Awalnya, hidup Alissa sangat bahagia. Namun, semua berubah saat Alissa mendadak sakit. Karena kondisi yang lemah, ia sekarang tidak dapat melayani suaminya, Erick dengan baik. Justru sebaliknya, Erick lah yang selalu setia melayaninya.
Di dalam kamar, Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya dengan bantuan Erick. "Mas, maaf! Harusnya aku yang melayani kamu, tapi sekarang ...." Sentuhan jari telunjuk Erick tepat di bibir Alissa, seketika menghentikan ucapannya.
"Ssst! Kamu ngomong apa sih, Sayang? Sudah, jangan dipikirkan lagi!" pinta Erick. Alissa pun hanya bisa mengangguk, pasrah menuruti apa yang diucapkan suaminya itu.
"Oh ya, Sayang. Kamu belum minum obat, kan? Biar aku panggilkan Riana supaya menyiapkan obat untukmu." Erick pun beranjak pergi dan meninggalkan Alissa sendiri di kamarnya.
Alissa melihat kepergian Erick dengan tatapan sayu. Ia termenung, merutuki dirinya sendiri yang tidak berdaya karena sebuah penyakit. Ia tidak mengerti, sebenarnya sakit apa dirinya. Kenapa semakin hari tubuhnya semakin lemah, seakan mati rasa? Erick tidak pernah memberi tahu ia sakit apa, tetapi Alissa tak pernah mencurigai apapun. Ia sepenuhnya percaya bahwa Erick akan melakukan yang terbaik untuknya.
Tak berselang lama, suara pintu terbuka, tampak Riana masuk ke dalam kamar. Lima bulan yang lalu Riana datang sebagai pengasuh putrinya, Ellena. Namun, sejak Alissa sakit Riana juga yang merawatnya.
"Sudah waktunya untuk minum obat, Nyonya!" ucap Riana seraya melarutkan obat.
"Kenapa obatnya harus dilarutkan?" tanya Alissa, penasaran. Selama ini Alissa bertanya-tanya, kenapa ia selalu minum obat dengan cara dilarutkan seperti itu? Tidak seperti minum obat pada umumnya.
"Saya tidak tahu, Nyonya! Kata Tuan memang seperti ini."
Alissa hanya mengangguk mendengar jawaban Riana karena Alissa sudah tidak akan ragu lagi jika itu perintah suaminya.
Riana memberikan larutan obat itu pada Alissa. Alissa pun menerima obat itu, tetapi tatapannya tiba-tiba tertuju pada wajah Riana yang kini tampak berbeda dengan saat pertama kali datang. Sekarang wajah Riana tampak sangat cantik dan terawat.
"Riana! Kamu makin cantik ya sekarang," ucap Alissa frontal begitu saja.
Seketika Riana menjadi gugup, ia langsung salah tingkah di hadapan Alissa. "Ma-maaf! Apa saya tidak boleh memakai riasan? Kalau begitu, biar saya hapus riasan saya," ucap Riana untuk menghilangkan rasa gugupnya. Sementara tangannya mengusap wajah untuk menghapus riasan di wajah.
Allisa yang merasa bersalah seketika berkata, "Boleh, boleh! Maaf, Aku cuma penasaran saja tadi. Jangan dihapus!" Sedangkan Riana, tanpa disadari Alissa, menundukkan kepala sambil tersenyum licik.
Alissa mengarahkan gelas obat yang ia terima dari Riana ke mulutnya. Namun, ia merasa berat sekali untuk meminum obat itu. Ia teringat saat setiap kali minum obat, maka ia akan langsung tertidur pulas seperti orang pingsan. Bahkan saat terbangun dari tidurnya, ia merasa tubuhnya semakin lemas. Ingin sekali Alissa menolak minum obat itu, tapi ia tidak enak hati pada Erick yang telah berusaha menyembuhkannya.
Begitu lama gelas obat itu di dekat mulut Alissa, tapi ia masih saja enggan untuk meminumnya. Tiba-tiba ia berpikir untuk tidak minum obat itu. Ia ingin tetap terjaga untuk memberi kejutan pada Erick. Malam ini ia ingin sekali melayani Erick dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
"Nyonya! Ada apa? Kenapa tidak segera diminum?"
Pertanyaan Riana membuat Alissa tersentak. Alissa pun segera menjauhkan gelas itu dari mulutnya. "Riana, aku baru ingat kalau tissue ku habis. Tolong, ambilkan di lemari itu!" pinta Alissa, seraya menunjuk lemari untuk mengalihkan perhatian Riana.
Tanpa curiga, Riana mengangguk, lalu berbalik menuju lemari untuk mencari tissue nya. Alissa pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera menuang larutan obat itu ke selimut tebal miliknya dan menyisakan sedikit agar Riana mengira ia sudah meminumnya. Lalu, Alissa menaruh gelas itu di meja. Tak lama, Riana kembali dengan membawa tissue yang Alissa minta.
Riana pun tampak tersenyum puas melihat gelasnya sudah kosong. Sementara Alissa, ia juga sangat senang karena berhasil mengelabuhi Riana. Akhirnya, ia bisa memberi kejutan pada Erick.
Lima menit kemudian, Alissa memulai aksinya. Ia pura-pura tertidur di depan Riana. "Hoah, sepertinya obatnya mulai bereaksi, Riana! Aku istirahat dulu, ya!" pamit Alissa, seraya memasang selimut di tubuhnya lalu memejamkan mata.
Cukup lama Alissa pura-pura tidur, tetapi ia tidak mendengar Riana keluar dari kamarnya. Alissa menjadi bertanya-tanya dalam hati, 'apa yang sedang dilakukan Riana? Kenapa ia tidak keluar?'
Sementara itu, Riana yang sedang berdiri di depan meja rias, membenahi riasan yang sudah ia hapus tadi. Riana ingin tampil cantik malam ini.
Tak berselang lama, terdengar suara pintu terbuka. Kemudian terdengar langkah seseorang masuk ke dalam. Alissa begitu senang. Suara itu pasti milik suaminya Erick dan sebentar lagi Riana akan keluar. Saat itulah Alissa akan bangun dan mengutarakan keinginannya untuk melayani Erick. Namun, Keinginan Alissa tertahan saat mendengar sesuatu dari bibir Erick.
"Bagaimana Sayang? Apa obat untuk istriku sudah bekerja?" tanya Erick, lalu merengkuh tubuh ramping Riana dari belakang.
"Tentu sudah, Sayang! Aku kan tidak mau melewatkan malam kita."
Deg
Tenggorokan Alissa tercekat, mendadak napasnya sesak kala mendengar panggilan sayang suaminya pada Riana, begitu juga sebaliknya. 'Apa ini? Apa yang terjadi?' ucapnya dalam hati.
Bibir Alissa bergetar, wajahnya terasa panas, sementara matanya semakin terpejam erat karena menahan amarah. Alissa mengurungkan niatnya untuk memberi kejutan pada Erick. Ia akan tetap berpura-pura tidur untuk mencari tahu yang sebenarnya.
"Hm, bagus! Malam ini, kamu cantik sekali, Sayang. Ayo, layani aku sekarang!" ucap Erick.
"Apapun akan kulakukan untukmu, Sayang." Riana menarik dan menggiring Erick hingga keduanya terjatuh duduk di tepi kasur. Tanpa keduanya sadari, Alissa yang sedang berbaring di sampingnya masih terjaga.
Hati Alissa berdenyut nyeri, sakit bagai tertusuk ribuan duri kala merasakan dua orang di sampingnya bercumbu mesra. Sepanjang malam ia harus mendengar dan merasakan suaminya bercinta dengan wanita lain di ranjang yang sama dengannya. Untuk pertama kalinya ia merasa sangat hancur. Di dalam selimut, kedua tangan Alissa terkepal begitu kuatnya. Sebisa mungkin ia harus bisa menahan amarahnya. Ia tidak ingin gegabah. Ia harus tahu apa yang sebenarnya Erick inginkan darinya.
.
Alissa baru saja membuka matanya. Ia bangun, lalu duduk bersandar pada headboard. Ia melihat ke arah sekelilingnya, tetapi tidak mendapati Erick di sana. Tak lama kemudian, ia melihat Erick masuk dengan membawa makanan serta obat yang harus ia minum. Erick pun menaruh makanan itu di meja samping ranjangnya.
"Sayang, kamu sudah bangun? Sudah waktunya kamu sarapan. Aku suapi, ya?"
Alissa mrnatap Erick sambil tersenyum kecut. Ia merasa telah tertipu mentah-mentah oleh Erick. Sekarang, baginya Erick hanya seorang manusia bermuka dua. Seperti laki-laki sempurna, tetapi kenyataannya tak lebih dari laki-laki brengsek. Di depan Erick selalu bersikap baik, tetapi di belakang ternyata dia menancapkan duri yang begitu tajam.
"Biar aku sendiri, Mas! Bukankah kamu harus segera ke kantor?"
"Itu bisa nanti, Sayang. Yang terpenting sekarang adalah kamu," sahut Erick.
"Tidak, Mas! Aku juga ingin belajar mandiri, nggak bergantung sama kamu terus."
Erick mengerutkan keningnya, entah kenapa ia merasa Alissa sedikit aneh hari ini. Namun, sejurus kemudian ia mengabaikan perasaannya. "Baiklah! Aku berangkat ke kantor dulu ya, Sayang," pamit Erick seraya mencium kening Alissa sebelum pergi. Alissa bergeming, tak menanggapi Erick.
Setelah Erick pergi, Alissa pun memakan sarapannya. Lalu mengambil larutan obat yang ada di meja yang sudah disiapkan untuknya. Namun, tiba-tiba saja ada kucing miliknya yang lompat dari arah samping dan menabrak tangannya. Alhasil obat itu pun tumpah ke lantai. Setelahnya kucing itu ternyata tidak pergi, melainkan meminum larutan obat yang menggenang di lantai. Suatu pandangan di depan mata seketika membuat Alissa terbelalak. Ia sangat terkejut saat mendapati kucingnya itu tiba-tiba mati.
"Apa yang terjadi? Kenapa kucing ini mati setelah minum obat itu?"
***
Dengan tubuh yang masih lemah, Alissa segera bangun dari ranjang saat melihat kucingnya tiba-tiba tergeletak di lantai. Ia memeriksa kucing itu sudah mati. "Apa yang terjadi? Kenapa kucing ini mati setelah minum obat itu?" Kejadian itu membuat Alissa bertanya-tanya, apa ia telah salah minum obat selama ini? Pantas saja tubuhnya semakin lemah, bukannya semakin membaik. Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Mendadak Alissa gugup. Ia tahu bahwa yang di luar pasti Riana. Alissa segera mengambil kucing mati itu, lalu kembali ke atas ranjang dan menyembunyikan kucing itu di dalam selimut. Ia tidak mau membuat Riana curiga jika melihat kucingnya mati."Masuk," teriak Alissa. Pintu pun terbuka dan tampak Riana masuk ke dalam kamar. Mendadak Alissa merasa panas. Ia marah karena teringat kejadian semalam. Alissa selama ini sangat percaya pada Riana, tetapi ternyata Riana telah menusuknya dari belakang. "Maaf, Nyonya! Sesuai perintah Tuan, saya ingin memastikan apa Anda s
Ceklek Suara pintu yang akan dibuka mengejutkan Alissa. Ia segera berbaring di ranjangnya, lalu pura-pura tidur dan menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. Pintu pun terbuka, tampak Erick yang masuk ke dalam kamar. "Kamu sedang tertidur pulas rupanya. Heh, seharusnya kamu sudah tenang di atas sana. Tapi sayang, aku masih membutuhkanmu sampai perusahaan itu benar-benar menjadi milikku. Tapi kamu tenang saja, hal itu tidak akan lama lagi terjadi." Erick mengusap lembut pipi Alissa, lalu mencengkeram rahang Alissa. Sekuat tenaga, Alissa menahan rasa sakitnya. Di dalam selimut, tangannya mengepal begitu kuatnya. Ia bertanya dalam hati, 'Apa ini yang kamu lakukan selama aku tidak sadarkan diri karena obat itu, Mas!' Erick yang melihat tidak ada perlawanan dari Alissa, menjadi yakin bahwa yang ia pikirkan ternyata salah. Ia yakin bahwa Alissa masih dalam kendalinya. Erick pun melepas cengkeraman tangannya, lalu tidur di samping Alissa. Sementara Alissa, tubuhnya tiba-tiba bergetar
Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya. Ia merasa lega karena berhasil mengelabuhi Riana untuk tidak minum obat mematikan itu. Alissa berpikir, 'Entah sampai kapan ia harus pura-pura seperti ini.' Namun apa daya, hanya itu yang bisa ia lakukan supaya terhindar dari bahaya Erick yang ingin membunuhnya untuk sementara waktu. Riana sudah pergi tidur. Sementara Erick, sedang pergi untuk makan malam dengan kliennya. Alissa merasa bebas, ia tidak perlu pura-pura untuk sementara waktu, setidaknya sampai Erick pulang. Alissa berjalan menuju balkon untuk menikmati angin malam. Namun saat ia sampai pada pintu menuju balkon, seketika matanya terbelalak. Ia sangat terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang baru saja datang dari bawah. "Siapa kamu?" teriak Alissa. Reyvan yang juga sama terkejutnya seperti Alissa, dengan cepat bergerak menghampirinya, lalu menarik tubuh dan menyandarkannya pada tembok. Alissa pun terkejut dengan apa yang di lakukan oleh Reyvan. Hampir saja ia berteriak l
"Emph ... " Mendadak ada yang menarik tubuh Alissa hingga terhuyung ke belakang dan membentur dada orang itu. Alissa yang masih dibekap, tubuhnya meronta-ronta, berusaha lepas dari dekapan orang di belakangnya. Namun tenaganya tidaklah sebanding, sehingga Alissa sulit untuk melepaskan diri. Alissa sangat mengenali bau parfum orang yang membekapnya, dan ia yakini itu adalah Erick. 'Kenapa Erick lakukan ini? Apa Erick akan melakukannya sekarang? Apa aku akan dibunuh sekarang?' ucap Alissa dalam hati. Mendadak, ia pun merasakan takut luar biasa. Erick terus membekap dan menggiring Alissa, lalu melepaskannya saat agak lebih jauh dari kamar Ellena. Alissa merasa lega, karena ternyata Erick tidak membunuhnya sekarang. "Maaf, Sayang! Aku langsung menarikmu begitu saja. Aku tidak mau kamu menemui Ellena sekarang." Seketika Alissa membelalakkan matanya. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" Meski sedikit takut, Alissa memberanikan diri untuk bertanya pada Erick. Ia
"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick."Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?""Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya. Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa."Mana lihat!" "Ini ... sudah
Alissa dengan sekuat tenaga menahan rasa sakit pada jarinya yang dengan sengaja di tusuk-tusuk jarum oleh Erick. Alissa tidak menyangka Erick begitu kejam memperlakukan dirinya bahkan saat ia tak berdaya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya menegang, matanya semakin terpejam. Berusaha untuk tetap diam dan menerima semua perlakuan Erick padanya karena hanya dengan cara itu ia akan tetap aman. "Bangunlah! Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sedang mengelabuhi kami, hah?!" ucap Erick sembari masih menusuki jari tangan Alissa. Namun, Alissa tetap bergeming. Tidak ada sama sekali pergerakan dari Alissa hingga akhirnya Erick pun menghentikan kegiatannya. "Sepertinya kau masih beruntung. Bersyukurlah karena aku masih membiarkan kau hidup selama ini," ucap Erick lagi seraya mengusap pipi Alissa. Alissa yang masih pura-pura memejamkan matanya, hanya bisa berharap Erick segera pergi dari kamarnya. Berada dalam satu ruangan dengan Erick seakan membuatnya sesak. "Ma-maaf, Tuan! Sepertinya
Alissa dan Reyvan keluar dari kamar berjalan menuju ruang kerja Erick yang kebetulan tidak jauh dari kamar Alissa di deretan paling ujung. Kini keduanya pun sampai di ruang kerja Erick. "Baiklah, Kakak sekarang cari di mana obat itu sementara aku akan mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti," pinta Reyvan.Alissa mengangguk, kemudian keduanya menggeledah semua barang yang ada di sana. Namun, belum sempat keduanya mendapatkan apa yang mereka cari, mereka mendengar suara mobil yang datang. "Kenapa ada suara mobil? Jangan-jangan suamimu kembali," ucap Reyvan."Kamu benar, bagaimana ini?" tanya Alissa khawatir. "Kita harus kembali ke kamarmu sekarang." Tanpa sadar Reyvan menarik tangan Alissa lalu menggandeng Alissa pergi menuju ke kamar Alissa kembali. Dengan langkah cepat, Reyvan menarik Alissa tanpa melihat kondisi Alissa di belakangnya. Hingga ketika sampai di kamar Alissa, Reyvan begitu terkejut saat menoleh ke belakang dan melihat Alissa yang tampak tidak baik-baik saja
"Dari mana saja kamu, Reyvan?" Reyvan membelalakkan matanya saat melihat sosok wanita yang sangat berarti dalam hidupnya berada di sana. "Hehe ... Mama. Kapan Mama datang?""Itu nggak penting. Bukannya hari ini tidak ada pertemuan dengan klien, kenapa bisa pulang selarut ini?" Risa melipat kedua tangan di perutnya seraya mengerutkan keningnya, heran dengan apa yang dilakukan oleh putranya."Aku? Ya pergi main, lah, Ma! Memang mau dari mana lagi?" Reyvan mendekati mamanya lalu memeluk mamanya dari belakang. "Mama tumben kemari, mama sendiri apa sama kak Rena?""Main sama siapa? Mama tahu kamu bohong. Nggak usah mengalihkan pembicaraan, cepat katakan!" Vira pun melepaskan pelukan Reyvan lalu memutar tubuhnya menghadap Reyvan. "Teman lama, Ma. Mama nggak percaya, sama Reyvan?" "Percaya Rey ... Mama penasaran saja karena tidak biasanya kamu seperti ini."Sudahlah, mending Mama istirahat saja. Kita bicarakan ini lagi besok. Ayo! Rey antar mama ke kamar?" Reyvan pun menggiring mamanya nai
Erick seakan murka saat menyadari bahwa Alissa dan Rena tidak ada di ruang UGD. Dia mulai curiga bahwa semua ini hanyalah akal-akalan Rena. Dia pun teringat tadi pagi saat Rena tiba-tiba memaksa untuk membawa Alissa pergi dari rumah, sementara selama ini Rena sendiri tidak pernah tahu apa-apa tentang kondisi Alissa. Erick mulai meyakini bahwa semua itu tidak hanya kebetulan. Dengan langkah cepat, Erick pergi dari ruang UGD dan memutuskan untuk mencari keduanya. Erick hampir saja menghubungi seorang preman untuk mencari di mana keberadaan Alissa, tetapi tiba-tiba saja dia melihat Rena yang sedang berjalan menuju ruang ICU. Seketika dia mengerutkan kening. Dia mengira Rena telah membawa Alissa pergi jauh ke luar rumah sakit, tetapi ternyata Rena masih ada di sana. Lelaki itu pun berusaha mengejar Rena."Rena, tunggu!" panggil Erick setengah berteriak saat Rena tiba di depan ICU. Mendapat panggilan itu, seketika membuat Rena tersenyum senang. Dia tidak menyangka ternyata rencananya ber
Erick membawa Alissa ke rumah sakit sesuai dengan permintaan Rena. Di dalam ruang UGD, Alissa sedang di periksa oleh Dokter yang jaga saat itu. Sementara di luar, Erick tampak mondar mandir gelisah. Namun, bukan takut karena terjadi sesuatu pada Alissa, melainkan takut jika rahasianya selama ini terbongkar. Rena yang juga ada di sana, duduk diruang tunggu sambil menatap sinis Erick. Rena tahu, pasti sekarang ini Erick sedang memikirkan bagaimana cara agar tidak ketahuan dan juga mungkin berencana untuk segera mencelakai Alissa. Akan tetapi, kali ini dia dan Reyvan tidak akan membiarkannya. Rena dan Reyvan akan berusaha semampunya untuk membantu Alissa. Mendadak senyum seringai tampak terlihat di wajah Erick, membuat Rena yang melihatnya yakin bahwa Erick telah menemukan suatu cara. "Kamu bisa saja membuat rencana, Erick. Tapi saat kamu menjalankan rencana itu, aku akan sudah membawa Alissa pergi dari sini," ucap Rena dalam hati.Rena dan Erick tidak menyangka, bahwa pemeriksaan Alis
"Bohong? Siapa yang membohongimu?" tanya Alissa pura-pura bingung. Saat melihat Rena masuk ke kamar, memang sedikit membuat terkejut Alissa. Namun, dengan cepat Alissa bisa menguasai diri. pertanyaan Rena yang menuduh Erick berbohong pasti ada hubungannya dengan cara Rena sehingga akhirnya bisa masuk kamarnya. "Alissa, masa suamimu ini bilang kalau kamu lagi sakit. Nggak, kan, Alissa? Bukannya kemarin kamu tidak apa-apa?" cecar Rena, "Aku tahu, suamimu ini pembohong emang," lanjutnya. Alissa menatap Rena dan Erick yang juga baru datang secara bergantian, kemudian matanya terfokus pada Erick. "Erick, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sakit? Sejak aku bangun tadi, kita bahkan belum bertemu." "Sayang. Kamu beneran sakit?" tanya Erick pura-pura terkejut, padahal dia sendiri yang telah sengaja memberi obat pelumpuh pada Alissa dengan dosis tinggi. Erick berjalan menghampiri Alissa, lalu pura-pura khawatir pada Alissa. "Yang sakit mana, Sayang? Tapi kamu gak pa-pa, kan? Alissa
Di rumah Reyvan, tepatnya di kamar, Reyvan baru saja selesai bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Reyvan berjalan ke arah pintu untuk keluar. Akan tetapi langkahnya terhenti kala ia merasakan getaran ponsel di saku celananya. Dengan cepat Reyvan merogoh saku celana dan mengambil ponselnya. Tampak nama Alissa tertera di layar ponsel. Reyvan tersenyum lebar. Ia senang Alissa menghubunginya, karena sejak semalam ia tidak berhasil menghubungi Alissa. Reyvan menyentuh layar ponselnya dan langsung terhubung dengan Alissa. Raut wajah Reyvan seketika memerah, rahangnya mengeras setelah mendengar semua yang di ucapkan oleh Alissa. Apa yang ditakutkannya terjadi. seperti kata Denis, Erick telah berhasil memberi Alissa obat dengan dosis tinggi. Tanpa pikir panjang, Reyvan segera menghubungi Rena. Ia menceritakan semua yang telah terjadi kepada Alissa, juga meminta bantuan Rena untuk membawa Alissa keluar dari rumahnya. Setelah itu, Reyvan segera melangkah pergi menuju tempat Denis berada. Dia
Di kantornya, Reyvan baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tadi siang setelah Reyvan menemui Denis, ia langsung kembali menuju kantornya, untuk memeriksa beberapa masalah yang terjadi dengan perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaannya. Sebelumnya kakaknya, Riana, melaporkan ada salah satu perusahaan mitra kerja mereka ketahuan telah berbuat curang. Untuk itu Reyvan harus menyelidiki dan mengatasinya sendiri.Dari penyelidikan yang dilakukan oleh anak buahnya, Reyvan dibuat terkejut seketika. Ternyata dibalik pengkhianatan mitra kerjanya itu, ada hubungannya dengan perusahaan milik Alissa yang saat ini berada dalam kekuasaan Erick. "Ooh ... jadi begini cara kamu bermain, Erick? Sepertinya kamu belum mengenal siapa lawanmu," gumam Reyvan, tersenyum sinis.Berpikir tentang Erick, Tiba-tiba Reyvan pun terpikirkan tentang Alissa. Ia teringat ucapan Denis yang mengatakan bahwa Erick berencana memberi Alissa obat dengan dosis tinggi. Rasa khawatir pun memenuhi benak Reyvan. Seketika ia
"Sebenarnya apa tujuan Anda? Tolong katakan dengan jelas!" Denis tidak menyangka bahwa apa yang dia dan Erick lakukan pada Alissa telah diketahui oleh orang lain. Denis berpikir, kenapa Erick selama ini tidak pernah memberitahunya tentang masalah ini? "Apa kamu juga tidak tahu? Jika ya, maka kamu dalam masalah besar, Erick," ucap Denis dalam hati."Setelah semua pembicaraan kita tadi, aku yakin kamu tahu jelas maksudku. Kamu pikir, aku dapat darimana obat itu?" Mendengar ucapan Reyvan, seketika keringat dingin mengucur deras dari wajah Denis. Ia gugup. Ia mulai berpikir semua ini pasti ada hubungannya dengan Alissa. "Maksudnya, Anda ke sini atas perintah Alissa?" Denis sudah tidak dapat menahan diri dan langsung bertanya pada tamu misteriusnya itu."Lebih tepatnya, aku datang untuk membantu Alissa dari kekejaman kalian." Reyvan berkata seraya menatap tajam Denis. "Aku tahu, kalian telah merencanakan sesuatu untuk mencelakai Alissa, bukan?""La-lalu apa yang akan Anda Lakukan? Saya ti
Tampak mobil yang ditumpangi Reyvan sedang memasuki kawasan perumahan tempat tinggal Denis dan berhenti tepat di depan klinik Denis. Reyvan sudah tidak punya waktu lagi, ia harus segera mengatasi masalah obat yang sudah lama dikonsumsi oleh Alissa. Ia pun segera keluar dari mobil dan berjalan menuju klinik Denis. Di sekitar Klinik terlihat sangat sepi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Reyvan bergegas memencet bel yang ada di samping pintu masuk. Begitu bel berbunyi, tak lama terdengar suara langkah kaki yang mendekat dari dalam. Pintu pun akhirnya terbuka. "Maaf, dengan siapa?" tanya Denis yang Baru saja membuka pintu kliniknya. Reyvan yang semula membelakangi pintu, seketika menoleh ke arah Denis. "Aku ada perlu dengan kamu. Bisa kita bicara sebentar?" tanya Reyvan dengan gaya sok tengilnya.Denis mengerutkan alisnya. Ia tidak kenal siapa orang yang ada didepannya saat ini, tetapi kenapa orang itu mencarinya? Berbagai pertanyaan pun muncul di benak Denis. Akhirnya D
Tubuh Alissa terasa menegang kala tiba-tiba merasakan jari-jari tangannya terus-terusan ditusuk jarum. Sekuat tenaga Alissa menjaga dirinya agar tidak terpancing. Bagaimanapun ia harus tetap bertahan. Alissa tidak mengerti kenapa tiba-tiba Erick menyakitinya lagi. Hanya dua kemungkinan yang dipikirkan Alissa, yaitu Erick curiga kembali padanya atau bahkan sudah mengetahui bahwa Alissa berhasil membohonginya selama ini. Sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah bertahan menahan semua rasa sakit dan menjaga pendiriannya. Alissa yakin Erick tidak akan berani menanyakannya pada Alissa selama Alissa kuat dengan pendiriannya. Karena jika Erick menanyakan semua itu, maka sama halnya dengan ia membongkar kejahatan ia sendiri selama ini.Erick sangat jelas merasakan ketegangan tubuh Alissa saat ia memegangi tangan Alissa. Senyum seringai kembali muncul di wajah Erick. Ia merasa tertantang oleh Alissa. "Ayo, Alissa Sayang! Tunjukkan dirimu!" ucap Erick dalam hati seraya menusuki jari Alissa lebi
Reyvan yang baru saja selesai bertemu dengan para suruhannya, kini ia sedang melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia kembali menuju rumah Alissa untuk menjemput Rena yang masih ada di sana. Tak jauh dari rumah Alissa, Reyvan menghentikan mobilnya, Lalu mencoba untuk menghubungi Rena, kakaknya. Tak menunggu lama, Rena mengangkat panggilan itu. Namun, hanya sebentar saja, panggilan itu tiba-tiba mati. "Dasar! Belum juga aku bicara, sudah dimatikan saja," gerutu Reyvan yang kesal pada kakaknya yang langsung mematikan panggilannya tanpa bicara.Tidak lama kemudian, dari dalam mobil Reyvan melihat Rena yang baru saja keluar dari rumah Alissa. Reyvan pun membuka pintu samping mobilnya, untuk mempermudah Rena masuk. "Bagaimana di dalam? Apa Kak Alissa baik-baik saja? Wanita itu tidak berhasil memberi obat itu pada kalian, kan?" Reyvan memberondong pertanyaan pada Rena begitu Rena masuk dalam mobil. Sebenarnya sejak ia meninggalkan rumah Alissa tadi, ia sangat khawatir pada Alissa j