasai kampus dengan perilaku intimidatif dan penindasan terhadap mahasiswa.Geng yang memerintah kampus tersebut memperlakukan mahasiswa berdasarkan status sosial dan kekayaan, bukan berdasarkan kemampuan akademik atau kepribadian. Mereka terus memperluas kekuasaan mereka tanpa ada yang berani melawan atau melaporkan tindakan mereka.Di tengah kondisi seperti itu, masih ada pertanyaan apakah ada mahasiswa lain yang berani menentang geng tersebut dan apakah ada harapan untuk mengembalikan keadilan di kampus Konoha.Dengan demikian, kehidupan kampus Konoha dipenuhi dengan keteganga