Kang Abdi tidak main-main dengan ucapannya. Kami tidak jadi pergi jalan-jalan, melainkan mampir di sebuah motel yang tidak terlalu besar. Biaya sewanya saja hanya delapan puluh ribu untuk satu hari. Kamarnya tidak terlalu besar, tetapi rapi. Isi kamar standar seperti hotel bintang tiga lainnya. "Kenapa tidak balik ke hotel kita pertama saja?" tanyaku saat ia tengah membuka kancing baju gamis ini dengan napas memburu. "Kakang terlalu lapar." Suaranya bergetar menahan hasrat. Aku pun pasrah jika saat ini jilbab panjangku sudah teronggok di lantai. Kami berciuman dengan penuh kerinduan setelah mengungkapkan perasaan masing-masing. Jika kebanyakan orang mungkin akan mengungkapkan perasaan di restoran mewah atau tempat menyenangkan, tetapi kami malah di pedangan cendol. Lucu sih, tapi sekaligus juga bikin aku terharu.Kang Abdi tiba-tiba membalik badanku, lalu memelukku dari belakang dengan sangat erat. Bagian kancing yang sudah terbuka memudahkannya mencari sesuatu yang menjadi bagian
"Bos, dari yang saya dengar, Non Luisa dan suaminya pergi ke Jakarta untuk berobat. Non Luisa punya masalah dengan lambung dan ... maaf, saya baru dapat kabarnya hari ini, bahwa Non Luisa dilarikan ke rumah sakit tiga hari lalu.""Ya ampun, kenapa kamu baru kabari saya sekarang? Sial! Cepat kamu balik ke Jakarta dan cari di rumah sakit mana Luisa dirawat. Cukup satu kali kesalahan ini, jangan ulangi lagi kalau kamu gak mau saya pecat!"Levi membanting ponselnya, untuk kedua kalinya ia merasa kecolongan akan keberadaan Luisa. Sangat sulit menjangkau mantan istri Edmun itu dan sekarang Luisa tidak tahu di mana. Levi terus membatin kesal. Layar laptop yang berisi pekerjaan sudah tidak minat lagi untuk diteruskan.Satu-satunya hal yang membuatnya bisa sedikit melupakan Luisa adalah berkencan. Tidur dan berpetualang ranjang dengan wanita-wanita cantik di kelab malam, bukan wanita udik bin tolol seperti istrinya. "Permisi, Pak Levi, kita ada meeting jam dua siang," ujar Lisna terburu-buru
"Non beneran udah selesai liburannya? Gak mau terusin aja, mumpung kita aman terkendali. Gak ada yang rempongin," kata Abdi sambil tertawa."Apa itu rempong, Kang?" tanya Luisa polos. "Ribet, rusuh, pokoknya ngeselin, Non.""Oh, gitu, ha ha ha ... ya pengennya liburan terus sih, tapi masih bisa nanti-nanti, Kang. Uang kita juga udah banyak yang keluar. Udah saatnya janji temu dengan teman papa. Kata papa, beliau yang udah siapkan tempat untuk kita tinggal sementara." "Iya sih, ya sudah, kita keluar hotel siang ini. Kita beresin pakaian sama-sama ya." Luisa mengangguk setuju. Suamimya tidak pernah menolak untuk membantu apapun itu pekerjaan rumah yang ia lakukan. Hal itu ia rasakan saat tinggal di kampung. Mulai dari mengepel, menjemur cucian, mencuci piring. Tanpa diminta, sudah siap mengerjakan semuanya. Beda dengan Edmun yang tidak mau melakukan pekerjaan rumah tangga apapun, bahkan menaruh piring kotor bekas makan ke sink, tetap tidak mau, padahal hanya empat langkah saja dari me
POV Luisa"Maafkan kalian lama menunggu," kata Om Mustopo pada kami. Sudah setengah jam memang kami menunggu beliau, tetapi tidak masalah karena kamu bisa menunggu di halaman. Halaman rumah yang asri dengan banyak tanaman di sekelilingnya. Ada juga ayunan dan perosotan anak-anak. Di sana-lah tadi kami duduk menunggu.Semoga dengan adanya mainan anak-anak di rumah ini, bisa sebagai pemancing nanti aku punya anak dari suamiku. Pikiran tersugesti, kesehatan pun bisa mengikuti. Aku yakin itu. "Gak papa, Om. Ini nunggu sambil main ayunan. Seru juga. Luisa malah gak mau udahan. Kalau Om belum datang, mungkin sampai magrib pun dia mau main ayunan.""Ish, kenapa saya, Kang?" Om Mustopo tertawa renyah. "Sudah, sudah, pengantin baru jangan berdebat di luar. Ayo, kita masuk! Om yakin kalian suka.""Luisa selalu yakin dengan pilihan papa. Sama seperti memilih Kang Abdi buat saya," kataku sambil mencolek lengan suamiku itu. Kang Abdi menyeringai, begitu juga Om Mustopo yang ikut tersenyum meliha
"Kenapa, Nisa?" aku merebut ponsel dari tangan suamiku. Suara isak tangis Nisa terdengar di seberang sana hingga aku pun panik. "Nisa, kamu kenapa? Papa kenapa? Ada apa?" suaraku serak karena gemetar mendengar tangisan Nisa."P-pa ... p-papa ...." Nisa terbata dan ia tidak bisa memaksa ibu sambungku itu untuk bercerita karena suaranya saja terputus-putus."Nisa, kamu tenang ya. Tenang dan jangan panik. Ini Kang Abdi lagi nelpon sodara di sana. Kamu jangan nangis ya." Sebenarnya aku bukan hanya menguatkan Nisa, tetapi juga menyamarkan rasa takut dan cemas ini. Rasanya baru saja aku bisa menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan selama beberapa hari, sekarang aku harus merasakan sesak lagi. Sesak dengan semua masalah yang datang silih berganti. Kulihat Kang Abdi berjalan keluar rumah sambil menelepon seseorang. "Kamu tenang, Nisa. Minum air putih yang banyak. Jangan sendirian di rumah. Pergi ke rumah Pakde Danang ya. Di sana lebih aman untuk saat ini kalau kamu memang panik.
POV penulis"Bos, Non Luisa dan suaminya pergi ke Jakarta, tapi ke mana saya gak dapat informasi jelasnya. Kata tetangga di kampung sana, Non Luisa dibawa ke rumah sakit karena sakit lambung.""Apa, Luisa sakit? Kamu sudah pastikan semua rumah sakit di Jakarta?""Belum semua, Bos. Ada sepuluh rumah sakit yang saya konfirmasi dan mereka gak ada pasien bernama Luisa.""Oke, kamu balik lagi aja ke Jakarta. Kamu selusuri dua hari ini jika memang Luisa dirawat di rumah sakit.""Duh, apa jangan-jangan malah udah keluar rumah sakit ya, Bos.""Loh, mana saya tahu? Kapan itu Luisa sakit?""Sepuluh hari lalu, Bos.""Gobl0k! Udah pasti dia udah sembuh dan keluar dari rumah sakit. Kamu ini apa-apa tertinggal. Rugi saya gaji kamu mahal. Udah, kamu gak perlu cari Luisa lagi! Saya gak pake kamu lagi, bodoh!" Levi membanting ponselnya. Ia merasa dipermainkan oleh orang suruhannya yang memang baru bekerja untuknya lima bulan ini, hanya untuk mengintai Luisa dan suaminya, tetapi lagi-lagi ia ketinggal
"Kita bernegosiasi saja. Saya juga baru tahu kalau Bapak ini adalah mertua Abdi yang sekaligus kakak iparnya. Saya banyak dapat informasi tentang Bapak dari orang saya. Bapak bangkrut ya. Anak Bapak Luisa terkena kasus foto bugil? Ha ha ha ... lalu dengan niqob menutupi masa lalunya yang sangat waw sekali menurut saya." Pak Darmono menelan ludah. Ia tidak bisa apa-apa karena tangan diikat, begitu juga kakinya. "Berikan anak Bapak untuk saya, maka Bapak akan saya lepaskan, bagaimana? Abdi biar untuk putri saya. Sejak lama putri saya mencintai Abdi. Ia mengira bisa mendapatkan pemuda itu sepulang dari Jakarta. Ternyata Abdi pulang malah mau menikah dengan Luisa. Luisa, nama yang bagus, tapi tidak seperti kelakuannya. Dari pada Bapak malu, lebih baik serahkan Luisa pada saya dan katakan di mana Luisa dan Abdi. Saya gak akan sakiti Bapak.""Saya gak mungkin kasih putri saya sama pria yang statusnya sama seperti saya, sedang menunggu antrean dijemput Malaikat maut," jawab Pak Darmono diir
"Biar gue yang antar makan tahanan bos kita," jaya Syabil pada Udin yang baru saja keluar dari dapur samping sambil membawa nampan."Gue pengen tahu orangnya," kata Syabil lagi karena merasa tatapan teman kerjanya tidak bersahabat."Ya sudah, ini bawa ke sana. Jangan terlalu banyak bicara sama tahanan bos. Terus, di sana ada CCTV.""Iye, gue tahu." Syabil menerima nampan itu dengan santai. Lalu ia bawa menuju kamar belakang. Tidak ada yang tahu dan CCTV pun tidak bisa menangkap dengan jelas gerakan Syabil, saat pemuda itu menyelipkan sebuah kertas kecil di bawah mangkuk. Tok! Tok!Syabil mengetuk pintu setelah ia membuka anak kunci. Tanpa perlu persetujuan, Syabil masuk. Ia berjalan mendekati ranjang; tempat Pak Darmono disekap."Ada pesan di bawah mangkukTolong baca cepat dan jangan sampai ada yang tahu," bisik Syabil pada Pak Darmono. Pria tua itu langsung menyantap makanan yang ada di depannya. Satu mangkuk berisi sup iga, lalu nasi, buah, dan juga tahu goreng."Baik, terima kasi
"Ma, Kevin gak bersalah, Ma. Wanita itu memfitnah Kevin. Kevin gak tahu apa-apa soal Dion dan Kevin gak kenal wanita itu!" Kevin terus merengek pada mamanya dari balik jeruji besi. "Mama justru bingung sama kamu. Kalau kamu gak kenal, kenapa wanita bernama Elsa itu punya semua buktinya? Dia sampai punya struk pembayaran hotel, villa, bukti chat ponsel, bukti transfer, dan rekaman suara kamu berencana mencelakai lelaki bernama Dion. Mama gak bisa bantu kamu, Kevin. Mama harap kamu bertaubat! Pantas Tuhan tidak ijinkan Mama berbesan dengan Bu Rana, ternyata emang anak Mama yang gak pantas bersanding dengan putri mereka.""Mama, semua itu fitnah! Mama harus percaya Kevin." Namun yang dilakukan wanita adalah segera beranjak dari penjara. Tujuannya hari ini adalah pergi ke rumah orang tua Elsa. Ya, ia harus mendengar cerita tentang Elsa dan juga Kevin.Bu Dian terheran-heran melihat kedatangan seorang wanita yang tidak ie kenal."Ibu siapa ya?" tanya Bu Dian yang saat ini sedang menimang
Dewasa(21+) Romi dan Mutia sudah tiba di Bali. Tiket honeymoon pemberian Elsa tentu saja saja tidak akan dilewatkan oleh keduanya. Ya, Elsa-lah yang memberikan Romi tiket bulan madu sebagai hadiah pernikahan kedua suaminya. Sampai kapan pun Elsa merasa tidak akan bisa membalas semua kebaikan dan juga ketulusan suaminya. Pemuda yang menjadi tersangka atas skandal yang ia susun bersama kekasihnya Kevin. Sebuah foto dikirimkan Mutia pada Elsa sebagai informasi bahwa mereka sudah sampai di kamar pengantin yang dipesan oleh Elsa. Selamat berbulan madu. Itulah pesan yang dibalas oleh Elsa. Mutia memperlihatkan balasan pesan pada suaminya. “Aa yakin kalau Mbak Elsa baik-baik saja? kenapa diterima hadiah bulan madu seminggu ini. Mahal banget loh,. Padahal papa juga mau kasih tiket bulan madu, tapi udah keduluan Mbak Elsa,” kata Mutia tisak enak hati. Romi tersenyum hangat, lalu menarik Mutia dalam pelukannya. “Ing
“Kamu ini, Pa, gak dapat ibunya, tetap saja terobsesi dengan keluarganya. Anak sendiri masih muda, cantik kaya, malah dapatnya suami orang. Nambah anaknya pula.” Rana terus menggerutu di kursi orang tua pengantin. Wanita itu masih tidak ikhlas jika putrinya menikah dengan Romi; anak dari wanita yang dahulunya digilai suaminya. Ditambah posisi Romi saat ini masih istri dari Elsa yang baru tiga puluh dua hari yang lalu melahirkan, tentu saja pernikahan yang seperti terburu-buru ini mengundang banyak gosip di luaran sana. “Ma, anaknya saling suka, kok. Kenapa kita harus gak setuju? Romi itu anak baik. Solatnya rajin dan juga pintar. Dia belum lulus aja udah dapat kerjaan. Pernikahannya dengan Elsa itu kecelakaan, bukan seperti pernikahan lainnya. Mama gak perlu khawatir, anak perempuan kita pasti senang dan bahagia bisa menikah dengan pujaan hatinya.” Levi tersenyum pada para tamu undangan yang sedang berjalan ke arahnya untuk bersalaman. Di seberang kursi orang tua ada L
"Selamat Pak Romi, bayinya lelaki dan lahir dengan selamat, meskipun baru delapan bulan di dalam perut.""Alhamdulillah, apa saya bisa melihat istri saya, Dok? Istri saya beneran gak papa?""Nggak papa, Pak, semuanya sehat selamat. Lagi disiapkan dulu untuk pindah kamar ya. Bayinya juga dibersihkan dulu, baru nanti bisa diazankan.""Berat badannya berapa, Dok?" tanya Bu Diana menyela."Beratnya tiga kilogram lebih dua ons. Panjangnya empat puluh sembilan. Normal semua dan tampan." Romi tersenyum senang sambil menoleh pada mertuanya. "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dok." Semua orang yang ada di sana ikut senang dengan kabar yang diberikan dokter, termasuk Luisa dan suaminya. Meski mereka tahu yang lahir bukanlah cucu dari benih anak mereka, tetapi mereka tidak keberatan dan tetap menerima Elsa. "Selamat Romi, terima kasih sudah menjaga Elsa dengan baik. Bunda gak sangka anak lelaki Bunda bisa hebat sekali seperti ini," ucap Luisa sembari memeluk putranya. Romi terharu, hingga ad
"Mama gak habis pikir sama kamu, Elsa. Apa maksud kamu membiarkan Romi menikahi gadis bernama Mutia? Romi itu suami kamu. Dia peduli sama kamu, Elsa. Kamu hamil dan dia juga sayang sama anak kamu!" Bu Diana hampir menangis saat mengetahui kabar bahwa Romi baru saja melamar gadis bernama Mutia. "Gak adil buat Romi, Ma. Sampai saat ini saya gak tahu bagaimana saya di masa lalu. Saya juga gak ngerti hubungan saya dan Romi seperti apa. Ternyata Romi punya wanita yang ia suka, begitu juga sebaliknya. Romi terlalu baik, Ma. Gak mungkin Elsa tega mengambil Romi. Setelah anak ini lahir, Elsa akan melepas Romi. Ini sudah keputusan Elsa. Romi pun setuju. Mama gak usah khawatir, Elsa gak papa. Elsa udah anggap Romi itu adik Elsa. Benar dia sayang Elsa, tapi sebagai kakak, bukan pasangan karena Romi menyukai dan mencintai Mutia. Bulan depan mereka akan menikah, dua Minggu menjelang saya HPL, semoga saja berjalan lancar." Bu Dian memijat keningnya. Ia tidak bisa begitu saja merubah keputusan putr
"Mbak Elsa mau tinggal di sini?" Romi menatap Elsa tidak percaya."Iya, mau di sini saja nginep lagi. Rumah bunda kamu adem." Romi merapikan baju kemeja yang hari ini ia pakai ke kampus. Pemuda itu tidak keberatan saat istrinya membantu mengancingkan beberapa kancing kemeja bagian bawah. "Saya mau kuliah.""Iya, yang bilang kamu mau konser itu siapa? Kuliah aja. Aku mau di sini. Ini kan rumah suamiku." Elsa memegang kedua pipi Romi sambil tersenyum."Boleh? Kalau gak boleh, aku cium, nih!" pemuda itu tidak punya pilihan selain setuju. Elsa tertawa, lalu mengambil tas ransel Romi untuk dibawa ke depan."Aku tunggu di ruang makan ya." Romi menatap pintu yang tertutup kembali. Tidak ada debat di jantungnya, seperti bila ia berdekatan dengan Mutia. Murni sikapnya pada Elsa adalah bentuk perhatiannya sebagai suami. Ditambah Elsa yang sedang amnesia bersikap begitu baik, maka tidak ada alasan baginya untuk membalas sikap buruk Elsa sebelum kejadian kecelakaan itu. Gegas ia menyemprotkan p
"Halo, Bun, assalamualaikum." Elsa menyapa sembari mencium punggung tangan ibu mertuanya yang berkurang lebar. Luisa, hari ini ia kedatangan tamu spesial. "Wa'alaykumussalam." Luisa memperhatikan wajah putra dan juga menantunya bergantian."Kalian sudah makan?" "Sudah, Bunda, saya makan makanan di klinik tadi. Boleh duduk ya, Ma." "Oh, iya, duduk aja!" Luisa sedikit canggung. Ia tidak suka dengan Elsa, itu sudah jelas, tetapi Elsa yang malam ini datang ke rumahnya adalah Elsa yang tengah amnesia. "Mau minum apa?" Romi menurunkan ranselnya."Mau air putih saja. Apa saya boleh ambil sendiri ke dalam? Saya mau lihat-lihat rumah mertua." Elsa tersenyum lebar. Sekali lagi Luisa menatap Romi dengan penuh tanda tanya. Putranya itu hanya tersenyum tanpa berkata apapun ."Ada di sebelah kanan." Luisa menunjuk dapurnya. Elsa berjalan melewati mertuanya dengan sedikit membungkuk sopan. "Kenapa dia?" tanya Luisa tanpa suara pada Romi."Lagi bener," jawab Romi juga tanpa suara. Pemuda itu men
"Gadis yang kemarin pacar Romi?" Elsa menaruh kembali gelas yang hampir saja menyentuh bibirnya. "Bukan, Ma, hanya dekat saja." Elsa meneruskan minum susu ibu hamil."Masih muda. Teman kampus?" Elsa mengangguk."Kayaknya suka Romi." Elsa tersenyum."Iya, kelihatan kok. Kalau tidak suka, mana mungkin berani ke sini hanya ingin tahu kenapa pesannya tidak dibalas." "Lalu kamu?" Bu Dian penasaran dengan raut wajah putrinya."Biasa saja. Tidak cemburu juga. Kehidupan Romi di luar sana bukan sepenuhnya menjadi urusan Elsa. Apalagi masalah hati. Elsa kira, mungkin akan bisa terus menjadi istri Romi, tetapi karena Elsa hamil dan Romi sebenarnya punya kekasih, lebih baik kami berpisah, Ma. Elsa gak papa.""Nak, k-kamu harus tarik ucapan kamu tadi," ujar Bu Dian terkejut. Elsa menggelengkan kepala."Kami masih bisa silaturahmi seperti saudara, Ma. Mama jangan khawatir." Elsa bangun dari duduknya sambil membawa piring kue berisi brownies.Bu Dian hanya bisa menatap kasihan pada putrinya. Nasib
"Jadi kalian pacaran?" tanya Elsa pada Romi dan Mutia. "Kami teman, Mbak," jawab Mutia jujur. "Lalu, ada apa ke sini? Apa kamu belum tahu bahwa Romi sudah menikah?" tanya Elsa tanpa memutus pandangannya terhadap Mutia."Sudah tahu, hanya A Romi udah gak ke kampus dua hari. Saya kira sakit. Wa saya gak dibalas, hanya dibaca saja." Elsa tersenyum pada suaminya. "Karena dia sedang menjaga saya. Jangan sungkan, kalian bicara saja, saya gak mau ganggu. Saya mau istirahat.""Biar saya bantu, Mbak," ujar Romi sudah berdiri untuk memapah Elsa."Aku belum jompo." Elsa mencebik, lalu berjalan masuk ke kamar.Kini, Romi dan Mutia ada di taman belakang. Mutia canggung berduaan saja dengan Romi di rumah mertua lelaki itu."Jadi, apa yang membawa kamu sampai di sini? Kamu nekat sekali," kata Romi sambil menggaruk rambutnya yang tidak terlalu gatal. "Mutia hanya ingin tahu kabar A Romi. Karena pesan Mutia gak dibalas.""Aku gak papa, Mutia. Terima kasih atas perhatian kamu. Sekarang aku masih su