"Kenapa Nana bermain sendiri, dimana Mama?" Setelah berhasil mengendalikan diri, Bram bertanya menyadari tidak melihat kehadiran Tiara di kamarnya. Namun, saat ekor matanya menangkap pintu balkon terbuka, Bram yakin jika istrinya itu ada di sana. 'Apa yang dia lakukan disana, sampai meninggalkan Nana sendirian,' batin Bram menahan geram.Penasaran dengan apa yang dilakukan Tiara, terlebih saat ia menajamkan pendengaran tidak sekalipun terdengar suara dari arah balkon, Bram membawa Nana untuk memastikan."Apa yang kalian bicara di sini, sampai membiarkan putriku sendirian di ranjang." Rahang Bram seketika mengeras mengetahui Tiara memilih bersama Sari, sementara putrinya yang baru saja sembuh dibiarkan bermain sendiri. Keterlaluan! Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Namun, pertanyaan yang sebelumnya sempat singgah di benak Bram, memudar seiring ia menyadari posisi kedua wanita itu yang tidak sama-sama duduk. Ekspresi keduanya pun sangat tegang, seolah Bram sudah memergoki mereka m
Hari-hari berjalan jauh dari ekspektasi Tiara. Kebersamaan yang sempat ia idam-idamkan bersama putrinya, ternyata tidak pernah bertahan lama. Waktu Nana lebih banyak dihabiskan dengan sang ayah. Bahkan, gilanya Bram sampai tak ragu meminta supir mengantar Nana ke kantor setelah pulang sekolah dan jika tidak ada lagi pelajaran tambahan.Bram benar-benar ingin menebus waktu lima tahunnya dulu, tanpa memperdulikan kehampaan yang setiap harinya Tiara rasakan.Keberadaan Tiara di hunian mewah Bram memang diketahui sebagai nyonya. Tapi, jauh dari itu, kehadirannya bagaikan makhluk tak kasat mata bagi pemilik rumah. Karena yang terjadi, meski mereka tinggal di rumah, juga kamar yang sama setelah Nana menempati kamarnya sendiri. Bram hanya akan berbicara seperlunya saja pada Tiara. Dan, yang lebih menyakitkan lagi, Bram seolah enggan menyentuh Tiara, walaupun terkadang wanita itu tak ragu mengenakan pakaian transparan saat berbaring menggoda di samping Bram. Apakah Bram telah kehilangan daha
Pagi itu, Bram yang tengah mengaitkan kancing kemeja di bagian lengan, langsung menoleh dengan kedua alis terangkat saat mendengar suara muntahan dari arah kamar mandi. Bram yakin itu suara Tiara, karena melalui kaca di depannya tadi ia bisa melihat istrinya itu terburu-buru memasuki kamar mandi. Awalnya Bram ingin tetap bersikap acuh, berpikir mungkin Tiara sedang kurang enak badan, atau yang lebih parahnya lagi istrinya itu sedang mencari perhatiannya karena putus asa selalu diabaikan. Namun, berjalan sepersekian menit, suara muntahan terdengar semakin keras, dan kering seolah tidak ada apapun yang melewati kerongkongan.Lama tercenung, akhirnya Bram memutuskan mendekat. Selain pendengarannya yang mulai terusik, rupanya hati kecil Bram memberi sinyal agar kakinya bergerak memasuki kamar mandi. "Ck, kalau sakit kenapa tidak istirahat saja," gerutunya. Alih-alih mengusap punggung Tiara atau membantu memegangi rambut wanita itu yang terurai ke depan. Bram hanya berdiri di ambng pintu d
"Kita mau kemana mas?"Sari duduk gelisah di samping kemudi, sejak meninggalkan kediaman Bram, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Thomas. Pria itu memilih bungkam dengan raut wajah sedingin puncak gunung Denali. Sari heran, pasalnya sejak hari itu Thomas selalu bertingkah dingin dan terkesan acuh padanya. Berbanding terbalik dari waktu sebelumnya. Walaupun sebelumnya Sari sempat kesal karena pria itu telah melihat lekuk tubuhnya, setidaknya selain Tiara, Thomas tuan rumah yang ramah padanya.Tapi kini, keadaan telah berubah. Hari itu satu bulan lalu, dengan raut marah Thomas memberinya beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Sari hanya anak angkat keluarga Subrata. Namun, untuk apa dan atas dasar apa pria itu menelusuri jati dirinya, belum Sari ketahui pasti. Sebab, Sari sendiri seolah mengingkari bahwa kedua orang tua yang selama ini begitu ia sayangi ternyata hanya orang tua angkat."Turun!" Sari terkesiap, selain suara lirih Thomas yang penuh ketegasan, dimana mobil pri
Tidak tahu harus bagaimana lagi Sari menyakinkan ketiga wanita itu, sementara dua diantara masih sibuk mempoles wajahnya. Entah akan seperti apa hasilnya nanti. Semua usaha semeyakinkan mungkin sudah gadis itu upayakan, bahwa dirinya tidak perlu melakukan persiapan apapun, cukup mengenakan seragam pelayan dan menguncir kuda rambutnya, maka semua akan beres. Tapi, nyatanya ketiga wanita itu tetap memaksa melakukan kehendak mereka, penolakan Sari tidak sekalipun digubris. "Apa perlu sedetail ini?" gerutunya semakin kesal saat bulu mata palsu yang memiliki jargon anti badai, tengah ditempelkan ke pangkal bulu matanya yang tak seberapa panjang, membuat kelopak matanya terasa lebih berat. "Dan ini, kenapa harus menggunakan benda gatal ini, apa kalian tidak melihat. Air mataku terus saja menetes sejak benda ini terpasang." Rasanya Sari tidak lagi bisa menahan diri, semua alat penunjang kecantikan itu membuatnya tidak nyaman."Maaf, nyonya. Karena bentuk mata anda sedikit sipit, kami terpak
"Keterlaluan! dianggap apa aku ini. Bagaimana bisa dia menikah hari ini sementara aku tidak tahu apapun!" Bram meradang begitu membaca pesan singkat dari Thomas. Bahkan dasi yang sudah terpasang rapi kembali dilonggarkan karena terasa mencekik leher. Merasa tidak dianggap mengingat tinggal dirinya satu- satunya keluarga yang tersisa, membuat darah dalam Bram mendidih. Bagaimana tidak, Thomas memintanya untuk hadir menyaksikan prosesi sakral pria itu tanpa basa-basi hanya lewat pesan singkat. Semenatra mereka saja masih tinggal di atap yang sama. Bukan hal mustahil jika keduanya saling berinteraksi setiap harinya, bukan? Bahkan semalam saja, mereka masih membicarakan proyek yang saat ini sedang Thomas tangani, dan sialnya pria itu tetap bersikap normal seolah tidak merencanakan sesuatu yang besar dalam hidupnya. "Ada apa? Kenapa berteriak?" Tiara datang tergopoh, kekhawatiran kentara jelas di wajahnya. Saat baru memasuki kamar, ia mendengar suara Bram melengking tinggi dari walk in cl
Tiara semakin mengeratkan rangkulan di lengan Bram, sejujurnya ia merasa sudah tidak nyam sejak memasuki gedung. Namun, mengingat yang menikah adik iparnya, dan demi memastikan reaksi Sari apakah gadis itu bahagia. Tiara memaksakan diri hadir, apalagi Nana tidak mau di ikut. Putrinya itu lebih mementingkan kelas melukisnya daripada menghadiri pesta sang paman."Kenapa? kau merasa tidak nyaman?" Menyadari kegelisahan Tiara, Bram menghentikan langkahnya. Senyum kaku Tiara tunjukkan, berusaha menutupi, tapi dari raut wajahnya yang berubah pucat Bram tahu apa yang istrinya itu inginkan. "Aku antar ke toilet." Tak butuh jawaban, Bram langsung berbelok arah. Dan, benar saja baru memasuki lorong menuju toilet, Tiara melepaskan tangan Bram lalu berlari memasuki toilet tanpa memperhatikan petunjuk."Woi! asal masuk aja, kamu gak bisa baca kalau ini toilet pria." Tiara yang terhenyak langsung berbalik badan agar tidak melihat apa yang ketiga pria lakukan. Dan sialnya, rasa mual semakin tidak
Pesta yang sebelumnya terlihat mengagumkan, kini nampak menyesakkan bagi Sari. Bahkan meski sekarang ia diajak untuk menari di panggung dansa-pun, Sari tak yakin apakah dirinya benar-benar bisa bergerak apik. Jika hati tidak lagi menginginkan. 'Bahkan dia tidak mengundang mereka,' batin Sari getir setelah mengamati sekilas tamu yang hadir, dan tidak mendapati keberadaan kedua orang tuanya. Atau paling tidak ibunya saja sudah lebih dari cukup, karena memang ayahnya yang lumpuh akan dianggap merepotkan. Namun ternyata, semua hanya harapan yang tak mungkin jadi nyata. Dan, satu hal yang pasti, Thomas telah berubah."Tunjukkan ekspresi senormal mungkin, atau kau mau tamuku berpikir jika aku memaksamu." Sari menoleh, dan langsung tertegun saat mendapati wajah dingin Thomas."Bukannya memang itu yang terjadi," balas Sari pelan nyaris seperti bisikan. "Bahkan sampai detik ini aku masih belum mengerti dengan apa yang kamu sampaikan mas. Otak dangkalku masih belum bisa mencerna semuanya, mani