“Ckk!” Gery berdecak pelan seraya mengambil mangkuk yang dipecahkan oleh Sandra. “M—Mas Gery ... sudah pulang?” tanyanya dengan suara sedikit panik. Jantungnya bahkan sudah berdebar dengan sangat kencang setelah melihat kehadiran suaminya itu. Gery kemudian membuang mangkuk itu dan menyapu bagian-bagian pecahan kecil yang tidak terlihat. Lalu menghela napasnya seraya menatap Sandra dengan kepala ia miringkan. “Lapar?” tanya Gery kemudian. Sandra menganggukkan kepalanya. “I—iya, Mas. Lapar. Aku mau masak mie dulu. Kamu mau?” tawarnya kemudian. Gery menggeleng pelan. Ia melangkahkan kakinya mendekati Sandra yang tengah berdiri di dekat kabinet. Kemudian menyentuh bagian dadanya yang terekspos. Terlihat bagian pink itu. Ia kemudian menyentuhnya dengan menjepit pucuk itu seraya menatap Sandra lekat. “M—Mas ... kamu mau ngapain?” ucapnya ketakutan. Sungguh, ia tidak ingin malam itu harus bercinta dengan Gery. Pria itu semakin mendekat. Menciumi ceruk leher jenjang milik istrinya itu
Sandra menatap kosong ke arah depan. Memikirkan ucapan aneh Gery yang tidak pernah ia sangka akan berbicara seperti itu kepadanya. Saat ini, daripada mendengar ucapan seperti itu, lebih baik mendengar kata-kata hinaan. Bahkan perempuan itu tidak mengiyakan permintaan suaminya itu sebab tidak tahu apakah dirinya siap kembali padanya, atau bertahan dengan Gerald yang sudah berhasil membuatnya berpaling bahkan sangat mencintai lelaki itu.“Profesor. Ada undangan rapatlusa, di aula kampus.” Santi memberikan undangan rapat kepada Sandra. “Bahas apa ya, Bu?” tanyanya kemudian membaca undangan tersebut. “Sebentar lagi kan, wisuda angkatan ke-30 untuk program S1, Prof.” “Aah, iya. Maaf, Bu. Saya lupa. Baiklah kalau begitu. Terima kasih infonya ya, Bu.” “Sama-sama, Prof. Sebentar lagi jam masuk di kelas Teknik A di program S2.” Sandra menganggukkan kepalanya seraya menerbitkan senyumnya kepada perempuan itu. “Iya, Bu.” Sudah jam dua siang. Tapi, dia belum juga bertemu dengan Gerald. Ke
Satu bulan sudah hubungan terlarang itu berjalan. Setelah kejadian di malam itu, Gerald tidak pernah lagi berpikir negatif kepada Sandra. Bisa dibilang, Sandra sudah menenangkan Gerald bahwa dirinya hanya mencintai lelaki itu. Tidak ada lagi yang lain, sekalipun suaminya. “Ekhem!” Sandra merasa kerongkongannya tidak enak, bahkan perutnya pun bergejolak. Ia kemudian berlari ke toilet karena perutnya yang sudah tak tahan ingin mengeluarkan sesuatu di bawah sana. Keluarlah isian di dalam perut perempuan itu setelah sedari tadi dia tahan. Karena sudah tidak tahan, Sandra pun mengeluarkanya. “Kenapa akhir-akhir ini aku sering merasakan mual-mual?” ucapnya dengan lemas. Ia kemudian mengambil ponselnya di saku celananya. Melihat kalender di dalam ponsel tersebut. Tubuhnya merasa lemas karena sudah satu bulan ini dia telat datang bulan. “Lalu, aku harus bahagia, atau apa?” Sandra bergumam pelan. “Tes aja dulu deh. Belum tentu sedang hamil,” ucapnya kemudian keluar dari toilet. Bersamaan
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Sandra kembali mengalami morning sickness hingga membuatnya harus membuka matanya dan berlari menuju kamar mandi. Ia kemudian memuntahkan cairan kuning pekat yang membuatnya semakin yakin bila dirinya tengah mengandung. Sandra mengusap wajahnya kemudian menatap dirinya di depan pantulan cermin lalu menghela napasnya dengan pelan. “Lima tahun yang lalu, aku memutuskan untuk menjaganya karena tidak pernah berniat menjadi istrinya Gery. Akhirnya berhasil. Sampai aku bertemu dengan Gerald, aku tidak pernah hamil anaknya Gery. “Kejadian di malam itu, mengantarkanku pada titik masalah yang entah bisa atau tidak, kami melewatinya. Bagaimana caraku memberi tahu kepada Gery? Semakin hari, perutku pasti akan membesar.” Sandra menundukkan kepalanya kemudian mengusapi perut ratanya itu. Ia kemudian mengambil alat tes kehamilan yang sudah dia beli kemarin malam bersama Gerald. Lalu, kembali masuk ke dalam toilet untuk melakukan tes kehamilan. Apakah bena
Dua minggu berlalu. Usia kehamilan Sandra pun sudah menginjak tujuh minggu. Masih sama seperti saat pertama kali tahu bahwa dirinya tengah hamil, Sandra masih mengalami morning sickness. Namun, bila sudah malam, mabuk hamil itu hilang begitu saja. Seperti tidak sedang hamil dan berhasil membuat Sandra bingung sendiri dengan hormon yang dia alami itu. Namun, selalu ia nikmati karena banyaknya perhatian yang diberikan oleh Gerald kepadanya. “Lagi apa?” tanya Gerald di seberang sana. “Lagi ngelus perut.” “Emangnya perutnya kenapa? Mules, atau lapar?” Sandra terkekeh pelan. “Kalau malam-malam begini, mual dan lemasnya hilang. Kayaknya dia nggak mau dibawa ngajar deh. Atau mungkin, nggak mau diajak ketemu sama papanya.” “Enak aja! Mau aku culik, kalau nggak mau ketemu sama aku.” Gerald tak terima dengan ucapan perempuan itu. “Just kidding, Gerald. Kamu lagi di mana? Di apartemen, atau di rumah?” “Di gazebo. Lagi nunggu Mommy pulang. Lagi dinner sama Papa.” “Mau ngapain?” tanya San
Brak!"Sandra! Bangun, Sandra." Gerald kemudian menggendong tubuh perempuan itu dan membawanya keluar dari kamarnya. Perempuan itu tak sadarkan diri setelah keluar dari kamar mandi. Beruntung, Gerald selalu memantau CCTV yang sudah dipasang juga di kamar Sandra.“Sandra kenapa, Ger?” tanya Joseph panik melihat Sandra tidak sadarkan diri. “Pingsan, Joseph. Ke rumah sakit sekarang juga!” titahnya kepada Joseph. Ia memang membawa sahabatnya itu setelah melihat Sandra tak sadarkan diri setelah keluar dari kamar mandi. Setibanya di rumah sakit, Sandra langsung diperiksa kondisinya oleh Dokter Fauzi. Meskipun sudah memberi tahu Kayla, ia belum mau memeriksa kehamilan Sandra ke rumah sakit milik papanya itu. Walaupun rumah sakit tersebut sudah atas nama Kayla. Mamanya yang mengelola rumah sakit tersebut. “Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya Gerald kemudian. “Hanya kelelahan saja. Mabuk saat hamil memang begitu, Mas. Sering pingsan, mual muntah itu sudah biasa terjadi. Diinfus saja dulu. Tu
Sandra mengikutinya dari belakang seraya melihat punggung Gerald yang tegap dan berani, masuk ke dalam rumah untuk menemui Gery di sana. Dering ponsel Sandra berbunyi. Ia kemudian mengambilnya dan melihat siapa yang sudah menghubunginya. “Dari siapa?” tanya Gerald setelah keduanya masuk ke dalam rumah. “Gery. Sepertinya dia sudah tidak ada di rumah, Gerald.” Sandra berucap dengan pelan. “Aku angkat telepon dari dia dulu,” ucapnya kemudian menggeser tombol hijau di layar ponselnya tersebut. “Dari mana kamu? Kenapa masih pagi sudah tidak ada di rumah?” tanyanya datar. “Maaf, Gery. Aku tadi ada urusan dengan temanku.” Gery menghela napas kasar. Kemudian menutup panggilan tersebut. Hanya untuk memarahi Sandra karena sudah pergi tanpa seizinnya. “Gery, sudah pergi lagi?” tanya Gerald kemudian. Sandra menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Sudah tidak ada. Kamu bisa cek CCTV dulu harusnya tadi.” “Lupa. Sebenarnya kamu tahu nggak, basecamp tempat dia kumpul? Aku ingin bertemu dengan
Sesampainya di rumah, Gerald langsung memasang wajah datarnya kala melihat orang tua Cynthia dan juga perempuan itu. Ia kemudian duduk di depan ketiga orang tersebut dan menghela napasnya dengan pelan. “Mohon maaf, Om, Tante. Aku nggak bermaksud untuk menyakiti perasaan kalian. Aku tidak pernah berniat untuk menikah dengan Cynthia. Hanya saja, Papa selalu memaksa aku untuk menikah dengan dia. “Aku nggak mau, menikah dengan orang yang nggak sama sekali aku cintai. Aku bukan boneka yang harus nurut apa kata tuannya. Jangan kembali lagi ke rumah ini untuk memintaku agar segera tunangan dengan dia. Sampai kapan pun aku akan tetap menolaknya.” Jason naik pitam mendengar ucapan anaknya itu. Bagaimana tidak, dia sudah membuat malu keluarga lantaran menolak dengan keras perjodohan itu. Bisa jadi, Jason akan menonjok wajah Gerald bila orang tua Cynthia sudah pulang. Gerald kembali keluar dari rumah itu setelah memberi tahu, lebih tepatnya menolak dengan tegas perjodohan itu. Saat Sandra be