Sandra mengerutkan dahinya kala melihat Gerald mengambil sebotol wine di dalam lemarinya. “Kamu mau mabuk? Ini udah jam dua pagi, lho.” Gerald kemudian membuka tutup botol itu dengan menghiraukan ucapan Sandra yang tengah duduk sembari menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur. “Emang kenapa?” tanyanya setelah meneguk wine tersebut tanpa dia tuangkan ke dalam gelas. “Katanya ada jadwal kuliah pagi. Kenapa malah mabuk? Apa yang buat kamu minum-minum, heum?” tanyanya kemudian. Gerald menelan saliva dengan mata sayunya menatap sang kekasih. “Lagi pengen minum aja. Jam sembilan, tidur jam empat pun bisa bangun lebih pagi dari perkiraan kamu. Kalau mau tidur, tidur aja. Nggak usah nunggu aku. Aku belum ngantuk.” Sandra kembali menatap Gerald yang tengah duduk di sampingnya seraya menyandarkan punggungnya. Masih dalam keadaan telanjang dada, hanya mengenakan boxer miliknya. Sementara Sandra masih dalam keadaan polos tak berpakaian. “Aku minta, boleh?” Gerald terkekeh pelan. “Ngg
“Gerald!” Suara perempuan memanggil Gerald yang tengah duduk di kantin dengan Joseph. Tak ingin menoleh, ia tahu suara siapa yang memanggilnya. Tak lain adalah Cynthia. “Ngapa, Cynthia?” Joseph yang menyapa perempuan itu. “Gue nggak lagi ngomong sama elo. Kedatangan gue ke sini karena ada urusan sama ... ekhem! Calon suami.” Joseph tertawa, meledek perempuan itu. “Calon suami? Punya cita-cita jangan ketinggian, Cyn. Kalau nggak kegapai, terus jatoh, sakitnya sampai ke ulu hati. Aneh lo! Baru dapat restu dari Om Jason aja udah bangga!” cibirnya kemudian. “Apaan sih, lo! Nggak usah ikut campur urusan gue lo, ya!” sengalnya kemudian.Gerald kemudian menatap datar perempuan itu. “Apa yang dikatakan Joseph emang bener. Punya cita-cita, jangan ketinggian. Papa kan, yang restuin elo? Nikah saja sono ... sama bokap gue. Kalau pengen nyawa elo hilang di tangan nyokap gue!” ucapnya kemudian menatap dengan sangat datar perempuan itu. “Gerald! Papa kamu udah bilang, kalau tunangan kita akan
Sudah selesai memasang CCTV di ruang tengah, Gerald akhirnya menghela napasnya dengan panjang kemudian duduk di atas sofa ruang tengah tersebut. Sengaja ia matikan terlebih dahulu karena ada hal yang ingin dia lakukan di sana. “Udah selesai, Seph. Elo boleh pulang!” ucapnya seraya mengusir sahabatnya itu. “Mau ngapain lo, di sini? Ini mah bukan mergokin si Gery, tapi kalian!” sengal Joseph kemudian. “Berisik lo! Udah sono, pulang. Lagian Gery nggak akan pulang juga malam ini. CCTV masih dalam keadaan mati. Terserah gue lah, mau ngapain juga di sini.” Joseph lantas memutar bola matanya. Ia pun mengambil tasnya dan keluar dari rumah tersebut. Tidak ingin mengganggu apa yang akan mereka lakukan di sana. Tiiinnn!! Suara klakson dengan rem mendadak membuat Joseph panik tak karuan. Hampir saja menabrak perempuan yang hendak menyeberang di depannya itu. “Maura! Woy! Kalau mau nyebrang lihat-lihat dulu! Gila apa lo!” sengalnya lantaran terkejut dengan kehadiran Maura di sana. Maura me
“Ckk!” Gery berdecak pelan seraya mengambil mangkuk yang dipecahkan oleh Sandra. “M—Mas Gery ... sudah pulang?” tanyanya dengan suara sedikit panik. Jantungnya bahkan sudah berdebar dengan sangat kencang setelah melihat kehadiran suaminya itu. Gery kemudian membuang mangkuk itu dan menyapu bagian-bagian pecahan kecil yang tidak terlihat. Lalu menghela napasnya seraya menatap Sandra dengan kepala ia miringkan. “Lapar?” tanya Gery kemudian. Sandra menganggukkan kepalanya. “I—iya, Mas. Lapar. Aku mau masak mie dulu. Kamu mau?” tawarnya kemudian. Gery menggeleng pelan. Ia melangkahkan kakinya mendekati Sandra yang tengah berdiri di dekat kabinet. Kemudian menyentuh bagian dadanya yang terekspos. Terlihat bagian pink itu. Ia kemudian menyentuhnya dengan menjepit pucuk itu seraya menatap Sandra lekat. “M—Mas ... kamu mau ngapain?” ucapnya ketakutan. Sungguh, ia tidak ingin malam itu harus bercinta dengan Gery. Pria itu semakin mendekat. Menciumi ceruk leher jenjang milik istrinya itu
Sandra menatap kosong ke arah depan. Memikirkan ucapan aneh Gery yang tidak pernah ia sangka akan berbicara seperti itu kepadanya. Saat ini, daripada mendengar ucapan seperti itu, lebih baik mendengar kata-kata hinaan. Bahkan perempuan itu tidak mengiyakan permintaan suaminya itu sebab tidak tahu apakah dirinya siap kembali padanya, atau bertahan dengan Gerald yang sudah berhasil membuatnya berpaling bahkan sangat mencintai lelaki itu.“Profesor. Ada undangan rapatlusa, di aula kampus.” Santi memberikan undangan rapat kepada Sandra. “Bahas apa ya, Bu?” tanyanya kemudian membaca undangan tersebut. “Sebentar lagi kan, wisuda angkatan ke-30 untuk program S1, Prof.” “Aah, iya. Maaf, Bu. Saya lupa. Baiklah kalau begitu. Terima kasih infonya ya, Bu.” “Sama-sama, Prof. Sebentar lagi jam masuk di kelas Teknik A di program S2.” Sandra menganggukkan kepalanya seraya menerbitkan senyumnya kepada perempuan itu. “Iya, Bu.” Sudah jam dua siang. Tapi, dia belum juga bertemu dengan Gerald. Ke
Satu bulan sudah hubungan terlarang itu berjalan. Setelah kejadian di malam itu, Gerald tidak pernah lagi berpikir negatif kepada Sandra. Bisa dibilang, Sandra sudah menenangkan Gerald bahwa dirinya hanya mencintai lelaki itu. Tidak ada lagi yang lain, sekalipun suaminya. “Ekhem!” Sandra merasa kerongkongannya tidak enak, bahkan perutnya pun bergejolak. Ia kemudian berlari ke toilet karena perutnya yang sudah tak tahan ingin mengeluarkan sesuatu di bawah sana. Keluarlah isian di dalam perut perempuan itu setelah sedari tadi dia tahan. Karena sudah tidak tahan, Sandra pun mengeluarkanya. “Kenapa akhir-akhir ini aku sering merasakan mual-mual?” ucapnya dengan lemas. Ia kemudian mengambil ponselnya di saku celananya. Melihat kalender di dalam ponsel tersebut. Tubuhnya merasa lemas karena sudah satu bulan ini dia telat datang bulan. “Lalu, aku harus bahagia, atau apa?” Sandra bergumam pelan. “Tes aja dulu deh. Belum tentu sedang hamil,” ucapnya kemudian keluar dari toilet. Bersamaan
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Sandra kembali mengalami morning sickness hingga membuatnya harus membuka matanya dan berlari menuju kamar mandi. Ia kemudian memuntahkan cairan kuning pekat yang membuatnya semakin yakin bila dirinya tengah mengandung. Sandra mengusap wajahnya kemudian menatap dirinya di depan pantulan cermin lalu menghela napasnya dengan pelan. “Lima tahun yang lalu, aku memutuskan untuk menjaganya karena tidak pernah berniat menjadi istrinya Gery. Akhirnya berhasil. Sampai aku bertemu dengan Gerald, aku tidak pernah hamil anaknya Gery. “Kejadian di malam itu, mengantarkanku pada titik masalah yang entah bisa atau tidak, kami melewatinya. Bagaimana caraku memberi tahu kepada Gery? Semakin hari, perutku pasti akan membesar.” Sandra menundukkan kepalanya kemudian mengusapi perut ratanya itu. Ia kemudian mengambil alat tes kehamilan yang sudah dia beli kemarin malam bersama Gerald. Lalu, kembali masuk ke dalam toilet untuk melakukan tes kehamilan. Apakah bena
Dua minggu berlalu. Usia kehamilan Sandra pun sudah menginjak tujuh minggu. Masih sama seperti saat pertama kali tahu bahwa dirinya tengah hamil, Sandra masih mengalami morning sickness. Namun, bila sudah malam, mabuk hamil itu hilang begitu saja. Seperti tidak sedang hamil dan berhasil membuat Sandra bingung sendiri dengan hormon yang dia alami itu. Namun, selalu ia nikmati karena banyaknya perhatian yang diberikan oleh Gerald kepadanya. “Lagi apa?” tanya Gerald di seberang sana. “Lagi ngelus perut.” “Emangnya perutnya kenapa? Mules, atau lapar?” Sandra terkekeh pelan. “Kalau malam-malam begini, mual dan lemasnya hilang. Kayaknya dia nggak mau dibawa ngajar deh. Atau mungkin, nggak mau diajak ketemu sama papanya.” “Enak aja! Mau aku culik, kalau nggak mau ketemu sama aku.” Gerald tak terima dengan ucapan perempuan itu. “Just kidding, Gerald. Kamu lagi di mana? Di apartemen, atau di rumah?” “Di gazebo. Lagi nunggu Mommy pulang. Lagi dinner sama Papa.” “Mau ngapain?” tanya San
“Heuh? Hukum mati?” Gerald tampak terkejut mendengar vonis untuk Frans.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Bukan karena kasus penembakan yang dia lakukan pada kamu, melainkan karena polisi berhasil menemukan markas Frans. Gudang tempat menyembunyikan narkoba dan senjata illegal.”“Aaahh ….” Gerald manggut-manggut dengan pelan. “Jadi, hukumannya adalah hukum mati? Divonis mati?” tanya Gerald sekali lagi.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Hukuman mati. Akan dieksekusi satu bulan lagi. Hanya membutuhkan satu kali sidang dan … dibawa ke tempat eksekusi.” Jason kembali menjelaskan kepada Gerald.Sementara Gerald tersenyum menyeringai sembari melirik Sandra yang masih duduk di sampingnya. “Baguslah. Aku lega, mendengarnya.” Gerald kemudian mengulas senyumnya kepada Jason.Jason menepuk-nepuk bahu Gerald dengan pelan. “Cepat sembuh, Gerald. Selesaikan kuliah kamu, lulus dengan predikat baik dan … menikahlah.” Jason menerbitkan senyum tulus kepada sang anak.Gerald menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jason dengan suara paniknya.Gerald langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang operasi untuk mengambil peluru yang menancap di tubuh lelaki itu. Kurang dari dua jam lamanya operasi itu akhirnya selesai dilakukan.“Operasinya berjalan dengan lancar. Beruntung, peluru itu hanya menancap di bagian tulang belakang. Peluru itu sudah berhasil diambil dan kondisinya saat ini masih kritis. Kami akan membawanya lima menit lagi ke ruang intensif untuk melakukan perawatan selanjutnya sampai kondisinya kembali normal,” tutur Dokter Azmi—penanggung jawab kala operasi pengambilan peluru di tubuh Gerald.Sandra menghela napas lega setelah mendengar kabar dari Dokter Azmi bila Gerald selamat dari tembakan itu. Ia mengalami sedikit trauma bila seseorang terluka oleh luka tembak. Sebab Gery meninggal oleh peluru yang menancap di jantungnya. Sehingga membuat Gery tidak bisa diselamatkan.Kayla datang dengan wajah paniknya. “Sayang. Kamu baik-bai
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Hari ini adalah hari Minggu. Gerald dan Sandra pergi ke mall untuk belanja keperluan bayi yang sama sekali belum mereka beli.“Karena bayinya laki-laki, lebih baik kita beli warna yang lebih ke warnah laki-laki. Seperti warna biru, putih atau abu-abu. Yang cerah-cerah. Oke?” Sandra memberi saran kepada Gerald.Pria itu memberikan jempolnya kepada Sandra. “Oke, Sandra. Terserah kamu saja, yang penting semua keperluan untuk bayi kita sudah terpenuhi.”Sandra kemudian menerbitkan senyumnya. “Kita beli baju dulu kalau begitu. Baju, celana, handuk, selimut dan topi. Kaus kaki juga.”Gerald menggenggam tangan Sandra dan membawanya masuk ke dalam toko perlengkapan serba ada. Lengkap, berbagai macam keperluan bayi ada di sana.“Yang ini bagus, nggak?” Sandra menunjuk pakaian bayi kepada Gerald.“Bagus. Ambil aja yang menurut kamu cocok, Sayang. Jangan tanya aku. Aku mah terserah kamu aja. Kalau kata kamu bagus, berarti bagus juga menurut aku.”Sandra
“Bentar ... mau mandi dulu!” teriak Gerald menjawab panggilan dari mamanya itu.Sandra lantas memukul lengan lelaki itu. “Ishh! Gerald. Gak usah teriak juga.”Gerald terkekeh pelan. “Aku mau mandi dulu. Mau mandi lagi nggak?”Sandra menggeleng. “Mau cebok aja. Mandi mah besok pagi lagi aja.”“Ya sudah. Aku mandi dulu.”Sandra mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan area sensitifnya terlebih dahulu.Sepuluh menit kemudian Sandra keluar dari kamarnya dan menghampiri Kayla dan juga Jason serta Laura yang sudah menunggu mereka tiba di sana untuk makan malam bersama.“Gerald sudah dipanggil?” tanya Jason kepada Kayla.“Sudah. Tadi katanya mau mandi dulu,” ucapnya menjawab pertanyaan sang suami.Jason mengerutkan keningnya. “Kok, aku nggak lihat kamu naik tangga?”Kayla mengendikan bahunya. “Mungkin kamu lagi sibuk dengan rainbow cake buatan Sandra. Makanya nggak lihat aku ke atas.”Jason manggut-manggut dengan pelan. Ia kemudi
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Dering ponsel Sandra berbunyi, panggilan dari Gerald. Ia kemudian segera menerima panggilan tersebut.“Halo, Gerald?” tanyanya kemudian.“Sandra. Hari ini mungkin aku pulang jam tujuh malam. Banyak tugas yang harus aku kerjakan soalnya. Mengejar ketertinggalan tiga bulan nggak masuk.”“Oh iya, Gerald. Nanti aku simpan kuenya di kulkas saja kalau begitu. Kalau lapar, tinggal ambil saja di sana, yaa.”“Iya, Sayang. Ya sudah kalau begitu aku lanjut nugas lagi.” Gerald menutup panggilan tersebut setelah memberi tahu bila dirinya akan pulang malam. Khawatir Sandra cemas lantaran tidak ada pulang di jam yang biasanya dia pulang.Sandra kemudian keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri. Menghampiri Kayla yang sedang menggendong Felisha.“Mamanya ke mana, Mom?” tanya Sandra kepada Kayla.“Lagi mandi dulu katanya. Biar pulang nggak perlu mandi lagi.”Sandra manggut-manggut. “Gerald tadi telepon, katanya dia akan pulang di jam tujuh. Ada banyak tugas
Satu minggu sebelum tragedi ....Gery menemui Jason di gedung International Global.“Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Gery berucap dengan tegas dan datar.“Apa itu?” tanyanya ingin tahu. “Silakan duduk.” Jason mempersilakan Gery duduk di sofa yang tak jauh dari kursi kebanggaannya.Gery menghela napasnya dengan panjang. “Anda masih belum ingin menyetujui hubungan Sandra dan Gerald? Saya sudah ikhlas mereka bersama, Pak Jason. Kalau masalahnya ada pada saya ....” Gery memberikan dokumen surat permohonan cerai kepada Jason.“Saya sudah menandatangani surat cerai ini dan dua minggu lagi sidang dimulai. Semoga hakim menyetujui permohonan ini dan Sandra akan saya minta mengenakan pakaian longgar agar tidak kelihatan kalau dia sedang hamil. Tolong, Pak Jason. Saya hanya bisa berharap banyak pada Gerald.“Dia pasti bisa menjaga Sandra dari Frans. Saya tidak ingin Sandra jadi budak Frans. Anda pasti tahu bagaimana kejamnya dia kepada perempuan. Bukan karena cinta, tapi obsesi. Saya,
“Morning!” Gerald menyapa anggota keluarganya yang tengah duduk menunggunya keluar untuk sarapan sama-sama.Kayla menelengkan kepalanya kemudian menatap Gerald dengan lekat. “Kok, keluarnya dari kamar atas? Jam berapa pindahnya?”“Mom!” Gerald menatap datar mamanya itu.Kayla lantas menerbitkan cengiran kepada anaknya itu. “Yuk, aah sarapan. Laura harus berangkat ke sekolah, Gerald ke kampus, Daddy ke kantor dan Nicko ke kantor juga.”“Para ladies mau ngapain?” tanya Gerald kemudian.“Mommy sama Sandra mau santai leha-leha di rumah lah. Main sama si bayi mungil Felisha.” Kayla menerbitkan senyumnya.Gerald menghela napasnya dengan pelan. “Yang penting kalian bahagia.”“Selalu itu yang kamu ucapkan pada kami. Memangnya kamu sendiri tidak bahagia?” tanya Kayla kemudian.“Tentu saja bahagia. Kenapa tanya seperti itu?”Kayla mengendikan bahunya. “Hanya tanya.”Gerald manggut-manggut. Tak lama setelahnya, dering ponsel Jason berbunyi. Gerald menoleh kepada papanya yang tengah mengerutkan k
Makan malam untuk pertama kalinya bersama keluarga Gerald di rumah milik orang tua lelaki itu tentunya. Membuat Sandra bahagia luar biasa karena merasa sudah menjadi bagian dari keluarga tersebut.Ada Kinara dan Nicko juga di sana membuat suasana di sana semakin ramai karena adanya mereka. Usia Felisha kini sudah menginjak satu bulan dua minggu, semakin sehat dan berisi setelah dirawat dengan baik oleh Kayla yang memang sudah ahlinya merawat anak-anak.“Seru banget, makan malam di malam ini. Terasa lengkap setelah adanya Kak Gerald dan Kak Sandra di sini,” ucap Kinara kemudian menerbitkan senyumnya.Kayla menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Sama. Mommy juga merasakan hal yang sama, Sayang. Akhirnya, yaa. Kita bisa berkumpul lagi dan tambah dua personel. Sebentar lagi ada kandidat baru lagi. Calon cucu Mommy. Tiga bulan lagi akan lahir.” Kayla menerbitkan senyumnya kepada Sandra.Perempuan itu lantas membalas senyum Kayla. “Terima kasih, sudah menyambutku dengan baik.
Sandra gelagapan kemudian menelan salivanya dengan pelan. “He—heeuuh? Mak—maksudnya, Pak Jason?” Jason memutar bola matanya dengan pelan. “Jangan panggil saya dengan itu. Panggil saja Papa apa susahnya? Kayak nggak pernah pu—“ Jason mengatup bibirnya menahan ucapannya yang sudah pasti akan membuat Sandra terluka bila lolos keluar dari bibirnya. “Kayak apa, Pa?” tanya Gerald dengan suara datarnya. Jason menggeleng pelan. “Tidak ada. Papa sudah tahu dan lupa, kalau Sandra memang sudah tidak punya orang tua sejak lama,” ucapnya pelan sembari melirik Sandra yang tengah tersenyum tipis. “Dia tidak seberuntung Papa.” “Kan, sudah Papa katakan tadi. Tidak perlu diperbesar. Kamu sudah dewasa, seharusnya paham dengan ucapan Papa.” Gerald mengendikan bahunya. “Papa juga harus jaga lisannya. Jangan sampai keceplosan lagi.” Jason menganggukkan kepalanya dengan pelan kemudian mengusapi lengan anaknya itu. “Cepat sembuh, Nak. Jangan lama-lama di sini. Mentang-mentang nggak perlu bayar!” Geral