Cristy benar-benar mendatangi rumah Pak Darmono. Wanita itu tahu, bahwa Luisa masih ada di sana. Buktinya rumah yang biasa Luisa tinggali bersama Edmun, sepi. Lagian Luisa belum bisa bepergian karena masih dalam masa iddah. Kini, Cristy sudah berada di depan rumah Pak Darmono. Klakson mobil ditekan dua kali oleh sopir Cristy. Wanita itu datang ditemani oleh salah seorang ajudan. Nisa yang tengah menyiram tanaman, mendengar bunyi klakson mobil di depan. Lekas ia mematikan keran air, merapikan seadanya selang air yang panjang itu, untuk melihat siapa tamunya. Belakangan ini begitu banyak tamu yang datang ke rumah suaminya dan itu rata-rata untuk menagih utang dari Edmun. Nisa membuka pintu kecil di samping pagar. "Siapa?" tanya Nisa dengan sedikit menyipitkan matanya. Matahari pukul sebelas siang, membuat matanya silau. Sopir Cristy memundurkan sedikit mobilnya saat melihat ada wanita di pintu kecil. Kaca mobil bagian belakang pun diturunkan oleh Cristy. "Apa saya bisa bertemu Lui
"Papa rasa tidak mungkin, Luisa. Kamu pernah didiagnosa oleh dokter perihal kesuburan bukan? Katanya kamu akan sulit punya anak." Pak Darmono keningnya yang mendadak berat. Belum kering tanah kuburan Edmun, kini ditambah kenyataan putrinya sakit, mual dan muntah seperti gejala hamil. "Pa, yang memberikan anak pada perempuan itu ya Pencipta, Pa. Gak ada yang gak mungkin kalau Tuhan sudah ikut campur. Prediksi manusia bisa saja salah," jawab Luisa dengan helaan napas. "Oke, dari pada penasaran, besok pagi kamu test pack.. Jika positif, maka kita harus segera ke dokter untuk memeriksakannya. Mungkin saja kehamilan kamu ini sebagai pengganti Edmun yang akan menemani kamu. Papa sudah tua dan kamu butuh teman." Sekali lagi Pak Darmono menghela napas berat. Bagaimana tidak berat? Mau sekaya apapun dirimu, jika harus mengurus utang milyaran di luar sana, pastilah sangat berat. Masih untung papanya tidak stres berat dengan tagihan utang Edmun. Ia harus bersyukur papanya bisa membantu membay
Sepanjang malam Luisa terjaga dari tidurnya. Ia tak sabar menanti pagi agar bisa segera menuntaskan rasa penasaran. Apakah rasa mual dan muntah-muntahnya selama beberapa hari ini karena ia hamil. Semoga saja tidak ya, Tuhan! Itulah doa dalam hati yang selalu ia ucapkan sepanjang malam. Tiba pukul lima subuh, tepat suara azan berkumandang, Luisa pergi ke kamar mandi dengan membawa alat test pack, serta wadah kecil seperti wadah vitamin C yang transparan. Ia memeriksa air seninya. Menunggu alat bekerja selama beberapa detik. Matanya bahkan tak sanggup berkedip demi melihat garis satu yang ia inginkan tetap satu saja, tetapi itulah hanya sebuah keinginan, karena saat ini, garis itu perlahan menjadi dua, meskipun samar. Tidak puas dengan satu test pack, maka Luisa menggunakan alat tes kehamilan yang satunya lagi. Ia berharap garis satu, ternyata keinginannya tidak dikabulkan oleh Tuhan. Kedua test pack itu bergaris dua. Luisa terduduk di atas closet yang sudah ia tutup. Kedua kakinya
Kabar kehamilan Luisa tentu saja membuat Levi sangat terkejut. Karena dari informasi yang ia dapat dari almarhum Ed, Luisa sulit punya anak. Selama menikah dengan Ed, belum pernah sekali pun wanita itu positif hamil. Ed begitu yakin kalau istrinya sulit untuk punya anak, oleh karena itu, Levi nekat nekat meminta syarat untuk tidur dengan wanita yang ada dalam obsesinya. Jika sekarang Luisa hamil, berarti Luisa hamil anak siapa? Levi begitu galau dan gamang. Ia ingin menelepon Luisa, tetapi ponsel wanita itu belum aktif. Ini sudah mendekati tiga puluh hari wafatnya Ed dan wanita itu belum membuka komunikasi dengannya. Apakah perlu setengah memaksa? Levi menekan kontak Pak Darmono. "Halo, selamat sore, Pak." Levi bicara dengan nada formal. "Halo, selamat sore, Levi. Ada yang bisa saya bantu?""Saya boleh minta nomor telepon rumah, Pak? Saya ingin berbincang dengan Luisa. Ponselnya sudah satu bulan ini tidak aktif. Saya mencemaskan Luisa." Terdengar suara tawa pendek Pak Darmono. "B
Luisa dan Levi duduk berdua di halaman belakang, setelah Pak Darmono membolehkan keduanya berbicara serius. Tentu saja Levi yang dengan begitu sopannya meminta ijin kepada beliau. Pak Darmono juga merasa bahwa putrinya dan Levi perlu bicara empat mata. Luisa butuh teman untuk melupakan isi hati tentang perasaannya setelah ditinggal oleh Edmun. "Bagaimana, apa masih berat memikirkan kepergian Ed?" tanya Levi membuka percakapan. Malam sangat sepi, yang terdengar hanya suara jangkrik yang saling sahut di rerumputan. Luisa menoleh, lalu menggeleng. "Sudah biasa saja. Mungkin dengan begitu banyak masalah yang ia tinggalkan, membuat perasaan saya hambar." Luisa menatap langit malam. Tatapan Levi terlalu tajam. Ia khawatir semakin lemah jika berani menatap matanya yang seperti memiliki magnet untuk menundukkan lawat bicara. "Saya paham. Lalu sekarang, mmm.... " Levi menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Setelah dirasa aman dan sepi, Levi kembali mena
Luisa dilarikan ke rumah sakit karena wanita itu pendarahan. Nisa yang pertama kali melihatnya. Ibu sambung Luisa itu mendobrak kamar Luisa saat Luisa tak kunjung keluar. Dengan bantuan mobil tetangga sebelah, Luisa dibawa ke rumah sakit terdekat. Luisa sadar, tetapi ia seperti sedang mengantuk. "Nisa, basah," ujar Luisa lirih. Rumah sakit masih beberapa ratus meter lagi, tetapi sepertinya Luisa sudah sangat lemas. "Iya, sabar, ya. Di depan rumah sakitnya. Kamu yang kuat dan sabar." Luisa tidak menjawab. Ia hanya terus mengerjapkan matanya karena terasa sangat mengantuk. Mobil berhenti tepat di lobi IGD. Sopir yang bernama Hasan itu yang turun lebih dahulu, lalu berbicara pada satpam rumah saksi t. Tidak lama kemudian, Hasan mendekati pintu penumpang belakang. Brangkar panjang sudah ikut menyusul di belakang Hasan. "Ayo, harus segera dibawa ke ruang tindakan!""Iya, Pak, terima kasih." Nisa mengangguk. Kakinya terseret-seret mengikuti satpam dan juga Hasan yang setengah berlari m
Dua minggu sudah berlalu, sejak Luisa keluar dari rumah sakit. Kesedihan masih menyelimuti keluarga Pak Darmono, khususnya Luisa. Meskipun ia sempat ragu siapa ayah bayi yang dikandungnya, tetapi ia sudah terlanjur jatuh cinta pada setiap momen saat ia merasakan mual dan muntah. Ngidam membuatnya bisa sangat dimanja sang Papa dan dituruti oleh ibu sambungnya.Hidup harus terus berjalan. Ia akan belajar melupakan kenangan bersama Edmun dan juga kenangan bahwa ia sempat diberikan kesempatan mengandung bayi. Itu tandanya ia tidak mandul, seperti yang pernah dituduhkan oleh ibu mertuanya waktu itu. "Eh, Papa sudah pulang." Luisa bangun dari duduknya. Ia menyambut kepulangan papanya dari kantor. Namun ada yang berbeda dari biasanya, wajah papanya nampak begitu lelah."Papa mau teh atau kopi? Papa kenapa? sakit?" tanya Luisa khawatir. Pak Darmono menghela napas, lalu ia duduk di sofa tanpa semangat. Luisa pun akhirnya ikut duduk di samping papanya. Menatap wajah tua itu yang terlihat begit
"Papa becanda,kan? Ini gak lucu, Pa! Gak mungkin secepat ini saya sudah menikah lagi. Papa yakin Pak Levi meminta hal ini, bukan karena Papa yang ingin memberikan saya sebagai ucapan terima kasih?" Luisa menangis di depan Pak Darmono. Pria tua itu pun ikut berkaca-kaca. Sebenarnya ia tidak mau seperti ini, tetapi Levi yang begitu terobsesi dengan putrinya, membuatnya juga sedikit ketar-ketir, apalagi ia sudah berutang banyak pada Levi."Luisa, Papa yakin sekali kamu tahu maksud Papa. Yakinlah semua ini demi kebaikan kamu. Papa yakin pada kesungguhan Levi yang benar mencintai kamu. Papa juga sudah pernah satu kali bertemu dengan orang tua Levi dan mereka bukan orang sembarangan. Beda sama Edmun. Ini salah satu akibat dari dimabuk cinta pada orang sembarangan. Dan tidak menuruti omongan Papa waktu itu." Luisa semakin terisak, tetapi menolak pun percuma karena ia sudah berutang banyak pada Levi. Semua keputusannya akan berdampak pada kesehatan sang Papa yang saat ini tidak memiliki peke