Perempuan itu menerbitkan senyum sembari mengangguk kecil. “Sure!” ucapnya kemudian meraup bibir lelaki itu lagi, mengambil alih dalam permainan di malam itu dan ingin melupakan pelik yang selalu terngiang dalam pikirannya. Deru napas saling berhasutan tatkala melepaskan tautan yang mereka lakukan sedari tadi. Mata itu saling menatap, kemudian memberikan senyum manis. Keduanya kini sudah tak berpakaian alias polos. Hanya kulit putih dengan lampu temaram menyinari kedua insan yang tengah dimabuk cinta. Gerayang nafsu sudah hadir di antara kedua pasangan bahagia itu. Permainan semakin panas dengan gerakan tangan Jonathan bermain riang, yang semakin memburu di bawah sana. Sementara mulut itu sibuk menyesap pucuk merah muda, gumpalan kenyal yang semakin membesar ia rasakan. Sementara tangan Laura tengah meremas rambut lelaki itu sembari mulutnya bersuara, desahan dan erangan terus keluar di sana. “Jo! Oh my God!” pekik Laura dengan dada membusung. Lelaki itu lantas tersenyum menyerin
"Diih! Amit-amit deh. Mana boleh begitu. Anak gue yaa mirip gue sama bapaknya, lah!" sengalnya tak terima dengan ucapan sahabatnya itu. Misya menghela napasnya lagi. "Gue hanya kasih masukan aja, biar elo nggak nyesel di kemudian hari. Udah hamil belum, sih? Udah mau tiga minggu kan, usia pernikahan elo? Tiap hari kan, bikinnya? Keliatan dari muka elo. Pucet mulu tiap hari. Sangar ya, kalau di kamar?" Laura menganggukkan kepalanya. "Gitu deh. Gagah banget. Makanya gue nggak bisa lupa apalagi relain Jonathan buat Kiara. Big no! Bukan hanya itu aja. Tapi, karena kasih sayangnya tulus banget buat gue, Sya." Misya tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. "Senjata makan tuan, lo. Dulu bilangnya, kagak bakalan mau, gue cinta sama dosen killer setan kutub Utara itu. Laah sekarang ... ada mantan pacarnya minta tanggung jawab, gak dibolehin." Misya geleng-geleng kepala seraya menyeruput teh melati miliknya. Laura mengerucutkan bibirnya. "Karena gue nggak tahu kalau ternyata Jonathan udah c
Laura mengindahkan ucapan sekretaris suaminya itu. Ia kemudian menghubungi Jonathan, memberi tahu kalau dirinya sudah ada di depan ruangannya.“Sekretaris kamu kurang ajar banget, yaa. Emangnya kamu nggak pasang foto pernikahan kita, di ruang kerja kamu?” Laura memarahi Jonathan melalui panggilan telepon.“Maaf, Sayang. Aku keluar sekarang, yaa.” Jonathan lantas membukakan pintu ruangannya.Betapa terkejutnya ia kala melihat Kiara juga ternyata ada di sana. “Ada apa lagi, Kiara?” Jonathan kemudian menghubungi security seraya menarik tangan Laura agar berdiri di sampingnya.“Ke sini sekarang juga!” titah Jonathan dengan suara datarnya.“Jonathan. Kamu pikir, aku akan lepas kamu gitu aja setelah apa yang sudah kamu lakukan padaku! Bahkan kamu belum mendengarkan penjelasan aku!” kata Kiara yang masih ingin membahas perihal kehamilannya itu.Jonathan menghela napas kasar. “Oke! Ki
Laura menggelengkan kepalanya. “Nggak punya. Apaan, yaa? Panggil nama aja deh. Aku nggak tahu soalnya, harus manggil kamu apa.” Jonathan yang tidak ingin ribet itu hanya menganggukkan kepalanya. Setuju-setuju saja dengan keputusan istrinya itu. Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Jonathan baru saja menyelesaikan memasak nasi goreng permintaan sang istri. Keduanya langsung menyantap makan malam tersebut dengan romantis. “Thank you ya, Jo. Udah repot-repot buatin aku nasi goreng. Makin cinta, deh.” Jonathan geleng-geleng kepala seraya mengulas senyumnya. “Aku sudah mencintai kamu sejak lama, akhirnya terbalaskan setelah memberi tahu kamu yang sebenarnya. Lalu, kalau aku tidak pernah memberi tahu kamu, kamu juga tidak akan pernah mau berusaha untuk mencintai aku?” Laura menganggukkan kepalanya. “Aku nggak mau jatuh cinta sendirian, Jo. Rasanya itu sakit dan hanya bisa makan hati. Aku ingin mencintai dan dicintai. Kalau kamu udah nggak cinta sama aku, aku pun akan melupakannya
Tiara menganggukkan kepalanya dengan sangat cepat. “Oke, Sayang. Mami nggak akan deket-deket sama mantan pacar gak jelas kamu itu. Lebih baik nggak usah kenal dia lagi, daripada harus dibenci sama Laura. Iya nggak, Jo?” Jonathan mengangguk seraya mengulas senyum tipis. “Ya. Udah, gitu aja. Jam sembilan, acaranya tutup ya, Mi. Laura udah lelah, udah pengen istirahat.” Tiara kemudian menatap Laura yang tengah duduk lemas di bangku pelamin. “Istri kamu pucat sekali, Jo.” Perempuan itu lantas menghampiri sang menantu dengan tergesa-gesa. “Sayang. Muka kamu pucat sekali. Istirahat aja ya, Nak. Udah mau selesai pun, acaranya.” Tiara sangat mengkhawatirkan menantunya itu. “Laura. Are you okay?” tanya Jonathan cemas. Laura menganggukkan kepalanya kemudian mengusap wajahnya dengan pelan. “I’m okay, Mi, Jo. Hanya sedikit pusing aja.” “Jo. Bawa Laura masuk ke kamar, yaa. Acaranya sebentar lagi akan ditutup,” titahnya kemudian. Jonathan kemudian membawa Laura ke dalam kamar yang sudah dise
Jonathan lantas melepaskan bibirnya lantaran oksigen yang hampir habis. Kemudian mengatur napasnya dan membuka handuk yang masih melilit di pinggangnya. Sementara Laura sudah polos, tak ada sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Lalu, menggendong perempuan itu, membawanya ke atas tempat tidur. Perempuan itu ia jatuhkan ke atas tempat tidur. Bibirnya menyunggingkan senyum menggoda. “Are you ready, to our first night? Sebagai pasangan suami-istri yang sudah diketahui banyak orang,” kata Jonathan seraya menatap sang istri yang tengah berada di bawah kuasanya. Perempuan itu mengangguk. “Of course!” ucapnya parau. Laura kemudian mengambil alih. Ia duduk di atas paha sang suami dan mulai menyatukan dirinya di bawah sana. Bibirnya ia gigit. Menikmati gesekan dan gerakan yang tengah mereka lakukan. Memompa dengan irama yang masih santai. Kemudian Jonathan meraup bibir perempuan itu dengan gemas. Tangannya meremas kedua gundukan itu dengan pelan. Jonathan pun menaik turunkan tubuh sang
Jonathan mengacak pucuk kepala istrinya itu. “Sama-sama, kalau bisa. Kalaupun harus aku duluan, semoga kamu nggak mau cari yang baru. Nunggu sampai dijemput dan kita bisa kembali bersama di sana,” ucapnya lembut. Lelaki itu benar-benar tidak ingin jauh dari Laura. Hingga nanti mati pun, bisa disatukan kembali di sana. Laura menatap sang suami dengan tatapan lekatnya. “Kamu memang suami yang luar biasa.” “Kalau begitu, jangan berikan pilihan gila lagi untuk Kiara. Kalaupun itu anak aku, pengadilan tidak akan membenarkan itu anak aku karena tidak adanya pernikahan dalam hidup kami.” “Iya, iyaa. Aku lagi kesel aja sama si Kiara. Tiap datang, pasti bahas hamil. Giliran ditanya hal aneh, malah nggak bisa jawab. Nggak aja nanti aku tanya gimana cara kamu cium sama remas-remas si kembar.” Jonathan menggetok kening Laura seraya menatap datar istrinya itu. “Nggak usah nanya yang aneh-aneh lagi.” Laura lantas mengerucutkan bibirnya. Tak lama setelahnya, Gerald serta sang anak datang ke ru
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja menyelesaikan acara mandinya setelah dua jam lamanya tidur. “Suami gue ke mana? Kok ngilang?” gumamnya seraya mencari baju di dalam kopernya. “Baju apaan ini? Masa iya, gue pake lingerie mulu tiap hari? Yaa kali gue, ke menara eiffel juga pake baju beginian.” Laura geleng-geleng kepala karena salah membuka koper yang isinya baju kurang bahan semua. Jonathan menyiapkan itu semua karena sudah sangat yakin dalam dirinya, bila selama empat belas hari itu mereka hanya akan bergumul indah, mengacak-acak sprei dan lain sebagainya. “Udah malam juga sih. Nggak mungkin Jonathan mau ajak gue jalan-jalan keluar. Ya udahlah. Pake baju mini bahan aja. Siapa tahu bisa sampai pagi.” Laura tertawa sendiri atas ucapannya itu. “Sialan. Gue kira nggak bakalan seenak ini. Kayaknya gue udah terkontaminasi oleh pusakanya Jonathan. Sampai otak gue nggak mau lepas dari ingatan pedang samurai berurat itu.” Laura menepuk jidatnya kemudian mengenakan l