"Apa aku terlihat seperti itu!" sentak Thomas yang langsung terjingkat bangun dan melempar tatapan tajam pada pria yang duduk tenang di depannya.Daniel menyeringai."Tidak, hanya saja–" ucapnya sengaja menggantung, untuk mancing reaksi Thomas. Dan, benar saja pria itu seketika menggeram kesal karena ulahnya."Hanya apa! bicaralah yang benar, jangan setengah-setengah, atau kau bisa membuat orang lain salah paham!"Selain menjawab ketus, Thomas juga melempar tatapan sinis pada Daniel yang justru menahan senyum, merasa usahanya membuahkan hasil.'Cih, ternyata kau masih saja labil,' batin Daniel."Kau sengaja menggodaku?" tanya Thomas penuh selidik."Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Tadi, aku melihat ada yang tak biasa pada dirimu. Saat kau melihat Tiara, tatapanmu itu, yah .. sangat sulit aku artikan. Aku hanya berharap kau masih bisa menahan diri melihat istri dari kakakmu sendiri. Tapi, sudahlah, mungkin aku saja yang terlalu berlebihan." Mengabaikan reaksi Thomas yang me
Bangun lebih dulu, Tiara buru-buru mengecek suhu tubuh Nana, dan sejurus kemudian senyum lega-pun menghiasi wajahnya."Syukurlah, suhu tubuhnya sudah normal."Setelah itu, pandangan Tiara teralihkan ke samping kiri, dan mendapati Bram yang tengah terlelap dengan bersedekap dada. Melihat posisi tidur suaminya itu, Tiara beranggapan jika Bram tengah menahan hawa dingin yang dihasilkan oleh pendingin ruangan. Tiara-pun perlahan turun dari ranjang saat tahu hari sudah pagi, ia lalu menarik selimut agar bisa menutupi tubuh Bram. Setelah menegakkan tubuh, Tiara mengedarkan pandangan seraya bergumam, "Dimana kamar mandinya?"Merasa penasaran dengan satu-satunya pintu yang ada di dalam kamar itu, Tiara berjalan mendekat lalu memasukinya."Rupanya ini ruang ganti," ucapnya setelah tahu di dalam ruangan itu terdapat beberapa lemari berukuran besar, dan sedang. Tiara kembali mengedarkan pandangan, ia merasa begitu kagum akan banyaknya perlengkapan Bram yang tersimpan di ruangan itu. Mulai dar
"Mama .."Mendengar suara yang sangat dirindukan mamanggil pelan, Tiara yang sebelumnya hendak menyingkap hordeng, seketika menoleh."Iya sayang," jawabnya lembut."Mama," panggil Nana lagi masih dalam kurungan dekapan Bram."Mama kapan pulang, mama kemana, kenapa perginya lama sekali." Nana menangis seraya merentangkan kedua tangannya, menyambut pelukan sang ibu.Suara isakan Nana rupanya mengusik Bram hingga membangunkan pria itu. Karena khawatir sekaligus terkejut, Bram sontak berjingkat duduk dan hendak menenangkan Nana. Namun, saat tahu Tiara berjalan mendekat. Bram hanya bisa menghela nafas, lalu beringsut mundur dan memilih menyandarkan punggungnya untuk meredakan rasa nyeri di kepala karena terkejut bangun."Mama .. Nana kangen." Bocah itu semakin terisak dalam dekapan ibunya.Bram bergeming melihat pertemuan haru di dekatnya, ia memilih memijat keningnya untuk meredam rasa nyeri."Maafkan mama ya nak, sudah membuat Nana menunggu. Kemarin mama ada pekerjaan di tempat jauh, sa
Sari berpikir realistis, jika mobil sport yang tengah ia perhatikan itu, mungkin saja sangat mudah dimiliki oleh para orang-orang seperti Bram. Bukan hanya warna, bahkan bentuk yang sama-pun sudah hal yang biasa. Meskipun terselip keraguan di hati kecil Sari, saat menelisik dan memperhatikan plat nomor yang sama, besar kemungkinan itu memang mobil yang sama yang sering ia lihat di depan sekolah Nana."Sudahlah, mungkin hanya kebetulan saja," gumamnya memupus segala kemungkinan buruk yang coba mempengaruhi pikirannya. Sari memilih mendekati penjaga kebun. Tapi sialnya, setelah berada di jarak yang cukup dekat, Sari baru menyadari jika pagi itu bukan mang Asep yang bertugas. Entah ada berapa penjaga kebun di rumah itu, Sari juga tidak paham. Bukankah sultan bebas mau mempekerjakan siapa saja?"Maaf, dimana Mang Asep, kenapa saya tidak melihatnya," tanya Sari yang seketika membuat pria itu menegakkan tubuh dan menoleh ke arahnya."Pagi ini Mang Asep mendapat giliran libur nona, lusa
Tiara sarapan dengan tenang, setelah menyuapi dan memberi Nana obat. Kini dirinya ikut bergabung bersama Bram, Thomas juga Daniel di meja makan. Awalnya Tiara berniat menunggu para lelaki selesai lebih dulu, baru gantian dirinya. Namun, saat mengingat kewajibannya harus melayani Bram, akhirnya Tiara memutuskan turun setelah memanggil Sari untuk menemami Nana di kamar."Kak," panggilan Thomas memecah keheningan di meja makan.Bram yang sudah menyelesaikan sarapannya lebih dulu, menoleh sekilas ke arah Thomas, begitu mendengar panggilan adiknya itu. Ia lalu, beralih meraih segelas air putih, dan menenggaknya hingga menyisakan sedikit. "Kau ingin mengatakan sesuatu." Setelah meletakkan gelas, Bram bisa menangkap jika Thomas ingin mengatakan sesuatu padanya, namun terlihat ragu."Bicaralah," lanjut Bram seraya menumpukan kedua tangan di atas meja, setelah menggeser piring bekasnya sedikit menjauh. Sementara Tiara yang duduk di sisi kiri Bram, memilih diam menyimak."Izinkan aku mengurus
"Sar, bisa kita bicara sebentar?"Begitu masuk kamar dan mendapati Nana sudah mau bermain dengan boneka-bonekanya. Tiara mengajak Sari memasuki balkon kamar Bram."Ada apa mbak, sepertinya serius sekali?" tanya Sari ketika mereka sudah duduk di sofa panjang menghadap langit pagi menjelang siang. Lumayan terik, namun hal itu tak mempengaruhi Tiara---rasa ingin tahu lebih mendominasi dirinya."Sar, apa di keluarga mas Ziyan ada perempuan yang bernama Metha?" Tiara langsung bertanya pada intinya.Tidak terlalu dekat dengan keluarga mendiang Ziyan, membuat Tiara tentu saja penasaran dengan sosok yang baru saja ia tanyakan tadi. Pasalnya Bram dan yang lain selalu mengaitkan nama perempuan itu dengan keluarga Hutoyo. Nama besar mantan mertuanya yang sayangnya enggan mengakui dirinya sebagai menantu hingga sekarang.Namun terlepas dari itu, Tiara tetap menghormati pria paruh baya itu meski enam tahun lalu terang-terangan menolak dirinya sebagai menantu."Sebenarnya mas Ziyan memiliki adik pe
Tiara terjingkat bangun begitu kehangatan sinar matahari pagi menerpa langsung kulit wajahnya. Ia yang sudah terduduk memperhatikan sekitar seperti mengkhawatirkan sesuatu, dan sejurus kemudian helaan nafas panjang menyiratkan kelegaan keluar dari mulutnya."Syukurlah .. tempat ini masih sepi, sekarang aku harus segera pergi sejauh mungkin agar siapapun tidak ada yang berhasil menemukanku."Beranjak berdiri, tangan Tiara terulur menarik koper yang ada di sampingnya, dan bergegas meninggalkan halte meski tak memiliki tujuan pasti. Tekad Tiara hanya pergi, pergi kemana saja yang penting tidak ada satu orang-pun dari masa lalunya yang bisa menemukan keberadaannya kelak. Keputusan besar sudah Tiara ambil, merelakan cinta pertamanya untuk Mawar-sang kakak tiri. Egois memang, namun keadaan yang semakin tersudut membuat Tiara tak berdaya untuk memperjuangkan cintanya."Huh! tenang Tiara, tenangkan dirinya dan yakinkan pilihanmu akan mengambil jalur yang mana," ucapnya. Berdiri di antara dua
"Istirahatlah, jangan khawatirkan apapun lagi, tempat ini sudah sesuai seperti yang kamu inginkan. Dan, aku yakin tidak ada siapapun yang bisa menemukanmu disini." Tiara sedikit melongokan kepala guna memastikan keadaan di dalam rumah yang pintunya baru saja Ziyan buka.'Rumah siapa ini?' batin Tiara. Ia sampai maju dua langkah untuk melihat lebih dekat kondisi di dalam rumah yang sepertinya tidak berpenghuni."Ini rumah peninggalan nenekku, rumah ini dibiarkan kosong setelah nenek meninggal. Aku hanya menyewa jasa tetangga untuk merawatnya," tutur Ziyan seolah mengerti apa yang ada di benak Tiara."Masuklah, walaupun rumah ini kosong tapi aku pastikan tempatnya bersih.""I-iya," gugup Tiara merasa tidak enak hati saat keraguannya diketahui Ziyan.Setidaknya, sekarang Tiara sedikit merasa lega setelah menceritakan semuanya pada Ziyan, hingga alasannya memilih pergi. Dan, mujurnya pria itu bisa memahami situasi yang sedang Tiara hadapi. Cinta sepihak Mawar benar-benar telah merugikan di
Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar
"Siapkan diri kalian. Kita akan turun dan menghadapi mereka. Thom, buka peti di sebelahmu, itu senjata untuk kalian." Thomas yang baru melepas seat belt melirik sekilas kakaknya yang duduk di kursi belakang lewat kaca depannya. Tidak ingin membuang waktu, ia pun segera menuruti permintaan Aaron, membuka peti dan mengambil dua senjata untuknya juga Bram."Kau tahu kan bagaimana cara mengisi amunisinya?""Iya Kak, akan aku lakukan sekarang.""Bagus."Sementara Thomas sibuk mengisi amunisi di kedua pistol, Bram dan Aaron memperhatikan sekitar."Di gudang itulah markas mereka." Jari telunjuk Aaron mengacung pada satu-satunya bangunan di depan sana---masih harus berjalan puluhan meter dari tempat mobilnya berhenti. "Kali ini kalian harus mempertajam insting kalian, musuh bisa saja muncul dari tempat yang tidak kita ketahui."Sembari menerima pistol yang sudah siap dan diarahkan kepadanya, Bram berucap, "sebaiknya kita masuk dari arah yang berbeda.""Kau benar. Posisi kita sekarang ada di b
"Mereka memang menargetkan para wanita, karena tahu kau dan Thomas bisa beladiri.""Memangnya siapa mereka? Aku yakin bukan sesama bisnis sepertiku," ujar Bram penasaran."Kau benar. Mereka dari dunia bawah, sama seperti kelompokku. Hanya saja mereka tidak mengetahui jika kita berhubungan dekat. Untuk itu berani berbuat sejauh ini padamu. Karena menganggap kau dengan mudah mereka kendalikan.""Jadi kau sebenarnya sudah mengetahui mereka mengincar keluargaku?"Kini kelima pria tengah berunding di ruang tamu. Rupanya Aaron tidak datang sendiri, melainkan bersama orang kepercayaannya di dunia bawah. Setelah duduk, Pria bule itu langsung mengutarakan tujuan kedatangannya untuk membantu Bram, menemukan anak, istri juga adik iparnya yang diculik anak buah Brandon."Untuk itu aku menawarkan beberapa anak buahku padamu, karena aku tahu siapa musuhmu yang sebenarnya." Belum sempat Bram kembali membuka mulut, Aaron lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Jangan kau anggap aku tidak tahu, siapa yang
Bram akhirnya bisa tenang menyadari semua pengawalnya memang hanya berbekal tangan kosong. Berbeda dengan komplotan penyelundup yang berhasil membawa anak, istri juga adik iparnya yang diketahui semua bersenjata."Aku juga khawatir dengan keadaan Sari, Kak. Tapi kita harus berpikir jernih agar bisa menyelamatkan mereka. Ingat, jangan gegabah. Musuh bukan dari kalangan pebisnis seperti kita. Dilihat dari cara mereka menyerang, sepertinya mereka memang ahli di bidangnya."Tubuh Bram mulai melemah, benar apa yang Thomas katakan. Ia yakin, musuh mereka bukan warga sipil, maupun penegak hukum yang bisa bersikap lebih manusiawi pada korban yang mereka sandra. Melainkan komplotan yang memang sudah terbiasa berkecimpung di dunia bawah. Lantas, apakah mereka juga komplotan mafia?"Benar Tuan, jika dilihat dari cara mereka yang arogan. Saya yakin kita tidak akan menang melawan mereka, tanpa bantuan Tuan Aaron," sambung Nick.Bram semakin tercenung, benaknya seketika tertuju pada wanita-wanita te