Bangun lebih dulu, Tiara buru-buru mengecek suhu tubuh Nana, dan sejurus kemudian senyum lega-pun menghiasi wajahnya."Syukurlah, suhu tubuhnya sudah normal."Setelah itu, pandangan Tiara teralihkan ke samping kiri, dan mendapati Bram yang tengah terlelap dengan bersedekap dada. Melihat posisi tidur suaminya itu, Tiara beranggapan jika Bram tengah menahan hawa dingin yang dihasilkan oleh pendingin ruangan. Tiara-pun perlahan turun dari ranjang saat tahu hari sudah pagi, ia lalu menarik selimut agar bisa menutupi tubuh Bram. Setelah menegakkan tubuh, Tiara mengedarkan pandangan seraya bergumam, "Dimana kamar mandinya?"Merasa penasaran dengan satu-satunya pintu yang ada di dalam kamar itu, Tiara berjalan mendekat lalu memasukinya."Rupanya ini ruang ganti," ucapnya setelah tahu di dalam ruangan itu terdapat beberapa lemari berukuran besar, dan sedang. Tiara kembali mengedarkan pandangan, ia merasa begitu kagum akan banyaknya perlengkapan Bram yang tersimpan di ruangan itu. Mulai dar
"Mama .."Mendengar suara yang sangat dirindukan mamanggil pelan, Tiara yang sebelumnya hendak menyingkap hordeng, seketika menoleh."Iya sayang," jawabnya lembut."Mama," panggil Nana lagi masih dalam kurungan dekapan Bram."Mama kapan pulang, mama kemana, kenapa perginya lama sekali." Nana menangis seraya merentangkan kedua tangannya, menyambut pelukan sang ibu.Suara isakan Nana rupanya mengusik Bram hingga membangunkan pria itu. Karena khawatir sekaligus terkejut, Bram sontak berjingkat duduk dan hendak menenangkan Nana. Namun, saat tahu Tiara berjalan mendekat. Bram hanya bisa menghela nafas, lalu beringsut mundur dan memilih menyandarkan punggungnya untuk meredakan rasa nyeri di kepala karena terkejut bangun."Mama .. Nana kangen." Bocah itu semakin terisak dalam dekapan ibunya.Bram bergeming melihat pertemuan haru di dekatnya, ia memilih memijat keningnya untuk meredam rasa nyeri."Maafkan mama ya nak, sudah membuat Nana menunggu. Kemarin mama ada pekerjaan di tempat jauh, sa
Sari berpikir realistis, jika mobil sport yang tengah ia perhatikan itu, mungkin saja sangat mudah dimiliki oleh para orang-orang seperti Bram. Bukan hanya warna, bahkan bentuk yang sama-pun sudah hal yang biasa. Meskipun terselip keraguan di hati kecil Sari, saat menelisik dan memperhatikan plat nomor yang sama, besar kemungkinan itu memang mobil yang sama yang sering ia lihat di depan sekolah Nana."Sudahlah, mungkin hanya kebetulan saja," gumamnya memupus segala kemungkinan buruk yang coba mempengaruhi pikirannya. Sari memilih mendekati penjaga kebun. Tapi sialnya, setelah berada di jarak yang cukup dekat, Sari baru menyadari jika pagi itu bukan mang Asep yang bertugas. Entah ada berapa penjaga kebun di rumah itu, Sari juga tidak paham. Bukankah sultan bebas mau mempekerjakan siapa saja?"Maaf, dimana Mang Asep, kenapa saya tidak melihatnya," tanya Sari yang seketika membuat pria itu menegakkan tubuh dan menoleh ke arahnya."Pagi ini Mang Asep mendapat giliran libur nona, lusa
Tiara sarapan dengan tenang, setelah menyuapi dan memberi Nana obat. Kini dirinya ikut bergabung bersama Bram, Thomas juga Daniel di meja makan. Awalnya Tiara berniat menunggu para lelaki selesai lebih dulu, baru gantian dirinya. Namun, saat mengingat kewajibannya harus melayani Bram, akhirnya Tiara memutuskan turun setelah memanggil Sari untuk menemami Nana di kamar."Kak," panggilan Thomas memecah keheningan di meja makan.Bram yang sudah menyelesaikan sarapannya lebih dulu, menoleh sekilas ke arah Thomas, begitu mendengar panggilan adiknya itu. Ia lalu, beralih meraih segelas air putih, dan menenggaknya hingga menyisakan sedikit. "Kau ingin mengatakan sesuatu." Setelah meletakkan gelas, Bram bisa menangkap jika Thomas ingin mengatakan sesuatu padanya, namun terlihat ragu."Bicaralah," lanjut Bram seraya menumpukan kedua tangan di atas meja, setelah menggeser piring bekasnya sedikit menjauh. Sementara Tiara yang duduk di sisi kiri Bram, memilih diam menyimak."Izinkan aku mengurus
"Sar, bisa kita bicara sebentar?"Begitu masuk kamar dan mendapati Nana sudah mau bermain dengan boneka-bonekanya. Tiara mengajak Sari memasuki balkon kamar Bram."Ada apa mbak, sepertinya serius sekali?" tanya Sari ketika mereka sudah duduk di sofa panjang menghadap langit pagi menjelang siang. Lumayan terik, namun hal itu tak mempengaruhi Tiara---rasa ingin tahu lebih mendominasi dirinya."Sar, apa di keluarga mas Ziyan ada perempuan yang bernama Metha?" Tiara langsung bertanya pada intinya.Tidak terlalu dekat dengan keluarga mendiang Ziyan, membuat Tiara tentu saja penasaran dengan sosok yang baru saja ia tanyakan tadi. Pasalnya Bram dan yang lain selalu mengaitkan nama perempuan itu dengan keluarga Hutoyo. Nama besar mantan mertuanya yang sayangnya enggan mengakui dirinya sebagai menantu hingga sekarang.Namun terlepas dari itu, Tiara tetap menghormati pria paruh baya itu meski enam tahun lalu terang-terangan menolak dirinya sebagai menantu."Sebenarnya mas Ziyan memiliki adik pe
Tiara terjingkat bangun begitu kehangatan sinar matahari pagi menerpa langsung kulit wajahnya. Ia yang sudah terduduk memperhatikan sekitar seperti mengkhawatirkan sesuatu, dan sejurus kemudian helaan nafas panjang menyiratkan kelegaan keluar dari mulutnya."Syukurlah .. tempat ini masih sepi, sekarang aku harus segera pergi sejauh mungkin agar siapapun tidak ada yang berhasil menemukanku."Beranjak berdiri, tangan Tiara terulur menarik koper yang ada di sampingnya, dan bergegas meninggalkan halte meski tak memiliki tujuan pasti. Tekad Tiara hanya pergi, pergi kemana saja yang penting tidak ada satu orang-pun dari masa lalunya yang bisa menemukan keberadaannya kelak. Keputusan besar sudah Tiara ambil, merelakan cinta pertamanya untuk Mawar-sang kakak tiri. Egois memang, namun keadaan yang semakin tersudut membuat Tiara tak berdaya untuk memperjuangkan cintanya."Huh! tenang Tiara, tenangkan dirinya dan yakinkan pilihanmu akan mengambil jalur yang mana," ucapnya. Berdiri di antara dua
"Istirahatlah, jangan khawatirkan apapun lagi, tempat ini sudah sesuai seperti yang kamu inginkan. Dan, aku yakin tidak ada siapapun yang bisa menemukanmu disini." Tiara sedikit melongokan kepala guna memastikan keadaan di dalam rumah yang pintunya baru saja Ziyan buka.'Rumah siapa ini?' batin Tiara. Ia sampai maju dua langkah untuk melihat lebih dekat kondisi di dalam rumah yang sepertinya tidak berpenghuni."Ini rumah peninggalan nenekku, rumah ini dibiarkan kosong setelah nenek meninggal. Aku hanya menyewa jasa tetangga untuk merawatnya," tutur Ziyan seolah mengerti apa yang ada di benak Tiara."Masuklah, walaupun rumah ini kosong tapi aku pastikan tempatnya bersih.""I-iya," gugup Tiara merasa tidak enak hati saat keraguannya diketahui Ziyan.Setidaknya, sekarang Tiara sedikit merasa lega setelah menceritakan semuanya pada Ziyan, hingga alasannya memilih pergi. Dan, mujurnya pria itu bisa memahami situasi yang sedang Tiara hadapi. Cinta sepihak Mawar benar-benar telah merugikan di
Larut dalam pikirannya sendiri, Tiara masih tak percaya begitu saja jika dirinya tengah hamil? ingatannya sontak kembali pada kejadian dua bulan lalu, ketika ia tidak bisa mengendalikan diri dan justru ikut terlena dengan sentuhan-sentuhan candu Bram yang jelas-jelas dalam pengaruh alkohol.Seharusnya Tiara yang lebih sadar bisa menahan diri, sehingga hal itu tidak sampai terjadi. Bahkan, pernyataan Bram yang ingin menjaga kesucian cinta mereka saja masih tertahan di benaknya. Tapi kenapa, di saat pria itu dalam keadaan setelah sadar, Tiara justru terlena hingga lupa diri.'Jadi aku mengandung benih Bram? kenapa hal ini tidak terprediksi olehku sebelumnya. Pantas saja aku belum mendapatkan tamu bulanan di bulan ini. Dan sekarang, aku harus mengandung anaknya setelah melarikan diri darinya. Ya tuhan, sekarang aku harus bagaimana? kembali pada Bram sesuatu yang tidak mungkin aku lakukan, tapi jika aku tetap seperti ini, itu artinya aku harus membesarkan anak ini tanpa figur ayah. Kenapa