"Coba, Ibu lihat ini!" Ku buka amplop coklat yang ada di dalam tas ransel."Uang? Kok banyak sekali uang kamu, Nak? Kamu dapat uang sebanyak ini dari mana?" Ibu terlihat kaget."Sudah, Ibu nggak perlu banyak bertanya. Yang penting Ibu sudah tahu kalau uang untuk berobat Romi sudah ada," kataku lagi."Alhamdulillah kalau kamu sudah ada uang. Kalau begini kan ibu juga sedikit tenang."Uang? Hanya demi uang ibu sudah berani mengambil keputusan yang salah. Bahkan tidak peduli dengan harga diri keluarga diinjak-injak oleh ibu mertua. "Pokoknya Rina sekarang nggak mau dengar lagi ibu menyuruh Rina untuk mengambil uang dari mas Adit lagi. Aku harap, jangan, lakukan itu lagi, Bu! Rina tidak suka."Mendengarkan perkataanku ibu langsung diam seribu bahasa.Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Prita. Jasanya tidak akan pernah aku lupakan. Setelah aku melahirkan dialah yang setiap hari selalu mengirimkan aku makanan. Padahal aku tidak pernah cerita apapun yang sedang aku alami selama di
"Lihat, itu! Masih ingin membela menantu dan ibunya itu? Anak kita itu Rina, Bu, bukan Adit. Kenapa kamu malah membela menantu yang tidak tahu diri itu? Jika tadi kamu tidak mencegahku mungkin dia sudah aku jadikan perkedel," ucap bapak."Sudahlah, Pak. Jika sebelumnya aku tahu cerita yang sebenarnya, mana mungkin aku sampai tega menamp*r Rina," ucap ibu tak ingin bapak meneruskan omelannya."Maafkan ibu ya, Nak. Ibu sangat bersalah kepada kamu, ibu menyesal. Ibu tadi benar-benar terpancing emosi karena Adit sudah berkata yang tidak-tidak mengenai kamu," ucap ibu seraya mengelus pundakku."Makanya, Bu, kalau ada orang mengadu itu dicari kebenarannya dulu jangan asal percaya saja. Apalagi Rina selama ini adalah anak yang jujur tidak mungkin Rina berbohong kepada kita."Kini bapak menyahut lagi terlihat jelas bapak masih belum bisa melupakan kejadian yang telah aku alami."Sudahlah, Pak. Jangan dibahas lagi masalah itu. Itu kan sudah berlalu. Sekarang kita fokus saja dengan kesembuhan Ro
"Ibu tidak ingin kehilangan cucu lagi, Pak. Ibu tidak ingin kehilangan Romi," kata beliau dengan berderai air mata."Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu. Ibu sudah banyak bersalah kepada kamu dan Romi, Nak. Ibu sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan Romi.""Tolong, maafin ibu, Nak! Ibu menyesal," ucap beliau lagi.Ibu terus saja meminta maaf ke padaku. Namun entah rasanya aku masih enggan untuk memaafkan beliau.***"Ya Allah selamatkan anakku ya, Allah." Tak ada hentinya ku panjatkan doa untuk keselamatan bayiku tersayang.Hari demi hari aku tetap di sini menjaga anakku yang sedang melawan maut.Silih berganti tetangga dan beberapa saudara datang ke rumah sakit untuk menjenguk Romi. Tak jarang ada juga tetangga yang julid kepada kami."Anak zaman sekarang ini nggak kayak dulu, ya, Bu. Dulu zamannya kita, sejak lahir juga sudah diberikan makan. Lha mau gimana? Bayinya rewel terus. Sedangkan sekarang, baru dikasih makan sedikit saja sudah sakit, dan langsung dilarikan ke rumah sak
Hari-hariku kini aku habiskan di rumah sakit. Bahkan rasanya mulut ini menolak untuk makan walaupun hanya sesendok. Karena hatiku ini sedang benar-benar hancur hingga tidak perduli dengan badanku sendiri.Ku kuatkan jiwa ini apapun nanti jalan yang dipilihkan Tuhan pasti itu yang terbaik untukku. Akan aku terima dengan ikhlas."Rin, aku suapin, ya," kata Prita mengagetkanku. "Tidak usah Prita. Biar aku makan sendiri nanti," jawabku."Tapi nasi ini sudah sejak tadi kamu anggurin. Nanti keburu nggak enak dimakan," katanya lagi.Sampai tak sadar nasi yang sudah aku buka sejak tadi tidak kunjung aku makan. Entah aku sekarang jadi sering melamun."Eh, iya. Aku makan kalau gitu." Dengan malasnya aku pun mulai menyendok nasi yang dibawakan Prita."Kamu yang sabar ya, Rin. Aku yakin kamu dan Romi adalah manusia yang kuat. Kalian bakal bisa melewati semua ini," tuturnya pelan."Makasih ya, Prit," jawabku singkat. "Ngomong-ngomong besok mau dibawakan makanan apa lagi?" tanyanya lagi."Tidak u
"Assalamu'alaikum!""Wa'alaikum salam!" jawab kami bersamaan.Ibu mengernyitkan keningnya setelah melihat aku dan bapak sedang mengemas beberapa barang. Beliau tampak sangat bingung melihat beberapa tas sudah tertata rapi di depan kamar."Loh ada apa ini, Pak? Memangnya kita mau ke mana?""Ibu jangan banyak tanya dulu. Yang penting kita cepat berberes, kita kemas semua barang-barang kita."Satu persatu beberapa tas berisi baju, bapak bawa masuk ke mobil yang sebelumnya sudah beliau siapkan."Kamu istirahat saja, Nak. Biarkan bapak saja yang membawa tas ini ke dalam mobil. Takut nanti kamu semakin kecapekan, dan jaga-jaga kalau Romi bangun tidur menangis mencari kamu.""Iya, Nak. Biar ibu dan bapak saja yang melanjutkan. Kamu istirahat saja." Kini ibu juga turut membantu bapak."Baik, Pak." Aku pun langsung masuk ke kamar menurut apa yang diminta bapak dan ibu perintahkan kepadaku.Saat aku sampai di dalam kamar, ternyata Romi sedang menggeliat. Sepertinya dia sedang ingin Asi. Dengan s
Pov Ibu MertuaRasanya sangat kesal sekali setelah mendapat penolakan dari keluarga Rina. "Cih! Angkuh sekali itu bapaknya Rina sok-sokan banget kepada kita. Kamu itu juga jangan diam aja Adit. Sesekali lawan itu mulut bapaknya Rina!" kataku emosi.Sejak di jalan aku marah-marah tidak jelas karena kesal dengan perlakuan pak Fuad yang mengusir kami dari rumahnya.Bukannya Adit menjawab perkataanku, malah di sepanjang jalan dia terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin dia masih tergila-gila kepada istrinya yang tidak berguna itu."Setelah ini lupakan saja itu si Rina. Percuma juga punya istri seperti dia. Tak mau menurut sama suami dan mertuanya," kataku kesal."Jangan bilang begitu dong, Bu. Mana mungkin Adit bisa melupakan Rina. Dia kan istri Adit yang menemani Adit dari nol sampai bisa seperti sekarang ini.""Halah, pikiran dari mana itu? Yang menemani kamu dari nol itu ibu, bukan dia! Rina itu hanya tinggal metik hasilnya saja. Dalam pikirannya cuman belanja dan belanj
Aku sengaja berlama-lamaan di dalam kamar mungkin sampai ketiduran pun tidak masalah. Biar kapok itu bu Mariyah, nggak utang-utang lagi sama aku. Memangnya aku emaknya kalau berhutang nggak dikembalikan?"Bu! Bu, Munah!" teriaknya setelah setengah jam aku tinggal berbaring di dalam kamar.Beberapa kali dia berteriak memanggilku, namun sama seperti sebelumnya tidak aku jawab. Biarkan saja setelah ini dia bakalan capek sendiri. Kalau sudah capek sendiri pasti juga akan pulang.Setelah sekitar lima menitan lamanya Bu Mariyah berteriak memanggil namaku, suaranya sudah tidak terdengar lagi. Dengan cepat aku memastikan dari balik jendela."Makan tuh hutang!" Aku berhasil membuat Bu Mariyah pulang dengan menelan pil pahit.Awalnya aku meminjamkan uang kepada bu Mariyah karena kasihan tapi lama kelamaan aku merasa dimanfaatkan. Makanya aku stop untuk kasih utangan lagi ke bu Mariyah.Mungkin kalau bukan tetangga aku juga tidak akan mau berteman dengan beliau ini.***Aku mengernyitkan keningku
Ini sudah hari ke tujuh setelah aku mengunjungi rumah Rina. Ingin rasanya aku melihat cucuku kembali. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja di sana.Jujur rinduku ini sangat tidak tertahan. Mau bagaimanapun dia cucu pertamaku dari anak lelaki satu-satunya. Mumpung hari ini hari minggu, jadi aku bisa mengajak Adit berlama-lamaan pergi menemui Romi, cucu lelakiku."Ayo, Dit kita pergi ke rumah Rina! Ibu kangen sekali dengan Romi.""Sekarang, Bu?""Ya sekaranglah! Masak kamu tidak kangen dengan anak kamu sendiri?""Kangen sih, Bu. Tapi kan ....""Tapi apa? Kamu takut diompoli, takut kamu nggak bisa menenangkan saat anak kamu sedang rewel? Tenang, ada ibu di sini. Biar ibu saja yang menggendong Romi nanti."Mengingat Adit selama punya anak dia belum mahir dalam menggendong bayi. Selama ini dia percayakan bayinya dalam pengasuhan kepada Rina, ibunya."Pokoknya kali ini kita harus berhasil membawa Romi pulang ke rumah, Dit. Aku ingin cucu ibu pulang ke sini lagi. Aku tidak ingin kalau Romi
Pov Adit"Memang Zaskia perempuan manja gitu saja sudah lapor ke bapaknya, si*l!" kataku sambil ku pukul-pukul pahaku.Dengan cepat aku mengendarai sepeda motorku ke arah rumah. Jika aku tidak cepat sampai di rumah, ibu pasti semakin marah denganku."Cepetan masuk, Mas! Ibu sudah marah besar," kata Lia sambil terlihat ketakutan saat menyusulku ke depan.Dengan cepat aku memarkirkan sepeda motorku. Dari kejauhan ku lihat ibu sudah menyambutku di pintu masuk.Ingin rasanya pergi jauh dari sini, kalau ujung-ujungnya aku yang jadi seperti ini. Dulu yang aku pikir hanya kerja dan kerja. Kalau sekarang harus ngertiin perempuan segala. Dulu Rina nggak begini banget. Kenapa juga sih Zaskia itu nggak kayak si Rina saja sih? Rina itu selalu nurut dengan ibu untuk ngertiin aku.Saat aku hendak mencium punggung tangan ibuku, ibuku malah menaruh sambal pedas yang bekasnya jari lima nempel di pipiku."Panas sekali rasanya," batinku sambil ku pejamkan mataku. Zaskia-zaskia lihat nanti akan aku balas
Pov AditDengan cepat aku menutup pintu kamarku dan tak lupa menguncinya dari dalam agar Zaskia nggak masuk lagi. Tak butuh waktu sepuluh menit aku sudah selesai mengganti baju, dengan langkah malas aku pun keluar menemui ibu dan Zaskia. Terlihat Zaskia masih cemberut ke padaku. Tapi biarkan saja toh dia juga akan baikan sendiri."Tuh, Mas Adit sudah selesai, Cantik," kata ibu dengan nada yang dibaik-baikkan agar Zaskia selesai cemberutnya."Adit berangkat dulu ya, Bu," kataku sambil mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkanku.Setelah aku selesai mencium punggung tangan ibu, Zaskia pun ikut melakukan hal yang sama.Aku sangat yakin ibu tadi sudah membelaku di depan Zaskia. Enak saja wanita kok ingin nyetir laki-laki. Kalau sampai aku nurut dengan wanita mau ditaruh mana letak harga diriku? Semua ini ada alasannya. Karena akulah yang nantinya jadi calon imam bukannya dia. Jadi sudah seharusnya dia harus menurut sama aku."Loh kok naik sepeda motor? Kenapa nggak pakai mobil
Pov AditUntung saja di rumah makan tadi aku belum sempat pesan minuman ataupun makanan. Kalau sampai pesan, bisa dipastikan siang ini aku tidak akan bisa membeli seporsi bakso. Nasib-nasib."Beneran kamu sudah kenyang, Dit? Nih aku mau nambah lagi," kata Rudi sambil berdiri untuk pergi menambah bakso lagi. Kalau nggak datang langsung ke tempatnya katanya nggak afdol.Mau jujur kok ya malu. Untung saja tadi aku menolak ibu untuk tidak membawakanku bekal nasi dari rumah. Bisa tambah hilang lagi ini mukaku. Rasa-rasanya aku sudah tidak kuat kalau harus mengirit begini."Sudahlah, namanya juga diet ya harus bisa nahan lapar, betul kan, Dit," kata Budi sambil menepuk pundakku."Diet kok terus, Dit?" kata yang lain ikut menggoda."Ya jelas diet dong. Calon istrinya adit yang baru ini kan orang kaya, ya harus jaga penampilan dong, betul gitu nggak, Dit?" kata Rudi yang datang sambil membawa semangkok penuh bakso.Bukannya membela, sebenarnya dia sedang mempermalukanku."Pintar kamu, Rud. Ka
Pov Rina"Selamat siang, Pak Syamsuri," kata pak Candra saat masuk ke ruangan diikuti aku yang mengekor di belakang lelaki berlesung pipit ini."Siang juga, Pak Candra." Pak Syamsuri langsung bangun dari duduknya diikuti oleh lelaki yang ada di sebelahnya."Maaf saya datang terlambat, Pak," kata pak Candra sambil menjabat tangan pak Syamsuri."Nggak apa-apa, Pak. Santai saja," jawab pak Syamsuri."Pak Candra perkenalkan ini Pak Wiyoko.""Pak Wiyoko, ini Pak Candra, dan ini sekretarisnya Bu Rina."Lelaki itu tersenyum melihatku, dengan tatapan yang masih sama seperti yang aku ingat saat kejadian sembilan tahun yang lalu.Diarahkannya tangan lelaki yang dulu pernah aku panggil dengan sebutan om Wiyoko itu ke arahku. Rupanya lelaki itu ingin menjabat tanganku.Dengan tangan bergetar, aku mulai memberanikan diri mengangkat tanganku membalas jabat tangan lelaki yang kini terlihat mulai menua itu. Ada rasa takut yang sangat mendalam menghampiri memoriku.Namun belum sampai menjabat tangan p
Pov RinaIbu hanya diam saja tidak menanggapi perkataan Bapak. Kelihatan sangat jelas wajah bapak merah padam menahan emosi. Beliau pun langsung pergi begitu saja meninggalkan kami."Tuh, lihat ibu dan bapak jadi bertengkar seperti ini gara-gara kamu, Rina."Tanpa banyak bicara, aku pun juga langsung pergi meninggalkan ibu seorang diri. Biarkan saja ibu seperti itu. Kalau terus diladeni yang ada malah semakin besar masalahnya.***Hanya butuh waktu dua menit saja aku sudah sampai di depan pintu ruangan Pak Candra. Tanpa buang waktu, aku langsung mengetok pintunya."Ya, masuk!""Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku dengan sopan."Tolong, kamu bawa dan pelajari laporan ini. Satu jam kemudian kita bertemu di lantai bawah. Hari ini ada meeting dadakan dengan Pak Syamsuri pimpinan dari perusahaan Mega Industri. Saya berencana akan mengadakan meeting tersebut di rumah makan baru kita, di Sedap Gurih," katanya dengan suara tenang."Baik, Pak.""Tolong, kamu kabari anak-anak di sana agar m
Pov Rina"Halo, Rin! Denger-denger mantan kamu mau menikah lagi. Kamu nggak cemburu kah, Rin?" goda Prita yang barusan masuk ke ruanganku. "Ah, biarin Prit. Aku sudah tak peduli lagi sama dia.""Yakin, nih?" kata Prita sambil mencolek pinggangku setelah itu duduk di depan meja kerjaku."Ya yakinlah. Buat apa lelaki semacam dia dipelihara. Yang ada malah makan hati saja.""Ciye berarti sudah move on dong?""Move on nggak move on ya harus dimove on-kan, dong.""Kayaknya move on-nya karena terpakasa. Beneran kamu nggak penasaran Adit mau menikah dengan siapa?""Ah, sudahlah, Prit. Jangan, bahas dia lagi! Aku ingin muntah kalau bahas dia. Aku ingin dengan pekerjaanku.""Nah, betul itu. Aku suka gaya kamu. Tapi kalau ada yang mau deketin kamu, kamu mau tidak?""Ah, aku nggak bisa mikir untuk sekarang ini. Yang jelas bagaimana sekarang aku bisa mendapatkan banyak uang untuk masa depan Romi.""Bagus tuh. Tapi saran nih, Rin. Traumanya jangan lama-lama, ya. Kalau ada yang baik mau deketin ka
Pov Adit"Kok ya Ampun, sih? Memangnya kamu nggak ingin jika uang kamu terkumpul?""Ya mau, Bu. Tapi ya nggak gitu juga caranya. Adit bisa malu dengan teman-teman, kalau setiap hari harus nebeng.""Ya sudahlah, terserah kamu," jawab beliau ketus.Ibu pun langsung pergi dari kamarku. Aku jadi heran kenapa ibu jadi semakin aneh begini.Ku miringkan badanku ke arah kanan dan kiri, sambil ku pejam-pejamkan mataku, namun tetap saja tak bisa tidur. Ku lihat jam di dinding masih menunjukkan jam dua belas, tengah malam.Masih teringat pembicaraan dengan Bu Sayuti kalau Rina sekarang menjadi kurusan aku pun berseluncur mencarinya di media sosial namun sia*lnya pencariannku tak membuahkan hasil. Kemungkinan besar Rina sudah memblokir semua media sosialku.Namun aku punya ide aku akan pergi ke sebuah rumah makan yang pernah aku kunjungi di mana aku bertemu dengan dia saat tragedi minuman es Siapa tahu aku bertemu lagi dengan Rina.***Pov Rina"Kenapa harus berakhir seperti ini, Tuhan? Kenapa?
Pov AditPov AditBeberapa menit kemudian ponselku berdering ada pesan masuk daris seseorang yang sedang bahagia di seberang sana.Ku hela nafas dalam-dalam saat akan membuka pesan darinya..[Mas, aku cantik, kan?] Begitulah bunyinya pesan yang di atasnya ada poto dia yang selesai dirias."Kok masih sempat-sempatnya dia berkirim foto ke padaku,"batinku."Siapa itu, Dit?" tanya ibu yang diam-diam mengintip isi pesanku."Calon menantu Ibu," jawabku singkat."Mana?!" kata ibu sambil meraih ponselku karena penasaran melihat poto calon menantu kesayangannya."Ih, cantik sekali dia, Dit," ibu merasa takjub."Mana, Bu Munah? Aku juga mau lihat," kata Bu Sayuti juga ikut penasaran."Eh, iya. Mangklingi banget Zaskia," ucap Bu Sayuti"Cepetan dibalas, Dit! Jangan, lama-lama balasnya!" kata ibu kemudian setelah berhasil mengambil alih ponselku yang dibawa Bu Sayuti dan memberikannya ke padaku."Mau di balas apa, Bu?" kataku malas."Mas Adit ini gimana, sih? Ya bilang cantik gitu atau dipuji yan
Pov Adit"Kamu sudah siap, Mas?" tanya Lia ke padaku."Iya," jawabku sambil tersenyum."Wah, anak ibu kelihatan tampan sekali. Cocok sekali kamu pakai baju ini, Nak. Pantas saja harganya mahal, karena membuat kamu semakin kelihatan gagah. Tak sia-sia ibu kasih uang tambahan ke pada mamanya Zaskia.""Memangnya mamanya Zaskia minta uang lagi, Bu?" tanyaku heran. Mengingat yang aku tahu, mamanya Zaskia hanya minta uang senilai tiga puluh juta saja. Selebihnya belum ada info dari ibu."Eh, enggak. Bukan itu maksud ibu itu ....""Ini yang memilihkan Mbak Zaskia ya, Mas?" ibu belum selesai berbicara, tapi sudah terpotong oleh pertanyaan Lia ke padaku."Iya, Lia, ini yang memilihkan Zaskia.""Pantas bagus banget. Cocok loh, dipakai Mas Adit. Lia saja sampai pangling lihat Mas Adit. Apalagi nanti para tamu dan saudara.""Iya, memang calon istrimu itu sangat berbakat di dunia fashion, Dit. Dia itu sangat paham mana yang paling cocok untuk kamu."Dalam hati kecilku aku sangat berat untuk menjal