Betapa terkejutnya mas Albi ketika pulang dari kantor dan mendapati diri ini menangis. Dengan kepala tertunduk dan kesedihan yang benar-benar pilu.Dia heran saat membuka sepatunya dan langsung mendekat padaku."Ada apa Bund, Apa yang terjadi?""Entah dari mana aku harus memulai cerita, tapi yang jelas, Filza mengadu kepada Ibumu dan beliau datang untuk menegurku," jawabku menangis. Aku sengaja melakukannya karena Mas Albi tidak akan tahan ketika melihat istrinya menangis dia pasti akan marah ketika wanita yang dicintainya terluka dan mengeluarkan air mata."Ibu bilang apa?""Yang pasti ... beliau minta agar aku lebih bijak dan lebih memperhatikan Filza, aku harus mengalah dan membiarkan dia punya banyak waktu denganmu," jawabku tersedu. Aku tak peduli apakah pada akhirnya aku yang akan disebut ratu drama dan tukang cari muka atau tidak, aku juga harus playing victim seperti adik maduku yang keterlaluan itu."Astaga ... maafkan aku yang tak menduga hal itu. Sekarang tenanglah, semuan
"Filza, dengar, tunggu!""Gak ada lagi yang mau aku bicarakan," ujarnya dingin."Jangan ambil keputusan terburu-buru kau harus mencoba berpikir jernih dan tenang," ujar Mas Albi menarik lengan istrinya. Mencoba meraih kedua bahu wanita itu dan membujuknya, tapi sayang di wanita menepis dan tetap pada pendiriannya."Jangan ancam aku begitu, Fil. Aku tak mau kehilangan istri.""Bisa-bisanya di dalam hatimu terkumpul dua cinta yang sama besarnya. Aku tidak percaya selain perasaan itu condong kepada istri pertamamu. Aku tahu diri kok Aku adalah orang yang datang kemudian dan wanita itu menguasai segalanya atas dirimu dan aset-asetmu.""Tidak, Jangan sebut menguasai. Dia tidak pernah ikut campur dalam pembagian uang dan waktuku terhadap kalian berdua. Aku membagi sesuai porsi dan keinginanku dan aku juga bercinta dengan wanita yang aku inginkan.""Sebagai pria kau sangat berhak hidup semau maumu, tapi sebagai wanita kami terlunta dan merasa dianak-tirikan.""Jadi apa yang harus aku lakuka
"Filza, tunggu, Filza ..." Mas Albi nampak panik dan cemas, ia sangat kalut dan mondar mandir di dalam rumahnya dengan gelisah."Begini, Mas, sebaiknya kau susul dia.""Tidak, situasinya sedang kacau, aku akan berseteru dengan ayah dan ibunya jika sampai itu terjadi. Malam ini dia pasti histeris dan membuat siapa saja emosi. Aku akan menyusulnya besok.""Baik, itu ada benarnya, tapi kuharap semoga saat menjumpai dia wanita itu dan orang tuanya dalam keadaan tenang.""Ah, entahlah ...." Mas Hamdan menghempas dirinya di sofa sambil memijit kepala dengan galau. Berkali kali ia menghela napas hingga memutuskan untuk langsung pergi saja."Aku tahu, aku sudah sangat berdosa, aku memukul dan menyakiti istriku, itu adalah perbuatan yang sungguh aku sesali. Aku yakin ayahnya sangat murka, dan aku siap menerima hukuman darinya." Pria itu meraih kunci mobil dan bersiap pergi."Mas ... Aku khawatir. Atas semua ucapanmu yang mengatakan bahwa kau lelah hidup dengannya dan ingin istirahat, mungkin,
Setelah mengirimkan pesan seperti itu filsa tidak lagi menggangguku. Tidak ada lagi pesan atau gangguan darinya sedang aku sangat bersyukur sekali dia akhirnya berhenti.Pukul tiga sore, Mas Albi pulang, seperti biasa mobil Fortuner hitam itu diparkir di garasi dan suamiku turun dari sana. Sewaktu berpapasan dan mencium tangannya, aku melihat wajahnya pucat dan kantung matanya semakin membesar.Kutanyai dirinya apakah semalam tertidur atau tidak."Kau tidur nyenyak semalam Mas?""Tidak tidak aku tidak bisa tidur mendapati masalah dengan mertuaku, aku benar-benar sangat gelisah.""Aku yakin kau pasti lelah dan pusing," ujarku sambil menggandengnya dan mengajaknya ke meja makan."Sangat lelah. Tapi, tadi aku sudah makan siang di kantor, nanti saja makannya. Aku mau langsung ke kamar dan tidur."Kupikir tadinya, aku akan membahas masalah Filza dan menuntaskannya, tapi melihat keadaan Mas Albi yang lelah dan lesu aku pun membatalkan percakapan itu.Kususul suamiku sepuluh menit kemudian,
"Astaghfirullah, Pak, kendalikan dirimu," ucap Istri ayahnya Filza sambil mengelus dada sang suami."Kenyataannya ... andai dia paham, bahwa Albi bukan miliknya saja, maka sudah barang tentu, dengan sendirinya dia mengerti bahwa ada waktu dan perhatian yang harus dibagi.""Tapi, kau serakah!" ujar ayah Filza dengan mata merah dan suara meninggi, aku sampai tersentak dan syok mendengarnya. Dia ingin maju dan menyerangku tapi istrinya menahannya."Maaf, saya tidak serakah Pak. Perkara Mas Albi lebih banyak di rumah, itu karena dia merasa ingin ada di sini. Saya tidak pernah memaksanya datang apalagi sampai menginginkan sebuah jarak antara Albi dan Filza. Jaga tuduhan Anda!"Aku heran sekali dengan sekeluarga Filza ini, mengapa masalah yang sedang mendera mereka akibat perbuatan sendiri malah menyalahkan orang lain. Apakah pantas menyerang seorang wanita dengan tuduhan palsu tanpa mendengar penjelasan dan punya bukti. Harusnya mereka paham bahwa anak merekalah biang kerok dan sumber ma
Sekitar 15 menit atau 20 menit kemudian, ponselku berdering dan itu adalah panggilan dari Mas Albi. Entah dia sudah sampai di rumah mertuanya atau belum aku segera mengangkatnya dan menjawab panggilan tersebut dengan ucapan salam. Tapi sayang Mas Albi tidak bicara sama sekali."Halo, Mas?"Rupanya suamiku sudah ada di rumah mertuanya dan mereka terdengar sedang bercakap-cakap di seberang sana."Ada apa Albi mengapa wajahmu tegang sekali?" tanyanya ibunya Filza."Ibu Saya menghargai engkau selalu berusaha untuk memperbaiki hubungan dan melindungi kami anak-anakmu, tapi aku mohon jangan terlalu masuk dan ikut campur dalam urusan rumah tanggaku terlebih kepada istri pertamaku, ku mohon ... maaf sebelumnya," ujar Mas Albi. Ingin sekali aku melihat seperti apa ekspresi wajah mertua Mas Albi saat itu, tapi sayang, aku sedang berada di rumahku."Apa maksudmu, Nak?" tanya sang ibu mertua yang terdengar pura-pura tidak tahu."Ibu, Ibu pasti tahu apa maksudku mengapa ayah dan ibu datang ke ruma
"Ayah ... ayah kenapa?" tanya Filza dengan panik. Tak mau terlalu pusing akhirnya kumatikan ponsel dan mengakhiri mendengar kehebohan di rumah adik maduku yang stress itu.Kurasa dengan jatuh sakitnya ayah Filza wanita itu bisa sedikit sadar dan berpikir bijak akan sikap dan perilakunya. Dengan melihat ayahnya terkapar wanita itu akan berubah demi tak melihat orang tuanya tersiksa. Setidaknya, itu harapanku. Sebab kalau wanita itu tak mengubah sikapnya maka kurasa ayahnya akan meregang nyawa lebih cepat dari perkiraan kita.Kudengar pria tua itu mengidap hipertensi dan diabetes. Jika tensi atau gula darahnya naik, maka dia bisa drop atau terkena serangan jantung. Bukannya tak punya empati, tapi entah mengapa aku senang sekali. Pria yang baru pagi tadi melempar sejumlah uang ke depanku itu kini mendapatkan akibat perbuatannya. Dia menuai apa yang dia tabur sebelumnya. Dia mendapat musibah setelah memperlakukan orang dengan jahat.Mungkin dia pikir, uang bisa menuntaskan semua masala
(Baik, Mas. Tapi apakah kau tidak bisa pulang? Apakah kondisi ayahnya filsa belum baik-baik saja?)(Belum stabil, nafasnya masih sesak dan dia masih menggunakan oksigen.)(Baiklah kalau begitu aku berdoa semoga semuanya kembali membaik,) balasku.(Terima kasih Aini.)(Sama sama Mas.)Ya, beginilah, akan selalu aku yang direpotkan karena secara tidak langsung aku juga adalah anggota keluarga inti yang secara tidak langsung, mau tak mau, harus terhubung dengan Filza. Dihindari sekeras apapun, pertemuan dan pertentangan akan selalu terjadi. Jadi, beginilah hidupku yang penuh liku ini."Ah, daripada buang waktu sebaiknya aku segera memasak saja karena khawatir Mas Albi akan lapar dan tidak bisa menunggu." Aku menunggumu dalam hati sambil segera menuju ke dapur dan menyiapkan menu sederhana untuk kukirim ke tempat ayah mertuanya dirawat.Tring.Tak lama kemudian datang pula sebuah pesan lagi dari Mas Albi."Aini Istriku, ummi yang kucintai, aku mohon sekali keridhoan hati dan bantuanmu un
Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men
Di sinilah aku sekarang, di rumah sakit, duduk di bawah pohon angsana yang rindang sambil berhadapan dengan ibunda filsa saya yang mentari di jam 08.00 pagi sangat menghangatkan dan juga menyebarkan pikiran, jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk bicara.Sepanjang malam aku sudah memikirkan apa yang dikatakan anakku, kurasa di merawat Gibran adalah tanggung jawab yang benar-benar memberatkan untukku karena jika terjadi apa-apa tentu diri ini yang pertama disalahkan."Jadi tolong sampaikan, apa yang ingin kau katakan?""Aku ingin kembalikan Gibran kepada ibu," ucapku."Tapi, kau lihat sendiri situasi kami sekarang.""Aku yakin Ibu punya anggota keluarga yang Ibu percayai, Aku ingin kembalikan tanggung jawab itu kepada Ibu karena aku tidak ingin disalahkan jika terjadi apa-apa.""Justru di rumahmu dan di dalam pelukanmu tempat teraman bagi anak itu.""Kenapa Ibu mempercayaiku? Aku hanya ibu tiri untuk Gibran.""Aku tahu hatimu sangat tulus dan luas untuk menerima dan memaafkan kesalahan
"Ah, tidak, aku hanya lalai. Pikiran tidak akan mengganggu fokusku mengendara. Saat itu ada lubang besar, aku tidak memperhatikannya saat karena saat itu sedang melihat ponsel. Aku berusaha untuk menghindari lubang itu Tapi secara cepat sebuah mobil datang dari arah berlawanan hingga aku pun membanting setir dan menabrak pembatas jalan. Mobilku terbalik dan masuk ke ceruk jalanan. Aku bersyukur masih bisa selamat, karena Andai mobil itu meledak tentu aku tidak akan bisa bertemu istriku sekarang.""Oh begitu ya, tapi kamu harusnya lebih hati-hati. Masih banyak loh orang-orang yang membutuhkan kamu di sekelilingnya," ucap Lena dengan berdecak kecil. Nampaknya dari gestur, wanita itu ingin menunjukkan perhatian dan tertarik pada suamiku."Makasih perhatiannya, aku akan lebih berhati hati.""Lihat kan, kamu hampir patah kaki, tanpa kamu situasi di kantor kacau dan tidak terkendali. Ada beberapa hal yang tidak bisa kami handle kecuali atas pengaturanmu.""Aku berjanji aku akan segera kemba
(Apakah Filza mendatangi kalian?) Pesan itu datang dari ibunda filsa saat aku baru saja menyelimuti suamiku yang kembali tertidur.(Tadi sempat datang, tapi sudah pergi beberapa waktu yang lalu saya yakin dia sudah kembali ke sana.) Aku segera menjawab pesannya.(Tapi sampai saat ini anakku belum kembali juga, di mana dia ya.)(Kalau dia tidak kembali, kira-kira dia ke mana?) Mau tidak mau aku pun penasaran dan merasa sedikit panik. Apakah dia pergi ke suatu tempat untuk melakukan tindakan nekat atau hanya sekedar jalan-jalan untuk menghibur diri. Ah, meresahkan sekali. (Ibu kurang tahu. Tolong bantu ibu untuk menemukan filsa, dia tidak menjawab telepon Ibu.)(Aduh, bagaimana ya ....) Aku jadi bingung untuk melakukan apa. (Tolong minta Abi untuk menghubungi filsa hanya Albi yang bisa membuat filsafat menurut.)(Tapi dia baru saja tertidur dan tidak bisa diganggu lagi, suami saya sedang sakit kepala dan merasa lemah, badannya sakit semua.)(Tolong lakukan sesuatu demi Ibu ...)Aduh