Sejak saat itu kehidupan Nia mulai berjalan normal. Indah yang tidak terima dengan perlakuan menantu dan besannya itu melarang sang putri untuk tinggal bersama Riko. Hal itu tentunya membuat Riko marah dan tidak terima dengan keputusan mertuanya. "Kalian lihat saja apa yang akan aku lakukan pada putri kesayanganmu," batin Riko yang langsung meninggalkan rumah itu. [Bagaimana keadaan Ibu? Apa dia baik-baik saja,] tulis Rafli pada pesan singkat. [Ibuku baik, ternyata semua itu hanya kebohongan suamiku. Dia dengan sengaja membohongiku,] balas Nia. [Kurang ajar sekali dia, tapi kamu disana baik-baik saja 'kan.] [Alhamdulillah. Aku baik,] tulisnya sambil di sisipi emoticon senyum. Nia yang saat itu sedang berbaring di kamar. Terlihat terkejut saat melihat pintu kamarnya terbuka. Dengan segera dia menyembunyikan ponselnya. "Nia! Apa kamu tidak makan siang?" tanya Indah yang sudah berdiri di depan pintu. Sambil membuang nafas lega. "Ibu, aku pikir siapa." "Kamu pikir Ibu ini
"Halo, Mas. Aku pergi dari rumah," ucap Nia saat panggilannya terhubung. "Pergi dari rumah! Kenapa, apa ada yang menyakitimu?" tanya Rafli penasaran. "Mas Riko membawaku ke hotel. Padahal sebelumnya dia bilang jika dia akan mengajakku ke penggadilan agama, beruntungnya aku masih bisa kabur." "Penggadilan agama? Bukannya kamu bilang kalian sudah resmi bercerai!" ucap Rafli yang terdengar kaget. "Ceritanya nanti saja, Mas. Sekarang aku mohon selamatkan aku dulu." Nia terdengar ketakutan. "Baik-baik, sekarang kamu ada dimana?" tanya Rafli yang terdengar khawatir. "Aku ada di Terminal. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa ketempatmu," ucap Nia yang mulai ketakutan. "Kamu sekarang tenang dulu, kamu cari apa disana ada tempat travel. Biar aku yang bicara pada mereka." Nia yang ketakutan segera mencari agen travel terdekat. Dengan segera dia menyerahkan ponselnya dan membiarkan mereka bicara dengan Rafli. Setelah beberapa saat agen travel menyerahkan kembali ponsel milik Nia. "K
"Assalamualaikum," ucap Rafli sambil masuk ke dalam rumah. "Waalaikumsalam," jawab Nia. "Ini kopimu, Mas." "Alhamdulillah, kebetulan aku haus sekali." Rafli langsung mengambil cangkir yang ada di depannya. Setelah menikmati kopi buatan Nia. Rafli langsung menggambil sebatang rokok dan langsung menyalakannya. Sementara itu, Nia yang sejak tadi di dapur langsung duduk di samping Rafli. "Hari ini ada pesan masuk dari Yuni," ucap Nia hingga membuat Rafli terkejut. "Yuni!" ucap Rafli sambil langsung menoleh ke arah wanita yang ada di sebelahnya. "Memang Yuni itu siapa. Mas? Apa dia kekasihmu." Nia terlihat penasaran. Perlahan dia mulai menceritakan siapa Yuni. Yuni adalah seorang wanita muda berusia 25 tahun. Dia adalah salah satu wanita yang mampu membuat Rafli mati rasa. Rafli yang saat itu masih menempuh pendidikan di sebuah universitas. Dianggap sebagai pria yang tidak memiliki masa depan. Tidak hanya itu, usia yanh terpaut 15 tahun membuat Kakak Yuni menentang hubungan
Sejak saat itu Nia terus menyembunyikan penyakit yang dideritanya. Dia berusaha terus terlihat baik-baik saja saat ada di dekat sang suami. Hingga suatu hari, Nia yang saat itu sedang menikmati masa liburnya tiba-tiba mendengar suara ponsel dari samping televisi. Sambil memegang ponsel. “Ternyata ponsel Mas Rafli tertinggal.” Nia yang saat itu merasa penasaran akhirnya memberanikan diri membuka sebuah pesan singkat yang ada di ponsel Rafli. Terlihat sebuah nama Yuni terpampang jelas pada ponsel tersebut. Perlahan Nia mulai membuka pesan singkat tersebut. “Assalamualaikum, A’. Apa kabar? Sekarang kamu tinggal dimana, aku ingin menemuimu.” Tulis Yuni pada pesan singkat tersebut. “Yuni? Bukannya dia itu mantan kekasih Mas Rafli,” ucap Nia dengan wajah bingung. Nia yang tidak ingin membuat dirinya semakin memikirkan keberadaan pesan singkat itu. Akhirnya memutuskan untuk meletakkan kembali ponsel milik Rafli. Sore hari, Rafli yang baru saja pulang dari kerja terlihat buru-buru me
Rasa sesak dan sakit terlihat begitu jelas di kedua mata Nia. Rafli yang merasa iba dengan apa yang dialami sang istri terlihat memeluk Nia dengan begitu erat. Pelukan Rafli ternyata mampu membuat Nia berangsur-angsur membaik, hingga akhirnya mereka pun memutuskan untuk pulang. Sambil membantu Nia berbaring di tempat tidur. "Sekarang kamu istirahat dulu ya, biar aku siapkan makan malam untukmu." "Mas." Nia langsung memegang tangan Rafli yang akan meninggalkannya. "Ada apa? Apa ada yang ingin kamu katakan kepadaku," tanya Rafli sambil tersenyum dan duduk di samping Nia Nia yang masih merasakan sakit di hatinya langsung memeluk Rafli dengan erat. Air mata kembali mengalir dari kedua matanya yang indah. Dengan lembut Rafli mulai mengecup kening sang istri. "Katakan saja apa yang sudah membuat hatimu sakit, aku yakin semua itu akan membuatmu jauh lebih tenang!" perintah Rafli sambil mengusap air mata Nia. Perlahan Nia pun mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialamin
Rafli yang khawatir dengan keadaan Nia langsung membawa sang istri ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Nia yang masih menangis kesakitan langsung dibawa ke ruang UGD. Satu jam berlalu hingga Dokter Mega akhirnya keluar dari ruang UGD. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Rafli yang terlihat panik. "Tidak ada jalan lain, Ibu Nia harus melakukan pengangkatan tumor dan rahimnya." "Ya Allah bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan sekarang? Jika aku mengizinkan secara otomatis aku tidak akan pernah bisa punya keturunan, tapi jika aku menolak bagaimana dengan kondisi Nia," batin Rafli yang terlihat menunduk. Sambil menepuk pundak Rafli. "Pikirkan semuanya baik-baik." Pilihan itu adalah sebuah pilihan yang sulit bagi Rafli. Selain tidak akan pernah mendapat keturunan Rafli juga pasti mendapat cemooh dari banyak orang. Sesaat Rafli terdiam hingga akhirnya dia memutuskan untuk masuk menemui sang istri. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Rafli sambil memegang tangan Nia. "
"Maaf, ini siapa." Tulis Nia dalam pesan singkatnya. Tidak berapa lama, nomor tersebut akhirnya menghubunginya. Riko yang selama ini hampir dilupakannya kini ternyata kembali hadir dalam hidupnya. Luka yang mulai mengering kini kembali terbuka bersamaan dengan kedatangan Riko. "Halo," ucap Riko melalui panggilan telepon. "Maaf. Untuk apa kamu menghubungi ku lagi? Aku sudah tidak ada urusan apapun denganmu," tanya Nia dengan ketus. "Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa lepas dari ku, Nia. Aku akan pastikan hidupmu penuh dengan penderitaan dan air mata," jawab Riko yang terdengar tertawa. "Cepat katakan apa maumu? Setelah itu jangan pernah ganggu kehidupanku lagi, kita sudah resmi bercerai, Mas. Apa lagi yang kamu harapkan dariku." "Mau ku sederhana, aku ingin kamu kembali padaku. Simpel 'kan," jawab Riko. "Tidak! Sampai kapanpun kita tidak akan bisa bersama, aku dan kamu sudah memiliki kehidupan masing-masing jadi kita tidak akan bisa bersama," jelas Nia. "Baik kalau beg
Nia yang masih terlihat mengantuk langsung mengikuti ucapan Rafli. Setelah bersiap-siap, mereka pun segera masuk ke dalam mobil hitam yang ada di depan. Ada rasa penasaran dalam hati Nia, hingga akhirnya mereka pun tiba di sebuah terminal bus. Rafli terlihat menjabat tangan temannya. "Terima kasih ya, Maaf sudah merepotkanmu." "Tidak apa-apa, aku senang bisa membantumu. Hati-hati di jalan, salam buat keluargamu," jawabnya sambil menjabat tangan Rafli. "Nia! Ayo kita naik," ajak Rafli yang langsung dijawab anggukan oleh Nia. "Memangnya kita mau kemana, Mas?" tanya Nia saat mereka sudah duduk di dalam bus. Setelah meletakkan tas Rafli pun langsung menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. Ada rasa ragu dalam hatinya saat akan mulai menjelaskan kepada sang istri. Rafli yang sudah tidak lagi bekerja di perusahaan Konstruksi sudah tidak dapat lagi meneruskan kehidupannya di Denpasar. "Lalu, sekarang kita mau kemana?" tanya Nia penasaran. "Aku akan mengajakmu tinggal ber
"Yuni." Rafli terlihat terkejut saat melihat Yuni sudah berada di depan bengkelnya."Yuni. Jadi wanita ini mantan kekasih Mas Rafli," batin Nia sambil menatap Yuni.Apa yang diucapkan Rafli memang benar. Yuni adalah wanita muda yang sangat cantik. Tidak hanya Rafli yang terpesona dengan kecantikan wanita itu. Namun, Nia yang yang baru saja bertemu dengannya pun terlihat kagum."Aak. Bagaimana kabarmu?" tanya Yuni sambil langsung memeluk tubuh Rafli.Sambil melepaskan pelukan Yuni. "Aku baik-baik saja.""Ini siapa?" tanya Yuni saat melihat Nia yang berdiri di samping Rafli sambil menggendong putrinya.
Shafira yang selama ini tidak terdengar kabarnya. Tiba-tiba menghubunginya. Nia yang mengetahui siapa orang yang menghubunginya dia terlihat terkejut. [Shafira, apa ada yang bisa aku bantu?] tanya Nia. [Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Ibu,] jawabnya yang terdengar ragu. [Apa yang kamu katakan.][Aku ingin Ibu mengembalikan putriku, aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku sangat merindukan putriku,] jelasnya dengan suara bergetar. [Tidak! Aku tidak akan menyerahkan Tiara padamu, dia putriku. Aku yang merawatnya dari kecil, aku juga yang sudah begadang dan menangisinya setiap dia sakit!] bentak Nia sambil mulai menangis. [Tidak bisa. Bu, kalian harus terima kenyataan jika Tiara adalah putri kandungku. Bukan anak kalian."] Nia yang ketakutan langsung menutup ponselnya. Dengan segera dia menggendong Tiara yang masih tertidur pulas. Air mata terlihat mengalir di kedua pipinya. "Dia putriku, bukan milik orang lain. Mas Rafli, ya aku harus bicara dengan Mas Rafli." Nia segera keluar
"Kamu pikir aku pembantumu atau baby sitter anak itu! Yang harus menunggu dan meminta izin kalian untuk pergi!" bentak Yola sambil bertolak pinggang. "Bukan begitu. Kak, tapi paling tidak tunggu atau hubungi aku, tidak meninggalkan Tiara seperti itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya?" ucap Rafli. "Makanya punya anak itu dijaga, bukannya di tinggal-tinggal." "Kak Yola! Kakak pikir aku dan Nia rekreasi. Kami ke rumah sakit, bahkan saat ini dia harus dirawat. Apa tidak bisa Kakak bersimpati sedikit padanya?" jelas sang adik. "Diam! Ada apa ini, kenapa kalian bertengkar seperti itu." Tiba-tiba Robi masuk kedalam rumah. "Lihat apa yang sudah diperbuat adik kesayanganmu, sejak kecil aku yang merawatnya. Tapi apa balasannya sekarang? Dia justru membenciku seperti itu," jawab Yola sambil menangis. "Rafli! Apa-apaan kamu? Sejak kamu menikah dengan perempuan tidak jelas itu, kamu jadi berubah. Dipikiranmu hanya wanita itu, bahkan sekarang kamu tega membentak orang yang sudah
"Apa, istri saya harus dirujuk ke rumah sakit besar!" teriak Rafli yang terlihat terkejut. "Maaf, apa tidak ada cara lain selain dirujuk?" tanya Nia yang saat itu menggendong Tiara. "Tidak bisa, Bu. Ibu harus mendapatkan penanganan secara serius dan pemeriksaan Laboratorium, kebetulan di Puskesmas ini belum tersedia Laboratorium." "Bagaimana dengan Tiara jika aku harus dirawat di Rumah sakit," batin Nia sambil menatap Tiara yang sedang terlelap di gendongannya. "Apa Ibu Nia punya kartu kesehatan? Biar saya buatkan surat pengantar," ucap Dokter tersebut. "Ada, Dok. " Rafli langsung memberikan kartu kesehatan Nia. "Mas, aku tidak mau ke Rumah sakit." "Kita tidak ada pilihan lain, kamu harus segera mendapat penanganan, kamu harus yakin semua pasti akan baik-baik saja," jawab Rafli sambil menggegam tangan Nia. "Tapi bagaimana dengan Tiara, siapa yang merawatnya saat aku di rumah sakit." Wajahnya terlihat khawatir sambil menatap sang putri. Setelah menerima surat pengantar
"Buku kelahiran. Untuk apa?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Bang Robi memintaku untuk membawa buku itu padanya. Dia bilang kalau dia ingin melihat buku itu," jawabnya sambil terlihat ragu. Sambil berdiri di hadapan sang suami. "Jadi keluarga mu ragu akan anak ini, apa karena dia jelek jadi keluargamu meragukannya." "Aku sudah menjelaskan itu, tapi Bang Robi tetap tidak mempercayainya. Aku minta maaf, Sayang." Nia yang sudah kesal dengan sikap keluarga Rafli. Langsung berjalan ke arah lemari untuk mengambil buku yang diminta oleh suaminya. Dan langsung menyerahkannya pada Rafli. "Katakan pada keluargamu, jika mereka tidak mengakui anak ini aku tidak masalah. Karena bagiku pengakuan dari mereka tidak penting," ucap Nia sambil menyerahkan buku itu. "Iya, ya sudah aku akan keluar sebentar untuk menunjukkan buku ini pada Abangku," ucap Rafli sambil langsung berjalan keluar kamar. "Aku pikir keluarga Mas Rafli semakin hari semakin membuatku tidak nyaman, tapi bagaimanapun
"Maaf, Sus. Dimana pasien bernama Shafira, kenapa dia tidak ada di kamarnya?" tanya Nia pada seorang Perawat yang ada di meja resepsionis. "Ibu Shafira sudah dibawa ke ruang bersalin, karena beliau sudah mengalami pembukaan sempurna dan akan segera melahirkan," jawab Perawat tersebut. "Kalau begitu kamu tunggu disini saja, biar aku masuk ke ruang bersalin untuk menemaninya." Nia memegang tangan suaminya. "Kamu yakin bisa mengatasinya?" tanya Rafli yang langsung dijawab anggukan oleh sang istri. Setelah meminta izin pada suaminya. Nia langsung berjalan ke arah ruang bersalin. Terlihat Shafira sedang menangis dan berteriak kesakitan diatas sebuah tempat tidur. "Sakit, Bu. Aku tidak mau disini, aku mau pulang!" teriak Shafira sambil menggegam tangan Nia. "Sabar ya, Mbak. Istighfar insya Allah semuanya akan baik-baik saja," ucap Nia yang memandang wanita itu dengan iba. "Aku tidak mau, Bu. Aku mau pulang! Mama tolong aku,Ma." Shafira terus berteriak sambil memanggil nama orang
“Rumah bersalin," bisik Nia saat melihat sebuah papan nama. "Kenapa kita kemari? Apa ada yang melakukan persalinan." Nia langsung menoleh ke arah Rafli. Sambil melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di dadanya. "Nanti juga kamu tahu, oh ya. Jangan lupa bawa tas yang ada di bagasi belakang." Nia yang masih belum paham dengan tujuan suaminya itu hanya bisa mengikuti perintah Rafli. Di bagasi belakang terlihat sebuah tas bayi dan beberapa peralatan bayi yang sepertinya sudah sengaja di siapkan oleh Rafli. Seketika timbul pertanyaan di benaknya tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Tas bayi, sebenarnya siapa yang akan melahirkan. Apa jangan-jangan suamiku selama ini sudah berselingkuh di belakangku," batin Nia sambil menatap ke arah tas itu dengan pandangan kosong. Sambil berjalan ke arah Nia. "Kenapa kamu masih disini, ayo! Mereka sudah menunggu kedatangan kita." "Tunggu, Mas. Sebenarnya ada apa ini, siapa yang melahirkan?" tanya Nia sambil memegang tangan suaminya. "
Sejak saat itu Rafli terlihat begitu gelisah. Bahkan setiap malam dia selalu menghabiskan waktu dengan ponselnya. Sebenarnya ada rasa kesal dalam hati Nia saat itu, karena dia berpikir disaat genting seperti ini suaminya masih bisa bersikap santai. "Aku pergi dulu, kamu di kamar saja!" perintah Rafli sambil mencium kening istrinya dan berjalan keluar. "Kamu mau kemana, Mas … ." Belum juga Nia selesai bicara Rafli sudah keluar dari kamar. "Kemana dia, apa jangan-jangan Mas Rafli sudah mendapatkan wanita lain untuk menggantikanku," ucap Nia dengan pandangan bingung. Hari itu tidak banyak yang dilakukannya selain ke bengkel untuk memasak dan mencuci baju. Rafli yang sangat paham dengan sifat kakaknya memang melarang Nia untuk menggunakan yang ada di rumah itu. Jadi tidak heran jika Nia lebih banyak menghabiskan waktu di bengkel. “Mas Rafli kemana ya, kenapa sampai jam segini dia belum pulang. Bahkan ponselnya tidak dapat di hubungi,” ucap Nia sambil melihat ponselnya. ***
“Rafli berhenti! Aku sudah bilang Yanto tidak ada di rumah, sejak semalam dia tidak pulang!" teriak Yola. "Kamu benar-benar di butakan oleh cintamu pada brondong itu, hingga sulit bagimu melihat mana yang benar dan mana yang salah!" bentak Rafli sambil menendang sebuah meja yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Aku? Kamu yang udah buta, kamu lebih mementingkan istri mu daripada aku. Kakak mu sendiri." Yola terlihat benar-benar kecewa dengan sikap Rafli. Pertengkaran Yola dan Rafli ternyata terdengar oleh Nia yang masih berada di bengkel. Merasa khawatir dengan Rafli yang tidak dapat mengontrol emosinya. Nia langsung menutup bengkelnya dan berjalan ke arah rumah. "Sudah, Mas. Jangan diperpanjang lagi, tidak enak jika sampai di dengar orang lain." Nia menggandeng tangan suaminya. "Tidak bisa, laki-laki itu harus mendapatkan pelajaran atas kesalahannya hari ini," ucap Rafli sambil menoleh ke arah sang istri. "Eh perempuan benalu! Apa saja yang kamu katakan sampai adikku