Larut dalam pikirannya sendiri, Tiara masih tak percaya begitu saja jika dirinya tengah hamil? ingatannya sontak kembali pada kejadian dua bulan lalu, ketika ia tidak bisa mengendalikan diri dan justru ikut terlena dengan sentuhan-sentuhan candu Bram yang jelas-jelas dalam pengaruh alkohol.Seharusnya Tiara yang lebih sadar bisa menahan diri, sehingga hal itu tidak sampai terjadi. Bahkan, pernyataan Bram yang ingin menjaga kesucian cinta mereka saja masih tertahan di benaknya. Tapi kenapa, di saat pria itu dalam keadaan setelah sadar, Tiara justru terlena hingga lupa diri.'Jadi aku mengandung benih Bram? kenapa hal ini tidak terprediksi olehku sebelumnya. Pantas saja aku belum mendapatkan tamu bulanan di bulan ini. Dan sekarang, aku harus mengandung anaknya setelah melarikan diri darinya. Ya tuhan, sekarang aku harus bagaimana? kembali pada Bram sesuatu yang tidak mungkin aku lakukan, tapi jika aku tetap seperti ini, itu artinya aku harus membesarkan anak ini tanpa figur ayah. Kenapa
"Apa ini Zi, bagaimana kamu bisa mendapat semua berkas ini, sementara kita saja tidak pernah melangsungkan pernikahan. Dan kamu, sejak kapan tidur di kamar tamu, kenapa aku tidak melihat kedatanganmu." Ziyan hanya mengulas senyum mendengar betapa tidak sabarnya Tiara menuntut penjelasan darinya dengan melontarkan pertanyaan beruntun.Mereka sudah duduk tenang di ruang keluarga yang menyatu dengan dapur, setelah Kepala Desa menginstruksikan para warganya untuk kembali kerumah masing-masing. Ternyata isi di dalam map yang Ziyan berikan pada pak Kades melemahkan tuduhan semua orang, sampai-sampai pria paruh baya yang sudah menjabat Kepala Desa dua periode itu segera meminta maaf atas sikap warganya. "Tidak masalah pak, saya juga minta maaf karena belum sempat melapor sampai akhirnya kesalahpahaman ini terjadi," lugas Ziyan yang diakui mahir oleh Tiara."Bahkan melihatmu tersenyum begitu saja, bulu kudukku langsung berdiri," imbuh Tiara disertai gerakan mengusap tengkuknya."Hehe .. maaf,
Brak!Thomas tersentak, saat tiba-tiba Bram membanting berkas ke meja yang ada di ruang kerjanya. Bahkan sebelum sempat ia hempaskan bokong dengan benar di sofa ruang kerja sang kakak."Apa ini?" tanyanya bersikap tetap tenang, walaupun tak dipungkiri jantungnya berdebar layaknya genderang mau perang. Namun, tak urung tangan Thomas terulur untuk mengambil berkas di depannya."Itu laporan keuangan, dan aku yakin kamu cukup cerdas menyikapi apa yang sudah wanita itu lakukan," terang Bram. Nada bicaranya terdengar pelan, namun cukup mengintimidasi."Ti-tidak mungkin, tidak mungkin Metha melakukannya," ucap Thomas dengan mulut serta tangan yang bergetar. Sumpah demi apapun, Thomas merasa tubuhnya seolah dihantam puluhan ranjau sekaligus begitu membaca berkas itu. "Tidak, Metha tidak mungkin kekurangan uang. Aku bahkan selalu memanjakannya, menuruti apapun yang dia inginkan. Lalu, untuk apa dia mengambil uang sebanyak ini dari perusahaan kita."Tertampar keras oleh kenyataan, rupanya lebih
"Kenapa Nana bermain sendiri, dimana Mama?" Setelah berhasil mengendalikan diri, Bram bertanya menyadari tidak melihat kehadiran Tiara di kamarnya. Namun, saat ekor matanya menangkap pintu balkon terbuka, Bram yakin jika istrinya itu ada di sana. 'Apa yang dia lakukan disana, sampai meninggalkan Nana sendirian,' batin Bram menahan geram.Penasaran dengan apa yang dilakukan Tiara, terlebih saat ia menajamkan pendengaran tidak sekalipun terdengar suara dari arah balkon, Bram membawa Nana untuk memastikan."Apa yang kalian bicara di sini, sampai membiarkan putriku sendirian di ranjang." Rahang Bram seketika mengeras mengetahui Tiara memilih bersama Sari, sementara putrinya yang baru saja sembuh dibiarkan bermain sendiri. Keterlaluan! Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Namun, pertanyaan yang sebelumnya sempat singgah di benak Bram, memudar seiring ia menyadari posisi kedua wanita itu yang tidak sama-sama duduk. Ekspresi keduanya pun sangat tegang, seolah Bram sudah memergoki mereka m
Hari-hari berjalan jauh dari ekspektasi Tiara. Kebersamaan yang sempat ia idam-idamkan bersama putrinya, ternyata tidak pernah bertahan lama. Waktu Nana lebih banyak dihabiskan dengan sang ayah. Bahkan, gilanya Bram sampai tak ragu meminta supir mengantar Nana ke kantor setelah pulang sekolah dan jika tidak ada lagi pelajaran tambahan.Bram benar-benar ingin menebus waktu lima tahunnya dulu, tanpa memperdulikan kehampaan yang setiap harinya Tiara rasakan.Keberadaan Tiara di hunian mewah Bram memang diketahui sebagai nyonya. Tapi, jauh dari itu, kehadirannya bagaikan makhluk tak kasat mata bagi pemilik rumah. Karena yang terjadi, meski mereka tinggal di rumah, juga kamar yang sama setelah Nana menempati kamarnya sendiri. Bram hanya akan berbicara seperlunya saja pada Tiara. Dan, yang lebih menyakitkan lagi, Bram seolah enggan menyentuh Tiara, walaupun terkadang wanita itu tak ragu mengenakan pakaian transparan saat berbaring menggoda di samping Bram. Apakah Bram telah kehilangan daha
Pagi itu, Bram yang tengah mengaitkan kancing kemeja di bagian lengan, langsung menoleh dengan kedua alis terangkat saat mendengar suara muntahan dari arah kamar mandi. Bram yakin itu suara Tiara, karena melalui kaca di depannya tadi ia bisa melihat istrinya itu terburu-buru memasuki kamar mandi. Awalnya Bram ingin tetap bersikap acuh, berpikir mungkin Tiara sedang kurang enak badan, atau yang lebih parahnya lagi istrinya itu sedang mencari perhatiannya karena putus asa selalu diabaikan. Namun, berjalan sepersekian menit, suara muntahan terdengar semakin keras, dan kering seolah tidak ada apapun yang melewati kerongkongan.Lama tercenung, akhirnya Bram memutuskan mendekat. Selain pendengarannya yang mulai terusik, rupanya hati kecil Bram memberi sinyal agar kakinya bergerak memasuki kamar mandi. "Ck, kalau sakit kenapa tidak istirahat saja," gerutunya. Alih-alih mengusap punggung Tiara atau membantu memegangi rambut wanita itu yang terurai ke depan. Bram hanya berdiri di ambng pintu d
"Kita mau kemana mas?"Sari duduk gelisah di samping kemudi, sejak meninggalkan kediaman Bram, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Thomas. Pria itu memilih bungkam dengan raut wajah sedingin puncak gunung Denali. Sari heran, pasalnya sejak hari itu Thomas selalu bertingkah dingin dan terkesan acuh padanya. Berbanding terbalik dari waktu sebelumnya. Walaupun sebelumnya Sari sempat kesal karena pria itu telah melihat lekuk tubuhnya, setidaknya selain Tiara, Thomas tuan rumah yang ramah padanya.Tapi kini, keadaan telah berubah. Hari itu satu bulan lalu, dengan raut marah Thomas memberinya beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Sari hanya anak angkat keluarga Subrata. Namun, untuk apa dan atas dasar apa pria itu menelusuri jati dirinya, belum Sari ketahui pasti. Sebab, Sari sendiri seolah mengingkari bahwa kedua orang tua yang selama ini begitu ia sayangi ternyata hanya orang tua angkat."Turun!" Sari terkesiap, selain suara lirih Thomas yang penuh ketegasan, dimana mobil pri
Tidak tahu harus bagaimana lagi Sari menyakinkan ketiga wanita itu, sementara dua diantara masih sibuk mempoles wajahnya. Entah akan seperti apa hasilnya nanti. Semua usaha semeyakinkan mungkin sudah gadis itu upayakan, bahwa dirinya tidak perlu melakukan persiapan apapun, cukup mengenakan seragam pelayan dan menguncir kuda rambutnya, maka semua akan beres. Tapi, nyatanya ketiga wanita itu tetap memaksa melakukan kehendak mereka, penolakan Sari tidak sekalipun digubris. "Apa perlu sedetail ini?" gerutunya semakin kesal saat bulu mata palsu yang memiliki jargon anti badai, tengah ditempelkan ke pangkal bulu matanya yang tak seberapa panjang, membuat kelopak matanya terasa lebih berat. "Dan ini, kenapa harus menggunakan benda gatal ini, apa kalian tidak melihat. Air mataku terus saja menetes sejak benda ini terpasang." Rasanya Sari tidak lagi bisa menahan diri, semua alat penunjang kecantikan itu membuatnya tidak nyaman."Maaf, nyonya. Karena bentuk mata anda sedikit sipit, kami terpak