“Siapa Bi?” tanya Rangga.“Katanya dari Klien bisnis anda, Tuan.”Rangga mengangguk, lalu meminta izin pada Febby untuk menemui tamu yang dimaksud.Ternyata bukan klien bisnisnya yang datang, melainkan asisten dari klien bisnis Rangga membawa banyak perlengkapan bayi untuk Elina dan Elio.Banyak sekali yang ikut bahagia dengan kelahiran si kembar. Setelah menurunkan semuanya dari mobil box, Rangga mengucapkan terima kasih.“Sampaikan salam saya pada atasanmu ya, Mike,” ucap Rangga.“Baik Tuan, saya pamit dulu.”Rangga pun mengangguk dan mengantar sampai halaman depan. Setelah itu kembali masuk ke dalam rumah.Rangga sangat bahagia, ternyata begini rasanya menjadi orang tua, pikirnya. Rangga bersumpah akan menjaga istri dan anak-anaknya dengan segenap jiwa dan raga, dia juga tidak akan membiarkan Febby memakai KB karena Rangga ingin punya banyak anak agar rumahnya ramai. Semua sudah terencana dalam benaknya.****Suasana di rumah besar itu malam ini terasa lebih hangat sejak kepulangan
Pagi berikutnya, sinar matahari menembus tirai kamar tidur mereka, memberikan cahaya lembut yang membangunkan Rangga. Dia melirik ke sebelahnya, Febby masih terlelap dengan nafas yang tenang. Senyum kecil tersungging di wajahnya, menyadari betapa hebat istrinya dalam menghadapi peran baru sebagai ibu.Sebelum tangis si kembar memecah kesunyian pagi, Rangga memutuskan untuk bangun lebih dulu. Rangga menuju ke kamar mandi untuk gosok gigi dan membersihkan wajah.Kemudian dia berjalan menuju kamar bayi, memastikan Elio dan Elina masih tidur dengan tenang. Suster Barbara sudah bersiap di sana, menyiapkan botol susu dan perlengkapan pagi untuk si kembar."Selamat pagi, Tuan," sapa suster Barbara dengan senyuman hangat. “Pagi juga suster.”Tangisan Elina mengusik obrolan pagi itu, “saya kasih susu dulu untuk baby Elina Tuan, anda istirahat saja,” kata Barbara.Rangga mengangguk, merasa bersyukur memiliki suster Barbara yang selalu sigap membantu. Kini giliran Elio yang mulai merengek."Te
Rangga mendekati buah hatinya lagi. Dia akan dengan setia menemani sang istri untuk merawat buah cinta mereka.“Cepat besar ya sayang, jangan kelamaan ambil jatah susunya Papa,” ucap Rangga sambil mengusap lembut pipi Elina. Sementara Elio kembali terlelap di boks bayinya.“Sayang,” panggil Rangga.“Iya sayang?” jawab sang istri.“Aku kapan boleh melakukannya sayang? Kangen tahu. Masih keluar darah gak?” tanya Rangga. Febby mendengus pelan, sejak sehari habis melahirkan sang suami sudah merengek minta jatah.“Aku ini lahiran normal sayang, pastinya lama lah nunggu bersihnya,” jawab Febby.Rangga berdecak, “kalau begitu pakai mulut saja ya sayang? Please,” Rangga merengek seperti anak kecil.Tak punya pilihan lain, dan Febby kasihan juga melihat suaminya gelisah. Setelah Elina kembali tidur pulas, Febby dan Rangga masuk ke dalam kamarnya.“Loh, kok duduk?” tanya Rangga saat sang istri duduk di atas sofa kamar mereka.“Katanya mau pake mulut?” Mendengar itu Rangga tersenyum lebar. Dia
Arka mendongak, matanya membulat kaget. Perempuan itu... Nabila?Wanita itu berdiri dengan senyum lembut yang masih sama seperti dulu. Nabila, cinta pertamanya, yang terakhir kali dilihatnya bertahun-tahun lalu saat mereka masih SMA. Dia tidak percaya matanya. Bagaimana mungkin wanita ini tiba-tiba muncul di depan matanya lagi? Dan di tempat ini?Arka mencoba menenangkan diri, meski tubuhnya terasa kaku. "N-Nabila?" suaranya terdengar bergetar, namun ia berusaha tetap tenang.Nabila tersenyum lebih lebar, lalu melangkah masuk ke ruangan dengan anggun. "Hai, Arka. Lama tidak bertemu." Suaranya masih terdengar sehangat dulu, dan itu membuat jantung Arka berdetak lebih cepat dari yang diharapkannya.Arka langsung berdiri dari kursinya, masih setengah tak percaya. "Iya, lama sekali," gumamnya. Pikirannya langsung berputar-putar, mencoba memahami situasi ini. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Nabila tertawa kecil, senyum di wajahnya tak pernah pudar. "Aku dapat panggilan kerja, Arka. Pek
Tepat pukul 01.00, Monica duduk di meja kerjanya dengan gelisah, lampu meja kecil menerangi ruangan yang sunyi. Di tangannya, sebuah telepon yang terus dipelototi. Wajahnya tegang, alisnya berkerut, menunjukkan betapa frustrasinya dia. Sudah berhari-hari Monica menyusun rencana untuk mengacaukan bisnis Rangga, khususnya dengan menghancurkan salah satu gudang milik suami Febby itu. Namun, berita yang baru saja diterimanya membuat kemarahannya meledak.Ponselnya bergetar, dan pesan dari anak buahnya masuk. Saat membacanya, Monica mengepalkan tangannya dengan kuat."Bos, kami nggak bisa masuk ke gudangnya. Keamanannya ketat, lebih dari yang kami duga."Monica meremas ponselnya, lalu membantingnya ke meja. "Apa-apaan ini!" desisnya penuh amarah.Selama ini, Monica selalu berusaha untuk menjatuhkan Rangga secara perlahan, menggunakan cara-cara licik dan diam-diam. Dia merasa sudah merencanakan segalanya dengan baik, mulai dari mengamati sistem keamanan gudang, mempelajari pola penjagaann
Dengan perasaan hangat di hatinya, Rangga berangkat ke kantor. Hari ini dia merasa lebih siap, lebih segar, dan lebih fokus. Perasaannya terhadap keluarga kecilnya membuatnya semakin semangat untuk menjalani hari. Setelah beberapa hari merasa kewalahan dengan tanggung jawab di rumah dan di kantor, pagi ini semuanya terasa lebih ringan. Dia tahu bahwa tak ada yang lebih penting daripada kebersamaan dengan orang-orang yang ia cintai.Setelah sampai di kantor, Rangga langsung disambut oleh asistennya, Arka, yang sudah menunggu di meja depan ruang CEO. "Selamat pagi, Tuan," sapa Arka dengan penuh hormat."Pagi, Arka," jawab Rangga sambil mengangguk. "Gimana? Udah siap untuk meeting nanti?""Sudah siap, Tuan. Semua dokumen dan presentasi sudah saya siapkan. Tinggal menunggu arahan anda," jawab Arka dengan sigap.Rangga mengangguk puas. "Bagus. Saya harap semuanya berjalan lancar hari ini."“Di mana Nabila?” tanya Rangga.“Masih di ruang HRD, Tuan.”Rangga mengangguk, lalu masuk ke dalam
Saat Rangga sedang sibuk di ruang kerjanya, dia mendapat telepon dari tim IT di kantornya, sementara Arka masih mengerjakan tugas lain.“Tuan, ini dari keamanan. Ada sesuatu yang perlu anda lihat,” suara dari tim keamanan terdengar sedikit tegang.Rangga mengerutkan kening. "Ada apa?"“Baru saja kami cek rekaman CCTV di pabrik utama. Sepertinya ada penyusup masuk tadi malam.”Hati Rangga langsung berdegup lebih cepat. "Penyusup? Oke, saya turun ke ruang kontrol sekarang. Kirim rekamannya ke saya juga."Tanpa berpikir dua kali, Rangga segera meninggalkan meja kerjanya dan berjalan cepat menuju ruang kontrol di lantai bawah. Sesampainya di sana, tim keamanan sudah menyiapkan monitor dengan rekaman yang siap diputar."Ini, Tuan," kata salah satu petugas sambil memutar rekaman. Dalam layar, terlihat bayangan beberapa orang masuk ke area pabrik pada dini hari, saat aktivitas pabrik sudah berhenti. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan bergerak dengan sangat hati-hati.Rangga memperhati
Monica mengumpulkan seluruh anak buahnya. Ia tak terima diancam oleh Rangga. Ia juga bingung bagaimana Rangga bisa mengetahui kalau orang-orang itu adalah kirimannya. Setelah mereka semua berkumpul, Monica pun mulai bertanya pada orang suruhannya itu."Kalian ini bagaimana, sih? Kenapa bisa tertangkap CCTV? Kalian tahu tidak, Rangga mengancam saya akan melaporkan saya ke polisi kalau sampai ada apa-apa dengan pabriknya. Dia melihat wajah kalian! Kalian ini bodoh apa gimana, sih? Mengerjakan tugas yang biasa kalian lakukan sampai lalai seperti ini!" teriaknya penuh emosi.Monica merasa bahwa dia sudah membayar harga yang fantastis, namun justru dirinya kecewa atas tindakan anak buahnya yang kurang hati-hati dalam bekerja."Maaf, Nona. Kami sudah berusaha untuk berhati-hati. Kami juga sudah mulai memakai topeng sebelum memasuki pabrik itu. Seperti yang saya bilang sebelumnya, ternyata pengamanannya di pabrik tersebut sangat ketat dan tidak seperti dulu lagi. Kami bahkan hampir tertangka