Luisa dilarikan ke rumah sakit karena wanita itu pendarahan. Nisa yang pertama kali melihatnya. Ibu sambung Luisa itu mendobrak kamar Luisa saat Luisa tak kunjung keluar. Dengan bantuan mobil tetangga sebelah, Luisa dibawa ke rumah sakit terdekat. Luisa sadar, tetapi ia seperti sedang mengantuk. "Nisa, basah," ujar Luisa lirih. Rumah sakit masih beberapa ratus meter lagi, tetapi sepertinya Luisa sudah sangat lemas. "Iya, sabar, ya. Di depan rumah sakitnya. Kamu yang kuat dan sabar." Luisa tidak menjawab. Ia hanya terus mengerjapkan matanya karena terasa sangat mengantuk. Mobil berhenti tepat di lobi IGD. Sopir yang bernama Hasan itu yang turun lebih dahulu, lalu berbicara pada satpam rumah saksi t. Tidak lama kemudian, Hasan mendekati pintu penumpang belakang. Brangkar panjang sudah ikut menyusul di belakang Hasan. "Ayo, harus segera dibawa ke ruang tindakan!""Iya, Pak, terima kasih." Nisa mengangguk. Kakinya terseret-seret mengikuti satpam dan juga Hasan yang setengah berlari m
Dua minggu sudah berlalu, sejak Luisa keluar dari rumah sakit. Kesedihan masih menyelimuti keluarga Pak Darmono, khususnya Luisa. Meskipun ia sempat ragu siapa ayah bayi yang dikandungnya, tetapi ia sudah terlanjur jatuh cinta pada setiap momen saat ia merasakan mual dan muntah. Ngidam membuatnya bisa sangat dimanja sang Papa dan dituruti oleh ibu sambungnya.Hidup harus terus berjalan. Ia akan belajar melupakan kenangan bersama Edmun dan juga kenangan bahwa ia sempat diberikan kesempatan mengandung bayi. Itu tandanya ia tidak mandul, seperti yang pernah dituduhkan oleh ibu mertuanya waktu itu. "Eh, Papa sudah pulang." Luisa bangun dari duduknya. Ia menyambut kepulangan papanya dari kantor. Namun ada yang berbeda dari biasanya, wajah papanya nampak begitu lelah."Papa mau teh atau kopi? Papa kenapa? sakit?" tanya Luisa khawatir. Pak Darmono menghela napas, lalu ia duduk di sofa tanpa semangat. Luisa pun akhirnya ikut duduk di samping papanya. Menatap wajah tua itu yang terlihat begit
"Papa becanda,kan? Ini gak lucu, Pa! Gak mungkin secepat ini saya sudah menikah lagi. Papa yakin Pak Levi meminta hal ini, bukan karena Papa yang ingin memberikan saya sebagai ucapan terima kasih?" Luisa menangis di depan Pak Darmono. Pria tua itu pun ikut berkaca-kaca. Sebenarnya ia tidak mau seperti ini, tetapi Levi yang begitu terobsesi dengan putrinya, membuatnya juga sedikit ketar-ketir, apalagi ia sudah berutang banyak pada Levi."Luisa, Papa yakin sekali kamu tahu maksud Papa. Yakinlah semua ini demi kebaikan kamu. Papa yakin pada kesungguhan Levi yang benar mencintai kamu. Papa juga sudah pernah satu kali bertemu dengan orang tua Levi dan mereka bukan orang sembarangan. Beda sama Edmun. Ini salah satu akibat dari dimabuk cinta pada orang sembarangan. Dan tidak menuruti omongan Papa waktu itu." Luisa semakin terisak, tetapi menolak pun percuma karena ia sudah berutang banyak pada Levi. Semua keputusannya akan berdampak pada kesehatan sang Papa yang saat ini tidak memiliki peke
"Edmun, b-bukankah k-kamu sudah meninggal? T-tapi kenapa.... " Pak Darmono tergagap menyadari pria yang berada di dekat penghulu adalah Edmun; menantunya yang sudah tiga bulan meninggal, tapi sekarang lelaki itu ada di depannya dengan wajah semringah dan badan yang nampak segar. "Apa yang kamu l-lakukan di sini? B-bagaimana bisa kamu bangun dari k-kuburan? Jelas saya melihat wajah kamu yang meskipun babak belur, tetapi.... " Luisa tidak bisa melanjutkan perkataannya. Semua ini terlalu mengejutkan dan juga menyakitkan buatnya. Suaminya hidup lagi bukanlah yang menggembirakan karena ia tahu, setelah ini pasti akan muncul masalah baru lainnya. "Tentu saja bisa, Sayang. Apa yang ga bisa untuk seorang Edmun? Sayang sekali papa kamu itu tidak menganggap saya sebagai menantu yang baik. Sayanya sekali ia tidak percaya pada menantunya ini untuk mengurus perusahaan. Lihat sekarang, apa yang terjadi? Semuanya hilang bukan? Ini adalah karma Luisa. Papa kamu ini terlalu sombong. Seakan-akan ia
Luisa masih menangis di ruang tunggu rumah sakit. Untuk kesekian kalinya sang Papa terkena serangan jantung cukup parah, sehingga belum sadarkan diri sampai saat ini. Lagi-lagi karena masalahnya mengakibatkan serangan jantung dan tidak sadarkan diri. Tentu saja gara-gara Edmun. Jika saja ia tidak jatuh cinta pada Edmun. Jika saja waktu itu ia mendengar apa kata papanya dan kakaknya. Pasti semua ini tidak akan terjadi. Perusahaan pasti aman dan papanya bisa sehat terus. Namun, nasi sudah jadi bubur dan ia tidak bisa protes pada takdir. "Non, jangan nangis terus. Nanti saya jadi makin sedih," kata Nisa sambil menggenggam anak sambung yang masih ia panggil dengan sebutan "Non'. Luisa menoleh, lalu ia mengusap air mata yang sudah membasahi pipi Nisa. " Kita harus kuat ya, Nisa. Demi papa biar lekas sehat. Terima kasih sudah mau menjadi istri papa, meskipun diam-diam dan masih mengerjakan pekerjaan rumah." Nisa tersenyum tipis. "Kamu tadi hebat. Saya sangat yakin burung Edmun tidak akan
"Kang, alhamdulillah akhirnya datang juga. Ayo, sini, Kang, ketemu sama Non Luisa! " Nisa mengajak kakaknya yang bernama Abdi langsung masuk ke dalam lift. "Akang teh lapar, Neng. Waktu bus berhenti di rest area, Akang pules. Jadinya ini belom makan. Akang makan dulu ya?" pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu menatap adiknya dengan wajah memohon. "Bungkus aja ya, Kang. Gak enak sama Non Luisa. Ya udah, mau makan apa?""Makan nasi campur aja deh." Nisa mengangguk. Ia kembali menekan tombol lift turun untuk bisa segera sampai di kantin rumah sakit. Abdi memang tidak banyak bicara, karena anaknya sedikit pemalu, tetapi dapat dipastikan kakang dari Nisa itu adalah jawara di kampungnya. "Nisa, telornya dua ya," kata Abdi sambil menunjuk telur ceplok balado yang ada di etalase. Gadis itu menoleh kaget. "Bukannya udah punya dua?" Abdi terbahak mendengar seloroh adiknya. "Iya tahu, mentang-mentang sudah paham dunia dua bola, ha ha ha... " Nisa ikut tertawa pelan. "Empat puluh ribu, Mb
Luisa melihat status terbaru yang di posting oleh Bu Hera. Ada perasaan sedih dan juga kecewa karena foto resepsi Levi dan gadis muda bernama Rana. Namun, ia bisa apa karena takdir membawanya pada situasi sulit seperti ini. Berarti mereka memang belum berjodoh dan ia tahu pasti akan selalu ada hikmah di balik setiap kesulitan. Lelah membayangkan kesulitan yang ia alami satu per satu beberapa bulan belakangan ini, membuat wanita itu akhirnya terlelap juga. "Non kalau mau pulang, istirahat di rumah, pulang aja, Non. Nanti gantian, setelah Non, baru saya pulang untuk mandi dan ganti baju," kata Nisa pada Luisa, setelah mereka baru saja terbangun. Suara Nisa pun masih sangat berat, suara khas orang bangun tidur.Luisa masih dengan mata menyipit, memperhatikan jam di tangannya. Sudah jam tujuh pagi. Pantas saja perutnya terasa lapar dan Nisa memintanya pulang. "Apa? Pulang?" tanya Luisa lagi. "Iya, Non pasti capek habis acara kemarin dan dari kemarin belum ada pulang lagi ke rumah. Mend
"Sudah jelas ini disengaja, Mbak. Tidak mungkin ada banyak ular di dalam, maupun di luar rumah. Ini ada yang iseng. Musuh atau orang yang ga suka sama Mbak Luisa," kata Pak RT Harun. Mereka tengah memperhatikan CCTV komplek yang sangat jelas memperlihatkan dua orang naik sepeda motor sambil membawa karung. Satu di depan motor, satu lagi bagian belakang. "Ya, Pak, ada yang memang sedang tidak suka dengan saya dan keluarga saya. Terima kasih atas perhatian Pak Harun dan bapak yang lainnya terhadap rumah saya. Meskipun sudah dinyatakan steril oleh pihak Damkar, tapi saya masih takut untuk tinggal di sana. Ayah saya juga sedang dirawat . Untuk sementara waktu saya akan mengontrak saja, Pak. Saya juga tidak mau urusa saya membuat warga perumahan tidak tenang. Saya minta rekaman ini ya, Pak. Saya mau lapor polisi saja." Luisa tersenyum penuh keyakinan. Ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Selama ini ia hanya diam dan menerima apapun yang dilakukan Edmun padanya, termasuk mencuri semua
"Ma, Kevin gak bersalah, Ma. Wanita itu memfitnah Kevin. Kevin gak tahu apa-apa soal Dion dan Kevin gak kenal wanita itu!" Kevin terus merengek pada mamanya dari balik jeruji besi. "Mama justru bingung sama kamu. Kalau kamu gak kenal, kenapa wanita bernama Elsa itu punya semua buktinya? Dia sampai punya struk pembayaran hotel, villa, bukti chat ponsel, bukti transfer, dan rekaman suara kamu berencana mencelakai lelaki bernama Dion. Mama gak bisa bantu kamu, Kevin. Mama harap kamu bertaubat! Pantas Tuhan tidak ijinkan Mama berbesan dengan Bu Rana, ternyata emang anak Mama yang gak pantas bersanding dengan putri mereka.""Mama, semua itu fitnah! Mama harus percaya Kevin." Namun yang dilakukan wanita adalah segera beranjak dari penjara. Tujuannya hari ini adalah pergi ke rumah orang tua Elsa. Ya, ia harus mendengar cerita tentang Elsa dan juga Kevin.Bu Dian terheran-heran melihat kedatangan seorang wanita yang tidak ie kenal."Ibu siapa ya?" tanya Bu Dian yang saat ini sedang menimang
Dewasa(21+) Romi dan Mutia sudah tiba di Bali. Tiket honeymoon pemberian Elsa tentu saja saja tidak akan dilewatkan oleh keduanya. Ya, Elsa-lah yang memberikan Romi tiket bulan madu sebagai hadiah pernikahan kedua suaminya. Sampai kapan pun Elsa merasa tidak akan bisa membalas semua kebaikan dan juga ketulusan suaminya. Pemuda yang menjadi tersangka atas skandal yang ia susun bersama kekasihnya Kevin. Sebuah foto dikirimkan Mutia pada Elsa sebagai informasi bahwa mereka sudah sampai di kamar pengantin yang dipesan oleh Elsa. Selamat berbulan madu. Itulah pesan yang dibalas oleh Elsa. Mutia memperlihatkan balasan pesan pada suaminya. “Aa yakin kalau Mbak Elsa baik-baik saja? kenapa diterima hadiah bulan madu seminggu ini. Mahal banget loh,. Padahal papa juga mau kasih tiket bulan madu, tapi udah keduluan Mbak Elsa,” kata Mutia tisak enak hati. Romi tersenyum hangat, lalu menarik Mutia dalam pelukannya. “Ing
“Kamu ini, Pa, gak dapat ibunya, tetap saja terobsesi dengan keluarganya. Anak sendiri masih muda, cantik kaya, malah dapatnya suami orang. Nambah anaknya pula.” Rana terus menggerutu di kursi orang tua pengantin. Wanita itu masih tidak ikhlas jika putrinya menikah dengan Romi; anak dari wanita yang dahulunya digilai suaminya. Ditambah posisi Romi saat ini masih istri dari Elsa yang baru tiga puluh dua hari yang lalu melahirkan, tentu saja pernikahan yang seperti terburu-buru ini mengundang banyak gosip di luaran sana. “Ma, anaknya saling suka, kok. Kenapa kita harus gak setuju? Romi itu anak baik. Solatnya rajin dan juga pintar. Dia belum lulus aja udah dapat kerjaan. Pernikahannya dengan Elsa itu kecelakaan, bukan seperti pernikahan lainnya. Mama gak perlu khawatir, anak perempuan kita pasti senang dan bahagia bisa menikah dengan pujaan hatinya.” Levi tersenyum pada para tamu undangan yang sedang berjalan ke arahnya untuk bersalaman. Di seberang kursi orang tua ada L
"Selamat Pak Romi, bayinya lelaki dan lahir dengan selamat, meskipun baru delapan bulan di dalam perut.""Alhamdulillah, apa saya bisa melihat istri saya, Dok? Istri saya beneran gak papa?""Nggak papa, Pak, semuanya sehat selamat. Lagi disiapkan dulu untuk pindah kamar ya. Bayinya juga dibersihkan dulu, baru nanti bisa diazankan.""Berat badannya berapa, Dok?" tanya Bu Diana menyela."Beratnya tiga kilogram lebih dua ons. Panjangnya empat puluh sembilan. Normal semua dan tampan." Romi tersenyum senang sambil menoleh pada mertuanya. "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dok." Semua orang yang ada di sana ikut senang dengan kabar yang diberikan dokter, termasuk Luisa dan suaminya. Meski mereka tahu yang lahir bukanlah cucu dari benih anak mereka, tetapi mereka tidak keberatan dan tetap menerima Elsa. "Selamat Romi, terima kasih sudah menjaga Elsa dengan baik. Bunda gak sangka anak lelaki Bunda bisa hebat sekali seperti ini," ucap Luisa sembari memeluk putranya. Romi terharu, hingga ad
"Mama gak habis pikir sama kamu, Elsa. Apa maksud kamu membiarkan Romi menikahi gadis bernama Mutia? Romi itu suami kamu. Dia peduli sama kamu, Elsa. Kamu hamil dan dia juga sayang sama anak kamu!" Bu Diana hampir menangis saat mengetahui kabar bahwa Romi baru saja melamar gadis bernama Mutia. "Gak adil buat Romi, Ma. Sampai saat ini saya gak tahu bagaimana saya di masa lalu. Saya juga gak ngerti hubungan saya dan Romi seperti apa. Ternyata Romi punya wanita yang ia suka, begitu juga sebaliknya. Romi terlalu baik, Ma. Gak mungkin Elsa tega mengambil Romi. Setelah anak ini lahir, Elsa akan melepas Romi. Ini sudah keputusan Elsa. Romi pun setuju. Mama gak usah khawatir, Elsa gak papa. Elsa udah anggap Romi itu adik Elsa. Benar dia sayang Elsa, tapi sebagai kakak, bukan pasangan karena Romi menyukai dan mencintai Mutia. Bulan depan mereka akan menikah, dua Minggu menjelang saya HPL, semoga saja berjalan lancar." Bu Dian memijat keningnya. Ia tidak bisa begitu saja merubah keputusan putr
"Mbak Elsa mau tinggal di sini?" Romi menatap Elsa tidak percaya."Iya, mau di sini saja nginep lagi. Rumah bunda kamu adem." Romi merapikan baju kemeja yang hari ini ia pakai ke kampus. Pemuda itu tidak keberatan saat istrinya membantu mengancingkan beberapa kancing kemeja bagian bawah. "Saya mau kuliah.""Iya, yang bilang kamu mau konser itu siapa? Kuliah aja. Aku mau di sini. Ini kan rumah suamiku." Elsa memegang kedua pipi Romi sambil tersenyum."Boleh? Kalau gak boleh, aku cium, nih!" pemuda itu tidak punya pilihan selain setuju. Elsa tertawa, lalu mengambil tas ransel Romi untuk dibawa ke depan."Aku tunggu di ruang makan ya." Romi menatap pintu yang tertutup kembali. Tidak ada debat di jantungnya, seperti bila ia berdekatan dengan Mutia. Murni sikapnya pada Elsa adalah bentuk perhatiannya sebagai suami. Ditambah Elsa yang sedang amnesia bersikap begitu baik, maka tidak ada alasan baginya untuk membalas sikap buruk Elsa sebelum kejadian kecelakaan itu. Gegas ia menyemprotkan p
"Halo, Bun, assalamualaikum." Elsa menyapa sembari mencium punggung tangan ibu mertuanya yang berkurang lebar. Luisa, hari ini ia kedatangan tamu spesial. "Wa'alaykumussalam." Luisa memperhatikan wajah putra dan juga menantunya bergantian."Kalian sudah makan?" "Sudah, Bunda, saya makan makanan di klinik tadi. Boleh duduk ya, Ma." "Oh, iya, duduk aja!" Luisa sedikit canggung. Ia tidak suka dengan Elsa, itu sudah jelas, tetapi Elsa yang malam ini datang ke rumahnya adalah Elsa yang tengah amnesia. "Mau minum apa?" Romi menurunkan ranselnya."Mau air putih saja. Apa saya boleh ambil sendiri ke dalam? Saya mau lihat-lihat rumah mertua." Elsa tersenyum lebar. Sekali lagi Luisa menatap Romi dengan penuh tanda tanya. Putranya itu hanya tersenyum tanpa berkata apapun ."Ada di sebelah kanan." Luisa menunjuk dapurnya. Elsa berjalan melewati mertuanya dengan sedikit membungkuk sopan. "Kenapa dia?" tanya Luisa tanpa suara pada Romi."Lagi bener," jawab Romi juga tanpa suara. Pemuda itu men
"Gadis yang kemarin pacar Romi?" Elsa menaruh kembali gelas yang hampir saja menyentuh bibirnya. "Bukan, Ma, hanya dekat saja." Elsa meneruskan minum susu ibu hamil."Masih muda. Teman kampus?" Elsa mengangguk."Kayaknya suka Romi." Elsa tersenyum."Iya, kelihatan kok. Kalau tidak suka, mana mungkin berani ke sini hanya ingin tahu kenapa pesannya tidak dibalas." "Lalu kamu?" Bu Dian penasaran dengan raut wajah putrinya."Biasa saja. Tidak cemburu juga. Kehidupan Romi di luar sana bukan sepenuhnya menjadi urusan Elsa. Apalagi masalah hati. Elsa kira, mungkin akan bisa terus menjadi istri Romi, tetapi karena Elsa hamil dan Romi sebenarnya punya kekasih, lebih baik kami berpisah, Ma. Elsa gak papa.""Nak, k-kamu harus tarik ucapan kamu tadi," ujar Bu Dian terkejut. Elsa menggelengkan kepala."Kami masih bisa silaturahmi seperti saudara, Ma. Mama jangan khawatir." Elsa bangun dari duduknya sambil membawa piring kue berisi brownies.Bu Dian hanya bisa menatap kasihan pada putrinya. Nasib
"Jadi kalian pacaran?" tanya Elsa pada Romi dan Mutia. "Kami teman, Mbak," jawab Mutia jujur. "Lalu, ada apa ke sini? Apa kamu belum tahu bahwa Romi sudah menikah?" tanya Elsa tanpa memutus pandangannya terhadap Mutia."Sudah tahu, hanya A Romi udah gak ke kampus dua hari. Saya kira sakit. Wa saya gak dibalas, hanya dibaca saja." Elsa tersenyum pada suaminya. "Karena dia sedang menjaga saya. Jangan sungkan, kalian bicara saja, saya gak mau ganggu. Saya mau istirahat.""Biar saya bantu, Mbak," ujar Romi sudah berdiri untuk memapah Elsa."Aku belum jompo." Elsa mencebik, lalu berjalan masuk ke kamar.Kini, Romi dan Mutia ada di taman belakang. Mutia canggung berduaan saja dengan Romi di rumah mertua lelaki itu."Jadi, apa yang membawa kamu sampai di sini? Kamu nekat sekali," kata Romi sambil menggaruk rambutnya yang tidak terlalu gatal. "Mutia hanya ingin tahu kabar A Romi. Karena pesan Mutia gak dibalas.""Aku gak papa, Mutia. Terima kasih atas perhatian kamu. Sekarang aku masih su