"Vallent, apa kau ada hubungan spesial dengan salah satu menantuku?"
Bola mata Liam membesar dalam sekejap. Dari mana pamannya tahu nama penanya? Lalu apa maksud hubungan spesial dengan salah satu menantunya?"Kau membuat cerita stensilan di platform penulis." Nicholas berdecak meremehkan,"Vallent, si raja erotika. Begitukah julukanmu?"Jujur. Liam cemas sekarang. Bola matanya bergerak gelisah. Sial, mengapa ada orang di real lifenya yang sampai tahu mengenai identitas Vallent?Demi Tuhan, Liam tidak ingin soal Vallent diketahui!Vallent adalah kepribadiannya yang menjadi pelariannya untuk healing dari segala carut-marut kenyataan yang harus ia hadapi."Sadarlah, Liam! Kau punya nama dan tanggung jawab untuk menjaga reputasi. Jangan hanya menumpahkan segalanya pada Bian. Kau harusnya banyak bersyukur sudah ditempatkan di posisi paling bagus di sini. Tak peduli seberapa cemerlang kinerjamu, bila ditemukan sesuatu yang memalukaKalista baru pulang sore itu. Ia berpapasan dengan Jihan yang sepertinya sengaja menantinya. Ralat, mungkin menunggu Bian. Namun Bian sengaja mendahulukan Kalista pulang lebih dahulu. Selain karena Kalista yang lelah, juga untuk menjaga perasaan Jihan. "Kal, aku bisa minta waktunya?" Sekarang mereka sudah ada di ruang tengah. Duduk berhadapan terhalang meja. Bahkan Kalista merasa asing untuk duduk di samping Jihan seperti dulu. "Bagaimana kondisimu dan Mochi?" tanya Kalista mengawali basa-basinya. "Sudah jauh lebih sehat. Rasanya tak sabar merasakan Mochi menendang."Kalista menyunggingkan senyum tipis. Jihan mengelus perutnya yang masih rata dengan penuh kasih sayang. Wajah sumringahnya tidak bisa dipungkiri adalah pancaran kebahagiaannya saat ini. "Oh iya, Kal. Aku ingin meluruskan perihal pembicaraan Siska kemarin."Meski Kalista sudah mendengarnya dari Bian. Kalista tetap memberi kesempatan pada Jihan untuk meng
Kalista baru selesai mandi dan mengenakan gaun tidurnya ketika terdengar ketukan di pintu kamar. Kalista sedikit penasaran siapa yang mengetuk seraya melangkah menuju pintu. Biasanya Bian, tapi seminggu ini Bian tidak pernah lagi mendatangi kamarnya. Mungkin salah satu pelayan, pikir Kalista.Namun ketika Kalista sudah membuka pintu kamarnya, Bian berdiri di sana dengan senyuman menawan seperti biasa. "Belum tidur, kan? Baru mandi, ya? Soalnya wangi."Baru saja Kalista ingin menyahut, Jihan tiba-tiba muncul. Kalista tampaknya tidak melihat keberadaan Jihan di balik dinding, karena tertutup bahu lebar Bian. Jihan tersenyum lembut kala itu. Sepertinya dia berubah menjadi Jihan si malaikat lagi, pikir Kalista. "Kal, kita tidur bersama, yuk! Bagaimana? Tiba-tiba aku mengidam tidur bertiga."Buset! Bertiga? Tidur bertiga? Maksudnya tidur satu ranjang dengan Bian dan Jihan? Astaga! Apa-apaan ini?! "Hei, Kal! Mengapa wajahnya bengong
"Bi, hari ini aku boleh meminta izin keluar sebentar mengunjungi makamnya Vano?" tanya Kalista pada Bian yang sedang menyetir dengan satu tangan. Satu tangannya menggenggam erat jemari Kalista. "Tentu boleh, Sayang. Apa aku boleh ikut?""Hah?! Untuk apa, Bi?""Aku suamimu, bukan? Jadi aku ini ayah tirinya Vano. Vano belum pernah melihat ayah tirinya yang gagah mempesona ini. Jadi aku harus menemuinya."Kalista berlagak kesal mendengar kenarsisan Bian. Namun tak dapat dipungkiri bila Kalista merasa terharu, karena Bian malah ingin ikut ke makam Vano.Jam lima sore, mereka berdua sudah tiba di komplek pemakaman khas perkampungan. Bian sedikit kesusahan mencari jalan akibat jejeran makam yang tidak disusun rapi. Kalista sudah melangkah lebih jauh darinya dan memilih berhenti untuk menunggu Bian."Apa masih jauh, Sayang?" "Dekat, kok."Setelah melangkah sekitar lima meter, Kalista dan Bian terdiam sejenak saat men
"Kita ke apartemen barumu. Mau? Aku saja yang pulang. Kau bisa beralasan menginap di mana nanti."Kalista mendesah pasrah. Begitu lagi triknya. Namun sepertinya kali ini Jihan tidak terlalu peduli lagi, mau dirinya pulang atau tidak. Jadi Kalista pun menyetujui usulan Bian. "Aku di belakang sini saja. Masih capek."Bian sudah siap dibalik setir, menjalankan mobil dan menuju apartemen baru yang ia beli khusus untuk Kalista. "Aku sudah mengisi kulkasmu. Jadi kau bisa memasak atau kalau kau ingin delivery juga bebas. Katakan saja padaku. Aku akan memesankannya untukmu. Bila ada sesuatu yang kau butuhkan, kau bisa memberitahuku juga."Mendengar kata memasak, mengingatkan Kalista akan bekal makan siang yang ia buatkan untuk Bian. Saking tidak inginnya, ia kecewa, Kalista sampai melipir dengan cepat keluar kantor untuk mencari makan siang daripada melihat Bian kecewa ketika membuka kotak bekal darinya. "Ngomong-ngomong, terima kasih
("Sayang, aku tidak jadi naik lagi ke unitmu tadi untuk mengantar kotak bekal. Soalnya Jihan mengaku pusing. Jadi aku langsung pulang.")Kalista membaca chat dari Bian dengan perasaan lega. Nyaris saja jantungnya serasa mau copot, karena ketika insiden tiba-tiba saja Nevan menciumnya, Kalista khawatir kalau Bian akan memergoki mereka. Kalista tidak ingin Bian salah paham. Kalista mengusap kasar bibirnya sejak tadi. Nevan memang kurang ajar. Entah dorongan dari mana yang membuat Nevan nekat melakukan hal demikian. Dan bodohnya lagi, malah Kalista diam saja saat dicium. Bukan hanya diam saja. Kalista juga ujung-ujungnya menikmati dan saling melumat sampai bertukar saliva. Bahkan Ketika Nevan mendorongnya masuk ke apartemen dan berakhir Kalista yang ditindih Nevan. Kalista sadar bila itu keliru. Namun usaha mendorong Nevan tampak sia-sia. Bahkan Nevan sudah melepas paksa kemeja Kalista. Namun hasrat Nevan yang menggebu sirna dalam jentikan jari akibat tanda cinta Bian yang menghiasi k
("Bi, kok tidak bilang kalau pergi dengan Jihan?")("Bi, setidaknya jujur. Jangan membuatku cemas seperti tadi. Aku pikir terjadi sesuatu.")("Aku ingin marah saja tidak bisa, karena wajar kau memprioritaskan Jihan, tapi setidaknya kau bicara dulu, Bi. Bukan malah begini.")Bukan sesak dan sedih lagi rasanya. Kalista bahkan tidak bisa menangis saking shocknya dengan apa yang dilakukan Bian. Apa niat Bian melakukan itu semua terhadapnya? Mengapa Bian setega itu padanya? Apakah Jihan tiba-tiba merengek ingin pergi bersama Bian ketika melihat Bian berpakaian rapi? Jika memang begitu, paling tidak Bian mengabarinya sebentar. Masa mengetik pesan saja sebentar tidak sempat? Bahkan Kalista tidak bisa mengamuk, meski hatinya sakit dan marah besar. Kalista merasa tidak berhak untuk protes, karena sadar posisinya hanya yang kedua. Sudah pasti Bian mengutamakan Jihan dalam segala hal. Namun, rasanya tetap saja sesak tak terkira
"Kok bawa koper, Kal? Kau kabur atau apa?" Melisa panik melihat putrinya datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dengan menggeret koper dan langsung menuju kamarnya dulu sebelum menikah dengan Bian. "Kal, jawab ibu. Ada sesuatu yang terjadi? Kau diusir? Jangan menakut-nakuti ibu, Nak."Kalista menghembuskan napas lelah dan meminta izin pada ibunya untuk mandi dulu. Namun Melisa terkesan memaksa Kalista untuk menjawab rasa penasarannya. "Kau diusir atau apa, Kal? Kabur? Jawab, Kal. Jangan membuat ibu mati penasaran," ujar Melisa mulai berlebihan merespon. "Tidak dua-duanya. Aku akan di sini sementara waktu. Bian dan Jihan sedang di Bali.""Kau tak diajak? Ih, kok tega?! Katanya kalian sahabat. Kenapa Jihan tidak mengajakmu? Mereka cuma pergi berdua?" tanya Melisa begitu heboh. "Mereka babymoon. Jadi untuk apa aku ikut, Bu?" Kalista sudah bersiap untuk mandi dari tadi malah harus meladeni sang ibu. "Ya ti
Kalista bertemu tatap dengan Jihan dan Bian. Kalista segera membawa Likha untuk bergegas pergi dari sana. Bian ingin mengejar Kalista, tapi Jihan menahannya. Likha dan Kalista sudah berada di dalam taksi, menuju pulang ke rumah. "Eh, kak. Tadi aku berpapasan dengan Kak Jihan dan suaminya yang gantengnya membuat jiwa raga luluh lantak itu. Harusnya tadi kita jangan langsung pergi. Tapi mengobrol sebentar dengan mereka. Kak Jihan katanya sudah hamil dan baru pulang babymoon bersama suaminya dari Bali. Duh, Kak! Likha juga mau punya suami romantis seperti suaminya Kak Jihan itu." Kalista hanya tersenyum tipis mendengarkan ocehan Likha yang tidak sepenuhnya ia aminkan. "Jangan diganggu. Mereka sedang berbahagia. Biarkan saja mereka melewati waktu bahagia berdua dulu. Oh, iya. Kita makan dulu saja. Kau mau makan di mana?" Kalista mencoba mengalihkan topik dengan mengajak Likha makan terlebih dahulu, kebetulan juga Kalista ingat bila berjanji akan m