Keesokan harinya...
Sesuai alamat yang ia bawaa, Gina turun dari angkot yang ia tumpangi tersebut. Setelah turun, ia beberapa kali menatap kartu nama di tangannya. Alamatnya benar, namun tak ia sangka ternyata tempat tersebut adalah bangunan yang menyerupai toko bangunan.Berjalan memasuki gerbang, ia melihat seseorang yang dikenalnya ditempat tersebut."Gina, ngapain kamu disini?" tanya Rian menghampiri Gina."Aku disuruh kesini oleh Mas Alex," jelas Gina lagi.Rian menatap Gina serius, sadar dengan tatapan Rian yang curiga padanya."Aku ikut kerja, buat bayar hutang Mas Adam!" bisik Gina kemudian. Rian menatap Gina iba, kemudian ia geleng-geleng kepala.'Adam keterlaluan!' batinnya."Sebentar aku telpon bos Alexnya dulu," Rian mengambil telpon genggamnya yang berada di dalam tas dan digantung di dinding tersebut.Ia berbicara sebentar dan setelah itu melirik ke arah Gina."Ayo aku antar ke rumah bos." ia menaiki sepeda motornya dan menyuruh Gina untuk naik.Setelah beberapa menit menyusuri jalan, tibalah mereka berdua disebuah rumah yang besar dan juga mewah.Seorang satpam membukakan pintu pagar, "Silahkan masuk!"Rian dan Gina pun masuk ke dalam area rumah megah tersebut, halaman rumahnya begitu asri dengan tanaman dan bunga yang tertata tapi.Seseorang sudah berdiri di depan pintu, menatap kehadiran Rian dan Gina."Aku mengantarkan Gina kesini," ucap Rian yang mengangguk dan kemudian pamit pergi.Alex menatap Gina sekilas, kemudian mengisyaratkan agar wanita tersebut mengikuti langkahnya.Mereka berjalan hingga ke dapur sepanjang perjalanan mereka, Gina terkagum-kagum dengan interior dan desain rumah tersebut."Bi, ini Gina yang bantu Bibi masak nanti!" ucap Alex kepada seorang wanita paruh baya yang sedang memotong-motong sayur."Iya Den!" ucap wanita tersebut menganggukkan kepalanya sekilas ia menatap kearah Gina."Aku bantu motong ya Bu," Gina mengambil alih pekerjaan wanita paruh baya tersebut."Panggil Bi Imah saja, nama kamu siapa?" tanyanya sembari mengaduk sesuatu masakannya yang ada didalam wajan."Nama aku Gina Bi," jawab Gina masih fokus pada pekerjaannya."Ooh, kenal sama Den Alex dimana?" tanya Imah lagi."Em... suamiku juga bekerja sama Mas Alex." jelas Gina lagi."Ooh, kamu bisa bikin ba'wan Gin?""Bisa Bi,""Tolong kamu bikinin nanti ya, tamu kita ini dari luar negri. Katanya kangen sama gorengan khas Indonesia." Bi Imah nampak bersemangat."Memangnya siapa yang akan datang Bi, temannya Mas Alex?" tanya Gina penasaran."Yang akan datang, Tuan dan Nyonya rumah ini. Sudah 7 tahun mereka gak pulang," Bi Imah bercerita."Ooh..." Gina membeo dan hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja tanda ia mengerti.Menjelang siang hari tamu yang dikatakan oleh Bi Imah datang, mereka yang sedari tadi berada di dapur pun segera menyiapkan makanan.Setelah pembicaraan dan moment kangen-kangenan selesai, Alex mengajak kedua orang tua serta sepupu laki-lakinya ke dapur untuk makan siang."Bi Imah apa kabar?" tanya seorang wanita cantik yang menghampiri Bi Imah."Baik Nya, anda sendiri bagaimana?" Imah balik bertanya."Aku baik, siapa dia? anak Bibi?" tanya Diana mamanya Alex kepada Imah."Bukan Nyah, dia yang bantuin saya masak.""Oooh..." hanya itu tanggapan Diana.Keluarga inipun makan bersama, dari kejauhan Bi Imah menatap kearaj keluarga yang sedang berkumpul tersebut."Bapaknya Den Alex itu bule Gin, nikah sama nyonya Diana. Den Alex anak pertama mereka, sementara adiknya masih kuliah di luar negri," entah mengapa Bi Imah menceritakan hal itu semua kepada Gina.Gina hanya mengangguk ketika Bi Imah bercerita tentang lelaki yang saat ini menjadi bosnya tersebut."Den Alex itu mirip sama mamanya, tapi rambutnya sama dengan tuan Anton,""Hah, mirip dari mana Bi? orang rambutnya item sama dengan Nyonya Diana." bantah Gina."Rambut Den Alex itu warnanya pirang, itu rambutnya item karena disemir." ucap Imah penuh dengan penekanan."Ooh begitu Bi?" tanya Gina lagi, ia pun juga menyadari bahwa warna kornea mata Alex berbeda dari orang kebanyakan. Warnanya seperti hijau kecoklatan atau sering disebut hazel. Warna yang indah dan pernah membuatnya terpukau.Menurut Bi Imah juga, Tuan Antonio ayahnya Alex adalah orang Jerman yang menikah dengan Diana yang asli orang Jawa.Seharian ini banyak sekali kegiatan Gina di rumah tersebut, meski merasa sangatlah lelah, namun ia juga merasa sangatlah bahagia karena apa yang ia masak dan ia lakukan dihargai penuh oleh keluarga tersebut.Karena hari sudah malam, Gina pun pamit pulang kepada sang pemilik rumah. Sebenarnya Gina cukup bingung, karena akan cukup sulit mencari angkutan umum di jam segini."Ayo aku antar!" ucap Alex mengambil kunci motornya."Hah?" Gina melongo."Ini sudah malam akan sangat berbahaya sekali jika seorang wanita sepertimu pulang sendirian, Ayo!" ucap Alex menarik tangan Gina.Tiba di garasi ia mengeluarkan motor sport miliknya dan menyuruh Gina untuk naik. Meski ragu, Gina tak punya pilihan lain ia naik ke atas motor tersebut."Pegangan!" ucap Alex lagi. Gina pun berpegangan kepada Alex namun ia hanya memegang ujung kaos yang dipakai oleh lelaki tersebut.Alex hanya diam, tak mempersalahkan hal tersebut, mau bagaimanapun ia tahu bahwa Gina adalah perempuan yang sudah bersuami.Setelah sampai di depan rumah, Gina tidak pernah menyangka bahwa Alex juga akan turun dari motornya tersebut."Mas mau ngapain?" tanyanya"Aku mau ketemu ibu kamu..."Mendengar ucapan Alex, Gina terdiam. Untuk apa lelaki ini ingin bertemu dengan ibunya. Pintu rumah itupun diketuk oleh Gina.Kriiiieet..."Gina, kamu kenapa baru pulang sekara..." ucapan Maria berhenti tatkala menyadari keberadaan Alex."Maaf tante, di hari pertama Gina bekerja dia pulang selarut ini. Padahal seharusnya dia pulang jam 5 tadi sore, tapi karena orang tua saya yang meminta dimasakkan masakan lagi jadinya seperti ini," Alex menjelaskan."Oh, iya." hanya dua kata tersebut yang bisa Maria ucapkan. Dalam hal ini Maria menilai bahwa Alex adalah orang yang cukup bertanggung jawab.****Sesampainya di rumah Alex melepas jaket yang ia kenakan dan merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Bayangan wajah Gina semakin membuat pikirannya tidak karuan, seharian ini ia selalu memperhatikan wanita tersebut tentunya tanpa sepengetahuan dari Gina sendiri.Andai status Gina pasti, ia akan segera menjadikan Gina sebagai kekasihnya, atau jika dia bersedia menjad
"Kalau seperti itu, sebaiknya aku juga pulang!" ucap Gina melangkah kembali keluar."Apa kau tidak melihat di luar hujan deras?" Alex mengikuti langkah Gina."Aku sudah menyuruh Rian untuk memberitahumu agar tidak usah ke sini hari ini!" jelas Alex lagi."Emm... mungkin dia lupa Mas," Gina mulai panik karena sedari tadi Alex terus saja mengikuti kemana ia melangkahkan kakinya. Apa lagi kondisi Alex saat ini hanya memakai handuk saja, hal itu membuatnya merasakan ketakutan yang berlebih. Apa lagi Gina sendiri menyadari bahwa saat ini pakaian yang ia gunakan bisa memancing gairah para lelaki, bagaimana tidak? bagian dadanya yang lumayan besar terlihat begitu sangat menonjol dibalik pakaian yang ia kenakan."Jangan pergi, di luar kau akan kedinginan, lagi pula tidak ada ojek di daerah sini!" cegah Alex ketika Gina memegang handle pintu.Deg... deg... deg...Jantung Gina kembali berdetak kencang saat tangan Alex menahan tangannya untuk membuka pintu. "Seb
Gina menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos, rasa dingin menjalar ditubuhnya saat seseorang yang tadi memeluknya beranjak pergi entah kemana. Ia membuka mata, meski rasa kantuk masih menghinggapinya.Lelah...Hal itulah yang kini Gina rasakan, tubuhnya seakan remuk redam seperti baru pecah perawan. Alex begitu bersemangat menggaulinya hingga ia melakukan kegiatan tersebut berulang.Rasa sakit pada bagian bawah tubuhnya tersebut membuat Gina malas untuk bergerak dari tempatnya saat ini, namun ia haruslah segera pulang.Dengan perlahan Gina berjalan menyeret selimut ke kamar mandi, ia membersihkan diri di dalam sana. Buih sabun yang ia balurkan keseluruh tubuh nampaknya tak akan mampu membersihkan diri yang telah kotor.Gina menangis sesengukkan, merasa begitu hina karena tak bisa menolak semua perlakuan Alex padanya, bahkan iapun juga menikmatinya.Rasa bersalah kepada Adam, rasa benci karena ia melakukan hal ini karenanya, rasa takut, serta rasa y
"Apanya yang telat?" tanya Maria bingung."Riannya telat ngasih taunya," sahut Gina kecewa, semuanya sudah terlanjur."Terus tadi kamu darimana?" tanya Maria lagi karena melihat eksprei wajah Gina yang menyiratkan rasa kecewa."Tadi aku kehujanan, terus terpaksa mampir ketoko baju buat ganti dan beli baju baru!" jawab Gina memberi alasan, karena ia yakin mamanya pasti curiga karena pakaian yang ia gunakan bukanlah pakaian yang tadi pagi ia pakai."Terus kenapa kamu sedih, apa kamu seharian di toko bajunya?" tanya Maria penuh dengan selidik, ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh putrinya tersebut.Gina menggaruk tekuknya,"Aku sedih karena sayang uangnya kepakai buat beli baju,""Kamu seharian di toko bajunya?" tanya Maria sekali lagi."Tadi ketempat teman Ma, heee..." semanis mungkin Gina tersenyum, agar kegelisahan dalam hatinya saat ini, yang ia rasakan tidak nampak terlihat oleh wanita yang teramat dicintainya tersebut.****"Pakeeet!
"Mas ini gimana sih? masih tanggung nih!" Ike cemberut dan juga protes karena ia belum merasakan apa-apa, Adam sudah keluar."Maaf Ke, tadi aku lupa minum obat kuat." ucapnya mencabut sesuatu dari inti tubuh Ike. Ike mendengus kesal, ia segera bangkit dari atas ranjang, tempat di mana mereka memadu kasih.Sedari kemaren ia terus saja dibuat kesal oleh Adam, lelaki itu kerjanya hanya main judi online dan tidak pernah lagi menang, hal itu membuat uang Ike habis untuk keperluan sehari-hari. Dan kali ini setelah melakukan foreplay lama, nyatanya lelaki itu tak dapat memuaskannya hasrat liarnya. Ya tanpa obat kuat yang dikonsumsinya, keperkasaan Adam tidaklah bisa bertahan lama, ia mengalami ejakulasi dini. Hal itu terjadi sudah lama, mungkin akibat obat-obatan terlarang dan juga narkoba yang dikomsumsinya."Sayang, udah dong marahnya!" Adam memeluk Ike dari belakang."Maaf, aku janji nanti gak akan seperti ini lagi.""Mas, aku bukan hanya perlu kepuasan di ranjang. T
"Maling...!" teriak si pemilik toko, sementara Adam sudah lari secepat mungkin dan menghilang di tengah kerumunan orang. Ia bingung kemana harus pergi, karena tempatnya berada saat ini dekat dengan rumah Gina, ia memutuskan untuk pulang dan berganti baju sebelum menjual hasil curiannya.Ia mengetuk pintu rumah, di mana tempat ia tinggal selama ini."Adam!" Maria membuka pintu, Adam masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan Gina."Gina mana Ma?" tanyanya ketika mendapati Gina tidak ada di rumah."Dia belum pulang," jawab Maria sembari meletakkan kopi di atas meja yang tak jauh dari tempat Adam berdiri."Dia pergi kemana?" tanyanya lagi."Gina bekerja di tempat bos kamu," mendengar ucapan ibu mertuanya Adam terdiam."Kamu sudah makan Dam?" tanya Maria lagi.Adam menggeleng, melihat menantunya yang menggeleng. Maria pergi ke dapur dan tak lama.kemudian ia kembali."Makan lah dulu, sudah Mama siapkan di dapur!" ia menyuruh Adam untuk makan.
Gina menatap seseorang yang kini berjalan kearahnya, setelah mendengar cerita dari Gina, lelaki itu langsung pergi ke rumah sakit, tempat dimana Maria dirawat."Mas, tolong aku Mas!" ucap Gina memohon kepada lelaki bertubuha atletis tersebut, matanya masih sembab akibat tangisan yang tak henti, ia begitu takut kehilangan orang yang begitu ia cintai, karena saat ini hanya Maria lah satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini.Alex memegang kedua pundak Gina, menatap wanita itu lekat-lekat."Gina, tenang!" ucapnya menenangkan Gina. Bahu yang ia pegang berguncang, "Aku takut Mas!" ucapnya serak dengan air mata yang kembali membanjir membasahi kedua pipinya. Tanpa ragu Alex merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya. Diusapnya punggung Gina, "Semua akan baik-baik saja, kamu jangan takut! Sekarang beritahu aku dimana ruangan dokter yang menangani Ibumu!" ucap Alex mengurai pelukannya.Setelah berbicara dengan dokter mengenai persetujuan tindakan operasi yang harus di
Setelah kondisi Maria berangsur normal, ia pun di pindahkan ke ruang rawat inap. Karena belum sadar, Gina pun menunggunya, sementara itu Alex masih setia menemaninya.Lelaki itu bahkan dengan pengertiannya membelikan Gina makanan pada pagi ini, membuat Gina termenung, bingung harus bersikap bagaimana pada bosnya tersebut. Apalagi jika ia teringat akan nominal angka yang tertera pada berkas operasi kemaren betapa banyaknya uang yang sudah dikeluarkan oleh Alex untuknya."Apa Mas mau makan?" tawar Gina karena ia melihat ada dua bungkus nasi bungkus di dalam plastik yang dibawa oleh Alex, sementara lelaki itu juga menemaninya dari tadi malam sampai sekarang."Kamu juga makan kan?" tanya Alex menatapnya lekat."Ooh, iya Mas!" Gina pun mengiyakan. Mereka duduk berhadapan, Gina sebenarnya malu makan bersama dengan Alex, karena keduanya terlihat seperti sepasang suami istri. Apalagi terkadang Alex menatapnya dalam, sesekali lelaki itu tersenyum bahkan terkekeh, seperti ada
Setelah perdebatannya dengan Angel Alex memilih keluar dan pergi ke kamarnya yang berada tepat disamping kamar Angel, meski menginap dihotel yang sama, namun ia memesan kamar kamar lain untuk dirinya sendiri karena memang Alex menyukai ketenangan. Alex berdiri di depan jendela besar di kamar tersebut. Sinar matahari sore memantulkan bayangan tubuhnya yang kokoh ke lantai kayu. Tatapannya kosong menembus kaca, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Ia sudah terlalu muak dengan permainan Angel. Istrinya itu sudah melampaui batas, dan kali ini, Alex tidak akan tinggal diam.Pintu kamar terbuka perlahan. Entah dari mana Angel mendapatkan kunci kamar tersebut, ia melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya penuh percaya diri, seperti biasa, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu—ketakutan yang ia coba tutupi.“Maafkan aku," Angel bersuaranya terdengar menyesal, juga ada nada gugup yang terselip di sana.Alex
Langit sore itu terlihat mendung, menambah suasana muram di sekitar tempat Gina berpijak saat ini. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah mulai tercium, tanda-tanda hujan akan segera turun. Gina menatap cakrawala dimana cahaya jingga serta awan hitam menutupi langit bagian barat wilayah tersebut. Handphone dalam tas selempangnya bergetar."Iya, Ma," ucapnya sedikit cemas."Kamu kok belum pulang? ini Tama nanyain dari tadi," ucap Maria disebrang sana."Iya Ma ini lagi dijalan, Mama sudah dirumah?" Gina memastikan keduanya baik-baik saja."Iya kami sudah dirumah, tadi ada orang baik nawarin tumpangan naik mobil, jadi Mama gak perlu nunggu jemputan dari Paman Andi,"Deg...Pernyataan dari Maria membuat Gina semakin yakin bahwa Angel tidak berbohong atas ucapannya."Ya sudah Ma, aku mau lanjutin perjalanan nanti keburu hujan!""Iya hati-hati..." Sepanjang perjalanan lagi-lagi Gina merasa tidak tenang, sebab ada seseorang yang terus saja men
Malam itu terasa sunyi, meski di luar suara kendaraan pengangkut barang produksi masih hilir mudik melewati jalanan ibu didepan rumah sederhana, Satria duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Gina terpampang di sana, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengetuk ikon “panggil”. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokan. Kepalanya bersandar di sandaran ranjang sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gina.Satria menghela napas panjang. “ Aku nggak bisa terus kayak gini…” gumamnya, setengah berbisik. Ia tahu, perasaannya kepada Gina bukan sekadar rasa suka biasa. Ini cinta. Cinta yang tumbuh tanpa ia rencanakan, meski ia tahu Gina masih menyimpan banyak misteri dari masa lalunya. Setiap kali ia melihat wanita itu, ada dorongan kuat untuk mengungkap misteri tersebut. Namun, semuanya terasa rumit. Gina, dengan sikapnya yang dingin namun penuh keraguan, selalu menolak untuk memberikan kepastian. Satria tahu
Malam itu, Angel berdiri di balkon kamarnya, memandang gelapnya malam di sekitar hotel tempat ia menginap. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan rasa cemburu dan amarah yang tak bisa ia kendalikan. Gina. Nama itu terus menghantui pikirannya. Angel tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alex, suaminya, masih memendam perasaan untuk wanita itu, apalagi setelah insiden malam pesta kemarin. Angel menggenggam ponselnya erat-erat, jemarinya gemetar. Tekadnya sudah bulat, Gina harus disingkirkan.Angel menekan nomor seseorang yang sudah ada di daftar kontaknya. Suaranya dingin ketika dia berbicara.“Aku butuh kamu lakukan sesuatu,” ucap Angel, nada suaranya rendah namun tegas.“Siapa targetnya?” balas suara pria dari seberang telepon.“Seorang wanita. Namanya Gina. Aku nggak peduli caranya gimana, tapi aku nggak mau dia lagi ada di sekitar suami aku. Buat dia kapok, atau lebih baik lagi... lenyapkan dia. Selamanya.”Hening sejenak di telepon, hanya terdengar suara nafas
Malam itu, hujan turun deras, menghantam genteng rumah seperti ketukan berirama yang memecah keheningan. Gina duduk di ruang tamu dengan segelas teh yang sudah dingin di meja kecil di depannya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, melihat bayangan dirinya yang terpantul samar di kaca. Di sudut ruangan, Maria duduk tak jauh darinya."Gin, beberapa hari ini kok Mama merasa ada sesuatu yang aneh ya," ucap Maria "Sesuatu yang aneh bagaimana Ma?" tanya Gina penasaran."Seperti ada seseorang yang memperhatikan kegiatan Mama dan Tama,"Gina diam sesaat, ia berpikir apa sebaiknya mereka pindah saja, sementara itu Maria masih memperhatikan putrinya dengan cemas. Tama sudah tertidur di kamar dengan selimut hangat yang membungkus tubuh kecilnya."Ma, apa sebaiknya kita pindah saja?" akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibir Gina"Gin," suara Maria terdengar pelan, memecah keheningan. "Apa kamu yakin dengan keputusan ini?"Gina menghela napas panjang, mencob
"Kamu masih tidak bisa mengambil keputusan atas hubungan kamu dengan Mbak Gina kan!" Laura beranjak bangkit sembari tersenyum smirk kemudian berjalan meninggalkan Satria yang masih terpaku duduk ditempatnya. Tak ada niat dalam hatinya untuk mengejar Laura karena memang gadis itu sudah masuk kedalam mobil yang ada didepan tempat tersebut.Masuk kedalam mobil dalam perasaan yang kecewa, Laura kembali dihadapkan dengan telepon dari Angel."Ra, kamu tau keberadaan suamiku?" tanya Angel posesif."Dia tadi pergi sama Pak Ganjar, ada urusan!" jawab Laura seadanya."Hah... gak mungkin! kamu jangan bohong. Aku baru saja ketemu sama Pak Ganjar dia baru saja pulang ke kantor," mendengar pernyataan Angel, Laura terdiam."Ra, Lauraaaaa!" teriak Angel disebrang sana."Ehh...""Kamu kok malah diam aja sih?" protes Angel."Aku lagi mikir dia dimana, sekarang aku lagi dijalan nanti ku telpon lagi!" Laura mematikan sambungan telepon tersebut secara sepihak.Ia berp
"Pak Alex, kebetulan sekali!" ucap Satria ketika melihat kehadiran Alex. Satria mendekat dan melangkah menghampiri Alex, ia keluar dari ruangan itu karena ia sadar, tidak baik jika banyak orang dalam ruang perawatan pasien."Bagaimana Pak Alex bisa sampai sini?" tanya Satria ketika sudah berada diluar, ia yakin sekali bahwa Alex pasti juga baru mengetahui tentang kecelakaan yang menimpa Tama."Saya yang membawa Tama kerumah sakit ini!" jawab Alex datar. Satria terdiam, sekali lagi ia merasa hidupnya tak berguna karena selalu orang lain yang berada disisi Gina ketika gadis tersebut berada dititik kesulitan, kemana dirinya?"Ayo balik, kita ada rapat satu jam lagi!" ucap Alex dengan penuh penekanan, ia seolah tahu akan niat lelaki dihadapannya ini."Hah...?" belum selesai dengan satu keterkejutan, Satria yang berencana ingin libur dan menemani Gina hari ini terpaksa harus kembali kekantor."Sebenarnya saya, ingin ijin hari ini Pak!" ucap Satria menolak ajakan Alex.
"Golongan darah saya sama seperti anak itu Dok!" ucap Alex serius."Sus," dokter tersebut memanggil suster yang berjalan tak jauh dari mereka."Tolong antarkan Mas ini, dia mau donor darah!" ucap dokter tersebut."Mari Pak!" suster tersebut membawa Alex kesebuah ruangan yang dimaksud, sementara itu Gina hanya bisa menatap punggung Alex yang semakin menjauh. Jantungnya berdegub kencang, jika golongan darah Tama dan Alex sama, akankah Alex menyadari bahwa Tama adalah darah dagingnya.Ina dan Maria datang dengan tergesa,"Bagaimana keadaan Tama Gin?" tanya mereka hampir bersamaan, Gina menggeleng tanda bahwa iapun tidak mengetahui bagaimana keadaan Tama saat ini.Maria berdiri dengan bersandar didinding, matanya terpejam, berharap cucu semata wayangnya tersebut tidak kenapa-napa.Tak lama berselang, Alex kembali dengan seorang suster yang membawa satu kantong darah dan masuk kedalam ruangan dimana Tama berada, transfusi dilakukan. Suster itu masuk kedal
"Kamu sedang apa?" Laura menautkan alis ketika melihat isi pesan yang dikirim oleh Satria ke nomornya. Ia coba membalas pesan tersebut namun kemudian menghapusnya.Di tempat berbeda Satria menunggu balasan dari Laura yang terlihat sedang mengetik namun tak juga ada pesan yang masuk ke hpnya tersebut. Lama ia menunggu, namun pesan yang diketik oleh Laura tak juga masuk ke benda pipih yang ia pegang tersebut. Karena tak sabar lagi menunggu, Satria akhirnya menelpon gadis tersebut.Tuuuut...Tuuuuttt...Tak ada jawaban dari Laura, gadis itu membiarkan saja benda pipih itu bergetar di samping bantalnya. Laura hanya menatap benda yang sedari tadi bergetar hebat tersebut, setelah ia berpikir entah mengapa ia merasa sangat jijik kepada dirinya sendiri. Kepercayaan dirinya lenyap seiring dengan bayangan kejadian malam itu dimana ia menyerahkan semua yang ada pada dirinya kepada Satria.Sementara itu Satria sendiri merasa sangat bersalah kepada Laura dan juga Gina. Ia telah menyentuh Laura dan