"Diih! Amit-amit deh. Mana boleh begitu. Anak gue yaa mirip gue sama bapaknya, lah!" sengalnya tak terima dengan ucapan sahabatnya itu. Misya menghela napasnya lagi. "Gue hanya kasih masukan aja, biar elo nggak nyesel di kemudian hari. Udah hamil belum, sih? Udah mau tiga minggu kan, usia pernikahan elo? Tiap hari kan, bikinnya? Keliatan dari muka elo. Pucet mulu tiap hari. Sangar ya, kalau di kamar?" Laura menganggukkan kepalanya. "Gitu deh. Gagah banget. Makanya gue nggak bisa lupa apalagi relain Jonathan buat Kiara. Big no! Bukan hanya itu aja. Tapi, karena kasih sayangnya tulus banget buat gue, Sya." Misya tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. "Senjata makan tuan, lo. Dulu bilangnya, kagak bakalan mau, gue cinta sama dosen killer setan kutub Utara itu. Laah sekarang ... ada mantan pacarnya minta tanggung jawab, gak dibolehin." Misya geleng-geleng kepala seraya menyeruput teh melati miliknya. Laura mengerucutkan bibirnya. "Karena gue nggak tahu kalau ternyata Jonathan udah c
Laura mengindahkan ucapan sekretaris suaminya itu. Ia kemudian menghubungi Jonathan, memberi tahu kalau dirinya sudah ada di depan ruangannya.“Sekretaris kamu kurang ajar banget, yaa. Emangnya kamu nggak pasang foto pernikahan kita, di ruang kerja kamu?” Laura memarahi Jonathan melalui panggilan telepon.“Maaf, Sayang. Aku keluar sekarang, yaa.” Jonathan lantas membukakan pintu ruangannya.Betapa terkejutnya ia kala melihat Kiara juga ternyata ada di sana. “Ada apa lagi, Kiara?” Jonathan kemudian menghubungi security seraya menarik tangan Laura agar berdiri di sampingnya.“Ke sini sekarang juga!” titah Jonathan dengan suara datarnya.“Jonathan. Kamu pikir, aku akan lepas kamu gitu aja setelah apa yang sudah kamu lakukan padaku! Bahkan kamu belum mendengarkan penjelasan aku!” kata Kiara yang masih ingin membahas perihal kehamilannya itu.Jonathan menghela napas kasar. “Oke! Ki
Laura menggelengkan kepalanya. “Nggak punya. Apaan, yaa? Panggil nama aja deh. Aku nggak tahu soalnya, harus manggil kamu apa.” Jonathan yang tidak ingin ribet itu hanya menganggukkan kepalanya. Setuju-setuju saja dengan keputusan istrinya itu. Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Jonathan baru saja menyelesaikan memasak nasi goreng permintaan sang istri. Keduanya langsung menyantap makan malam tersebut dengan romantis. “Thank you ya, Jo. Udah repot-repot buatin aku nasi goreng. Makin cinta, deh.” Jonathan geleng-geleng kepala seraya mengulas senyumnya. “Aku sudah mencintai kamu sejak lama, akhirnya terbalaskan setelah memberi tahu kamu yang sebenarnya. Lalu, kalau aku tidak pernah memberi tahu kamu, kamu juga tidak akan pernah mau berusaha untuk mencintai aku?” Laura menganggukkan kepalanya. “Aku nggak mau jatuh cinta sendirian, Jo. Rasanya itu sakit dan hanya bisa makan hati. Aku ingin mencintai dan dicintai. Kalau kamu udah nggak cinta sama aku, aku pun akan melupakannya
Tiara menganggukkan kepalanya dengan sangat cepat. “Oke, Sayang. Mami nggak akan deket-deket sama mantan pacar gak jelas kamu itu. Lebih baik nggak usah kenal dia lagi, daripada harus dibenci sama Laura. Iya nggak, Jo?” Jonathan mengangguk seraya mengulas senyum tipis. “Ya. Udah, gitu aja. Jam sembilan, acaranya tutup ya, Mi. Laura udah lelah, udah pengen istirahat.” Tiara kemudian menatap Laura yang tengah duduk lemas di bangku pelamin. “Istri kamu pucat sekali, Jo.” Perempuan itu lantas menghampiri sang menantu dengan tergesa-gesa. “Sayang. Muka kamu pucat sekali. Istirahat aja ya, Nak. Udah mau selesai pun, acaranya.” Tiara sangat mengkhawatirkan menantunya itu. “Laura. Are you okay?” tanya Jonathan cemas. Laura menganggukkan kepalanya kemudian mengusap wajahnya dengan pelan. “I’m okay, Mi, Jo. Hanya sedikit pusing aja.” “Jo. Bawa Laura masuk ke kamar, yaa. Acaranya sebentar lagi akan ditutup,” titahnya kemudian. Jonathan kemudian membawa Laura ke dalam kamar yang sudah dise
Jonathan lantas melepaskan bibirnya lantaran oksigen yang hampir habis. Kemudian mengatur napasnya dan membuka handuk yang masih melilit di pinggangnya. Sementara Laura sudah polos, tak ada sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Lalu, menggendong perempuan itu, membawanya ke atas tempat tidur. Perempuan itu ia jatuhkan ke atas tempat tidur. Bibirnya menyunggingkan senyum menggoda. “Are you ready, to our first night? Sebagai pasangan suami-istri yang sudah diketahui banyak orang,” kata Jonathan seraya menatap sang istri yang tengah berada di bawah kuasanya. Perempuan itu mengangguk. “Of course!” ucapnya parau. Laura kemudian mengambil alih. Ia duduk di atas paha sang suami dan mulai menyatukan dirinya di bawah sana. Bibirnya ia gigit. Menikmati gesekan dan gerakan yang tengah mereka lakukan. Memompa dengan irama yang masih santai. Kemudian Jonathan meraup bibir perempuan itu dengan gemas. Tangannya meremas kedua gundukan itu dengan pelan. Jonathan pun menaik turunkan tubuh sang
Jonathan mengacak pucuk kepala istrinya itu. “Sama-sama, kalau bisa. Kalaupun harus aku duluan, semoga kamu nggak mau cari yang baru. Nunggu sampai dijemput dan kita bisa kembali bersama di sana,” ucapnya lembut. Lelaki itu benar-benar tidak ingin jauh dari Laura. Hingga nanti mati pun, bisa disatukan kembali di sana. Laura menatap sang suami dengan tatapan lekatnya. “Kamu memang suami yang luar biasa.” “Kalau begitu, jangan berikan pilihan gila lagi untuk Kiara. Kalaupun itu anak aku, pengadilan tidak akan membenarkan itu anak aku karena tidak adanya pernikahan dalam hidup kami.” “Iya, iyaa. Aku lagi kesel aja sama si Kiara. Tiap datang, pasti bahas hamil. Giliran ditanya hal aneh, malah nggak bisa jawab. Nggak aja nanti aku tanya gimana cara kamu cium sama remas-remas si kembar.” Jonathan menggetok kening Laura seraya menatap datar istrinya itu. “Nggak usah nanya yang aneh-aneh lagi.” Laura lantas mengerucutkan bibirnya. Tak lama setelahnya, Gerald serta sang anak datang ke ru
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja menyelesaikan acara mandinya setelah dua jam lamanya tidur. “Suami gue ke mana? Kok ngilang?” gumamnya seraya mencari baju di dalam kopernya. “Baju apaan ini? Masa iya, gue pake lingerie mulu tiap hari? Yaa kali gue, ke menara eiffel juga pake baju beginian.” Laura geleng-geleng kepala karena salah membuka koper yang isinya baju kurang bahan semua. Jonathan menyiapkan itu semua karena sudah sangat yakin dalam dirinya, bila selama empat belas hari itu mereka hanya akan bergumul indah, mengacak-acak sprei dan lain sebagainya. “Udah malam juga sih. Nggak mungkin Jonathan mau ajak gue jalan-jalan keluar. Ya udahlah. Pake baju mini bahan aja. Siapa tahu bisa sampai pagi.” Laura tertawa sendiri atas ucapannya itu. “Sialan. Gue kira nggak bakalan seenak ini. Kayaknya gue udah terkontaminasi oleh pusakanya Jonathan. Sampai otak gue nggak mau lepas dari ingatan pedang samurai berurat itu.” Laura menepuk jidatnya kemudian mengenakan l
Laura kalah telak. Ia kemudian menggaruk rambutnya seraya mengunyah sosis panggang miliknya.Sementara Jonathan terkekeh pelan melihat ekspresi Laura yang begitu menggemaskan. “Just kidding, Sayang. Aku nggak segila yang kamu kira.”Laura menolehkan kepalanya dengan pelan kepada suaminya itu. “Sekuatnya aja, yaa.”Jonathan mengangguk. “Ya. Memang selalu seperti itu.”Laura lantas mengulas senyumnya. “Kamu pernah dengar aku bilang cinta, nggak?”Jonathan menggeleng pelan. “Kamu hanya menunjukkan.”Laura manggut-manggut dengan pelan. “I love you,” ucapnya kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar.“Udah kenyang, Jo.”“Sama. Kita nonton TV dulu sebentar, yaa.”Laura menganggukkan kepalanya. Keduanya lantas beranjak dari duduknya kemudian masuk ke dalam kamar. Laura memilih memandang pemandangan indah di kota Paris itu. Lampu gemerlap yang indah membuat Laura takjub akan keindahan malam di kota Paris.Jonathan juga tidak jadi menonton televisi. Ia lupa, tayangan di sana menggunakan baha
“Heuh? Hukum mati?” Gerald tampak terkejut mendengar vonis untuk Frans.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Bukan karena kasus penembakan yang dia lakukan pada kamu, melainkan karena polisi berhasil menemukan markas Frans. Gudang tempat menyembunyikan narkoba dan senjata illegal.”“Aaahh ….” Gerald manggut-manggut dengan pelan. “Jadi, hukumannya adalah hukum mati? Divonis mati?” tanya Gerald sekali lagi.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Hukuman mati. Akan dieksekusi satu bulan lagi. Hanya membutuhkan satu kali sidang dan … dibawa ke tempat eksekusi.” Jason kembali menjelaskan kepada Gerald.Sementara Gerald tersenyum menyeringai sembari melirik Sandra yang masih duduk di sampingnya. “Baguslah. Aku lega, mendengarnya.” Gerald kemudian mengulas senyumnya kepada Jason.Jason menepuk-nepuk bahu Gerald dengan pelan. “Cepat sembuh, Gerald. Selesaikan kuliah kamu, lulus dengan predikat baik dan … menikahlah.” Jason menerbitkan senyum tulus kepada sang anak.Gerald menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jason dengan suara paniknya.Gerald langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang operasi untuk mengambil peluru yang menancap di tubuh lelaki itu. Kurang dari dua jam lamanya operasi itu akhirnya selesai dilakukan.“Operasinya berjalan dengan lancar. Beruntung, peluru itu hanya menancap di bagian tulang belakang. Peluru itu sudah berhasil diambil dan kondisinya saat ini masih kritis. Kami akan membawanya lima menit lagi ke ruang intensif untuk melakukan perawatan selanjutnya sampai kondisinya kembali normal,” tutur Dokter Azmi—penanggung jawab kala operasi pengambilan peluru di tubuh Gerald.Sandra menghela napas lega setelah mendengar kabar dari Dokter Azmi bila Gerald selamat dari tembakan itu. Ia mengalami sedikit trauma bila seseorang terluka oleh luka tembak. Sebab Gery meninggal oleh peluru yang menancap di jantungnya. Sehingga membuat Gery tidak bisa diselamatkan.Kayla datang dengan wajah paniknya. “Sayang. Kamu baik-bai
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Hari ini adalah hari Minggu. Gerald dan Sandra pergi ke mall untuk belanja keperluan bayi yang sama sekali belum mereka beli.“Karena bayinya laki-laki, lebih baik kita beli warna yang lebih ke warnah laki-laki. Seperti warna biru, putih atau abu-abu. Yang cerah-cerah. Oke?” Sandra memberi saran kepada Gerald.Pria itu memberikan jempolnya kepada Sandra. “Oke, Sandra. Terserah kamu saja, yang penting semua keperluan untuk bayi kita sudah terpenuhi.”Sandra kemudian menerbitkan senyumnya. “Kita beli baju dulu kalau begitu. Baju, celana, handuk, selimut dan topi. Kaus kaki juga.”Gerald menggenggam tangan Sandra dan membawanya masuk ke dalam toko perlengkapan serba ada. Lengkap, berbagai macam keperluan bayi ada di sana.“Yang ini bagus, nggak?” Sandra menunjuk pakaian bayi kepada Gerald.“Bagus. Ambil aja yang menurut kamu cocok, Sayang. Jangan tanya aku. Aku mah terserah kamu aja. Kalau kata kamu bagus, berarti bagus juga menurut aku.”Sandra
“Bentar ... mau mandi dulu!” teriak Gerald menjawab panggilan dari mamanya itu.Sandra lantas memukul lengan lelaki itu. “Ishh! Gerald. Gak usah teriak juga.”Gerald terkekeh pelan. “Aku mau mandi dulu. Mau mandi lagi nggak?”Sandra menggeleng. “Mau cebok aja. Mandi mah besok pagi lagi aja.”“Ya sudah. Aku mandi dulu.”Sandra mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan area sensitifnya terlebih dahulu.Sepuluh menit kemudian Sandra keluar dari kamarnya dan menghampiri Kayla dan juga Jason serta Laura yang sudah menunggu mereka tiba di sana untuk makan malam bersama.“Gerald sudah dipanggil?” tanya Jason kepada Kayla.“Sudah. Tadi katanya mau mandi dulu,” ucapnya menjawab pertanyaan sang suami.Jason mengerutkan keningnya. “Kok, aku nggak lihat kamu naik tangga?”Kayla mengendikan bahunya. “Mungkin kamu lagi sibuk dengan rainbow cake buatan Sandra. Makanya nggak lihat aku ke atas.”Jason manggut-manggut dengan pelan. Ia kemudi
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Dering ponsel Sandra berbunyi, panggilan dari Gerald. Ia kemudian segera menerima panggilan tersebut.“Halo, Gerald?” tanyanya kemudian.“Sandra. Hari ini mungkin aku pulang jam tujuh malam. Banyak tugas yang harus aku kerjakan soalnya. Mengejar ketertinggalan tiga bulan nggak masuk.”“Oh iya, Gerald. Nanti aku simpan kuenya di kulkas saja kalau begitu. Kalau lapar, tinggal ambil saja di sana, yaa.”“Iya, Sayang. Ya sudah kalau begitu aku lanjut nugas lagi.” Gerald menutup panggilan tersebut setelah memberi tahu bila dirinya akan pulang malam. Khawatir Sandra cemas lantaran tidak ada pulang di jam yang biasanya dia pulang.Sandra kemudian keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri. Menghampiri Kayla yang sedang menggendong Felisha.“Mamanya ke mana, Mom?” tanya Sandra kepada Kayla.“Lagi mandi dulu katanya. Biar pulang nggak perlu mandi lagi.”Sandra manggut-manggut. “Gerald tadi telepon, katanya dia akan pulang di jam tujuh. Ada banyak tugas
Satu minggu sebelum tragedi ....Gery menemui Jason di gedung International Global.“Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Gery berucap dengan tegas dan datar.“Apa itu?” tanyanya ingin tahu. “Silakan duduk.” Jason mempersilakan Gery duduk di sofa yang tak jauh dari kursi kebanggaannya.Gery menghela napasnya dengan panjang. “Anda masih belum ingin menyetujui hubungan Sandra dan Gerald? Saya sudah ikhlas mereka bersama, Pak Jason. Kalau masalahnya ada pada saya ....” Gery memberikan dokumen surat permohonan cerai kepada Jason.“Saya sudah menandatangani surat cerai ini dan dua minggu lagi sidang dimulai. Semoga hakim menyetujui permohonan ini dan Sandra akan saya minta mengenakan pakaian longgar agar tidak kelihatan kalau dia sedang hamil. Tolong, Pak Jason. Saya hanya bisa berharap banyak pada Gerald.“Dia pasti bisa menjaga Sandra dari Frans. Saya tidak ingin Sandra jadi budak Frans. Anda pasti tahu bagaimana kejamnya dia kepada perempuan. Bukan karena cinta, tapi obsesi. Saya,
“Morning!” Gerald menyapa anggota keluarganya yang tengah duduk menunggunya keluar untuk sarapan sama-sama.Kayla menelengkan kepalanya kemudian menatap Gerald dengan lekat. “Kok, keluarnya dari kamar atas? Jam berapa pindahnya?”“Mom!” Gerald menatap datar mamanya itu.Kayla lantas menerbitkan cengiran kepada anaknya itu. “Yuk, aah sarapan. Laura harus berangkat ke sekolah, Gerald ke kampus, Daddy ke kantor dan Nicko ke kantor juga.”“Para ladies mau ngapain?” tanya Gerald kemudian.“Mommy sama Sandra mau santai leha-leha di rumah lah. Main sama si bayi mungil Felisha.” Kayla menerbitkan senyumnya.Gerald menghela napasnya dengan pelan. “Yang penting kalian bahagia.”“Selalu itu yang kamu ucapkan pada kami. Memangnya kamu sendiri tidak bahagia?” tanya Kayla kemudian.“Tentu saja bahagia. Kenapa tanya seperti itu?”Kayla mengendikan bahunya. “Hanya tanya.”Gerald manggut-manggut. Tak lama setelahnya, dering ponsel Jason berbunyi. Gerald menoleh kepada papanya yang tengah mengerutkan k
Makan malam untuk pertama kalinya bersama keluarga Gerald di rumah milik orang tua lelaki itu tentunya. Membuat Sandra bahagia luar biasa karena merasa sudah menjadi bagian dari keluarga tersebut.Ada Kinara dan Nicko juga di sana membuat suasana di sana semakin ramai karena adanya mereka. Usia Felisha kini sudah menginjak satu bulan dua minggu, semakin sehat dan berisi setelah dirawat dengan baik oleh Kayla yang memang sudah ahlinya merawat anak-anak.“Seru banget, makan malam di malam ini. Terasa lengkap setelah adanya Kak Gerald dan Kak Sandra di sini,” ucap Kinara kemudian menerbitkan senyumnya.Kayla menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Sama. Mommy juga merasakan hal yang sama, Sayang. Akhirnya, yaa. Kita bisa berkumpul lagi dan tambah dua personel. Sebentar lagi ada kandidat baru lagi. Calon cucu Mommy. Tiga bulan lagi akan lahir.” Kayla menerbitkan senyumnya kepada Sandra.Perempuan itu lantas membalas senyum Kayla. “Terima kasih, sudah menyambutku dengan baik.
Sandra gelagapan kemudian menelan salivanya dengan pelan. “He—heeuuh? Mak—maksudnya, Pak Jason?” Jason memutar bola matanya dengan pelan. “Jangan panggil saya dengan itu. Panggil saja Papa apa susahnya? Kayak nggak pernah pu—“ Jason mengatup bibirnya menahan ucapannya yang sudah pasti akan membuat Sandra terluka bila lolos keluar dari bibirnya. “Kayak apa, Pa?” tanya Gerald dengan suara datarnya. Jason menggeleng pelan. “Tidak ada. Papa sudah tahu dan lupa, kalau Sandra memang sudah tidak punya orang tua sejak lama,” ucapnya pelan sembari melirik Sandra yang tengah tersenyum tipis. “Dia tidak seberuntung Papa.” “Kan, sudah Papa katakan tadi. Tidak perlu diperbesar. Kamu sudah dewasa, seharusnya paham dengan ucapan Papa.” Gerald mengendikan bahunya. “Papa juga harus jaga lisannya. Jangan sampai keceplosan lagi.” Jason menganggukkan kepalanya dengan pelan kemudian mengusapi lengan anaknya itu. “Cepat sembuh, Nak. Jangan lama-lama di sini. Mentang-mentang nggak perlu bayar!” Geral