Ceklek
Suara pintu yang akan dibuka mengejutkan Alissa. Ia segera berbaring di ranjangnya, lalu pura-pura tidur dan menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. Pintu pun terbuka, tampak Erick yang masuk ke dalam kamar. "Kamu sedang tertidur pulas rupanya. Heh, seharusnya kamu sudah tenang di atas sana. Tapi sayang, aku masih membutuhkanmu sampai perusahaan itu benar-benar menjadi milikku. Tapi kamu tenang saja, hal itu tidak akan lama lagi terjadi." Erick mengusap lembut pipi Alissa, lalu mencengkeram rahang Alissa. Sekuat tenaga, Alissa menahan rasa sakitnya. Di dalam selimut, tangannya mengepal begitu kuatnya. Ia bertanya dalam hati, 'Apa ini yang kamu lakukan selama aku tidak sadarkan diri karena obat itu, Mas!' Erick yang melihat tidak ada perlawanan dari Alissa, menjadi yakin bahwa yang ia pikirkan ternyata salah. Ia yakin bahwa Alissa masih dalam kendalinya. Erick pun melepas cengkeraman tangannya, lalu tidur di samping Alissa. Sementara Alissa, tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat. Ia semakin takut, tetapi ia harus tetap bertahan sampai ada yang menolongnya. . Di pagi yang cerah, di dalam gedung perusahaan terbesar di kota, tampak seorang pemuda dengan outfit dan lengan kemeja yang digulung, juga kancing terbuka 2, melenggang begitu saja menuju ruangan yang terletak di lantai 10. Ia masuk ke salah satu ruangan yang ada di sana. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara seseorang. "Bagus ya, sudah jam berapa ini! Kenapa kamu telat terus? Bukannya hari ini ada meeting?" Baru saja Reyvan datang, ia sudah dihujani banyak pertanyaan oleh kakaknya, Rena. "Hehe, peace Kak! Aku tadi bangun kesiangan, meeting kan bisa ditunda nanti siang. Kakak pasti bisa menghandlenya, Kakak kan superwoman-ku!" jawab Reyvan cengengesan, seraya menunjukkan dua jari pada kakaknya. "Kamu itu CEO di sini! Setidaknya, kasih contoh lah yang baik pada karyawanmu! Lalu, pakaianmu itu ... Ya ampun, bisa tidak jangan kayak gitu. Heran aku, kok bisa orang kayak kamu mimpin perusahaan besar seperti ini." "Ya bisa dong, Kak! Yang kerja kan otak, bukan penampilan!" ucap Reyvan menuju mejanya, lalu duduk di kursi kebesarannya. "Tumben, Kakak tunggu aku di sini! Ada apa, Kak?" tanya Reyvan. "Kakak, mau minta tolong sama kamu! Kamu masih ingat kan, teman kakak yang namanya Alissa? Sekarang ini ia dalam bahaya. Aku ingin kamu menolongnya, keluarkan teman kakak itu dari rumah suaminya." "Keluarkan dia dari rumah suaminya? Emang siapa yang mengancam nyawanya, suaminya?" tanya Reyvan memastikan. Bagi Reyvan itu sungguh aneh, bagaimana mungkin seorang suami tega mencelakai istrinya sendiri. "Kakak juga belum tahu jelas, semalam saat dia hubungi Kakak tiba-tiba ponselnya mati. Jadi, kamu harus ke sana. Pastikan dia tidak apa-apa di sana!" "Biar aku pikir-pikir dulu, nanti aku akan hubungi kakak kalau aku bisa." Reyvan tidak langsung menyanggupi permintaan kakaknya. Lagi pula, kakaknya bisa saja meminta anak buahnya, kenapa ia yang harus repot-repot. "Ya sudah, Kakak pergi ke ruangan Kakak dulu. Ingat, kamu harus bantu Kakak!" Reyvan tidak menanggapi ucapan kakaknya, ia hanya diam lalu memulai pekerjaannya. Reyvan Adinanta, seorang CEO yang sukses di usianya yang masih sangat muda. Dengan meneruskan usaha ayahnya di bidang properti, Reyvan berhasil membawa Adinanta Group menjadi perusahaan terbesar di kotanya. Namun, Reyvan menyembunyikan statusnya sebagai CEO Adinanta Group untuk mengelabuhi para musuhnya. Para musuhnya mengira Rena lah CEO Adinanta, dengan begitu mereka hanya akan menganggap remeh perusahaan Adinanta dan mengira perusahaan Adinanta tidak akan bertahan lama karena dipimpin oleh seorang perempuan. Tanpa mereka tahu ternyata ada sosok jenius muda di balik perusahaan Adinanta. Sementara itu, hanya para karyawan lah yang tahu jika Reyvan adalah CEO yang sesungguhnya. Reyvan memang mempunyai sifat agak tengil, bahkan ia selalu datang ke kantor sesukanya. Namun, saat ia bekerja, ia akan sangat fokus dan konsisten. Saat ini ia sedang disibukkan dengan berkas-berkas yang menumpuk, yang baru saja di antar oleh sekretarisnya. Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang, baru saja Reyvan menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka. Ia pun langsung menoleh untuk melihat siapa yang masuk, karena jika karyawan pasti akan ketuk pintu dulu. Ia terkejut saat melihat ternyata mamanya, Risa, yang datang. "Mama! Tumben Mama kemari?" tanya Reyvan. "Memang nggak boleh, Mama kemari! Apa harus penting dulu, baru Mama boleh kemari?" Bukannya menjawab, Risa malah bertanya balik pada Reyvan. "Bukan gitu, Ma! Mama boleh kok kapan aja kemari, cuma tumben saja. Biasanya, kan, Mama ke sini kalau ada perlunya," ucap Reyvan, seraya berjalan mendekati mamanya. "Sekarang, Mama pengen apa? Tas, baju unlimited, sepatu atau apa Ma?" ucapnya lagi, lalu memeluk mamanya. "Bukan itu, Rey! Tapi yang lain," jawab Risa. "Kalau gitu apa, Ma? Bilang sama Rey, Rey pasti akan kabulin!" ucap Reyvan masih memeluk mamanya dan menggiring mamanya untuk duduk di sofa. "Mama nggak minta banyak, Rey! Mama cuma minta kamu segera menikah. Anak teman Mama dari Singapura akan datang. Kamu mau kan menikah dengan anaknya?" Seketika Reyvan melepaskan pelukannya. "Menikah? Ma ... bukankah sudah kubilang, aku belum bisa, Ma! Lagian aku tidak kenal sama anak teman Mama," tolak Reyvan. "Lalu, kamu mau melajang sampai kapan? Mama sudah pengen punya mantu kayak teman-teman Mama," desak Risa. Namun Reyvan tak bergeming, ia tak menanggapi sedikit pun ucapan mamanya. Risa yang merasa diabaikan oleh putranya, merasa marah. Ia pergi begitu saja meninggalkan Reyvan. Sementara Reyvan, ia tidak memperdulikan kemarahan mamanya. Ia yakin kemarahan mamanya akan mereda dengan sendirinya, seperti yang sudah-sudah. Hingga hampir malam, Reyvan tidak pulang kantor. Ia terus memikirkan permintaan mamanya. Ia tidak mau menikah dengan orang yang tidak dikenalnya, tapi ia sendiri bingung harus bagaimana. Namun, tiba-tiba ia teringat permintaan kakaknya untuk menolong Alissa. Reyvan pun tersenyum penuh arti, kini ia mempunyai cara untuk menghindari desakan mamanya untuk menikah. Reyvan segera menghubungi kakaknya untuk meminta alamat Alissa. Malam itu juga ia ingin menjalankan rencananya. Ia akan menghindari perjodohan yang di atur mamanya dengan memanfaatkan Alissa. Setelah mendapatkan alamat Alissa, Reyvan segera pergi dari kantornya menuju rumah Alissa. Kini Reyvan sudah berada di depan Rumah Alissa. Ia melihat rumah mewah 2 lantai yang di sampingnya terdapat taman yang tampak asri. Tepat di atas taman itu, di lantai 2 terdapat balkon kamar yang menurut informasi dari kakaknya itu adalah balkon kamar Alissa. Reyvan melihat ke arah gerbang, malam ini sepertinya adalah malam keberuntungannya karena 2 security yang ada di sana sedang tertidur pulas. Dengan bekal ilmu bela diri yang ia punya, Reyvan dengan mudah memanjat masuk gerbang lalu memanjat tiang yang menempel pada tembok, hingga ia bisa sampai di balkon milik Alissa. Di waktu yang bersamaan, ternyata Alissa juga sedang berjalan menuju balkon. Seketika matanya terbelalak. Ia terkejut saat tiba-tiba ada orang asing di depannya. "Siapa kamu?" teriak Alissa. ***Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya. Ia merasa lega karena berhasil mengelabuhi Riana untuk tidak minum obat mematikan itu. Alissa berpikir, 'Entah sampai kapan ia harus pura-pura seperti ini.' Namun apa daya, hanya itu yang bisa ia lakukan supaya terhindar dari bahaya Erick yang ingin membunuhnya untuk sementara waktu. Riana sudah pergi tidur. Sementara Erick, sedang pergi untuk makan malam dengan kliennya. Alissa merasa bebas, ia tidak perlu pura-pura untuk sementara waktu, setidaknya sampai Erick pulang. Alissa berjalan menuju balkon untuk menikmati angin malam. Namun saat ia sampai pada pintu menuju balkon, seketika matanya terbelalak. Ia sangat terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang baru saja datang dari bawah. "Siapa kamu?" teriak Alissa. Reyvan yang juga sama terkejutnya seperti Alissa, dengan cepat bergerak menghampirinya, lalu menarik tubuh dan menyandarkannya pada tembok. Alissa pun terkejut dengan apa yang di lakukan oleh Reyvan. Hampir saja ia berteriak l
"Emph ... " Mendadak ada yang menarik tubuh Alissa hingga terhuyung ke belakang dan membentur dada orang itu. Alissa yang masih dibekap, tubuhnya meronta-ronta, berusaha lepas dari dekapan orang di belakangnya. Namun tenaganya tidaklah sebanding, sehingga Alissa sulit untuk melepaskan diri. Alissa sangat mengenali bau parfum orang yang membekapnya, dan ia yakini itu adalah Erick. 'Kenapa Erick lakukan ini? Apa Erick akan melakukannya sekarang? Apa aku akan dibunuh sekarang?' ucap Alissa dalam hati. Mendadak, ia pun merasakan takut luar biasa. Erick terus membekap dan menggiring Alissa, lalu melepaskannya saat agak lebih jauh dari kamar Ellena. Alissa merasa lega, karena ternyata Erick tidak membunuhnya sekarang. "Maaf, Sayang! Aku langsung menarikmu begitu saja. Aku tidak mau kamu menemui Ellena sekarang." Seketika Alissa membelalakkan matanya. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" Meski sedikit takut, Alissa memberanikan diri untuk bertanya pada Erick. Ia
"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick."Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?""Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya. Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa."Mana lihat!" "Ini ... sudah
Alissa dengan sekuat tenaga menahan rasa sakit pada jarinya yang dengan sengaja di tusuk-tusuk jarum oleh Erick. Alissa tidak menyangka Erick begitu kejam memperlakukan dirinya bahkan saat ia tak berdaya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya menegang, matanya semakin terpejam. Berusaha untuk tetap diam dan menerima semua perlakuan Erick padanya karena hanya dengan cara itu ia akan tetap aman. "Bangunlah! Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sedang mengelabuhi kami, hah?!" ucap Erick sembari masih menusuki jari tangan Alissa. Namun, Alissa tetap bergeming. Tidak ada sama sekali pergerakan dari Alissa hingga akhirnya Erick pun menghentikan kegiatannya. "Sepertinya kau masih beruntung. Bersyukurlah karena aku masih membiarkan kau hidup selama ini," ucap Erick lagi seraya mengusap pipi Alissa. Alissa yang masih pura-pura memejamkan matanya, hanya bisa berharap Erick segera pergi dari kamarnya. Berada dalam satu ruangan dengan Erick seakan membuatnya sesak. "Ma-maaf, Tuan! Sepertinya
Alissa dan Reyvan keluar dari kamar berjalan menuju ruang kerja Erick yang kebetulan tidak jauh dari kamar Alissa di deretan paling ujung. Kini keduanya pun sampai di ruang kerja Erick. "Baiklah, Kakak sekarang cari di mana obat itu sementara aku akan mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti," pinta Reyvan.Alissa mengangguk, kemudian keduanya menggeledah semua barang yang ada di sana. Namun, belum sempat keduanya mendapatkan apa yang mereka cari, mereka mendengar suara mobil yang datang. "Kenapa ada suara mobil? Jangan-jangan suamimu kembali," ucap Reyvan."Kamu benar, bagaimana ini?" tanya Alissa khawatir. "Kita harus kembali ke kamarmu sekarang." Tanpa sadar Reyvan menarik tangan Alissa lalu menggandeng Alissa pergi menuju ke kamar Alissa kembali. Dengan langkah cepat, Reyvan menarik Alissa tanpa melihat kondisi Alissa di belakangnya. Hingga ketika sampai di kamar Alissa, Reyvan begitu terkejut saat menoleh ke belakang dan melihat Alissa yang tampak tidak baik-baik saja
"Dari mana saja kamu, Reyvan?" Reyvan membelalakkan matanya saat melihat sosok wanita yang sangat berarti dalam hidupnya berada di sana. "Hehe ... Mama. Kapan Mama datang?""Itu nggak penting. Bukannya hari ini tidak ada pertemuan dengan klien, kenapa bisa pulang selarut ini?" Risa melipat kedua tangan di perutnya seraya mengerutkan keningnya, heran dengan apa yang dilakukan oleh putranya."Aku? Ya pergi main, lah, Ma! Memang mau dari mana lagi?" Reyvan mendekati mamanya lalu memeluk mamanya dari belakang. "Mama tumben kemari, mama sendiri apa sama kak Rena?""Main sama siapa? Mama tahu kamu bohong. Nggak usah mengalihkan pembicaraan, cepat katakan!" Vira pun melepaskan pelukan Reyvan lalu memutar tubuhnya menghadap Reyvan. "Teman lama, Ma. Mama nggak percaya, sama Reyvan?" "Percaya Rey ... Mama penasaran saja karena tidak biasanya kamu seperti ini."Sudahlah, mending Mama istirahat saja. Kita bicarakan ini lagi besok. Ayo! Rey antar mama ke kamar?" Reyvan pun menggiring mamanya nai
Mendengar pertanyaan Alissa, seketika membuat Erick gugup dan memalingkan wajahnya. Wajah Erick tampak memerah, seperti menahan amarah, juga tangannya terkepal kuat. Namun, sejenak kemudian Erick mencoba mengendalikan dirinya dan bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Erick menoleh lagi ke arah Alissa dengan senyum merekah di bibirnya. "Aku tidak tahu, Sayang. Tidak mungkin ada yang berani menyakitimu," ujar Erick.Tanpa Erick sadari, semua gerak gerik Erick sebelumnya tak luput dari perhatian Alissa. Alissa dapat melihat jelas dengan perubahan yang terjadi pada Erick. "Tapi Mas ... kalau memang tidak ada, kenapa aku bisa terluka?" desak Alissa.Desakan Alissa membuat Erick semakin geram. Erick menjadi berpikir, kenapa Alissa semakin lama semakin terlihat sehat. Erick yang tak ingin terlalu memikirkannya pun mencoba untuk melimpahkan kesalahannya pada Riana. "Coba nanti aku tanyakan pada Riana, Sayang. Jika sampai dia terlibat, aku pasti akan memberinya pelajaran."Lagi-lagi Alissa te
Setelah mendengar semua percakapan Erick dan Riana, Alissa segera pergi meninggalkan ruang kerja Erick menuju meja makan. Tubuhnya sedang berjalan, namun pikirannya seakan di tempat. Ia terus terpikirkan oleh ucapan Erick yang ingin memastikan perihal obat yang harusnya ia minum. Alissa tidak menyangka, ternyata sikapnya telah membuat Erick curiga. Akhirnya Alissa pun tiba di meja makan. Ia duduk di salah satu kursi meja makan seraya menunggu Erick dan Riana. Tak sampai lama ia menunggu, Erick tampak datang seorang diri. "Kamu dari mana saja, Mas? Aku cari-cari, kok tidak ada?" bohong Alissa."Aku tadi dari ruang kerja, Sayang. Aku harus periksa berkas proposal yang akan aku ajukan pada klien lebih dulu." "Ooh ...." Alissa hanya menganggukkan kepalanya mengerti. "Ya sudah, ayo kita makan, Mas!" Erick bergegas mengambil centong makan dan menyiapkan makanan untuk Alissa, namun tiba-tiba tangan Alissa terangkat mencegah Erick melakukan itu. "Jangan, Mas! Kamu siapkan untuk dirimu se
Erick seakan murka saat menyadari bahwa Alissa dan Rena tidak ada di ruang UGD. Dia mulai curiga bahwa semua ini hanyalah akal-akalan Rena. Dia pun teringat tadi pagi saat Rena tiba-tiba memaksa untuk membawa Alissa pergi dari rumah, sementara selama ini Rena sendiri tidak pernah tahu apa-apa tentang kondisi Alissa. Erick mulai meyakini bahwa semua itu tidak hanya kebetulan. Dengan langkah cepat, Erick pergi dari ruang UGD dan memutuskan untuk mencari keduanya. Erick hampir saja menghubungi seorang preman untuk mencari di mana keberadaan Alissa, tetapi tiba-tiba saja dia melihat Rena yang sedang berjalan menuju ruang ICU. Seketika dia mengerutkan kening. Dia mengira Rena telah membawa Alissa pergi jauh ke luar rumah sakit, tetapi ternyata Rena masih ada di sana. Lelaki itu pun berusaha mengejar Rena."Rena, tunggu!" panggil Erick setengah berteriak saat Rena tiba di depan ICU. Mendapat panggilan itu, seketika membuat Rena tersenyum senang. Dia tidak menyangka ternyata rencananya ber
Erick membawa Alissa ke rumah sakit sesuai dengan permintaan Rena. Di dalam ruang UGD, Alissa sedang di periksa oleh Dokter yang jaga saat itu. Sementara di luar, Erick tampak mondar mandir gelisah. Namun, bukan takut karena terjadi sesuatu pada Alissa, melainkan takut jika rahasianya selama ini terbongkar. Rena yang juga ada di sana, duduk diruang tunggu sambil menatap sinis Erick. Rena tahu, pasti sekarang ini Erick sedang memikirkan bagaimana cara agar tidak ketahuan dan juga mungkin berencana untuk segera mencelakai Alissa. Akan tetapi, kali ini dia dan Reyvan tidak akan membiarkannya. Rena dan Reyvan akan berusaha semampunya untuk membantu Alissa. Mendadak senyum seringai tampak terlihat di wajah Erick, membuat Rena yang melihatnya yakin bahwa Erick telah menemukan suatu cara. "Kamu bisa saja membuat rencana, Erick. Tapi saat kamu menjalankan rencana itu, aku akan sudah membawa Alissa pergi dari sini," ucap Rena dalam hati.Rena dan Erick tidak menyangka, bahwa pemeriksaan Alis
"Bohong? Siapa yang membohongimu?" tanya Alissa pura-pura bingung. Saat melihat Rena masuk ke kamar, memang sedikit membuat terkejut Alissa. Namun, dengan cepat Alissa bisa menguasai diri. pertanyaan Rena yang menuduh Erick berbohong pasti ada hubungannya dengan cara Rena sehingga akhirnya bisa masuk kamarnya. "Alissa, masa suamimu ini bilang kalau kamu lagi sakit. Nggak, kan, Alissa? Bukannya kemarin kamu tidak apa-apa?" cecar Rena, "Aku tahu, suamimu ini pembohong emang," lanjutnya. Alissa menatap Rena dan Erick yang juga baru datang secara bergantian, kemudian matanya terfokus pada Erick. "Erick, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sakit? Sejak aku bangun tadi, kita bahkan belum bertemu." "Sayang. Kamu beneran sakit?" tanya Erick pura-pura terkejut, padahal dia sendiri yang telah sengaja memberi obat pelumpuh pada Alissa dengan dosis tinggi. Erick berjalan menghampiri Alissa, lalu pura-pura khawatir pada Alissa. "Yang sakit mana, Sayang? Tapi kamu gak pa-pa, kan? Alissa
Di rumah Reyvan, tepatnya di kamar, Reyvan baru saja selesai bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Reyvan berjalan ke arah pintu untuk keluar. Akan tetapi langkahnya terhenti kala ia merasakan getaran ponsel di saku celananya. Dengan cepat Reyvan merogoh saku celana dan mengambil ponselnya. Tampak nama Alissa tertera di layar ponsel. Reyvan tersenyum lebar. Ia senang Alissa menghubunginya, karena sejak semalam ia tidak berhasil menghubungi Alissa. Reyvan menyentuh layar ponselnya dan langsung terhubung dengan Alissa. Raut wajah Reyvan seketika memerah, rahangnya mengeras setelah mendengar semua yang di ucapkan oleh Alissa. Apa yang ditakutkannya terjadi. seperti kata Denis, Erick telah berhasil memberi Alissa obat dengan dosis tinggi. Tanpa pikir panjang, Reyvan segera menghubungi Rena. Ia menceritakan semua yang telah terjadi kepada Alissa, juga meminta bantuan Rena untuk membawa Alissa keluar dari rumahnya. Setelah itu, Reyvan segera melangkah pergi menuju tempat Denis berada. Dia
Di kantornya, Reyvan baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tadi siang setelah Reyvan menemui Denis, ia langsung kembali menuju kantornya, untuk memeriksa beberapa masalah yang terjadi dengan perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaannya. Sebelumnya kakaknya, Riana, melaporkan ada salah satu perusahaan mitra kerja mereka ketahuan telah berbuat curang. Untuk itu Reyvan harus menyelidiki dan mengatasinya sendiri.Dari penyelidikan yang dilakukan oleh anak buahnya, Reyvan dibuat terkejut seketika. Ternyata dibalik pengkhianatan mitra kerjanya itu, ada hubungannya dengan perusahaan milik Alissa yang saat ini berada dalam kekuasaan Erick. "Ooh ... jadi begini cara kamu bermain, Erick? Sepertinya kamu belum mengenal siapa lawanmu," gumam Reyvan, tersenyum sinis.Berpikir tentang Erick, Tiba-tiba Reyvan pun terpikirkan tentang Alissa. Ia teringat ucapan Denis yang mengatakan bahwa Erick berencana memberi Alissa obat dengan dosis tinggi. Rasa khawatir pun memenuhi benak Reyvan. Seketika ia
"Sebenarnya apa tujuan Anda? Tolong katakan dengan jelas!" Denis tidak menyangka bahwa apa yang dia dan Erick lakukan pada Alissa telah diketahui oleh orang lain. Denis berpikir, kenapa Erick selama ini tidak pernah memberitahunya tentang masalah ini? "Apa kamu juga tidak tahu? Jika ya, maka kamu dalam masalah besar, Erick," ucap Denis dalam hati."Setelah semua pembicaraan kita tadi, aku yakin kamu tahu jelas maksudku. Kamu pikir, aku dapat darimana obat itu?" Mendengar ucapan Reyvan, seketika keringat dingin mengucur deras dari wajah Denis. Ia gugup. Ia mulai berpikir semua ini pasti ada hubungannya dengan Alissa. "Maksudnya, Anda ke sini atas perintah Alissa?" Denis sudah tidak dapat menahan diri dan langsung bertanya pada tamu misteriusnya itu."Lebih tepatnya, aku datang untuk membantu Alissa dari kekejaman kalian." Reyvan berkata seraya menatap tajam Denis. "Aku tahu, kalian telah merencanakan sesuatu untuk mencelakai Alissa, bukan?""La-lalu apa yang akan Anda Lakukan? Saya ti
Tampak mobil yang ditumpangi Reyvan sedang memasuki kawasan perumahan tempat tinggal Denis dan berhenti tepat di depan klinik Denis. Reyvan sudah tidak punya waktu lagi, ia harus segera mengatasi masalah obat yang sudah lama dikonsumsi oleh Alissa. Ia pun segera keluar dari mobil dan berjalan menuju klinik Denis. Di sekitar Klinik terlihat sangat sepi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Reyvan bergegas memencet bel yang ada di samping pintu masuk. Begitu bel berbunyi, tak lama terdengar suara langkah kaki yang mendekat dari dalam. Pintu pun akhirnya terbuka. "Maaf, dengan siapa?" tanya Denis yang Baru saja membuka pintu kliniknya. Reyvan yang semula membelakangi pintu, seketika menoleh ke arah Denis. "Aku ada perlu dengan kamu. Bisa kita bicara sebentar?" tanya Reyvan dengan gaya sok tengilnya.Denis mengerutkan alisnya. Ia tidak kenal siapa orang yang ada didepannya saat ini, tetapi kenapa orang itu mencarinya? Berbagai pertanyaan pun muncul di benak Denis. Akhirnya D
Tubuh Alissa terasa menegang kala tiba-tiba merasakan jari-jari tangannya terus-terusan ditusuk jarum. Sekuat tenaga Alissa menjaga dirinya agar tidak terpancing. Bagaimanapun ia harus tetap bertahan. Alissa tidak mengerti kenapa tiba-tiba Erick menyakitinya lagi. Hanya dua kemungkinan yang dipikirkan Alissa, yaitu Erick curiga kembali padanya atau bahkan sudah mengetahui bahwa Alissa berhasil membohonginya selama ini. Sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah bertahan menahan semua rasa sakit dan menjaga pendiriannya. Alissa yakin Erick tidak akan berani menanyakannya pada Alissa selama Alissa kuat dengan pendiriannya. Karena jika Erick menanyakan semua itu, maka sama halnya dengan ia membongkar kejahatan ia sendiri selama ini.Erick sangat jelas merasakan ketegangan tubuh Alissa saat ia memegangi tangan Alissa. Senyum seringai kembali muncul di wajah Erick. Ia merasa tertantang oleh Alissa. "Ayo, Alissa Sayang! Tunjukkan dirimu!" ucap Erick dalam hati seraya menusuki jari Alissa lebi
Reyvan yang baru saja selesai bertemu dengan para suruhannya, kini ia sedang melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia kembali menuju rumah Alissa untuk menjemput Rena yang masih ada di sana. Tak jauh dari rumah Alissa, Reyvan menghentikan mobilnya, Lalu mencoba untuk menghubungi Rena, kakaknya. Tak menunggu lama, Rena mengangkat panggilan itu. Namun, hanya sebentar saja, panggilan itu tiba-tiba mati. "Dasar! Belum juga aku bicara, sudah dimatikan saja," gerutu Reyvan yang kesal pada kakaknya yang langsung mematikan panggilannya tanpa bicara.Tidak lama kemudian, dari dalam mobil Reyvan melihat Rena yang baru saja keluar dari rumah Alissa. Reyvan pun membuka pintu samping mobilnya, untuk mempermudah Rena masuk. "Bagaimana di dalam? Apa Kak Alissa baik-baik saja? Wanita itu tidak berhasil memberi obat itu pada kalian, kan?" Reyvan memberondong pertanyaan pada Rena begitu Rena masuk dalam mobil. Sebenarnya sejak ia meninggalkan rumah Alissa tadi, ia sangat khawatir pada Alissa j