Rafli yang khawatir dengan keadaan Nia langsung membawa sang istri ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Nia yang masih menangis kesakitan langsung dibawa ke ruang UGD. Satu jam berlalu hingga Dokter Mega akhirnya keluar dari ruang UGD. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Rafli yang terlihat panik. "Tidak ada jalan lain, Ibu Nia harus melakukan pengangkatan tumor dan rahimnya." "Ya Allah bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan sekarang? Jika aku mengizinkan secara otomatis aku tidak akan pernah bisa punya keturunan, tapi jika aku menolak bagaimana dengan kondisi Nia," batin Rafli yang terlihat menunduk. Sambil menepuk pundak Rafli. "Pikirkan semuanya baik-baik." Pilihan itu adalah sebuah pilihan yang sulit bagi Rafli. Selain tidak akan pernah mendapat keturunan Rafli juga pasti mendapat cemooh dari banyak orang. Sesaat Rafli terdiam hingga akhirnya dia memutuskan untuk masuk menemui sang istri. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Rafli sambil memegang tangan Nia. "
"Maaf, ini siapa." Tulis Nia dalam pesan singkatnya. Tidak berapa lama, nomor tersebut akhirnya menghubunginya. Riko yang selama ini hampir dilupakannya kini ternyata kembali hadir dalam hidupnya. Luka yang mulai mengering kini kembali terbuka bersamaan dengan kedatangan Riko. "Halo," ucap Riko melalui panggilan telepon. "Maaf. Untuk apa kamu menghubungi ku lagi? Aku sudah tidak ada urusan apapun denganmu," tanya Nia dengan ketus. "Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa lepas dari ku, Nia. Aku akan pastikan hidupmu penuh dengan penderitaan dan air mata," jawab Riko yang terdengar tertawa. "Cepat katakan apa maumu? Setelah itu jangan pernah ganggu kehidupanku lagi, kita sudah resmi bercerai, Mas. Apa lagi yang kamu harapkan dariku." "Mau ku sederhana, aku ingin kamu kembali padaku. Simpel 'kan," jawab Riko. "Tidak! Sampai kapanpun kita tidak akan bisa bersama, aku dan kamu sudah memiliki kehidupan masing-masing jadi kita tidak akan bisa bersama," jelas Nia. "Baik kalau beg
Nia yang masih terlihat mengantuk langsung mengikuti ucapan Rafli. Setelah bersiap-siap, mereka pun segera masuk ke dalam mobil hitam yang ada di depan. Ada rasa penasaran dalam hati Nia, hingga akhirnya mereka pun tiba di sebuah terminal bus. Rafli terlihat menjabat tangan temannya. "Terima kasih ya, Maaf sudah merepotkanmu." "Tidak apa-apa, aku senang bisa membantumu. Hati-hati di jalan, salam buat keluargamu," jawabnya sambil menjabat tangan Rafli. "Nia! Ayo kita naik," ajak Rafli yang langsung dijawab anggukan oleh Nia. "Memangnya kita mau kemana, Mas?" tanya Nia saat mereka sudah duduk di dalam bus. Setelah meletakkan tas Rafli pun langsung menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. Ada rasa ragu dalam hatinya saat akan mulai menjelaskan kepada sang istri. Rafli yang sudah tidak lagi bekerja di perusahaan Konstruksi sudah tidak dapat lagi meneruskan kehidupannya di Denpasar. "Lalu, sekarang kita mau kemana?" tanya Nia penasaran. "Aku akan mengajakmu tinggal ber
Rafli yang baru saja pulang ke rumah langsung menemui istrinya di kamar. Namun, dia terkejut karena tidak melihat sang istri di dalam kamar. Dengan rasa khawatir dia langsung berjalan ke arah dapur. "Nia! Sedang apa kamu disini?" tanya Rafli yang terlihat terkejut saat melihat Nia ada di tempat cuci piring sambil menangis. "Aku bosan di kamar, jadi aku memutuskan untuk mencuci piring. Kamu dari mana, Mas. Kenapa baru pulang?" tanya Nia sambil mencuci tangannya yang penuh dengan busa sabun. "Nanti aku ceritakan, sekarang kita masuk ke kamar dulu. Kamu 'kan sedang sakit, jadi jangan terlalu capek." Rafli membantu Nia berdiri. "Tapi bagaimana dengan piring-piring ini?" tanya Nia yang terlihat gugup. Sambil mengajaknya berjalan. "Sudahlah nanti biar aku yang mengerjakannya." Kedatangan Rafli benar-benar membuatnya merasa jauh lebih tenang. Tidak muda bagi Nia untuk tinggal bersama keluarga Rafli. Sebuah keluarga yang penuh dengan drama di hadapan banyak orang. "Sekarang
“Aku tidak melakukan apapun, bahkan aku juga tidak pernah meminta Mas Rafli untuk membenci Kakak ataupun keluarga yang lain.” Nia berusaha membela diri sambil duduk di atas tempat tidur. “Asal kamu tahu, sebelum menikah denganmu adikku itu adalah laki-laki tampan dengan banyak wanita cantik di sampingnya. Bahkan dia selalu terlihat bahagia, pacarnya juga dari kalangan kaya. Tidak sepertimu wanita penyakitan yang tidak jelas asal usulnya!” bentak Yola sambil bertolak pinggang. Nia yang mendengar penghinaan Yola hanya bisa menunduk dan meneteskan air mata. Dia tidak menyangka jika Kakak iparnya bisa menghinanya dengan begitu tega. Tidak ada yang bisa dilakukan Nia saat ini selain berdoa agar sang suami bisa segera tiba. “Ma! Mama,” teriak salah satu anak Yola yang bernama Nova. “Ada apa? Mama di kamar belakang!” jawab Yola sambil berteriak. Nova adalah anak keempat Yola dari pernikahan pertamanya. Yola yang selama ini hidup menjanda, akhirnya memutuskan untuk menikah dengan seo
"Ada," jawab Nia singkat. "Siapa? Apa itu Ibumu." Rafli terlihat tersenyum di hadapan Nia. Sambil berbaring di pangkuan sang istri. "Apa kamu yakin Ibumu ikhlas, apa kamu yakin tidak ada luka di hatinya." Mendengar ucapan Rafli, Nia hanya bisa diam sambil membelai rambut sang suami. Selama ini dia memang tidak pernah melihat apa sang ibu merasakan perihnya luka yang ada di hatinya. Tetapi yang dia tahu sang ibu selalu menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan Ibu yang baik untuk anak-anaknya. Perlahan Nia teringat kenangan masa kecilnya. Sebuah kenangan masa kecil yang dikelilingi oleh air mata. Budi yang saat itu masih menjadi anggota Polisi sering memukul Indah dan anak-anaknya. "Kemarin aku berkunjung ke rumah salah satu sahabatku, dan kebetulan dia memiliki kelebihan bisa melihat seseorang. Dia bilang, kalau Rafli saat ini dalam pengaruh ilmu hitam," ucap Yola hingga membuat Robi terlihat terkejut. "Jadi benar wanita tidak jelas itu telah memakai ilmu hitam u
Sambil membangunkan Nia dengan perlahan. "Nia, aku mau ke bengkel! Apa kamu mau ikut." "Tidak, Mas. Perutku masih sakit, sepertinya aku kesana nanti siang saya," jawab Nia sambil berusaha membuka matanya. "Ya sudah, aku ke bengkel dulu. Nanti siang jika kamu sudah jauh lebih baik, kamu kesana saja," ucap Rafli langsung mencium kening sang istri. Rafli yang sebelumnya mendapat bantuan modal dari beberapa teman kuliahnya memilih untuk membuka sebuah bengkel las kecil di tanah kosong. Sebuah tanah peninggalan orang tuanya yang ada di samping rumah yang ditempati Yola. Walaupun Rafli dan keluarganya bukan orang asli, tapi mereka terkenal sebagai seorang tuan tanah di daerah itu. Sambil melihat ke arah jarum jam. "Ya Allah sudah pukul 10 aku harus segera ke Mas Rafli, kasihan dia. Pasti dia belum makan sejak pagi." Nia yang masih merasakan sakit di perutnya berusaha untuk bangun dari tempat tidurnya. Perlahan dia berusaha untuk jalan keluar kamar untuk berjalan ke arah kamar man
“Rafli berhenti! Aku sudah bilang Yanto tidak ada di rumah, sejak semalam dia tidak pulang!" teriak Yola. "Kamu benar-benar di butakan oleh cintamu pada brondong itu, hingga sulit bagimu melihat mana yang benar dan mana yang salah!" bentak Rafli sambil menendang sebuah meja yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Aku? Kamu yang udah buta, kamu lebih mementingkan istri mu daripada aku. Kakak mu sendiri." Yola terlihat benar-benar kecewa dengan sikap Rafli. Pertengkaran Yola dan Rafli ternyata terdengar oleh Nia yang masih berada di bengkel. Merasa khawatir dengan Rafli yang tidak dapat mengontrol emosinya. Nia langsung menutup bengkelnya dan berjalan ke arah rumah. "Sudah, Mas. Jangan diperpanjang lagi, tidak enak jika sampai di dengar orang lain." Nia menggandeng tangan suaminya. "Tidak bisa, laki-laki itu harus mendapatkan pelajaran atas kesalahannya hari ini," ucap Rafli sambil menoleh ke arah sang istri. "Eh perempuan benalu! Apa saja yang kamu katakan sampai adikku
"Yuni." Rafli terlihat terkejut saat melihat Yuni sudah berada di depan bengkelnya."Yuni. Jadi wanita ini mantan kekasih Mas Rafli," batin Nia sambil menatap Yuni.Apa yang diucapkan Rafli memang benar. Yuni adalah wanita muda yang sangat cantik. Tidak hanya Rafli yang terpesona dengan kecantikan wanita itu. Namun, Nia yang yang baru saja bertemu dengannya pun terlihat kagum."Aak. Bagaimana kabarmu?" tanya Yuni sambil langsung memeluk tubuh Rafli.Sambil melepaskan pelukan Yuni. "Aku baik-baik saja.""Ini siapa?" tanya Yuni saat melihat Nia yang berdiri di samping Rafli sambil menggendong putrinya.
Shafira yang selama ini tidak terdengar kabarnya. Tiba-tiba menghubunginya. Nia yang mengetahui siapa orang yang menghubunginya dia terlihat terkejut. [Shafira, apa ada yang bisa aku bantu?] tanya Nia. [Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Ibu,] jawabnya yang terdengar ragu. [Apa yang kamu katakan.][Aku ingin Ibu mengembalikan putriku, aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku sangat merindukan putriku,] jelasnya dengan suara bergetar. [Tidak! Aku tidak akan menyerahkan Tiara padamu, dia putriku. Aku yang merawatnya dari kecil, aku juga yang sudah begadang dan menangisinya setiap dia sakit!] bentak Nia sambil mulai menangis. [Tidak bisa. Bu, kalian harus terima kenyataan jika Tiara adalah putri kandungku. Bukan anak kalian."] Nia yang ketakutan langsung menutup ponselnya. Dengan segera dia menggendong Tiara yang masih tertidur pulas. Air mata terlihat mengalir di kedua pipinya. "Dia putriku, bukan milik orang lain. Mas Rafli, ya aku harus bicara dengan Mas Rafli." Nia segera keluar
"Kamu pikir aku pembantumu atau baby sitter anak itu! Yang harus menunggu dan meminta izin kalian untuk pergi!" bentak Yola sambil bertolak pinggang. "Bukan begitu. Kak, tapi paling tidak tunggu atau hubungi aku, tidak meninggalkan Tiara seperti itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya?" ucap Rafli. "Makanya punya anak itu dijaga, bukannya di tinggal-tinggal." "Kak Yola! Kakak pikir aku dan Nia rekreasi. Kami ke rumah sakit, bahkan saat ini dia harus dirawat. Apa tidak bisa Kakak bersimpati sedikit padanya?" jelas sang adik. "Diam! Ada apa ini, kenapa kalian bertengkar seperti itu." Tiba-tiba Robi masuk kedalam rumah. "Lihat apa yang sudah diperbuat adik kesayanganmu, sejak kecil aku yang merawatnya. Tapi apa balasannya sekarang? Dia justru membenciku seperti itu," jawab Yola sambil menangis. "Rafli! Apa-apaan kamu? Sejak kamu menikah dengan perempuan tidak jelas itu, kamu jadi berubah. Dipikiranmu hanya wanita itu, bahkan sekarang kamu tega membentak orang yang sudah
"Apa, istri saya harus dirujuk ke rumah sakit besar!" teriak Rafli yang terlihat terkejut. "Maaf, apa tidak ada cara lain selain dirujuk?" tanya Nia yang saat itu menggendong Tiara. "Tidak bisa, Bu. Ibu harus mendapatkan penanganan secara serius dan pemeriksaan Laboratorium, kebetulan di Puskesmas ini belum tersedia Laboratorium." "Bagaimana dengan Tiara jika aku harus dirawat di Rumah sakit," batin Nia sambil menatap Tiara yang sedang terlelap di gendongannya. "Apa Ibu Nia punya kartu kesehatan? Biar saya buatkan surat pengantar," ucap Dokter tersebut. "Ada, Dok. " Rafli langsung memberikan kartu kesehatan Nia. "Mas, aku tidak mau ke Rumah sakit." "Kita tidak ada pilihan lain, kamu harus segera mendapat penanganan, kamu harus yakin semua pasti akan baik-baik saja," jawab Rafli sambil menggegam tangan Nia. "Tapi bagaimana dengan Tiara, siapa yang merawatnya saat aku di rumah sakit." Wajahnya terlihat khawatir sambil menatap sang putri. Setelah menerima surat pengantar
"Buku kelahiran. Untuk apa?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Bang Robi memintaku untuk membawa buku itu padanya. Dia bilang kalau dia ingin melihat buku itu," jawabnya sambil terlihat ragu. Sambil berdiri di hadapan sang suami. "Jadi keluarga mu ragu akan anak ini, apa karena dia jelek jadi keluargamu meragukannya." "Aku sudah menjelaskan itu, tapi Bang Robi tetap tidak mempercayainya. Aku minta maaf, Sayang." Nia yang sudah kesal dengan sikap keluarga Rafli. Langsung berjalan ke arah lemari untuk mengambil buku yang diminta oleh suaminya. Dan langsung menyerahkannya pada Rafli. "Katakan pada keluargamu, jika mereka tidak mengakui anak ini aku tidak masalah. Karena bagiku pengakuan dari mereka tidak penting," ucap Nia sambil menyerahkan buku itu. "Iya, ya sudah aku akan keluar sebentar untuk menunjukkan buku ini pada Abangku," ucap Rafli sambil langsung berjalan keluar kamar. "Aku pikir keluarga Mas Rafli semakin hari semakin membuatku tidak nyaman, tapi bagaimanapun
"Maaf, Sus. Dimana pasien bernama Shafira, kenapa dia tidak ada di kamarnya?" tanya Nia pada seorang Perawat yang ada di meja resepsionis. "Ibu Shafira sudah dibawa ke ruang bersalin, karena beliau sudah mengalami pembukaan sempurna dan akan segera melahirkan," jawab Perawat tersebut. "Kalau begitu kamu tunggu disini saja, biar aku masuk ke ruang bersalin untuk menemaninya." Nia memegang tangan suaminya. "Kamu yakin bisa mengatasinya?" tanya Rafli yang langsung dijawab anggukan oleh sang istri. Setelah meminta izin pada suaminya. Nia langsung berjalan ke arah ruang bersalin. Terlihat Shafira sedang menangis dan berteriak kesakitan diatas sebuah tempat tidur. "Sakit, Bu. Aku tidak mau disini, aku mau pulang!" teriak Shafira sambil menggegam tangan Nia. "Sabar ya, Mbak. Istighfar insya Allah semuanya akan baik-baik saja," ucap Nia yang memandang wanita itu dengan iba. "Aku tidak mau, Bu. Aku mau pulang! Mama tolong aku,Ma." Shafira terus berteriak sambil memanggil nama orang
“Rumah bersalin," bisik Nia saat melihat sebuah papan nama. "Kenapa kita kemari? Apa ada yang melakukan persalinan." Nia langsung menoleh ke arah Rafli. Sambil melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di dadanya. "Nanti juga kamu tahu, oh ya. Jangan lupa bawa tas yang ada di bagasi belakang." Nia yang masih belum paham dengan tujuan suaminya itu hanya bisa mengikuti perintah Rafli. Di bagasi belakang terlihat sebuah tas bayi dan beberapa peralatan bayi yang sepertinya sudah sengaja di siapkan oleh Rafli. Seketika timbul pertanyaan di benaknya tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Tas bayi, sebenarnya siapa yang akan melahirkan. Apa jangan-jangan suamiku selama ini sudah berselingkuh di belakangku," batin Nia sambil menatap ke arah tas itu dengan pandangan kosong. Sambil berjalan ke arah Nia. "Kenapa kamu masih disini, ayo! Mereka sudah menunggu kedatangan kita." "Tunggu, Mas. Sebenarnya ada apa ini, siapa yang melahirkan?" tanya Nia sambil memegang tangan suaminya. "
Sejak saat itu Rafli terlihat begitu gelisah. Bahkan setiap malam dia selalu menghabiskan waktu dengan ponselnya. Sebenarnya ada rasa kesal dalam hati Nia saat itu, karena dia berpikir disaat genting seperti ini suaminya masih bisa bersikap santai. "Aku pergi dulu, kamu di kamar saja!" perintah Rafli sambil mencium kening istrinya dan berjalan keluar. "Kamu mau kemana, Mas … ." Belum juga Nia selesai bicara Rafli sudah keluar dari kamar. "Kemana dia, apa jangan-jangan Mas Rafli sudah mendapatkan wanita lain untuk menggantikanku," ucap Nia dengan pandangan bingung. Hari itu tidak banyak yang dilakukannya selain ke bengkel untuk memasak dan mencuci baju. Rafli yang sangat paham dengan sifat kakaknya memang melarang Nia untuk menggunakan yang ada di rumah itu. Jadi tidak heran jika Nia lebih banyak menghabiskan waktu di bengkel. “Mas Rafli kemana ya, kenapa sampai jam segini dia belum pulang. Bahkan ponselnya tidak dapat di hubungi,” ucap Nia sambil melihat ponselnya. ***
“Rafli berhenti! Aku sudah bilang Yanto tidak ada di rumah, sejak semalam dia tidak pulang!" teriak Yola. "Kamu benar-benar di butakan oleh cintamu pada brondong itu, hingga sulit bagimu melihat mana yang benar dan mana yang salah!" bentak Rafli sambil menendang sebuah meja yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Aku? Kamu yang udah buta, kamu lebih mementingkan istri mu daripada aku. Kakak mu sendiri." Yola terlihat benar-benar kecewa dengan sikap Rafli. Pertengkaran Yola dan Rafli ternyata terdengar oleh Nia yang masih berada di bengkel. Merasa khawatir dengan Rafli yang tidak dapat mengontrol emosinya. Nia langsung menutup bengkelnya dan berjalan ke arah rumah. "Sudah, Mas. Jangan diperpanjang lagi, tidak enak jika sampai di dengar orang lain." Nia menggandeng tangan suaminya. "Tidak bisa, laki-laki itu harus mendapatkan pelajaran atas kesalahannya hari ini," ucap Rafli sambil menoleh ke arah sang istri. "Eh perempuan benalu! Apa saja yang kamu katakan sampai adikku