Malam itu terasa sunyi, meski di luar suara kendaraan pengangkut barang produksi masih hilir mudik melewati jalanan ibu didepan rumah sederhana, Satria duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Gina terpampang di sana, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengetuk ikon “panggil”. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokan. Kepalanya bersandar di sandaran ranjang sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gina.
Satria menghela napas panjang. “ Aku nggak bisa terus kayak gini…” gumamnya, setengah berbisik.Ia tahu, perasaannya kepada Gina bukan sekadar rasa suka biasa. Ini cinta. Cinta yang tumbuh tanpa ia rencanakan, meski ia tahu Gina masih menyimpan banyak misteri dari masa lalunya. Setiap kali ia melihat wanita itu, ada dorongan kuat untuk mengungkap misteri tersebut.Namun, semuanya terasa rumit. Gina, dengan sikapnya yang dingin namun penuh keraguan, selalu menolak untuk memberikan kepastian. Satria tahuLangit sore itu terlihat mendung, menambah suasana muram di sekitar tempat Gina berpijak saat ini. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah mulai tercium, tanda-tanda hujan akan segera turun. Gina menatap cakrawala dimana cahaya jingga serta awan hitam menutupi langit bagian barat wilayah tersebut. Handphone dalam tas selempangnya bergetar."Iya, Ma," ucapnya sedikit cemas."Kamu kok belum pulang? ini Tama nanyain dari tadi," ucap Maria disebrang sana."Iya Ma ini lagi dijalan, Mama sudah dirumah?" Gina memastikan keduanya baik-baik saja."Iya kami sudah dirumah, tadi ada orang baik nawarin tumpangan naik mobil, jadi Mama gak perlu nunggu jemputan dari Paman Andi,"Deg...Pernyataan dari Maria membuat Gina semakin yakin bahwa Angel tidak berbohong atas ucapannya."Ya sudah Ma, aku mau lanjutin perjalanan nanti keburu hujan!""Iya hati-hati..." Sepanjang perjalanan lagi-lagi Gina merasa tidak tenang, sebab ada seseorang yang terus saja men
Setelah perdebatannya dengan Angel Alex memilih keluar dan pergi ke kamarnya yang berada tepat disamping kamar Angel, meski menginap dihotel yang sama, namun ia memesan kamar kamar lain untuk dirinya sendiri karena memang Alex menyukai ketenangan. Alex berdiri di depan jendela besar di kamar tersebut. Sinar matahari sore memantulkan bayangan tubuhnya yang kokoh ke lantai kayu. Tatapannya kosong menembus kaca, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Ia sudah terlalu muak dengan permainan Angel. Istrinya itu sudah melampaui batas, dan kali ini, Alex tidak akan tinggal diam.Pintu kamar terbuka perlahan. Entah dari mana Angel mendapatkan kunci kamar tersebut, ia melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya penuh percaya diri, seperti biasa, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu—ketakutan yang ia coba tutupi.“Maafkan aku," Angel bersuaranya terdengar menyesal, juga ada nada gugup yang terselip di sana.Alex
"Mas, lepas sa... kit!" butiran bening keluar disela sudut netra Gina, saat tangan kekar itu mencengkram kuat batang lehernya."Am puun!" ucapnya lagi dengan suara tercekat."Sudah aku bilang, jangan pernah menyentuh hpku. Kamu malah sengaja membaca semua pesan di hp tersebut," ucap Adam marah dan mengeratkan cekikannya pada leher sang istri.Uuhh uuhhuuukk... hkkk...Gina mungkin saja mati pada saat ini, jika tidak diselamatkan oleh suara ketukan di daun pintu kamar mereka.Hahhh... Haahhh...Dengan rakus Gina meraup udara untuk mengisi penuh rongga paru-parunya yang menyempit karena hampir kehabisan oksigen.Dirabanya lehernya yang terasa sakit, bahkan untuk meneguk air liur. Adam berjalan menuju pintu dan membukanya."Ada apa Ma?" tanyanya kepada ibu mertuanya yang berdiri di depan pintu kamar mereka."Itu ada orang yang nyariin kamu. Katanya ada urusan penting sama kamu," jelas Maria kepada Adam."Oh iya." Adam melangkah menemui dua orang yang sedari tadi menunggunya di depan pint
"Leher kamu kenapa merah seperti ini?" tanya Maria sekali lagi."Ini, karena mas Adam mencekikku Ma!" ingin sekali rasanya Gina berteriak mengatakan semuanya kepada Maria. Namun rasa takut yang teramat besar akan kehilangan sosok yang kini tengah menatapnya tersebut membuat Gina harus mencari alasan lain."Ini Ma. Tadi ketika jemur pakaian aku kejatuhan semut angkrang, mereka bergerombol dan jatuh tepat di pundak aku dan berlarian kesana kemari. Terus menggigiti leherku, rasanya panas dan gatal. Jadi ketika aku garuk, jadinya merah gini," Gina beralasan."Ooh, seharusnya kamu langsung kasih minyak kayu putih, biar gak merah seperti itu!" tambah Maria lagi. Gina hanya meraba lehernya, dan kemudian tersenyum."Mama sudah makan?" tanya mengalihkan perhatian Maria."Ayo kita makan dulu!" ucapnya lagi, sembari menggiring Maria kedapur."Adam belum pulang Gin?" tanya Maria, karena biasanya mereka akan makan bersama. "Belum Ma, kan tadi keluar. Mama tenang... lauk sama sayur buat Mas Adam m
Gina terbangun dari tidurnya karena mendengar ketukan di jendela kamarnya, dinyalakannya lampu kamar tersebut dan menyibak tirai jendela."Mas Adam!" ucapnya terkejut."Buka Gin, aku mau masuk!" ucap lelaki tersebut dengan nada bicara yang normal, seakan tidak pernah terjadi apa-apa antara dirinya dan Gina tempo hari.Adam masuk lewat jendela yang dibuka oleh Gina."Maaf mengganggu tidur kamu!" ucapnya melepas satu persatu pakaiannya yang sangat kotor seperti habis dari pematang sawah.Gina tak menyahut, perasaan marah atas kelakuan suaminya masihlah terasa menghimpit dada. Istri mana yang tidak marah ketika melihat chat mesra suaminya dengan wanita lain, bahkan pada saat itu dirinya dicekik oleh Adam karena terlalu lancang membuka pesan yang masuk ke handphone suaminya sendiri. Juga mengenai sertifikat rumah yang di jadikan jaminan hutang, mereka hampir saja kehilangan tempat tinggal mereka. Belum lagi telpon dari orang pinjaman online. Dan semua bukti chat dari Jamal kepadanya tenta
"Kami takut jika membawanya sendiri, bagaimana jika kami nanti dituduh macam-macam. Karena kondisi wanita ini seperti habis digebukin!" jelas salah satu anak buahnya disambungan telepon tersebut."Benar-benar merepotkan!" umpat Alex sembari menaiki mobilnya dan langsung berangkat ke tempat di mana anak buahnya berada.15 menit kemudian Alex pun sampai di tempat tujuannya tersebut, ia segera masuk ke dalam rumah di mana kedua anak buahnya menunggu dengan wajah yang pucat."Kenapa tidak kalian angkat?" tanyanya sanksi menatap keduanya."Kami takut Bos, coba Bos lihat sendiri bagaimana keadaannya." Alex mendekat kearah Gina yang tak sadarkan diri di lantai. Dilihatnya bahkan pakaian yang dipakai oleh istri anak buahnya tersebut tak sempurna. Wajah cantik yang ia temui kemaren berubah menjadi biru lebam dan membengkak. Begitu juga dengan tubuhnya, di beberapa bagian terdapat memar. Alex terlebih dulu mengecek nadi dan hembusan wanita tersebut, setelah yakin bahwa Gina masih hidup ia pun
Setelah berucap seperti itu Alex keluar dan melangkah, kini Gina hanya sendirian diruangan tersebut. Seketika tubuhnya merinding, Apa jangan-jangan Bos dari suaminya itu, mempunyai niat tersembunyi seperti akan menjual ginjalnya. Entahlah yang jelas ia berhutang nyawa kepada lelaki tersebut.Tak berapa lama kemudian Alex datang dengan membawa sebuah plastik di tangannya yang isinya tak lain adalah makanan."Apa kau bisa menyuap makanan ini sendiri?" tanyanya melirik ke arah tangan Gina."Bi... bisa Mas!" ucap Gina sungkan. Meski tangan kanannya terpasang selang infus, tidak mungkin rasanya ia meminta untuk disuapi oleh lelaki asing yang bukan siapa-siapanya tersebut. Ia akan berusaha untuk mandiri, menyuap makanan itu sendiri.Alex duduk sebuah kursi yang berada dekat dengan ranjang Gina."Saya belikan kamu bubur, biar gak perlu robek-robek ikannya." ucapnya menyerahkan mangkuk berwarna bening tersebut kepada Gina. Entah apa maksudnya dengan merobek-robek ikan."Terima kasih karena M
"Sepertinya kau sangat terkejut melihatku?" ucap Alex tersenyum miring menatap wajah Gina yang wajahnya sudah terlihat normal seperti sedia kala."Iya Mas." ucap Gina malu, ia teringat akan kejadian tentang paper bag berisi pakaian untuknya tersebut."Ku dengar kau ingin pulang, padahal masih perlu perawatan," ucap Alex menatap lekat ke arah Gina. Jika biasanya lelaki itu berbicara menggunakan kata 'saya' untuk menyebut dirinya, kali ini Alex berbicara menggunakan 'aku'."Orang tuaku akan pulang Mas, tidak ada orang di rumah," jawab Gina merasa risih karena sepertinya sedari tadi Alex terus saja memperhatikan gerak geriknya."Memang ke mana orang tua kamu?" Alex ikut berjalan ketika Gina melangkahkan kakinya."Mama ada pelatihan kader posyandu," Gina menunduk, sungguh ia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Alex yang sedari tadi berjalan beriringan dengannya."Oh..." hanya itu tanggapan Alex, namun langkah kakinya tetap mengikuti kemanapun Gina melangkah.
Setelah perdebatannya dengan Angel Alex memilih keluar dan pergi ke kamarnya yang berada tepat disamping kamar Angel, meski menginap dihotel yang sama, namun ia memesan kamar kamar lain untuk dirinya sendiri karena memang Alex menyukai ketenangan. Alex berdiri di depan jendela besar di kamar tersebut. Sinar matahari sore memantulkan bayangan tubuhnya yang kokoh ke lantai kayu. Tatapannya kosong menembus kaca, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Ia sudah terlalu muak dengan permainan Angel. Istrinya itu sudah melampaui batas, dan kali ini, Alex tidak akan tinggal diam.Pintu kamar terbuka perlahan. Entah dari mana Angel mendapatkan kunci kamar tersebut, ia melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya penuh percaya diri, seperti biasa, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu—ketakutan yang ia coba tutupi.“Maafkan aku," Angel bersuaranya terdengar menyesal, juga ada nada gugup yang terselip di sana.Alex
Langit sore itu terlihat mendung, menambah suasana muram di sekitar tempat Gina berpijak saat ini. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah mulai tercium, tanda-tanda hujan akan segera turun. Gina menatap cakrawala dimana cahaya jingga serta awan hitam menutupi langit bagian barat wilayah tersebut. Handphone dalam tas selempangnya bergetar."Iya, Ma," ucapnya sedikit cemas."Kamu kok belum pulang? ini Tama nanyain dari tadi," ucap Maria disebrang sana."Iya Ma ini lagi dijalan, Mama sudah dirumah?" Gina memastikan keduanya baik-baik saja."Iya kami sudah dirumah, tadi ada orang baik nawarin tumpangan naik mobil, jadi Mama gak perlu nunggu jemputan dari Paman Andi,"Deg...Pernyataan dari Maria membuat Gina semakin yakin bahwa Angel tidak berbohong atas ucapannya."Ya sudah Ma, aku mau lanjutin perjalanan nanti keburu hujan!""Iya hati-hati..." Sepanjang perjalanan lagi-lagi Gina merasa tidak tenang, sebab ada seseorang yang terus saja men
Malam itu terasa sunyi, meski di luar suara kendaraan pengangkut barang produksi masih hilir mudik melewati jalanan ibu didepan rumah sederhana, Satria duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Gina terpampang di sana, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengetuk ikon “panggil”. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokan. Kepalanya bersandar di sandaran ranjang sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gina.Satria menghela napas panjang. “ Aku nggak bisa terus kayak gini…” gumamnya, setengah berbisik. Ia tahu, perasaannya kepada Gina bukan sekadar rasa suka biasa. Ini cinta. Cinta yang tumbuh tanpa ia rencanakan, meski ia tahu Gina masih menyimpan banyak misteri dari masa lalunya. Setiap kali ia melihat wanita itu, ada dorongan kuat untuk mengungkap misteri tersebut. Namun, semuanya terasa rumit. Gina, dengan sikapnya yang dingin namun penuh keraguan, selalu menolak untuk memberikan kepastian. Satria tahu
Malam itu, Angel berdiri di balkon kamarnya, memandang gelapnya malam di sekitar hotel tempat ia menginap. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan rasa cemburu dan amarah yang tak bisa ia kendalikan. Gina. Nama itu terus menghantui pikirannya. Angel tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alex, suaminya, masih memendam perasaan untuk wanita itu, apalagi setelah insiden malam pesta kemarin. Angel menggenggam ponselnya erat-erat, jemarinya gemetar. Tekadnya sudah bulat, Gina harus disingkirkan.Angel menekan nomor seseorang yang sudah ada di daftar kontaknya. Suaranya dingin ketika dia berbicara.“Aku butuh kamu lakukan sesuatu,” ucap Angel, nada suaranya rendah namun tegas.“Siapa targetnya?” balas suara pria dari seberang telepon.“Seorang wanita. Namanya Gina. Aku nggak peduli caranya gimana, tapi aku nggak mau dia lagi ada di sekitar suami aku. Buat dia kapok, atau lebih baik lagi... lenyapkan dia. Selamanya.”Hening sejenak di telepon, hanya terdengar suara nafas
Malam itu, hujan turun deras, menghantam genteng rumah seperti ketukan berirama yang memecah keheningan. Gina duduk di ruang tamu dengan segelas teh yang sudah dingin di meja kecil di depannya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, melihat bayangan dirinya yang terpantul samar di kaca. Di sudut ruangan, Maria duduk tak jauh darinya."Gin, beberapa hari ini kok Mama merasa ada sesuatu yang aneh ya," ucap Maria "Sesuatu yang aneh bagaimana Ma?" tanya Gina penasaran."Seperti ada seseorang yang memperhatikan kegiatan Mama dan Tama,"Gina diam sesaat, ia berpikir apa sebaiknya mereka pindah saja, sementara itu Maria masih memperhatikan putrinya dengan cemas. Tama sudah tertidur di kamar dengan selimut hangat yang membungkus tubuh kecilnya."Ma, apa sebaiknya kita pindah saja?" akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibir Gina"Gin," suara Maria terdengar pelan, memecah keheningan. "Apa kamu yakin dengan keputusan ini?"Gina menghela napas panjang, mencob
"Kamu masih tidak bisa mengambil keputusan atas hubungan kamu dengan Mbak Gina kan!" Laura beranjak bangkit sembari tersenyum smirk kemudian berjalan meninggalkan Satria yang masih terpaku duduk ditempatnya. Tak ada niat dalam hatinya untuk mengejar Laura karena memang gadis itu sudah masuk kedalam mobil yang ada didepan tempat tersebut.Masuk kedalam mobil dalam perasaan yang kecewa, Laura kembali dihadapkan dengan telepon dari Angel."Ra, kamu tau keberadaan suamiku?" tanya Angel posesif."Dia tadi pergi sama Pak Ganjar, ada urusan!" jawab Laura seadanya."Hah... gak mungkin! kamu jangan bohong. Aku baru saja ketemu sama Pak Ganjar dia baru saja pulang ke kantor," mendengar pernyataan Angel, Laura terdiam."Ra, Lauraaaaa!" teriak Angel disebrang sana."Ehh...""Kamu kok malah diam aja sih?" protes Angel."Aku lagi mikir dia dimana, sekarang aku lagi dijalan nanti ku telpon lagi!" Laura mematikan sambungan telepon tersebut secara sepihak.Ia berp
"Pak Alex, kebetulan sekali!" ucap Satria ketika melihat kehadiran Alex. Satria mendekat dan melangkah menghampiri Alex, ia keluar dari ruangan itu karena ia sadar, tidak baik jika banyak orang dalam ruang perawatan pasien."Bagaimana Pak Alex bisa sampai sini?" tanya Satria ketika sudah berada diluar, ia yakin sekali bahwa Alex pasti juga baru mengetahui tentang kecelakaan yang menimpa Tama."Saya yang membawa Tama kerumah sakit ini!" jawab Alex datar. Satria terdiam, sekali lagi ia merasa hidupnya tak berguna karena selalu orang lain yang berada disisi Gina ketika gadis tersebut berada dititik kesulitan, kemana dirinya?"Ayo balik, kita ada rapat satu jam lagi!" ucap Alex dengan penuh penekanan, ia seolah tahu akan niat lelaki dihadapannya ini."Hah...?" belum selesai dengan satu keterkejutan, Satria yang berencana ingin libur dan menemani Gina hari ini terpaksa harus kembali kekantor."Sebenarnya saya, ingin ijin hari ini Pak!" ucap Satria menolak ajakan Alex.
"Golongan darah saya sama seperti anak itu Dok!" ucap Alex serius."Sus," dokter tersebut memanggil suster yang berjalan tak jauh dari mereka."Tolong antarkan Mas ini, dia mau donor darah!" ucap dokter tersebut."Mari Pak!" suster tersebut membawa Alex kesebuah ruangan yang dimaksud, sementara itu Gina hanya bisa menatap punggung Alex yang semakin menjauh. Jantungnya berdegub kencang, jika golongan darah Tama dan Alex sama, akankah Alex menyadari bahwa Tama adalah darah dagingnya.Ina dan Maria datang dengan tergesa,"Bagaimana keadaan Tama Gin?" tanya mereka hampir bersamaan, Gina menggeleng tanda bahwa iapun tidak mengetahui bagaimana keadaan Tama saat ini.Maria berdiri dengan bersandar didinding, matanya terpejam, berharap cucu semata wayangnya tersebut tidak kenapa-napa.Tak lama berselang, Alex kembali dengan seorang suster yang membawa satu kantong darah dan masuk kedalam ruangan dimana Tama berada, transfusi dilakukan. Suster itu masuk kedal
"Kamu sedang apa?" Laura menautkan alis ketika melihat isi pesan yang dikirim oleh Satria ke nomornya. Ia coba membalas pesan tersebut namun kemudian menghapusnya.Di tempat berbeda Satria menunggu balasan dari Laura yang terlihat sedang mengetik namun tak juga ada pesan yang masuk ke hpnya tersebut. Lama ia menunggu, namun pesan yang diketik oleh Laura tak juga masuk ke benda pipih yang ia pegang tersebut. Karena tak sabar lagi menunggu, Satria akhirnya menelpon gadis tersebut.Tuuuut...Tuuuuttt...Tak ada jawaban dari Laura, gadis itu membiarkan saja benda pipih itu bergetar di samping bantalnya. Laura hanya menatap benda yang sedari tadi bergetar hebat tersebut, setelah ia berpikir entah mengapa ia merasa sangat jijik kepada dirinya sendiri. Kepercayaan dirinya lenyap seiring dengan bayangan kejadian malam itu dimana ia menyerahkan semua yang ada pada dirinya kepada Satria.Sementara itu Satria sendiri merasa sangat bersalah kepada Laura dan juga Gina. Ia telah menyentuh Laura dan