Erick membawa Alissa ke rumah sakit sesuai dengan permintaan Rena. Di dalam ruang UGD, Alissa sedang di periksa oleh Dokter yang jaga saat itu. Sementara di luar, Erick tampak mondar mandir gelisah. Namun, bukan takut karena terjadi sesuatu pada Alissa, melainkan takut jika rahasianya selama ini terbongkar. Rena yang juga ada di sana, duduk diruang tunggu sambil menatap sinis Erick. Rena tahu, pasti sekarang ini Erick sedang memikirkan bagaimana cara agar tidak ketahuan dan juga mungkin berencana untuk segera mencelakai Alissa. Akan tetapi, kali ini dia dan Reyvan tidak akan membiarkannya. Rena dan Reyvan akan berusaha semampunya untuk membantu Alissa. Mendadak senyum seringai tampak terlihat di wajah Erick, membuat Rena yang melihatnya yakin bahwa Erick telah menemukan suatu cara. "Kamu bisa saja membuat rencana, Erick. Tapi saat kamu menjalankan rencana itu, aku akan sudah membawa Alissa pergi dari sini," ucap Rena dalam hati.Rena dan Erick tidak menyangka, bahwa pemeriksaan Alis
Awalnya, hidup Alissa sangat bahagia. Namun, semua berubah saat Alissa mendadak sakit. Karena kondisi yang lemah, ia sekarang tidak dapat melayani suaminya, Erick dengan baik. Justru sebaliknya, Erick lah yang selalu setia melayaninya. Di dalam kamar, Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya dengan bantuan Erick. "Mas, maaf! Harusnya aku yang melayani kamu, tapi sekarang ...." Sentuhan jari telunjuk Erick tepat di bibir Alissa, seketika menghentikan ucapannya."Ssst! Kamu ngomong apa sih, Sayang? Sudah, jangan dipikirkan lagi!" pinta Erick. Alissa pun hanya bisa mengangguk, pasrah menuruti apa yang diucapkan suaminya itu."Oh ya, Sayang. Kamu belum minum obat, kan? Biar aku panggilkan Riana supaya menyiapkan obat untukmu." Erick pun beranjak pergi dan meninggalkan Alissa sendiri di kamarnya.Alissa melihat kepergian Erick dengan tatapan sayu. Ia termenung, merutuki dirinya sendiri yang tidak berdaya karena sebuah penyakit. Ia tidak mengerti, sebenarnya sakit apa dirinya. Kenapa s
Dengan tubuh yang masih lemah, Alissa segera bangun dari ranjang saat melihat kucingnya tiba-tiba tergeletak di lantai. Ia memeriksa kucing itu sudah mati. "Apa yang terjadi? Kenapa kucing ini mati setelah minum obat itu?" Kejadian itu membuat Alissa bertanya-tanya, apa ia telah salah minum obat selama ini? Pantas saja tubuhnya semakin lemah, bukannya semakin membaik. Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Mendadak Alissa gugup. Ia tahu bahwa yang di luar pasti Riana. Alissa segera mengambil kucing mati itu, lalu kembali ke atas ranjang dan menyembunyikan kucing itu di dalam selimut. Ia tidak mau membuat Riana curiga jika melihat kucingnya mati."Masuk," teriak Alissa. Pintu pun terbuka dan tampak Riana masuk ke dalam kamar. Mendadak Alissa merasa panas. Ia marah karena teringat kejadian semalam. Alissa selama ini sangat percaya pada Riana, tetapi ternyata Riana telah menusuknya dari belakang. "Maaf, Nyonya! Sesuai perintah Tuan, saya ingin memastikan apa Anda s
Ceklek Suara pintu yang akan dibuka mengejutkan Alissa. Ia segera berbaring di ranjangnya, lalu pura-pura tidur dan menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. Pintu pun terbuka, tampak Erick yang masuk ke dalam kamar. "Kamu sedang tertidur pulas rupanya. Heh, seharusnya kamu sudah tenang di atas sana. Tapi sayang, aku masih membutuhkanmu sampai perusahaan itu benar-benar menjadi milikku. Tapi kamu tenang saja, hal itu tidak akan lama lagi terjadi." Erick mengusap lembut pipi Alissa, lalu mencengkeram rahang Alissa. Sekuat tenaga, Alissa menahan rasa sakitnya. Di dalam selimut, tangannya mengepal begitu kuatnya. Ia bertanya dalam hati, 'Apa ini yang kamu lakukan selama aku tidak sadarkan diri karena obat itu, Mas!' Erick yang melihat tidak ada perlawanan dari Alissa, menjadi yakin bahwa yang ia pikirkan ternyata salah. Ia yakin bahwa Alissa masih dalam kendalinya. Erick pun melepas cengkeraman tangannya, lalu tidur di samping Alissa. Sementara Alissa, tubuhnya tiba-tiba bergetar
Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya. Ia merasa lega karena berhasil mengelabuhi Riana untuk tidak minum obat mematikan itu. Alissa berpikir, 'Entah sampai kapan ia harus pura-pura seperti ini.' Namun apa daya, hanya itu yang bisa ia lakukan supaya terhindar dari bahaya Erick yang ingin membunuhnya untuk sementara waktu. Riana sudah pergi tidur. Sementara Erick, sedang pergi untuk makan malam dengan kliennya. Alissa merasa bebas, ia tidak perlu pura-pura untuk sementara waktu, setidaknya sampai Erick pulang. Alissa berjalan menuju balkon untuk menikmati angin malam. Namun saat ia sampai pada pintu menuju balkon, seketika matanya terbelalak. Ia sangat terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang baru saja datang dari bawah. "Siapa kamu?" teriak Alissa. Reyvan yang juga sama terkejutnya seperti Alissa, dengan cepat bergerak menghampirinya, lalu menarik tubuh dan menyandarkannya pada tembok. Alissa pun terkejut dengan apa yang di lakukan oleh Reyvan. Hampir saja ia berteriak l
"Emph ... " Mendadak ada yang menarik tubuh Alissa hingga terhuyung ke belakang dan membentur dada orang itu. Alissa yang masih dibekap, tubuhnya meronta-ronta, berusaha lepas dari dekapan orang di belakangnya. Namun tenaganya tidaklah sebanding, sehingga Alissa sulit untuk melepaskan diri. Alissa sangat mengenali bau parfum orang yang membekapnya, dan ia yakini itu adalah Erick. 'Kenapa Erick lakukan ini? Apa Erick akan melakukannya sekarang? Apa aku akan dibunuh sekarang?' ucap Alissa dalam hati. Mendadak, ia pun merasakan takut luar biasa. Erick terus membekap dan menggiring Alissa, lalu melepaskannya saat agak lebih jauh dari kamar Ellena. Alissa merasa lega, karena ternyata Erick tidak membunuhnya sekarang. "Maaf, Sayang! Aku langsung menarikmu begitu saja. Aku tidak mau kamu menemui Ellena sekarang." Seketika Alissa membelalakkan matanya. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" Meski sedikit takut, Alissa memberanikan diri untuk bertanya pada Erick. Ia
"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick."Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?""Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya. Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa."Mana lihat!" "Ini ... sudah
Alissa dengan sekuat tenaga menahan rasa sakit pada jarinya yang dengan sengaja di tusuk-tusuk jarum oleh Erick. Alissa tidak menyangka Erick begitu kejam memperlakukan dirinya bahkan saat ia tak berdaya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya menegang, matanya semakin terpejam. Berusaha untuk tetap diam dan menerima semua perlakuan Erick padanya karena hanya dengan cara itu ia akan tetap aman. "Bangunlah! Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sedang mengelabuhi kami, hah?!" ucap Erick sembari masih menusuki jari tangan Alissa. Namun, Alissa tetap bergeming. Tidak ada sama sekali pergerakan dari Alissa hingga akhirnya Erick pun menghentikan kegiatannya. "Sepertinya kau masih beruntung. Bersyukurlah karena aku masih membiarkan kau hidup selama ini," ucap Erick lagi seraya mengusap pipi Alissa. Alissa yang masih pura-pura memejamkan matanya, hanya bisa berharap Erick segera pergi dari kamarnya. Berada dalam satu ruangan dengan Erick seakan membuatnya sesak. "Ma-maaf, Tuan! Sepertinya