“Hm... Rasa baksonya enak. Kenyal berurat. Aku suka banget,” ungkap Lusi menikmati bakso.
“Beneran enak? Wah, kukira cuma aku saja yang merasakannya. Habisnya kalau makan bakso, aku gak pernah ke tempat lain. Selalu di sini,” jawab Putri senang.Pandangan Lusi beralih kepada Alex yang hanya melihat bakso di dalam mangkuk.“Incip dulu, nanti kalau kamu gak suka, biar aku yang habisin,” ujar Lusi pada Alex.“Masalahnya aku sedang diet makan daging dan tepung,” jawab Alex meraih garpu dan sendok di depannya.“Dietnya ditunda dulu. Lagian, ngapain sih kamu diet segala? Setiap hari 'kan berolahraga,” pungkas Lusi.“Benar banget kata, Mbak Lusi. Mumpung di sini, jangan diet. Nanti saja dietnya,” sambung Putri.Akhirnya Alex menggagalkan program dienya, demi menghargai Lusi dan Putri.“Itu satpam yang ngikutin kamu gak ikut makan?” tanya Lusi pada Putri.“Tadi sudah aku ajak. Tapi orangnya gakAdelia menarik pisaunya yang sempat menusuk perut Miky. Miky terjatuh di atas lantai marmer. Adelia tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia berlari kencang sebelum Miky menahannya lagi. Semua orang berteriak panik saat melihat Adelia menyerang para pegawai kantor tanpa pandang bulu. Cipratan darah mulai menghiasi furniture di dalam ruangan. Entah sudah berapa orang yang terluka akibat perbuatan Adelia. Adelia kesal saat menyadari jika peluru di dalam pistol telah habis. Padahal dia ingin menggunakan pistol untuk menembak kepala Mark.***Mina yang baru keluar lift dari lantai paling atas gedung. Sangat terkejut melihat kondisi di lantai utama kantor yang sudah dalam kondisi keos. Aroma Anyir menyeruak ke penjuru ruangan, hingga membuat Mina ingin muntah.Mina menghubungi polisi agar segera datang. Mungkin kantornya didatangi oleh sekelompok teroris atau semacamnya. Mina sangat bingung dengan apa yang terjadi. Seharian dia hanya berada di lantai paling atas gedung, untuk memeriksa berba
Baru satu hari ditahan, Adelia sudah melukai teman satu selnya. Hal tersebut sempat membuat kegaduhan. Berujung dengan pemindahan Adelia dari rutan ke rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa pun, Adelia terus memberontak, seperti orang kesetanan. Dia juga sering menyebut nama jin yang selalu mengusik dirinya. “Jika kondisi Nyonya Adelia seperti ini terus. Kemungkinan tindakan hukum tidak bisa berlanjut,” tandas seorang polisi kepada Mark. “Aku ingin melihat data mengenai kondisi mental Adelia. Apakah sudah diperiksa? Dia melenyapkan lima nyawa pegawai yang bekerja di kantorku. Kamu pikir keluarga para korban akan menerima keputusan polisi? Adelia harus dihukum sesuai dengan perbuatannya.” Nyali polisi tersebut menciut mendengar nada tegas Mark. “Kondisi mental apanya? Adelia manusia normal tanpa kecacatan mental. Laporkan seperti itu, dan segera tarik Adelia keluar dari rumah sakit jiwa,” perintah Mark penuh penekanan. “Tapi, Tuan Mark. Kesehatan mental Adelia memang terganggu,” sa
Hari ini kasus Adelia disidangkan. Sidang sengaja dibuka untuk publik, agar masyarakat makin bebas berkomentar.Mark dan Lusi tidak menghadiri persidangan dengan alasan kondisi kesehatan yang belum pulih. Baru saja Adelia duduk di kursi terdakwa. Suara sorakan dari beberapa wartawan menyambut kedatangan wanita itu. Sang hakim meminta wartawan untuk tenang. Dia ingin persidangan segera dilaksanakan. “Mbak Adelia, kamu kok tega banget membunuh ayah kandungmu sendiri! Kenapa kamu melakukan itu, Mbak?” tanya Putri yang tidak bisa membendung rasa sesak di dadanya. “Shut the fuck off! Kamu hanya wanita benalu!” bentak Adelia tidak senang mendengar suara Putri. “Astagfirullah, Mbak Adelia!” balas Putri menangis sedih. “Nyonya Putri, sekarang anda harus tetap tenang. Nanti ada giliran untuk berbicara. Harap kuatkan dirimu,” tegur Hakim dengan suara lembut. “Dasar wanita benalu tidak tahu diri,” ge
Mina menoleh ke sumber suara. Senyuman manis terpantri di wajahnya yang elok, begitu melihat sosok pria yang selama ini dia cintai. “Nanda? Kamu ikut aku masuk? Kirain kamu bakal nungguin aku di luar saja,” kata Mina menghampiri pria yang diketahui bernama Nanda itu. Nanda merupakan tunangan sekaligus calon suami Mina. Mereka telah lama menjalin hubungan. Nanda sendiri merupakan seorang CEO di departemen kesehatan milik keluarganya. Mereka berdua bertemu di rumah sakit waktu Mina menemani Smith berobat rutin. Dari sana, timbullah rasa suka karena sering berkomunikasi. “Kupikir kamu takut masuk ke tempat di mana pernah terjadi pembantaian,” tutur Mina berdiri tepat di hadapan Nanda. “Iya, aku memang takut. Tapi, rasa khawatirku kepadamu jauh lebih besar, ketimbang rasa takutku,” kata Nanda mengelus dagu Mina. Mina selalu senang dengan sikap manis Nanda terhadapnya. “Kamu bisa saja, jangan gombalin aku terus,” balas Mina tersipu malu. “Ayo kita pergi ke gedung yang akan menjadi
“Boleh saja kalau kamu mau membawa Adelia pergi. Tapi ada syaratnya,” ucap Mark tersenyum tipis. “Syarat apa? Kematian palsu untuk Adelia? Tenang, memalsukan sesuatu adalah keahlianku,” jawab Felix santai. “Kamu memang harus memalsukan kematian Adelia. Namun, bukan itu yang aku maksud.” Felix memiringkan kepala tanda tidak mengerti dengan arah pembicaraan Mark. “Kenapa kamu tidak bicara terus terang saja? Jangan bermain jinak-jinak merpati denganku. Aku bukan kekasihmu,” protes Felix. Mark tertawa geli mendengar perkataan Felix. “Jika kamu ingin membawa Adelia pergi. Kamu harus menemui Lusi, dan menginap beberapa hari di rumah kami. Bertingkahlah seolah-olah kamu kembali.” “Itu saja?” tanya Felix. Mark mengangguk sebagai jawaban. “Astaga, aku pikir syarat apa? Ternyata hanya itu.” “Kalau hanya itu, kenapa kamu tidak kembali? Bukankah kamu sudah janji kepada Lusi untuk kembali setelah mengurus para mafia di Mexico?” pungkas Mark sedikit mengintimidasi Felix. Dengan menghembus
“Mas Nanda ada-ada saja,” timpal Lusi tertawa kecil. “Boleh saja, siapa takut? Ayo kita buktikan, siapa di antara kita yang paling jago,” sahut Mark setuju dengan ajakan Nanda. “Astaga, Tuan Mark. Suamiku hanya bercanda saja. Tidak perlu di seriusin,” sela Mina tidak enak dengan Mark. “Aku sedang tidak bercanda, Mina,” sangkal Nanda. “Hanya sedang bergurau saja,” tambahnya cepat diselingi suara tawa kecil. “Kirain benaran.” Mina merasa lega. “Kuharap, Tuan Mark tidak tersinggung dengan candaanku,” ujar Nanda masih tertawa kecil. “Santai saja, aku bukan tipe orang yang mudah tersinggung,” jawab Mark tetap tenang. “Syukurlah, ternyata kamu tidak sedingin gosip yang beredar,” ungkap Nanda. “Aku merasa sangat beruntung, bisa mengobrol santai bersama seorang pria yang memiliki kualitas hidup tinggi,” pujinya seolah tidak percaya bisa duduk sedekat ini dengan Mark. “Jangan percaya gosip, sebelum kamu bertemu dengan orangnya secara langsung,” timpal Mark. “Boss Mark memang dingin ban
“Makan malam bersama? Bukankah itu sudah keluar dari konteks?” tanya Mark berusaha sebisa mungkin untuk tidak kasar. Reina tertawa cukup keras. “Kamu kaku banget sih? Emangnya gak bosan? Rapat di kantor terus? Sekali-kali sambil makan malam ‘kan bisa,” dalih Reina. “Kita bisa melakukan itu di rapat selanjutnya. Sekarang mari kita fokus membahas produk yang akan kita kembangkan bersama,” pungkas Mark menarik tangan Reina agar tidak meyentuh pahanya lagi. Dengan wajah cemberut, akhirnya Reina memilih mengalah, dan kembali duduk di kursinya. “Gak asyik ah,” ujar Reina. “Maaf jika aku tidak asyik,” sahut Mark tersenyum tipis. Reina terpesona melihat senyuman manis Mark. Dirinya mengurungkan niatnya yang ingin merajuk. “Sebelum membahas produk. Mengapa kita tidak membicarakan mengenai kontrak kerja sama kita? Toh, kamu belum menandatangani kontrak,” pungkas Reina mengingatkan Mark. Mark tersenyum miring. “Karena melihat tingkahmu barusan, aku jadi gugup,” kata Mark. “Aku membuatmu
Reina sedang asyik mengulik informasi mengenai Mark. Namun hasilnya tidak terlalu memuaskan. Dia hanya mendapat informasi nama dan tanggal lahir Mark, serta di perusahaan mana Mark bekerja. “Kirain Mark orang terkenal, atau hebat. Ternyata cuma seorang Presdir Liba Company,” cemooh Reina. “Cuma? Kamu pikir jabatan Presdir mudah diraih oleh sembarangan orang?” cetus Madona tidak terima bila ada orang yang meremehkan Mark. “Presdir itu di atasnya CEO ‘kan?” tanya Reina. “Lah? Aku saja yang lulusan SMA bisa menjadi CEO Plus Industri,” tambahnya. “Kamu kok menyamakan hidupmu dengan hidup Mark?” “Iya ‘kan sama-sama pemimpin perusahaan. Bedanya, Mark jauh lebih tua dua puluh tahun dariku,” tandas Reina kekeh dengan pemikirannya. Madona menggelengkan kepala, terheran dengan Reina. “Kayaknya kamu harus mempelajari struktur perusahaan.” “Untuk apa? Nyonya Maria saja tidak pernah memintaku untuk belajar. Aku hanya disuruh duduk manis sebagai CEO. Iya aku mau saja. Toh aku gak perlu susah