Panik! Semua sangat panik melihat keadaan bayiku. Sekarang suara tangisannya juga sudah melemah.
Dengan cepat ayah mengendari mobil buntut hadiah dari almarhum kakakku, saat masih bekerja menjadi TKW di negeri singa putih."Bangun, Nak. Bangun!" Ku tepuk-tepuk lembut pipinya. Namun nyatanya dia terus saja memejamkan matanya."Jangan tinggalkan ibu, Nak!"Di sepanjang jalan aku terus saja berteriak seperti orang tidak waras. Nafasku sudah mulai tak beraturan.Mas Adit mau menyusul atau tidak aku sudah tak peduli. Yang jelas waktu kami berangkat ke rumah sakit dia masih meringkuk di depan televisi. Bahkan orang tuaku saja sampai tidak ingat kalau ada menantunya di sana. Karena memang saking paniknya.Ku baringkan bayiku di pembaringan pasien setelah sampai di ruang UGD."Kenapa dengan bayinya, Bu?""Anak saya muntah-muntah dan perutnya keras dokter. Tanpa sepengetahuan saya, kemarin neneknya memberikan dia kerokan pisang," tuturku."Kenapa Nenek bisa setega ini dengan cucunya? MPASI dini bahaya, Nek. Nyawa anak jadi taruhannya." Terlihat dokter sangat kesal setelah mengetahui sebab anakku menjadi seperti ini."Bukan neneknya yang ini, Dok. Tapi ibu mertua saya," jawabku.Terlihat mata ibu terbelalak bahkan dia masih diam terpaku di tempatnya.Dengan cepat bayiku ditangani. Kini di tubuh mungilnya sudah terpasang alat medis."Banyak berdoa, Bu. Semoga anaknya selamat."Hancur sehancur-hancurnya perasaanku ini. Anak yang seharusnya sehat-sehat saja kini harus berbaring lemah tak berdaya di rumah sakit.Ku kepalkan tanganku dengan erat. Rasanya ingin aku cakar-cakar suamiku itu. Terutama ibu mertuaku pelaku utama dari kejadian ini."Heran aku. Di zaman serba canggih kok masih ada pikiran ibu yang kolot semacam ini.""Aku ini juga sudah tua tapi kalau ada update perkembangan tentang kesehatan, aku selalu mengikuti. Bahkan anak-anakku semua ku suruh untuk mengikuti saran dari dokter. Karena mereka lebih ngerti, dan banyak ilmunya daripada kita.""Betul itu, Bu. Kalau sudah kayak gitu kan kasihan.""Iya, Bu. Anak tetanggaku juga ada yang meninggal gara-gara tersedak saat diberi kerokan pisang."Deg!Tak sengaja telinga ini menangkap suara sumbang tentang pengasuhan anakku. Air mataku yang semula kering sekarang langsung bercucuran dengan deras. Bayangkanku sudah nggak karuan.Sekarang aku hanya bisa menangis dan dalam hatiku terus saja ku panjatkan doa untuk keselamatan bayiku. Kebahagiaan yang harusnya aku rasakan, kini berubah menjadi duka. Luka jahitan di jalan l*hir saja belum sepenuhnya kering, malah sekarang mendapatkan tambahan luka yang lebih dalam lagi.Dengan pengawasan dokter, kini anakku dirawat secara intensif di rumah sakit ini. Bahkan kami pun tidak diperbolehkan masuk ke ruangan itu. Jika diizinkan masuk pun aku juga tidak akan sanggup melihat kondisi bayiku sekarang ini.Kepalaku nyut-nyutan dan pandangan mataku menjadi kabur. Rasanya sudah tak tahan kaki ini menopang badanku. Rasanya tubuh ini sangat lemas. Serta dada ini terasa sangat sesak."Pelan-pelan, Nak. Hati-hati." Ayah membantuku untuk duduk."Kamu yang sabar. Semua ini adalah ujian. Bapak yakin kamu pasti kuat menghadapinya, Nak. Kita doakan sama-sama semoga Romi bisa segera sembuh dan pulang ke rumah dengan selamat." Ayah mencoba menenangkan aku."Ayo, minum air putih dulu, Nak. Biar kamu tidak lemas seperti ini."Hanya seteguk air putih yang bisa masuk ke dalam tenggorokanku. Walau hanya air putih tapi rasanya tenggorokanku susah sekali untuk menelannya."Awas kamu, Mas! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku akan aku bawa masalah ini ke jalur hukum! Kalau perlu kamu dan ibumu akan aku jebloskan ke penjara sampai akhir hayat." Ku ucapkan dengan kasar kepada mas Adit sambil ku tarik bajunya."Kamu sungguh kejam kepada darah daging kamu sendiri, Mas. Menikah dengan kamu bukannya bahagia. Malah kau buat aku kayak orang gila!" Tangisanku semakin pecah karena kehadirannya.Lelaki yang barusan datang itu pun hanya bisa terdiam mendengarkan ocehanku.Beberapa pasang mata melihat ke arah kami tapi aku tak peduli. Kini rasa kecewaku lebih besar dibandingkan dengan rasa maluku itu.Mau dibilang sudah putus urat malu pun aku tak keberatan. Toh mereka tidak tahu sepahit apakah kehidupanku setelah menikah dengan mas Adit. Ditambah anakku sekarang dirawat juga gara-gara dia. Walau bukan dia pelaku utamanya.Plak!Tak ku sangka bapak mengayunkan tangannya kepada suamiku. Yang sebentar lagi akan aku panggil dengan mantan suami itu.Mungkin karena saking marah dan kecewanya bapak hingga berani menamp*r mas Adit."Dasar laki-laki kurang ajar! Sudah berani kau buat sengsara anak dan cucuku. Lebih baik kau pergi saja dari sini!" Dengan wajah yang menyeramkan ayah mengusir suamiku, lelaki yang tak bisa diandalkan."Pak, sabar, Pak. Baca istighfar. Sekarang kita sedang ada di rumah sakit, Pak. Bapak jangan ribut di sini. Nanti yang lain bisa terganggu, kasihan mereka." Ibu menengahi pertengkaran ini."Ayo, duduk dulu, Pak. Bapak yang sabar."Bapak menurut dengan apa yang ibu minta. Walau pandangannya masih terlihat tajam melihat ke arah mas Adit."Pantas kamu mendapatkan itu dari bapak, Mas," batinku puas atas tindakan bapak kepada menantunya itu.Ku lihat lelaki yang tak berdaya itu hanya berdiri dan menundukkan kepalanya. Entah apa yang dipikirkannya sekarang ini?Pov Ibu Mertua Aku terpaksa memberikan kerokan pisang kepada cucuku secara diam-diam. Karena aku malas berdebat dengan Rina, menantuku.Dikit-dikit kata bidan. Dikit-dikit kata dokter. Sampai panas telingaku mendengarkan perkataannya.Dan sekarang apa yang terjadi? Cucuku nangis jejeritan, kan? Sudah terbukti apa yang aku bilang itu benar. Bayi lahir ke dunia itu butuh makan. Asi saja mana cukup? Yang ada bayi tidak bisa tidur dengan tenang bahkan sering rewel karena lapar.Aku sampai heran, kenapa menantuku itu tidak mau menurut dengan orang yang lebih tua dengannya ini. Mau bagaimanapun ilmu mengasuh bayiku lebih baik daripada dia.Masih terekam jelas di ingatanku. Setelah pulang dari tempat bidan, sehari setelah melahirkan. Dia semakin berani menentangku. "Nanti bayi kamu nggak akan kenyang loh Rin kalau cuma dikasih Asi saja. Di dapur ada pisang, nanti berikan dia kerokan pisang biar tidak lapar," kataku saat mengetahui Rina hanya memberikan Asi kepada cucuku itu."Insya Allah ke
Pagi ini aku sedang sibuk mencabuti rumput liar yang ada di halaman rumah. Ya mau gimana lagi aku tidak punya rewang jadi aku sendiri yang harus turun tangan."Semalam saya denger Romi menangis, Bu. Kok sekarang tidak terdengar suaranya. Apa dia sedang tidur?" tanya Bu Sayuti yang datang bersamaan dengan Bu Mariyah.Sudah seperti kebiasaan di sini kalau sudah selesai masak dan bersih-bersih rumah ibu-ibu suka berkumpul untuk saling menyapa. Tak jarang juga mereka bergosip, ya selayaknya ibu-ibu seperti pada umumnya kalau sedang berkumpul begitu."Iya suara Romi juga kedengaran dari rumahku, Bu. Tapi setelah itu kayak ada suara mobil berhenti di depan rumah Njenengan. Aku pikir semalam ada apa gitu kok tak lihat dari jendela Mbak Rina pergi bersama mobil putih. Setelah itu tak berselang lama Mas Adit juga menyusul.""Oh itu kemarin ibunya Rina sedang masuk rumah sakit. Jadi mau tidak mau dia harus pulang ke rumahnya. Sudah aku bilangin nggak perlu karena punya anak bayi tapi tetep saja
Harusnya hari-hariku sebagai seorang nenek disuguhkan dengan kesenangan menimang cucu. Apalagi Romi adalah cucu pertamaku. Saking sayangnya aku padanya sejak Romi di dalam kandungan, aku selalu memperhatikan asupan makanan untuknya. Apa saja yang harus dimakan dan apa saja yang harus dipantang oleh ibunya.Semua aturan yang diberikan oleh orang yang lebih tua selalu aku dengar. Dari yang nggak boleh makan ikan, menjahit baju, atau apa pun itu yang tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil selalu aku terapkan kepada Rina. Namun sayang seribu sayang semua perhatianku tidak diterima dengan baik oleh menantuku.Yang kata dokter inilah kata bidan yang itulah. Bikin pusing kalau mendengarkannya. Bahkan dia diam-diam juga berani mengambil ikan dan lauk pauk yang harus dia pantang. Hidung Rina itu kayak hidung kucing, mau aku simpan di manapun dia selalu tahu.Apalagi setelah melahirkan, Rina begitu angkuh. Sayur yang aku masakin jarang sekali disentuh. Entah dari mana datangnya, dia bisa membeli m
"Coba, Ibu lihat ini!" Ku buka amplop coklat yang ada di dalam tas ransel."Uang? Kok banyak sekali uang kamu, Nak? Kamu dapat uang sebanyak ini dari mana?" Ibu terlihat kaget."Sudah, Ibu nggak perlu banyak bertanya. Yang penting Ibu sudah tahu kalau uang untuk berobat Romi sudah ada," kataku lagi."Alhamdulillah kalau kamu sudah ada uang. Kalau begini kan ibu juga sedikit tenang."Uang? Hanya demi uang ibu sudah berani mengambil keputusan yang salah. Bahkan tidak peduli dengan harga diri keluarga diinjak-injak oleh ibu mertua. "Pokoknya Rina sekarang nggak mau dengar lagi ibu menyuruh Rina untuk mengambil uang dari mas Adit lagi. Aku harap, jangan, lakukan itu lagi, Bu! Rina tidak suka."Mendengarkan perkataanku ibu langsung diam seribu bahasa.Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Prita. Jasanya tidak akan pernah aku lupakan. Setelah aku melahirkan dialah yang setiap hari selalu mengirimkan aku makanan. Padahal aku tidak pernah cerita apapun yang sedang aku alami selama di
"Lihat, itu! Masih ingin membela menantu dan ibunya itu? Anak kita itu Rina, Bu, bukan Adit. Kenapa kamu malah membela menantu yang tidak tahu diri itu? Jika tadi kamu tidak mencegahku mungkin dia sudah aku jadikan perkedel," ucap bapak."Sudahlah, Pak. Jika sebelumnya aku tahu cerita yang sebenarnya, mana mungkin aku sampai tega menamp*r Rina," ucap ibu tak ingin bapak meneruskan omelannya."Maafkan ibu ya, Nak. Ibu sangat bersalah kepada kamu, ibu menyesal. Ibu tadi benar-benar terpancing emosi karena Adit sudah berkata yang tidak-tidak mengenai kamu," ucap ibu seraya mengelus pundakku."Makanya, Bu, kalau ada orang mengadu itu dicari kebenarannya dulu jangan asal percaya saja. Apalagi Rina selama ini adalah anak yang jujur tidak mungkin Rina berbohong kepada kita."Kini bapak menyahut lagi terlihat jelas bapak masih belum bisa melupakan kejadian yang telah aku alami."Sudahlah, Pak. Jangan dibahas lagi masalah itu. Itu kan sudah berlalu. Sekarang kita fokus saja dengan kesembuhan Ro
"Ibu tidak ingin kehilangan cucu lagi, Pak. Ibu tidak ingin kehilangan Romi," kata beliau dengan berderai air mata."Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu. Ibu sudah banyak bersalah kepada kamu dan Romi, Nak. Ibu sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan Romi.""Tolong, maafin ibu, Nak! Ibu menyesal," ucap beliau lagi.Ibu terus saja meminta maaf ke padaku. Namun entah rasanya aku masih enggan untuk memaafkan beliau.***"Ya Allah selamatkan anakku ya, Allah." Tak ada hentinya ku panjatkan doa untuk keselamatan bayiku tersayang.Hari demi hari aku tetap di sini menjaga anakku yang sedang melawan maut.Silih berganti tetangga dan beberapa saudara datang ke rumah sakit untuk menjenguk Romi. Tak jarang ada juga tetangga yang julid kepada kami."Anak zaman sekarang ini nggak kayak dulu, ya, Bu. Dulu zamannya kita, sejak lahir juga sudah diberikan makan. Lha mau gimana? Bayinya rewel terus. Sedangkan sekarang, baru dikasih makan sedikit saja sudah sakit, dan langsung dilarikan ke rumah sak
Hari-hariku kini aku habiskan di rumah sakit. Bahkan rasanya mulut ini menolak untuk makan walaupun hanya sesendok. Karena hatiku ini sedang benar-benar hancur hingga tidak perduli dengan badanku sendiri.Ku kuatkan jiwa ini apapun nanti jalan yang dipilihkan Tuhan pasti itu yang terbaik untukku. Akan aku terima dengan ikhlas."Rin, aku suapin, ya," kata Prita mengagetkanku. "Tidak usah Prita. Biar aku makan sendiri nanti," jawabku."Tapi nasi ini sudah sejak tadi kamu anggurin. Nanti keburu nggak enak dimakan," katanya lagi.Sampai tak sadar nasi yang sudah aku buka sejak tadi tidak kunjung aku makan. Entah aku sekarang jadi sering melamun."Eh, iya. Aku makan kalau gitu." Dengan malasnya aku pun mulai menyendok nasi yang dibawakan Prita."Kamu yang sabar ya, Rin. Aku yakin kamu dan Romi adalah manusia yang kuat. Kalian bakal bisa melewati semua ini," tuturnya pelan."Makasih ya, Prit," jawabku singkat. "Ngomong-ngomong besok mau dibawakan makanan apa lagi?" tanyanya lagi."Tidak u
"Assalamu'alaikum!""Wa'alaikum salam!" jawab kami bersamaan.Ibu mengernyitkan keningnya setelah melihat aku dan bapak sedang mengemas beberapa barang. Beliau tampak sangat bingung melihat beberapa tas sudah tertata rapi di depan kamar."Loh ada apa ini, Pak? Memangnya kita mau ke mana?""Ibu jangan banyak tanya dulu. Yang penting kita cepat berberes, kita kemas semua barang-barang kita."Satu persatu beberapa tas berisi baju, bapak bawa masuk ke mobil yang sebelumnya sudah beliau siapkan."Kamu istirahat saja, Nak. Biarkan bapak saja yang membawa tas ini ke dalam mobil. Takut nanti kamu semakin kecapekan, dan jaga-jaga kalau Romi bangun tidur menangis mencari kamu.""Iya, Nak. Biar ibu dan bapak saja yang melanjutkan. Kamu istirahat saja." Kini ibu juga turut membantu bapak."Baik, Pak." Aku pun langsung masuk ke kamar menurut apa yang diminta bapak dan ibu perintahkan kepadaku.Saat aku sampai di dalam kamar, ternyata Romi sedang menggeliat. Sepertinya dia sedang ingin Asi. Dengan s
Pov Adit"Memang Zaskia perempuan manja gitu saja sudah lapor ke bapaknya, si*l!" kataku sambil ku pukul-pukul pahaku.Dengan cepat aku mengendarai sepeda motorku ke arah rumah. Jika aku tidak cepat sampai di rumah, ibu pasti semakin marah denganku."Cepetan masuk, Mas! Ibu sudah marah besar," kata Lia sambil terlihat ketakutan saat menyusulku ke depan.Dengan cepat aku memarkirkan sepeda motorku. Dari kejauhan ku lihat ibu sudah menyambutku di pintu masuk.Ingin rasanya pergi jauh dari sini, kalau ujung-ujungnya aku yang jadi seperti ini. Dulu yang aku pikir hanya kerja dan kerja. Kalau sekarang harus ngertiin perempuan segala. Dulu Rina nggak begini banget. Kenapa juga sih Zaskia itu nggak kayak si Rina saja sih? Rina itu selalu nurut dengan ibu untuk ngertiin aku.Saat aku hendak mencium punggung tangan ibuku, ibuku malah menaruh sambal pedas yang bekasnya jari lima nempel di pipiku."Panas sekali rasanya," batinku sambil ku pejamkan mataku. Zaskia-zaskia lihat nanti akan aku balas
Pov AditDengan cepat aku menutup pintu kamarku dan tak lupa menguncinya dari dalam agar Zaskia nggak masuk lagi. Tak butuh waktu sepuluh menit aku sudah selesai mengganti baju, dengan langkah malas aku pun keluar menemui ibu dan Zaskia. Terlihat Zaskia masih cemberut ke padaku. Tapi biarkan saja toh dia juga akan baikan sendiri."Tuh, Mas Adit sudah selesai, Cantik," kata ibu dengan nada yang dibaik-baikkan agar Zaskia selesai cemberutnya."Adit berangkat dulu ya, Bu," kataku sambil mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkanku.Setelah aku selesai mencium punggung tangan ibu, Zaskia pun ikut melakukan hal yang sama.Aku sangat yakin ibu tadi sudah membelaku di depan Zaskia. Enak saja wanita kok ingin nyetir laki-laki. Kalau sampai aku nurut dengan wanita mau ditaruh mana letak harga diriku? Semua ini ada alasannya. Karena akulah yang nantinya jadi calon imam bukannya dia. Jadi sudah seharusnya dia harus menurut sama aku."Loh kok naik sepeda motor? Kenapa nggak pakai mobil
Pov AditUntung saja di rumah makan tadi aku belum sempat pesan minuman ataupun makanan. Kalau sampai pesan, bisa dipastikan siang ini aku tidak akan bisa membeli seporsi bakso. Nasib-nasib."Beneran kamu sudah kenyang, Dit? Nih aku mau nambah lagi," kata Rudi sambil berdiri untuk pergi menambah bakso lagi. Kalau nggak datang langsung ke tempatnya katanya nggak afdol.Mau jujur kok ya malu. Untung saja tadi aku menolak ibu untuk tidak membawakanku bekal nasi dari rumah. Bisa tambah hilang lagi ini mukaku. Rasa-rasanya aku sudah tidak kuat kalau harus mengirit begini."Sudahlah, namanya juga diet ya harus bisa nahan lapar, betul kan, Dit," kata Budi sambil menepuk pundakku."Diet kok terus, Dit?" kata yang lain ikut menggoda."Ya jelas diet dong. Calon istrinya adit yang baru ini kan orang kaya, ya harus jaga penampilan dong, betul gitu nggak, Dit?" kata Rudi yang datang sambil membawa semangkok penuh bakso.Bukannya membela, sebenarnya dia sedang mempermalukanku."Pintar kamu, Rud. Ka
Pov Rina"Selamat siang, Pak Syamsuri," kata pak Candra saat masuk ke ruangan diikuti aku yang mengekor di belakang lelaki berlesung pipit ini."Siang juga, Pak Candra." Pak Syamsuri langsung bangun dari duduknya diikuti oleh lelaki yang ada di sebelahnya."Maaf saya datang terlambat, Pak," kata pak Candra sambil menjabat tangan pak Syamsuri."Nggak apa-apa, Pak. Santai saja," jawab pak Syamsuri."Pak Candra perkenalkan ini Pak Wiyoko.""Pak Wiyoko, ini Pak Candra, dan ini sekretarisnya Bu Rina."Lelaki itu tersenyum melihatku, dengan tatapan yang masih sama seperti yang aku ingat saat kejadian sembilan tahun yang lalu.Diarahkannya tangan lelaki yang dulu pernah aku panggil dengan sebutan om Wiyoko itu ke arahku. Rupanya lelaki itu ingin menjabat tanganku.Dengan tangan bergetar, aku mulai memberanikan diri mengangkat tanganku membalas jabat tangan lelaki yang kini terlihat mulai menua itu. Ada rasa takut yang sangat mendalam menghampiri memoriku.Namun belum sampai menjabat tangan p
Pov RinaIbu hanya diam saja tidak menanggapi perkataan Bapak. Kelihatan sangat jelas wajah bapak merah padam menahan emosi. Beliau pun langsung pergi begitu saja meninggalkan kami."Tuh, lihat ibu dan bapak jadi bertengkar seperti ini gara-gara kamu, Rina."Tanpa banyak bicara, aku pun juga langsung pergi meninggalkan ibu seorang diri. Biarkan saja ibu seperti itu. Kalau terus diladeni yang ada malah semakin besar masalahnya.***Hanya butuh waktu dua menit saja aku sudah sampai di depan pintu ruangan Pak Candra. Tanpa buang waktu, aku langsung mengetok pintunya."Ya, masuk!""Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku dengan sopan."Tolong, kamu bawa dan pelajari laporan ini. Satu jam kemudian kita bertemu di lantai bawah. Hari ini ada meeting dadakan dengan Pak Syamsuri pimpinan dari perusahaan Mega Industri. Saya berencana akan mengadakan meeting tersebut di rumah makan baru kita, di Sedap Gurih," katanya dengan suara tenang."Baik, Pak.""Tolong, kamu kabari anak-anak di sana agar m
Pov Rina"Halo, Rin! Denger-denger mantan kamu mau menikah lagi. Kamu nggak cemburu kah, Rin?" goda Prita yang barusan masuk ke ruanganku. "Ah, biarin Prit. Aku sudah tak peduli lagi sama dia.""Yakin, nih?" kata Prita sambil mencolek pinggangku setelah itu duduk di depan meja kerjaku."Ya yakinlah. Buat apa lelaki semacam dia dipelihara. Yang ada malah makan hati saja.""Ciye berarti sudah move on dong?""Move on nggak move on ya harus dimove on-kan, dong.""Kayaknya move on-nya karena terpakasa. Beneran kamu nggak penasaran Adit mau menikah dengan siapa?""Ah, sudahlah, Prit. Jangan, bahas dia lagi! Aku ingin muntah kalau bahas dia. Aku ingin dengan pekerjaanku.""Nah, betul itu. Aku suka gaya kamu. Tapi kalau ada yang mau deketin kamu, kamu mau tidak?""Ah, aku nggak bisa mikir untuk sekarang ini. Yang jelas bagaimana sekarang aku bisa mendapatkan banyak uang untuk masa depan Romi.""Bagus tuh. Tapi saran nih, Rin. Traumanya jangan lama-lama, ya. Kalau ada yang baik mau deketin ka
Pov Adit"Kok ya Ampun, sih? Memangnya kamu nggak ingin jika uang kamu terkumpul?""Ya mau, Bu. Tapi ya nggak gitu juga caranya. Adit bisa malu dengan teman-teman, kalau setiap hari harus nebeng.""Ya sudahlah, terserah kamu," jawab beliau ketus.Ibu pun langsung pergi dari kamarku. Aku jadi heran kenapa ibu jadi semakin aneh begini.Ku miringkan badanku ke arah kanan dan kiri, sambil ku pejam-pejamkan mataku, namun tetap saja tak bisa tidur. Ku lihat jam di dinding masih menunjukkan jam dua belas, tengah malam.Masih teringat pembicaraan dengan Bu Sayuti kalau Rina sekarang menjadi kurusan aku pun berseluncur mencarinya di media sosial namun sia*lnya pencariannku tak membuahkan hasil. Kemungkinan besar Rina sudah memblokir semua media sosialku.Namun aku punya ide aku akan pergi ke sebuah rumah makan yang pernah aku kunjungi di mana aku bertemu dengan dia saat tragedi minuman es Siapa tahu aku bertemu lagi dengan Rina.***Pov Rina"Kenapa harus berakhir seperti ini, Tuhan? Kenapa?
Pov AditPov AditBeberapa menit kemudian ponselku berdering ada pesan masuk daris seseorang yang sedang bahagia di seberang sana.Ku hela nafas dalam-dalam saat akan membuka pesan darinya..[Mas, aku cantik, kan?] Begitulah bunyinya pesan yang di atasnya ada poto dia yang selesai dirias."Kok masih sempat-sempatnya dia berkirim foto ke padaku,"batinku."Siapa itu, Dit?" tanya ibu yang diam-diam mengintip isi pesanku."Calon menantu Ibu," jawabku singkat."Mana?!" kata ibu sambil meraih ponselku karena penasaran melihat poto calon menantu kesayangannya."Ih, cantik sekali dia, Dit," ibu merasa takjub."Mana, Bu Munah? Aku juga mau lihat," kata Bu Sayuti juga ikut penasaran."Eh, iya. Mangklingi banget Zaskia," ucap Bu Sayuti"Cepetan dibalas, Dit! Jangan, lama-lama balasnya!" kata ibu kemudian setelah berhasil mengambil alih ponselku yang dibawa Bu Sayuti dan memberikannya ke padaku."Mau di balas apa, Bu?" kataku malas."Mas Adit ini gimana, sih? Ya bilang cantik gitu atau dipuji yan
Pov Adit"Kamu sudah siap, Mas?" tanya Lia ke padaku."Iya," jawabku sambil tersenyum."Wah, anak ibu kelihatan tampan sekali. Cocok sekali kamu pakai baju ini, Nak. Pantas saja harganya mahal, karena membuat kamu semakin kelihatan gagah. Tak sia-sia ibu kasih uang tambahan ke pada mamanya Zaskia.""Memangnya mamanya Zaskia minta uang lagi, Bu?" tanyaku heran. Mengingat yang aku tahu, mamanya Zaskia hanya minta uang senilai tiga puluh juta saja. Selebihnya belum ada info dari ibu."Eh, enggak. Bukan itu maksud ibu itu ....""Ini yang memilihkan Mbak Zaskia ya, Mas?" ibu belum selesai berbicara, tapi sudah terpotong oleh pertanyaan Lia ke padaku."Iya, Lia, ini yang memilihkan Zaskia.""Pantas bagus banget. Cocok loh, dipakai Mas Adit. Lia saja sampai pangling lihat Mas Adit. Apalagi nanti para tamu dan saudara.""Iya, memang calon istrimu itu sangat berbakat di dunia fashion, Dit. Dia itu sangat paham mana yang paling cocok untuk kamu."Dalam hati kecilku aku sangat berat untuk menjal