"Uhmm, Aini, ayo bantu aku membawa Gibran pulang," ucap Mas Albi dengan tatapan bingung dan ragu. Dia terlihat syok dan sangat malu di depan orang tua dan kakak kakaknya."Apakah kau yakin Filza akan di rumah, dia tidak akan ke tempat lain, misalnya ke rumah orang tuanya?""Tidak, aku tahu dia akan pulang.""Baiklah, kalau begitu aku akan panggil anak anak," ucapku berangsur pergi ke ruang tamu.Di ruang tamu kudapati anggota keluarga sedang duduk dan terdiam, aku yang gugup dan malu hanya bisa minta maaf pada mereka semua, berharap mereka bisa memaklumi apa yang terjadi."Ibu, saya minta maaf atas semua yang terjadi," ucapku."Sebenarnya ada apa?""Filza hanya merasa tidak puas dengan pembagian Mas Albi, dia dibelikan motor, sementara aku diberikan tabungan dengan nilai yang sama, tapi dia tak terima!""Albi, benarkah?" tanya Ibu berali menatap wajah suamiku yang terlihat kalut dengan semua ini."Iya, aku juga bingung harus bagaimana lagi, Bu.""Bicaralah pada Istrimu, jangan sampai
"Katakan padaku, aku harus bagaimana?" tanyanya dengan sedih. Tatapannya benar benar tak sebening dulu, ada sebuah keputus asaan dan kebingungan yang tersirat di sana."Aku yakin, pelan tapi pasti, istrimu akan berubah. Aku percaya, dia wanita terpelajar yang akan paham apa yang harus dia lakukan.""Semakin hari, Filza semakin posesif dan ingin menang sendiri. Semakin aku berusaha adil ... entahlah, semakin aku berusaha untuk memperbaiki diri ada saja ujian yang membuat aku tetap marah dan terjebak masalah.""Seseorang harus mengendalikan diri dan emosinya sehingga mereka bisa bersikap bijak dalam memaknai peristiwa dan menangani masalah. Tadinya, aku juga sangat panik dengan dirimu yang terus bersamanya, tapi belakangan aku belajar, segala sesuatu yang justru makin ingin digenggam dengan ambisi dan niat yang tidak tulus akan semakin terlepas. Jadi, kuputuskan untuk menjalani hidup apa adanya," jawabku sambil mengecup kepalanya."Aku mencintaimu, aku menyesal meninggalkanmu dan memil
Sejak kemarahan Mas Albi semalam pada filza, aku agak segan untuk mengajaknya bicara lagi. Kubiarkan dia tertidur hingga fajar menjelang. Setelah bangun dan salat subuh suamiku seperti kebiasaannya selalu mencari kopi di meja. Dia duduk dengan tenang dalam balutan baju koko sambil sesekali mengesap kopi beraroma khas di cangkirnya. "Mas, kamu akan berangkat kerja kan?" "Iya.""Bisa langsung antar anak anak sekolah?""Ya tentu," jawabnya."Bagaimana keadaanmu, apakah perasaanmu baik baik saja?""Jujur aku pusing sekali," jawabnya sambil memijit keningnya."Jangan terlalu dijadikan beban Mas, temui dia sore nanti dan bicaralah padanya dengan baik.""Dia tak akan puas sebelum aku memberinya sesuatu yang lebih besar darimu, aku benar benar pusing.""Jangan sampai wanita itu melibatkan orang tuanya, kau akan malu Mas," ujarku."Di hari orang tuanya menegurku, maka di saat itulah aku akan sangat benci padanya. Sebaiknya dia tidak melakukan itu," balas suamiku dengan tenang, sekilas ia me
"Aku bertanya karena Mas Aldi mengatakan akan mengantarkan anak-anak ke sekolah, ini tidak ada hubungannya dengan kedengkian atau tak suka apalagi dunia kiamat, aku hanya bertanya pada suamiku apakah dia akan pergi bersama anak anak atau tidak?""Kalau begitu ayo sekalian," ujar Mas Albi."Ini masih terlalu pagi Mas, anak anak bahkan belum mandi dan ganti baju. Apakah kamu mau menunggu mereka bersiap-siap dulu?""Kalau masa lebih menunggu anakmu maka dia akan kesiangan berangkat kerja belum lagi rumahku sangat jauh.""Kau sudah datang ke sini naik taksi jadi sebaliknya kau pulang juga naik taksi. Arah kantor dan sekolah anak-anak berlawanan dengan rumahmu jadi tolong mengertilah," ucapku tetap berusaha tenang di depan suami."Tidak bisa, Mas Albi harus mengantarku!""Baiklah, Mas. Antarkan dia," ucapku mengalah."Tapi, aku sudah janji sama kamu.""Gak apa apa kali Mas ... kamu harus nganterin aku dan Gibran dulu, lagian Mbak Aini sudah izinkan," potong Filza dengan senyum yang dibua
Tring ... Tring ...Mas Albi terlihat ragu hendak mengangkat panggilan itu. Dia masih merangkulku sementara ponsel itu berpendar dan bergetar berkali kali."Angkat Mas!""Aku tak mau bicara dengannya akan merusak momenku denganmu.""Tapi, dia pasti gelisah Mas, dia pasti menunggu jadi, angkatlah.""Tidak, aku tak mau," jawab Mas Albi sambil meraih benda itu dan mematikannya."Bagaimana kalau wanita itu marah dan datang ke rumah ini, akan ada keributan lagi, Mas. aku tak mau itu terjadi," balasku."Dia tidak akan tahu aku di sini karena aku sudah mengirimkan pesan bahwa saat ini aku ada rapat penting dengan klien sehingga akan pulang terlambat.Jadi sekarang ini Suamiku sudah mulai membohongi istrinya? Mengapa harus demikian? Bukannya berumah tangga harusnya membawa pada keberhakahan dan kebahagiaan hidup? apakah Suamiku sedang mengalami hal sebaliknya, merasa tertekan, takut dan cemas sepanjang waktu? Apakah sebegini takutnya hingga untuk bersamaku saja dia harus main petak umpet dan
Sepertinya, wanita itu juga paham, bahwa jika dia datang ke rumah maka itu akan membuat Mas Albi marah dan memantik masalah besar. Terbukti, dia belum kunjung datang juga. Sementara itu, kulirik suamiku yang sudah lelap di sampingku. Seusai merajut kasih dan mengobati kerinduan kami, dia langsung terlelap dalam lelah dan tidur yang dalam."Baguslah, jika wanita itu tidak datang, aku bisa beristirahat dengan tenang dan tidur nyenyak."Kurebahkan kepala di atas lengan Mas Albi, kutidurkan dir dalam pelukan orang yang sudah lama aku rindukan dan mendamba bahwa pelukan itu tak akan pernah lepas selamanya. Menyadari bahwa aku memeluknya suamiku tersenyum lalu membalas pelukanku dengan penuh kasih sayang.**Kicau burung dari dahan pohon membangun kami. Usai mandi dan salat subuh tadi, aku berbaring dan tak sengaja tertidur lagi. "Mas ayo bangun," ucapku sambil menggoyangkan bahu suamiku.Perlahan ia mengerjap dan membuka mata. Melihatku sudah cantik dan segar, priaku tersenyum dan meme
"Ibu ... kenapa ibu ada di sini?""Kenapa kau kaget, apa aku tidak boleh mengunjungi rumah anakku?""Tentu saja Ibu, dengan senang hati, ayo masuk," ujarku dengan ramah, ku hampiri dia lalu ku cium di tangannya dan mengajak wanita yang sangat kuhormati itu untuk masuk ke dalam rumah. Syukurnya, aku sudah membereskan ruang tamu dari semalam sehingga aku tidak begitu kelabakan begitu tamu Datang."Duduklah Ibu, saya akan ambilkan minuman,"ujarku dengan ramah."Tidak perlu, aku ingin langsung bicara saja!" jawab Ibu dengan nada penuh penegasan, raut wajahnya tampak marah dan tak senang. Aku mulai merasa mendapat firasat tak enak dengan ini."A-ada apa?" tanyaku terbata."Aku datang ke sini untuk mengingatkan dirimu kembali bahwa anakku beristri dua dan bukan kau saja istrinya ....""Aku tahu itu, Ibu. Sekarang apa masalahnya?""Kau sudah membuat seorang wanita dan anaknya terlunta-lunta karena sikapmu yang egois.""Egois bagaimana, Aini tidak paham, ibu," ucapku lirih."Tolong ya, janga
Betapa terkejutnya mas Albi ketika pulang dari kantor dan mendapati diri ini menangis. Dengan kepala tertunduk dan kesedihan yang benar-benar pilu.Dia heran saat membuka sepatunya dan langsung mendekat padaku."Ada apa Bund, Apa yang terjadi?""Entah dari mana aku harus memulai cerita, tapi yang jelas, Filza mengadu kepada Ibumu dan beliau datang untuk menegurku," jawabku menangis. Aku sengaja melakukannya karena Mas Albi tidak akan tahan ketika melihat istrinya menangis dia pasti akan marah ketika wanita yang dicintainya terluka dan mengeluarkan air mata."Ibu bilang apa?""Yang pasti ... beliau minta agar aku lebih bijak dan lebih memperhatikan Filza, aku harus mengalah dan membiarkan dia punya banyak waktu denganmu," jawabku tersedu. Aku tak peduli apakah pada akhirnya aku yang akan disebut ratu drama dan tukang cari muka atau tidak, aku juga harus playing victim seperti adik maduku yang keterlaluan itu."Astaga ... maafkan aku yang tak menduga hal itu. Sekarang tenanglah, semuan
Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men
Di sinilah aku sekarang, di rumah sakit, duduk di bawah pohon angsana yang rindang sambil berhadapan dengan ibunda filsa saya yang mentari di jam 08.00 pagi sangat menghangatkan dan juga menyebarkan pikiran, jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk bicara.Sepanjang malam aku sudah memikirkan apa yang dikatakan anakku, kurasa di merawat Gibran adalah tanggung jawab yang benar-benar memberatkan untukku karena jika terjadi apa-apa tentu diri ini yang pertama disalahkan."Jadi tolong sampaikan, apa yang ingin kau katakan?""Aku ingin kembalikan Gibran kepada ibu," ucapku."Tapi, kau lihat sendiri situasi kami sekarang.""Aku yakin Ibu punya anggota keluarga yang Ibu percayai, Aku ingin kembalikan tanggung jawab itu kepada Ibu karena aku tidak ingin disalahkan jika terjadi apa-apa.""Justru di rumahmu dan di dalam pelukanmu tempat teraman bagi anak itu.""Kenapa Ibu mempercayaiku? Aku hanya ibu tiri untuk Gibran.""Aku tahu hatimu sangat tulus dan luas untuk menerima dan memaafkan kesalahan
"Ah, tidak, aku hanya lalai. Pikiran tidak akan mengganggu fokusku mengendara. Saat itu ada lubang besar, aku tidak memperhatikannya saat karena saat itu sedang melihat ponsel. Aku berusaha untuk menghindari lubang itu Tapi secara cepat sebuah mobil datang dari arah berlawanan hingga aku pun membanting setir dan menabrak pembatas jalan. Mobilku terbalik dan masuk ke ceruk jalanan. Aku bersyukur masih bisa selamat, karena Andai mobil itu meledak tentu aku tidak akan bisa bertemu istriku sekarang.""Oh begitu ya, tapi kamu harusnya lebih hati-hati. Masih banyak loh orang-orang yang membutuhkan kamu di sekelilingnya," ucap Lena dengan berdecak kecil. Nampaknya dari gestur, wanita itu ingin menunjukkan perhatian dan tertarik pada suamiku."Makasih perhatiannya, aku akan lebih berhati hati.""Lihat kan, kamu hampir patah kaki, tanpa kamu situasi di kantor kacau dan tidak terkendali. Ada beberapa hal yang tidak bisa kami handle kecuali atas pengaturanmu.""Aku berjanji aku akan segera kemba
(Apakah Filza mendatangi kalian?) Pesan itu datang dari ibunda filsa saat aku baru saja menyelimuti suamiku yang kembali tertidur.(Tadi sempat datang, tapi sudah pergi beberapa waktu yang lalu saya yakin dia sudah kembali ke sana.) Aku segera menjawab pesannya.(Tapi sampai saat ini anakku belum kembali juga, di mana dia ya.)(Kalau dia tidak kembali, kira-kira dia ke mana?) Mau tidak mau aku pun penasaran dan merasa sedikit panik. Apakah dia pergi ke suatu tempat untuk melakukan tindakan nekat atau hanya sekedar jalan-jalan untuk menghibur diri. Ah, meresahkan sekali. (Ibu kurang tahu. Tolong bantu ibu untuk menemukan filsa, dia tidak menjawab telepon Ibu.)(Aduh, bagaimana ya ....) Aku jadi bingung untuk melakukan apa. (Tolong minta Abi untuk menghubungi filsa hanya Albi yang bisa membuat filsafat menurut.)(Tapi dia baru saja tertidur dan tidak bisa diganggu lagi, suami saya sedang sakit kepala dan merasa lemah, badannya sakit semua.)(Tolong lakukan sesuatu demi Ibu ...)Aduh