“E—elo ke sini aja deh. Gue nggak berani lihatnya. Mengerikan dan gue takut ada sidik jari gue di dia. Sumpah, Jo. Gue nggak bunuh Kiara. Buat apa, nggak ada kerjaaan banget gue bunuh dia.”
Jonathan menghela napasnya dengan pelan kemudian menganggukkan kepalanya. “Gue percaya sama elo, Devano. Gue ke sana sekarang juga.”
Jonathan menutup panggilan tersebut kemudian segera menemui Devano yang sedang ketakutan karena Kiara yang sengaja bunuh diri di rumahnya.
“Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk menindaklanjuti kronologi kematian Saudari Kiara.”
Kepolisian sudah lebih dulu masuk ke rumah Devano karena berhasil melacak lokasi Kiara.
Devano menggelengkan kepalanya dengan cepat kepada pihak kepolisian itu. “Saya nggak bunuh dia, Pak. Nggak tahu juga kenapa dia ada di sini.” Devano terlihat panik karena kepolisian memintanya untuk ikut ke kantor polisi.
“Anda bisa jealskan di kant
Jonathan dan Laura memilih untuk makan malam hanya berdua di sebuah restoran mewah tentunya. Ia ingin menebus kesalahannya di minggu lalu. Kesalahpahaman lebih tepatnya. Karena Jonathan memang tidak bersalah dan anak itu bukanlah anak kandungnya Jonathan.“Dalam rangka apa ini, ajak aku dinner romantis begini? Aku pikir hanya dinner biasa,” tanya Laura ingin tahu.“Mengulang kisah kembali. Aku ingin, kita memulainya dari nol, Sayang. Aku ingin, kita melupakan semua masalah yang pernah datang menghampiri kita selama hampir dua bulan itu.” Jonathan berucap dengan lembut.Perempuan itu kemudian mengulas senyumnya. “Mas Jo. Aku akan belajar dewasa, diskusi apa pun masalah yang kita hadapi. Aku akan menjadi istri yang baik untuk kamu,” ucapnya seraya menatap sang suami dengan tatapan lembutnya.Jonathan kemudian mencium tangan istrinya itu. Ada rasa bahagia yang tersirat di mata lelaki itu. Amat sangat bahagia karena Laura s
“Bukan. Tapi mahasiswa yang baru lulus kuliah S2 dan kebetulan dia ambil program perkantoran yang mencakup bagian sekretaris juga.”“Masih muda dong?” ucap Laura kemudian.Jonathan menatap datar istrinya itu. “Kalau memang iya, kenapa? Kamu nggak akan bisa deketin apalagi godain dia. Karena pria itu sudah berkeluarga. Baru menikah dua minggu yang lalu!” tegasnya kemudian.Laura tertawa mendengarnya. “Sampai segitunya. Padahal, aku hanya bercanda. Bisa-bisanya kamu anggap serius. Takut banget, kehilangan aku.”Jonathan mengendikan bahunya. Ia memilih untuk makan siang daripada harus mendengar ocehan istrinya itu.**Sore hari telah tiba ....Jonathan dan Laura sudah berada di pantai Parangtritis, di mana keduanya memilih liburan di sebuah pantai yang indah yang ada di daerah Yogyakarta.“Udah lama banget nggak pernah main ke pantai. Tapi, sayang bentar lagi mau malam. Besok a
Jonathan hanya tersenyum menyeringai. Ia kemudian mencium bibir perempuan itu lagi dengan tangan meremas gumpalan daging indah itu.“Eeuuhh!” keluh Laura kemudian tangannya memegang kedua bahu suaminya itu. Merasakan sensasi yang luar biasa, yang dibuat oleh Jonathan kepadanya.Ia kemudian membalikan tubuh perempuan itu. Menyatukannya lagi dan memacunya lagi.“So fucking hot!” lirih Jonathan dengan tangan menekan punggung perempuan itu. Lalu menciumi kulit putih itu dengan lembut.Laura kembali mengejang. Puncaknya kembali tiba yang keberapa kali, ia pun tidak tahu. Jonathan berhasil membuat Laura lemas tak berdaya karena sudah tidak terhitung berapa kali Laura mengeluarkan pelepasannya.Sementara Jonathan ... belum sekali pun ia menembak benih-benih itu sebab belum ingin keluar, masih ingin memacu tubuh perempuan itu.Dua jam kemudian ....Jonathan sudah tiba. Ia kemudian memacu tubuh Laura dengan kecepatan ma
“Nggak merasa mual atau lainnya?”Laura menggelengkan kepalanya. “Nggak ada, Mas. Makanya aku anteng aja. Aku juga lupa, udah datang bulan atau belum. Emang belum, ya?”Jonathan menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Sudah telat dua minggu. Aku nggak bilang aja, ke kamu.”“Lucu! Lebih tahu kamu daripada aku.” Laura kemudian mencium pipi suaminya itu.“Mau ke rumah sakit? Mumpung hari libur nih!”Laura menganggukkan kepalanya. “Iya, boleh. Langsung kasih tahu orang tua kita aja kalau memang benar aku lagi hamil.”“Oke.” Jonathan kemudian menatap sang istri dengan tatapan lekatnya. “Sayang? Masih ada make love in morning day?” tanyanya kepada Laura.“Boleh,” ucapnya santai. “Aku selalu terpana oleh kegagahan kamu saat bercinta, Mas Jo.”Jonathan kembali mengulas senyumnya. Ia kemudian menarik tangan Laura hingga
Laura terkekeh pelan kemudian menganggukkan kepalanya. “Iya, Uncle. Udah bilang juga ke Mas Jo mau langsung kasih tahu Mami, Mommy, Papi dan Papa. Nggak lupa kakak-kakak tersayang juga.”Ramos mengulas senyumnya. Ia kemudian melangkahkan kakinya dan duduk di kursinya. Hendak menuliskan resep obat yang harus diminum oleh Laura.“Ini, jangan lupa diminum. Jangan bawa mobil kebut-kebutan lagi. Semuanya udah clear juga kalau Jonathan nggak melakukan yang sering kalian lakukan.” Ramos memberikan resep yang harus ditebus juga menasihati Laura agar menjaga dengan baik kondisi kehamilannya. Jangan sampai keguguran lagi untuk kedua kalinya.“Ya udah kalau gitu. Kita pamit pulang ya, Uncle. Thank you!” Laura dan Jonathan beranjak dari duduknya dan pergi melangkah menuju apotek untuk menebus obat yang sudah diresepkan oleh Ramos.“Halo, Mi. Mami lagi ada di mana?” tanya Laura menghubungi mertuanya itu.“La
Jonathan hanya mengulas senyumnya. Sementara Laura menghubungi sang mama hendak memberi tahu kalau dirinya sedang hamil. “Iya, Mom. Udah dua bulan usianya.” “Syukurlah kalau begitu. Mami Tiara sudah dikasih tahu?” “Sudah. Dan dia seneng banget karena aku udah hamil.” “Sudah pasti. Selamat ya, Sayang. Dijaga kandungannya. Nanti Mommy ke rumah kamu.” “Oke, Mommy. See you!” Laura menutup panggilan tersebut. Ia kemudian menatap Jonathan yang tengah menatapnya dengan tatapan lembutnya. “Kenapa?” tanyanya ingin tahu. Jonathan menggeleng pelan. “Nggak. Aura bahagia kamu sangat terpancar.” Laura kemudian menerbitkan senyumnya. “Tentu. Karena aku sangat bahagia. Punya keluarga yang sempurna, orang tua yang penyayang, mertua yang baik, dan suami yang ganteng. Siapa yang nggak bahagia, dengan apa yang aku punya saat ini? Semuanya pasti akan bahagia.” Jonathan kemudian mengusapi pucuk kepala istrinya itu. Mereka sudah tiba di rumah. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah untuk tidur sian
"Berikan minuman ini pada dia!" Natasha menunjuk ke arah Sandra yang tengah mengobrol dengan beberapa dosen di sana. Pada malam itu, merupakan acara pesta ulang tahun kampus yang diadakan di The Golden Hotel. Di mana para mahasiswa-mahasiswi juga diundang untuk meramaikan acara tersebut. Namun, rupanya malam itu juga malam di mana Natasha yang tak lain adalah selingkuhan Gery—suaminya Sandra berniat menjebak Sandra dengan memberikan obat perangsang. Sebab ia mencintai Gery. Namun, lelaki itu tak kunjung menceraikan Sandra entah alasannya apa, ia pun tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah Gery harus menjadi miliknya."Minumnya, Mba. Silakan!" ucap pelayan hotel yang diperintahkan oleh Natasha membawa minuman itu kepada Sandra. "Terima kasih!" ucapnya sembari mengambil minuman itu. Tampak segar, Sandra lantas meneguk minuman tersebut. Memang pada dasarnya semua orang yang ada di sana pun diberi minuman yang sama yang diminum oleh Sandra. Hanya saja, minuman yang diminum oleh Sandra sudah
“APA?” Mata itu lantas membola mendengar ucapan perempuan itu. “Ke—kenapa bisa … pisah ranjang?” tanya Gerald kemudian. Sandra menghela napas pelan. Matanya menatap Gerald dengan rasa bersalahnya. “Kamu tidak tahu kehidupanku setelah menikah bagaimana, Gerald. Tapi, aku tidak ingin menceritakan semuanya pada kamu karena tidak mau dianggap aji mumpung.” Gerald tersenyum miring. “Kenapa bilang kayak gitu? Oke! Aku akan bertanya supaya kamu mau menjawabnya.” Gerald menatap perempuan itu dengan jarak yang cukup sangat dekat. “Kenapa, kamu pisah ranjang dengan suami kamu?” tanyanya dengan serius. Sandra menghela napasnya. Tubuhnya ia tutupi dengan selimut sembari memeluk kedua lututnya. “Gery menjual wahana kolam renang milik papanya itu dan aku tidak tahu alasannya. Hingga saat ini dia masih menganggur, tidak mau mencari pekerjaan. Aku, yang jadi tulang punggungnya.” Gerald memijat keningnya kemudian menghela napasnya. “Kenapa tidak kamu ceraikan saja? Tanggung jawab yang harus menafk
“Heuh? Hukum mati?” Gerald tampak terkejut mendengar vonis untuk Frans.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Bukan karena kasus penembakan yang dia lakukan pada kamu, melainkan karena polisi berhasil menemukan markas Frans. Gudang tempat menyembunyikan narkoba dan senjata illegal.”“Aaahh ….” Gerald manggut-manggut dengan pelan. “Jadi, hukumannya adalah hukum mati? Divonis mati?” tanya Gerald sekali lagi.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Hukuman mati. Akan dieksekusi satu bulan lagi. Hanya membutuhkan satu kali sidang dan … dibawa ke tempat eksekusi.” Jason kembali menjelaskan kepada Gerald.Sementara Gerald tersenyum menyeringai sembari melirik Sandra yang masih duduk di sampingnya. “Baguslah. Aku lega, mendengarnya.” Gerald kemudian mengulas senyumnya kepada Jason.Jason menepuk-nepuk bahu Gerald dengan pelan. “Cepat sembuh, Gerald. Selesaikan kuliah kamu, lulus dengan predikat baik dan … menikahlah.” Jason menerbitkan senyum tulus kepada sang anak.Gerald menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jason dengan suara paniknya.Gerald langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang operasi untuk mengambil peluru yang menancap di tubuh lelaki itu. Kurang dari dua jam lamanya operasi itu akhirnya selesai dilakukan.“Operasinya berjalan dengan lancar. Beruntung, peluru itu hanya menancap di bagian tulang belakang. Peluru itu sudah berhasil diambil dan kondisinya saat ini masih kritis. Kami akan membawanya lima menit lagi ke ruang intensif untuk melakukan perawatan selanjutnya sampai kondisinya kembali normal,” tutur Dokter Azmi—penanggung jawab kala operasi pengambilan peluru di tubuh Gerald.Sandra menghela napas lega setelah mendengar kabar dari Dokter Azmi bila Gerald selamat dari tembakan itu. Ia mengalami sedikit trauma bila seseorang terluka oleh luka tembak. Sebab Gery meninggal oleh peluru yang menancap di jantungnya. Sehingga membuat Gery tidak bisa diselamatkan.Kayla datang dengan wajah paniknya. “Sayang. Kamu baik-bai
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Hari ini adalah hari Minggu. Gerald dan Sandra pergi ke mall untuk belanja keperluan bayi yang sama sekali belum mereka beli.“Karena bayinya laki-laki, lebih baik kita beli warna yang lebih ke warnah laki-laki. Seperti warna biru, putih atau abu-abu. Yang cerah-cerah. Oke?” Sandra memberi saran kepada Gerald.Pria itu memberikan jempolnya kepada Sandra. “Oke, Sandra. Terserah kamu saja, yang penting semua keperluan untuk bayi kita sudah terpenuhi.”Sandra kemudian menerbitkan senyumnya. “Kita beli baju dulu kalau begitu. Baju, celana, handuk, selimut dan topi. Kaus kaki juga.”Gerald menggenggam tangan Sandra dan membawanya masuk ke dalam toko perlengkapan serba ada. Lengkap, berbagai macam keperluan bayi ada di sana.“Yang ini bagus, nggak?” Sandra menunjuk pakaian bayi kepada Gerald.“Bagus. Ambil aja yang menurut kamu cocok, Sayang. Jangan tanya aku. Aku mah terserah kamu aja. Kalau kata kamu bagus, berarti bagus juga menurut aku.”Sandra
“Bentar ... mau mandi dulu!” teriak Gerald menjawab panggilan dari mamanya itu.Sandra lantas memukul lengan lelaki itu. “Ishh! Gerald. Gak usah teriak juga.”Gerald terkekeh pelan. “Aku mau mandi dulu. Mau mandi lagi nggak?”Sandra menggeleng. “Mau cebok aja. Mandi mah besok pagi lagi aja.”“Ya sudah. Aku mandi dulu.”Sandra mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan area sensitifnya terlebih dahulu.Sepuluh menit kemudian Sandra keluar dari kamarnya dan menghampiri Kayla dan juga Jason serta Laura yang sudah menunggu mereka tiba di sana untuk makan malam bersama.“Gerald sudah dipanggil?” tanya Jason kepada Kayla.“Sudah. Tadi katanya mau mandi dulu,” ucapnya menjawab pertanyaan sang suami.Jason mengerutkan keningnya. “Kok, aku nggak lihat kamu naik tangga?”Kayla mengendikan bahunya. “Mungkin kamu lagi sibuk dengan rainbow cake buatan Sandra. Makanya nggak lihat aku ke atas.”Jason manggut-manggut dengan pelan. Ia kemudi
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Dering ponsel Sandra berbunyi, panggilan dari Gerald. Ia kemudian segera menerima panggilan tersebut.“Halo, Gerald?” tanyanya kemudian.“Sandra. Hari ini mungkin aku pulang jam tujuh malam. Banyak tugas yang harus aku kerjakan soalnya. Mengejar ketertinggalan tiga bulan nggak masuk.”“Oh iya, Gerald. Nanti aku simpan kuenya di kulkas saja kalau begitu. Kalau lapar, tinggal ambil saja di sana, yaa.”“Iya, Sayang. Ya sudah kalau begitu aku lanjut nugas lagi.” Gerald menutup panggilan tersebut setelah memberi tahu bila dirinya akan pulang malam. Khawatir Sandra cemas lantaran tidak ada pulang di jam yang biasanya dia pulang.Sandra kemudian keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri. Menghampiri Kayla yang sedang menggendong Felisha.“Mamanya ke mana, Mom?” tanya Sandra kepada Kayla.“Lagi mandi dulu katanya. Biar pulang nggak perlu mandi lagi.”Sandra manggut-manggut. “Gerald tadi telepon, katanya dia akan pulang di jam tujuh. Ada banyak tugas
Satu minggu sebelum tragedi ....Gery menemui Jason di gedung International Global.“Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Gery berucap dengan tegas dan datar.“Apa itu?” tanyanya ingin tahu. “Silakan duduk.” Jason mempersilakan Gery duduk di sofa yang tak jauh dari kursi kebanggaannya.Gery menghela napasnya dengan panjang. “Anda masih belum ingin menyetujui hubungan Sandra dan Gerald? Saya sudah ikhlas mereka bersama, Pak Jason. Kalau masalahnya ada pada saya ....” Gery memberikan dokumen surat permohonan cerai kepada Jason.“Saya sudah menandatangani surat cerai ini dan dua minggu lagi sidang dimulai. Semoga hakim menyetujui permohonan ini dan Sandra akan saya minta mengenakan pakaian longgar agar tidak kelihatan kalau dia sedang hamil. Tolong, Pak Jason. Saya hanya bisa berharap banyak pada Gerald.“Dia pasti bisa menjaga Sandra dari Frans. Saya tidak ingin Sandra jadi budak Frans. Anda pasti tahu bagaimana kejamnya dia kepada perempuan. Bukan karena cinta, tapi obsesi. Saya,
“Morning!” Gerald menyapa anggota keluarganya yang tengah duduk menunggunya keluar untuk sarapan sama-sama.Kayla menelengkan kepalanya kemudian menatap Gerald dengan lekat. “Kok, keluarnya dari kamar atas? Jam berapa pindahnya?”“Mom!” Gerald menatap datar mamanya itu.Kayla lantas menerbitkan cengiran kepada anaknya itu. “Yuk, aah sarapan. Laura harus berangkat ke sekolah, Gerald ke kampus, Daddy ke kantor dan Nicko ke kantor juga.”“Para ladies mau ngapain?” tanya Gerald kemudian.“Mommy sama Sandra mau santai leha-leha di rumah lah. Main sama si bayi mungil Felisha.” Kayla menerbitkan senyumnya.Gerald menghela napasnya dengan pelan. “Yang penting kalian bahagia.”“Selalu itu yang kamu ucapkan pada kami. Memangnya kamu sendiri tidak bahagia?” tanya Kayla kemudian.“Tentu saja bahagia. Kenapa tanya seperti itu?”Kayla mengendikan bahunya. “Hanya tanya.”Gerald manggut-manggut. Tak lama setelahnya, dering ponsel Jason berbunyi. Gerald menoleh kepada papanya yang tengah mengerutkan k
Makan malam untuk pertama kalinya bersama keluarga Gerald di rumah milik orang tua lelaki itu tentunya. Membuat Sandra bahagia luar biasa karena merasa sudah menjadi bagian dari keluarga tersebut.Ada Kinara dan Nicko juga di sana membuat suasana di sana semakin ramai karena adanya mereka. Usia Felisha kini sudah menginjak satu bulan dua minggu, semakin sehat dan berisi setelah dirawat dengan baik oleh Kayla yang memang sudah ahlinya merawat anak-anak.“Seru banget, makan malam di malam ini. Terasa lengkap setelah adanya Kak Gerald dan Kak Sandra di sini,” ucap Kinara kemudian menerbitkan senyumnya.Kayla menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Sama. Mommy juga merasakan hal yang sama, Sayang. Akhirnya, yaa. Kita bisa berkumpul lagi dan tambah dua personel. Sebentar lagi ada kandidat baru lagi. Calon cucu Mommy. Tiga bulan lagi akan lahir.” Kayla menerbitkan senyumnya kepada Sandra.Perempuan itu lantas membalas senyum Kayla. “Terima kasih, sudah menyambutku dengan baik.
Sandra gelagapan kemudian menelan salivanya dengan pelan. “He—heeuuh? Mak—maksudnya, Pak Jason?” Jason memutar bola matanya dengan pelan. “Jangan panggil saya dengan itu. Panggil saja Papa apa susahnya? Kayak nggak pernah pu—“ Jason mengatup bibirnya menahan ucapannya yang sudah pasti akan membuat Sandra terluka bila lolos keluar dari bibirnya. “Kayak apa, Pa?” tanya Gerald dengan suara datarnya. Jason menggeleng pelan. “Tidak ada. Papa sudah tahu dan lupa, kalau Sandra memang sudah tidak punya orang tua sejak lama,” ucapnya pelan sembari melirik Sandra yang tengah tersenyum tipis. “Dia tidak seberuntung Papa.” “Kan, sudah Papa katakan tadi. Tidak perlu diperbesar. Kamu sudah dewasa, seharusnya paham dengan ucapan Papa.” Gerald mengendikan bahunya. “Papa juga harus jaga lisannya. Jangan sampai keceplosan lagi.” Jason menganggukkan kepalanya dengan pelan kemudian mengusapi lengan anaknya itu. “Cepat sembuh, Nak. Jangan lama-lama di sini. Mentang-mentang nggak perlu bayar!” Geral