POV Luisa Aku di sini, di kota Yogyakarta yang katanya kota akan penuh kenangan. Hal itu yang aku rasakan saat ini, tepat tiga hari aku dan Kang Abdi melewati masa honeymoon yang sebenarnya kabur di kota ini. Aku senang diajak berkeliling Yogyakarta, sepertinya Kang Abdi banyak tahu tentang kota ini. Suamiku juga sangat perhatian dan penuh kehati-hatian. Setiap lima belas menit ia pasti bertanya, apakah aku capek berkeliling? Kadang aku menggelengkan kepala karena memang aku tidak lelah, tetapi aku juga kadang tidak menjawab, tetapi peluh yang membanjir di kening dan leher ini adalah buktinya. Jika sudah seperti itu, maka Kang Abdi akan mengajakku beristirahat cukup lama. Terkadang aku hanya ingin mengatur napas yang sesak karena banyak berjalan, tetapi Kang Abdi selalu menganggapku kelelahan."Apa mau pulang?" tanyanya waktu kamu berhenti menikmati es cendol dawet. Tentu saja aku menggelengkan kepala."Baru juga selesai solat Zuhur. Masih lama sorenya. Saya mau keliling sampai puas,
Kang Abdi tidak main-main dengan ucapannya. Kami tidak jadi pergi jalan-jalan, melainkan mampir di sebuah motel yang tidak terlalu besar. Biaya sewanya saja hanya delapan puluh ribu untuk satu hari. Kamarnya tidak terlalu besar, tetapi rapi. Isi kamar standar seperti hotel bintang tiga lainnya. "Kenapa tidak balik ke hotel kita pertama saja?" tanyaku saat ia tengah membuka kancing baju gamis ini dengan napas memburu. "Kakang terlalu lapar." Suaranya bergetar menahan hasrat. Aku pun pasrah jika saat ini jilbab panjangku sudah teronggok di lantai. Kami berciuman dengan penuh kerinduan setelah mengungkapkan perasaan masing-masing. Jika kebanyakan orang mungkin akan mengungkapkan perasaan di restoran mewah atau tempat menyenangkan, tetapi kami malah di pedangan cendol. Lucu sih, tapi sekaligus juga bikin aku terharu.Kang Abdi tiba-tiba membalik badanku, lalu memelukku dari belakang dengan sangat erat. Bagian kancing yang sudah terbuka memudahkannya mencari sesuatu yang menjadi bagian
"Bos, dari yang saya dengar, Non Luisa dan suaminya pergi ke Jakarta untuk berobat. Non Luisa punya masalah dengan lambung dan ... maaf, saya baru dapat kabarnya hari ini, bahwa Non Luisa dilarikan ke rumah sakit tiga hari lalu.""Ya ampun, kenapa kamu baru kabari saya sekarang? Sial! Cepat kamu balik ke Jakarta dan cari di rumah sakit mana Luisa dirawat. Cukup satu kali kesalahan ini, jangan ulangi lagi kalau kamu gak mau saya pecat!"Levi membanting ponselnya, untuk kedua kalinya ia merasa kecolongan akan keberadaan Luisa. Sangat sulit menjangkau mantan istri Edmun itu dan sekarang Luisa tidak tahu di mana. Levi terus membatin kesal. Layar laptop yang berisi pekerjaan sudah tidak minat lagi untuk diteruskan.Satu-satunya hal yang membuatnya bisa sedikit melupakan Luisa adalah berkencan. Tidur dan berpetualang ranjang dengan wanita-wanita cantik di kelab malam, bukan wanita udik bin tolol seperti istrinya. "Permisi, Pak Levi, kita ada meeting jam dua siang," ujar Lisna terburu-buru
"Non beneran udah selesai liburannya? Gak mau terusin aja, mumpung kita aman terkendali. Gak ada yang rempongin," kata Abdi sambil tertawa."Apa itu rempong, Kang?" tanya Luisa polos. "Ribet, rusuh, pokoknya ngeselin, Non.""Oh, gitu, ha ha ha ... ya pengennya liburan terus sih, tapi masih bisa nanti-nanti, Kang. Uang kita juga udah banyak yang keluar. Udah saatnya janji temu dengan teman papa. Kata papa, beliau yang udah siapkan tempat untuk kita tinggal sementara." "Iya sih, ya sudah, kita keluar hotel siang ini. Kita beresin pakaian sama-sama ya." Luisa mengangguk setuju. Suamimya tidak pernah menolak untuk membantu apapun itu pekerjaan rumah yang ia lakukan. Hal itu ia rasakan saat tinggal di kampung. Mulai dari mengepel, menjemur cucian, mencuci piring. Tanpa diminta, sudah siap mengerjakan semuanya. Beda dengan Edmun yang tidak mau melakukan pekerjaan rumah tangga apapun, bahkan menaruh piring kotor bekas makan ke sink, tetap tidak mau, padahal hanya empat langkah saja dari me
POV Luisa"Maafkan kalian lama menunggu," kata Om Mustopo pada kami. Sudah setengah jam memang kami menunggu beliau, tetapi tidak masalah karena kamu bisa menunggu di halaman. Halaman rumah yang asri dengan banyak tanaman di sekelilingnya. Ada juga ayunan dan perosotan anak-anak. Di sana-lah tadi kami duduk menunggu.Semoga dengan adanya mainan anak-anak di rumah ini, bisa sebagai pemancing nanti aku punya anak dari suamiku. Pikiran tersugesti, kesehatan pun bisa mengikuti. Aku yakin itu. "Gak papa, Om. Ini nunggu sambil main ayunan. Seru juga. Luisa malah gak mau udahan. Kalau Om belum datang, mungkin sampai magrib pun dia mau main ayunan.""Ish, kenapa saya, Kang?" Om Mustopo tertawa renyah. "Sudah, sudah, pengantin baru jangan berdebat di luar. Ayo, kita masuk! Om yakin kalian suka.""Luisa selalu yakin dengan pilihan papa. Sama seperti memilih Kang Abdi buat saya," kataku sambil mencolek lengan suamiku itu. Kang Abdi menyeringai, begitu juga Om Mustopo yang ikut tersenyum meliha
"Kenapa, Nisa?" aku merebut ponsel dari tangan suamiku. Suara isak tangis Nisa terdengar di seberang sana hingga aku pun panik. "Nisa, kamu kenapa? Papa kenapa? Ada apa?" suaraku serak karena gemetar mendengar tangisan Nisa."P-pa ... p-papa ...." Nisa terbata dan ia tidak bisa memaksa ibu sambungku itu untuk bercerita karena suaranya saja terputus-putus."Nisa, kamu tenang ya. Tenang dan jangan panik. Ini Kang Abdi lagi nelpon sodara di sana. Kamu jangan nangis ya." Sebenarnya aku bukan hanya menguatkan Nisa, tetapi juga menyamarkan rasa takut dan cemas ini. Rasanya baru saja aku bisa menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan selama beberapa hari, sekarang aku harus merasakan sesak lagi. Sesak dengan semua masalah yang datang silih berganti. Kulihat Kang Abdi berjalan keluar rumah sambil menelepon seseorang. "Kamu tenang, Nisa. Minum air putih yang banyak. Jangan sendirian di rumah. Pergi ke rumah Pakde Danang ya. Di sana lebih aman untuk saat ini kalau kamu memang panik.
POV penulis"Bos, Non Luisa dan suaminya pergi ke Jakarta, tapi ke mana saya gak dapat informasi jelasnya. Kata tetangga di kampung sana, Non Luisa dibawa ke rumah sakit karena sakit lambung.""Apa, Luisa sakit? Kamu sudah pastikan semua rumah sakit di Jakarta?""Belum semua, Bos. Ada sepuluh rumah sakit yang saya konfirmasi dan mereka gak ada pasien bernama Luisa.""Oke, kamu balik lagi aja ke Jakarta. Kamu selusuri dua hari ini jika memang Luisa dirawat di rumah sakit.""Duh, apa jangan-jangan malah udah keluar rumah sakit ya, Bos.""Loh, mana saya tahu? Kapan itu Luisa sakit?""Sepuluh hari lalu, Bos.""Gobl0k! Udah pasti dia udah sembuh dan keluar dari rumah sakit. Kamu ini apa-apa tertinggal. Rugi saya gaji kamu mahal. Udah, kamu gak perlu cari Luisa lagi! Saya gak pake kamu lagi, bodoh!" Levi membanting ponselnya. Ia merasa dipermainkan oleh orang suruhannya yang memang baru bekerja untuknya lima bulan ini, hanya untuk mengintai Luisa dan suaminya, tetapi lagi-lagi ia ketinggal
"Kita bernegosiasi saja. Saya juga baru tahu kalau Bapak ini adalah mertua Abdi yang sekaligus kakak iparnya. Saya banyak dapat informasi tentang Bapak dari orang saya. Bapak bangkrut ya. Anak Bapak Luisa terkena kasus foto bugil? Ha ha ha ... lalu dengan niqob menutupi masa lalunya yang sangat waw sekali menurut saya." Pak Darmono menelan ludah. Ia tidak bisa apa-apa karena tangan diikat, begitu juga kakinya. "Berikan anak Bapak untuk saya, maka Bapak akan saya lepaskan, bagaimana? Abdi biar untuk putri saya. Sejak lama putri saya mencintai Abdi. Ia mengira bisa mendapatkan pemuda itu sepulang dari Jakarta. Ternyata Abdi pulang malah mau menikah dengan Luisa. Luisa, nama yang bagus, tapi tidak seperti kelakuannya. Dari pada Bapak malu, lebih baik serahkan Luisa pada saya dan katakan di mana Luisa dan Abdi. Saya gak akan sakiti Bapak.""Saya gak mungkin kasih putri saya sama pria yang statusnya sama seperti saya, sedang menunggu antrean dijemput Malaikat maut," jawab Pak Darmono diir