Seorang pemuda sudah siap berdandan rapi. Outfit yang ia kenakan kali ini terlihat santai, sopan dan jauh dari kesan urakan.Ia mengenakan setelan kemeja berwarna putih dan celana berbahan denim berwarna dark blue. Tak lupa rambutnya ia sisir dengan rapi kemudian ia ikat dengan karet karena rambutnya mulai memanjang. Sepasang sepatu sneaker ia pakai untuk melengkapi penampilannya hari itu.Sebuah parfum beraroma amberwood ia semprot ke tubuhnya hingga harumnya yang memabukkan seperti feromon menguar beberapa meter tertinggal ketika ia lewat.“Mas Daniel, yuk!” ucap Riko di bibir pintu flat, penampilannya juga terlihat rapi seperti majikannya.“Mana kunci mobil?” tanya Daniel mengedarkan pandangannya ke meja ruang tamu.“Mas Daniel ini kuncinya!”Riko mengangkat kerincing kunci ke hadapan tuan mudanya. Daniel menyambar kunci tersebut lantas berlari kecil keluar melewati anak tangga di depan pintu.“Aku akan menyetir. Jika aku lelah, gantian,” ucap Daniel berjalan dengan begitu bersem
“Salwa, aku tak yakin Ummi ngijinin. Soalnya acaranya malam.”Tiba-tiba Neng Mas berkomentar setelah sebelumnya ia menyetujui untuk pergi merayakan pesta acara kelulusan yang diadakan oleh salah satu teman sekelas mereka.Ia merasa gamang jika sahabatnya itu mendapat ijin dari ibunya. Aruni sangat ketat dan tak mudah mengiyakan permintaan anak-anaknya meski kadangkala anak-anaknya juga tak kalah menyerah.“Hem, betul juga. Tapi, tenang semua bisa diatur kok.”Salwa tetap bersikukuh. “Kalau cafe punya Widia ‘kan dekat rumah Teh Nuha. Pasti diijinin.”“Oke, kalau begitu,” sahut Neng Mas antusias.“Acara utama, makan-makan di sana bebas sebagai pesta kelulusan. Hiburan diisi nyanyian. Tiup lilin. Penyerahan kado buat si Widia. bintang tamunya loh, penyanyi cowok yang lagi viral. Adiguna Jen.”Acep membacakan isi undangan virtual dari Widia. “Satu lagi, dresscode baju seragam sekolah kita.”“Serius? Ada Adiguna Jen?” tanya Salwa tak percaya dengan apa yang ia dengar.“What? Pake baju sera
“Mas tidak pulang ke rumah?” tanya Riko sembari menyeret koper milik Daniel.Daniel menoleh dan tersenyum tipis, tak biasanya.“Aku tak sabar bertemu Raja. Aku akan melihat perkembangan cafe. Setelah kejadian perampokan itu, aku hanya sekali mengecek keadaan cafe. Tapi, kami selalu komunikasi. Raja orangnya amanat dan jujur. Di tangannya, cafe berjalan lagi. Setelah lihat cafe baru pulang ke rumah,” jawab Daniel dengan antusias.“Mas, gak pengen ketemu si anu loh,” goda Riko sembari berdehem.“Hem, aku tak sanggup kalau bertemu sebentar lalu harus berpisah. Aku pengen cepet …”“Cepet, apa Mas? Halalin!”“Kau kepo Riko, lama kelamaan,”Daniel berjalan lebih dulu menuju taxi yang dipesannya. Dari bandara Soetta mereka menaiki taxi online dan melesat berangkat menuju cafe miliknya yang dikelola oleh Raja. Cafe tersebut berada di Jakarta Pusat.“Sudah lama Bro?”Daniel dan Raja saling bersalaman dan berpelukan ketika mereka tiba.“Maaf Ja, kau jadi bolak-balik cafe.”“It’s okay, Bro! Aku
“Kenapa lo cengengesan Zen?” Lisa menyenggol lengan mantan kekasihnya yang seorang mahasiswa. Mereka tengah berdiri dekat taman sembari menyesap rokok. Meskipun Lisa menimba ilmu di sekolah madrasah aliyah, namun ia seorang anak yang pembangkang dan kritis mirip Salwa Salsabila. Ia selalu ingin tahu dunia luar termasuk pergaulannya. Mungkin kenakalannya lebih daripada Salwa, ia berpacaran dan merokok tanpa sepengetahuan ke dua orang tuanya. “Serius lo masih inget first kiss sama gue? Hem, I am good kisser,” Zen mengerlingkan matanya pada Lisa. Ia tersenyum jumawa. “Gue inget lah, kan lo nyuri ciuman pertama gue! Nyosor kayak bebek! Sialan!” sahut Lisa dengan mendelik tajam. Ia menginjak sepatu Zen hingga sang empunya meringis. “Lo ngambek makin cantik aja, Lisa!” pujinya dengan mengedipkan sebelah matanya. “Lo kalo muji pasti ada maunya. Emang dasar playboy lo!” Lisa membuang puntung rokok kemudian mengusaknya dengan sepatu sneaker miliknya. “Biarin lo ngatain gue playboy. E
Neng Mas merasa letih setelah mencari Salwa di berbagai sudut cafe termasuk setiap ruangannya. Hasilnya nihil. Salwa tak bisa ditemukan.Sang empunya acara pun, Widia sudah pulang bersama ibunya. Mereka mengira jika Salwa hanya berada di toilet. Namun Cafe masih ramai karena tentu saja ada para karyawan yang mengelolanya dan pengunjung silih berganti berdatangan.Neng Mas tak menyerah, terus mencari informasi keberadaan Salwa pada setiap orang yang ia lihat, dari mulai memperlihatkan fotonya hingga menjelaskan ciri-ciri fisiknya.Ia memutuskan untuk duduk sejenak istirahat dan meminum air putih. Namun semangat untuk mencari Salwa kembali bangkit berkali-kali lipat ketika ia mengingat satu nama yang tak lain Aruni. Bisa-bisanya Aruni menghabisinya jika ia pulang tanpa membawa Salwa.Ia langsung berdiri dan beranjak kendati nafasnya ikut memburu. Segala kekhawatiran tentang menghilang sahabatnya muncul secara nyata. Mungkin Salwa diculik oleh mafia human trafficking dengan dibius. Ya,
Ragu-ragu, Daniel membuka mulut gadis itu untuk kemudian ia beri nafas buatan lewat mulutnya. Satu-satunya cara pertolongan pertama sebelum dilarikan ke rumah sakit.Tak berselang lama Salwa bangun dan nafasnya mulai teratur. Ia mulai membelalakan mata dengan meringis. Tubuhnya terlihat sangat lemah.“Kau selalu saja membuatku panik!” omel Daniel menatap gadis itu yang terlihat sendu dan bermata sembab.Tanpa sadar karena saking bahagia melihat kondisi Salwa, Daniel mendekapnya erat dengan air mata yang berlinang. Ia mengecup pucuk kepalanya.Salwa yang tak berdaya hanya pasrah ketika Daniel membopong tubuh ringkihnya dan membawanya masuk ke dalam mobil yang sudah dibawa oleh Pak Li.Pak Li membukakan pintu jok ke dua di belakang dan mengatur memory seat, agar bisa rebahan. Salwa diletakan di sana dengan dialasi bantal di bagian bawah kepalanya. Daniel berada di sisinya, duduk bersebelahan mendampinginya. Ia sudah seperti suami yang siap siaga.“Kenapa Non Salwa?” tanya Pak Li panik n
Malam itu, semenjak kepergian Salwa, perasaan Aruni sebagai seorang ibu gundah gulana. Ia terus menerus kepikiran putrinya tersebut dengan tanpa alasan. Piring porselen yang dibawanya tiba-tiba jatuh sehingga menyebabkannya pecah menjadi beberapa potongan dan pecahan kecil. Pun, ketika ia tengah menguliti kulit buah mangga untuk menghidangkannya saat makan malam dirinya bersama Rasyid tiba-tiba saja pisau buah tersebut menyabet ujung jarinya hingga bersimbah darah. Ini tidak benar, kilahnya. Pasti terjadi sesuatu pada putrinya yang saat ini tengah berada di luar jangkauannya. Melihat sang ibu setengah melamun di bibir pintu penghubung dapur, Rasyid memanggil ibunya. “Ummi, ada apa?” tanya Rasyid penasaran dengan apa yang ia lihat. Ibunya melamun seperti tengah memiliki masalah yang berat. Sepengetahuannya, tipikal Aruni ketika punya masalah selalu memendamnya sendiri. Bahkan ia mampu menyimpannya rapat-rapat. Sendiri. “Ah, Rasyid, apa?” Kurang fokus, Aruni balik bertanya pada put
Beberapa hari yang lalu, di depan gerbang sekolah MA Al Fatma, beberapa murid hilir mudik keluar masuk area sekolah karena hari itu kegiatan belajar-mengajar tidaklah efektif. Jam kosong usai diselenggarakannya assessment nasional digunakan dengan pertandingan olahraga antar kelas. Oleh karena itu suasana sekolah senantiasa riuh ramai dan tak pernah sepi.Seorang wanita dalam balutan kasual mengenakan kerudung yang asal, serupa selendang terlihat memasuki area sekolah mengikuti gerak beberapa murid kelas dua belas.Siapapun tidak akan menyangka jika wanita muda yang masuk ialah wanita asing sebab pada saat yang sama ada beberapa alumnus sekolah tersebut yang datang berkunjung mengenakan pakaian bebas.Ia memakai kaca mata hitam dan masker sehingga wajahnya tak kelihatan. Tempat yang ia tuju ialah kantin sekolah. Ia akan menggali informasi tentang seorang gadis yang menimba ilmu di sana.Biasanya kantin ramai dan acapkali dijadikan tempat para murid berkumpul dan mengobrol sehingga ia
Setahun kemudian,Yusuf dan Farah kini sudah tinggal terpisah dari keluarganya masing-masing. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Yusuf membangun sebuah rumah mewah untuk istrinya. Tak kalah mewah dengan rumah keluarga istrinya.Karena Yusuf seorang yang paham agama sehingga ia meyakini bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk istrinya. Bahkan ia memberikan nafkah terbaik, lebih baik dari apa yang istrinya dapatkan dari ayahnya. Yusuf bekerja keras di perusahaan sang ayah. Ia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di akhir pekan untuk mengamalkan ilmunya dalam ilmu Quran dan hadist. Selain itu, pemuda tampan itu membuat buku dan banyak melakukan seminar dan workshop sebagai seorang penulis dan pendidik.Malam itu, Yusuf pulang terlambat ke rumah. Tepat pukul sembilan malam, ia baru saja memarkirkan kendaraan SUV miliknya di halaman rumahnya yang sangat asri.Rumah itu dibangun di atas lahan hektaran. Pemuda yang visioner itu ingin kelak memiliki banyak
Perlahan, Yusuf pun melepas jilbab Farah dan tersenyum menatapnya. Tangannya dengan lembut melepas ikatan rambut Farah hingga membuat rambutnya terburai. Rambutnya yang hitam nan panjang mencuri atensinya.Tanpa sàdar, Yusuf merengkuh sejumput rambutnya yang halus kemudian menciumnya seraya memejamkan matanya. Farah menatap suaminya dengan tatapan penuh damba. Pemuda tampan itu kita sudah menjadi miliknya seutuhnya.“Yusuf, aku mau mandi,” ucap Farah dengan gugup. Berdekatan dengan Yusuf sungguh membuat tubuhnya panas dingin. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suaminya.“Tentu, Sayang,” jawab Yusuf sembari berdiri. Pemuda tampan itu berjalan menuju lemari dan mengambil handuk. Kemudian ia menoleh ke arah Farah yang masih sibuk merapikan aksesoris pengàntin. “Sayang, ini handuknya. Aku taruh di atas nakas.”Dipanggil dengan sebutan sayang, Farah semakin salah tingkah. Ia lantas berpikir nama panggilan untuk suaminya. “Yusuf, aku harus memanggilmu apa? Hum, meskipun kita seumuran, k
Sebulan berlalu. Persiapan pernikahan Farah dan Yusuf sudah rampung. Hari bahagia yang dinantikan itu telah tiba. Setelah melewati berbagai macam ujian dan rintangan dalam kisah cinta mereka, akhirnya, Farah dan Yusuf bisa bersanding di sebuah tempat yang sakral dan suci.Pagi itu, pukul 09.00 WIB Farah dan Yusuf akan melangsungkan akad walimah yang diadakan di ballroom salah satu hotel bintang lima milik sang ayah. Di pelaminan, Yusuf dan sang ayah—Attar serta pamannya sudah bergabung dengan keluarga inti pihak perempuan; Darren Dash, Jonathan Dash yang kini sudah duduk di kursi roda, Naufal Alatas, Daniel Dash, penghulu, dan saksi. Di tempat yang berbeda Farah ditemani sang ibu dan keluarga perempuannya menunggu detik demi detik acara yang sakral itu dimulai. Pernikahan diadakan secara syariat di mana pihak lelaki dan perempuan dipisah.Suara microphone mulai menggema. Seorang MC mulai mengarahkan acara hingga tibalah waktunya Yusuf mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang. Set
Darren mendapat telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa putrinya mengendarakan mobil mewahnya dengan sangat cepat menuju pantai. Ia terkejut mendengarnya dan langsung berniat menyusul putrinya. Ia memiliki firasat buruk. Semenjak pagi ia merasa tak enak hati. Ia terus memikirkan putrinya.Tak biasanya putrinya pergi bepergian jauh tanpa mengabarinya. Terdengar aneh bukan!Darren Dash semakin tersulut emosi saat ia berada di jalan menuju pantai yang biasa putrinya kunjungi, ia melihat mobil Yusuf berada di depannya. Tak lain tak bukan, pemuda itu juga terlihat akan pergi ke pantai. Bahkan ia melajukan kendaraannya dengan sangat cepat. Sisi lain, Darren Dash memilih memelankan laju kendaraannya karena ingin tahu apa yang mereka lakukan di pantai berduaan. Tak bisa dibiarkan! Farah sudah keterlaluan.Darren berzikir untuk mengendalikan emosinya. Ia pun melihat mobil milik Yusuf sudah terparkir di area parkir yang luas area pantai. Pria dewasa itu terus melangkahkan kakinya, berjal
Setelah kejadian kecelakaan tadi, Yusuf tergesa-gesa mengejar kembali Farah meskipun kendaraannya ketinggalan jauh. Pemuda itu hanya mengkhawatirkan kondisi gadis itu yang tengah kalut. Kabar tentang cerita masa lalu ke dua orang tuanya sungguh melukai batinnya. Saat ini gadis bermanik hazel itu belum menerima fakta mengejutkan itu.“Argh! Farah jangan bertindak bodoh!” geram Yusuf usai membanting ponselnya hingga terbanting ke atas kursi. Beruntung, ponsel itu tidak jatuh ke kolong kursi mobil.Nomor telepon Farah tidaklah aktif. Yusuf hanya bisa menghela nafas berat mengingat karakter Farah yang memang keras kepala.“Allah, lindungilah Farah. Amin,” gumam Yusuf tak henti-hentinya berzikir. Yusuf mengedarkan pandangannya mencari mobil putih milik Farah. Sial, di jalan yang dilewatinya ada banyak mobil putih namun bukan mobil Farah barang tentu. Mobil Farah termasuk mobil mewah.Yusuf pun menepikan mobilnya menuju pom bensin terdekat. Ia akan mengisi bahan bakar terlebih dahulu untuk
Semua orang yang berada di cafe panik saat melihat adegan yang terjadi di antara Farah dan Elia.Tanpa belas kasih, Elia mengambil cangkir kopi dari nampan—yang dibawa pelayan kemudian menumpahkannya pada wajah Farah dengan gerakan yang sangat cepat.Namun, sebuah pertolongan datang. Dengan gerakan yang lihai dan gesit, sosok pemuda tampan maju, berusaha melindungi Farah. Ia memeluk Farah. Meski tidak benar-benar memeluk karena ke dua tangannya tidak menyentuh tubuh gadis itu.Farah hanya memejamkan matanya reflek saat air cipratan itu mengenai pipinya. Namun saat ia membelakan matanya, ia tersentak kaget, karena Yusuf berada di sana melindunginya dari aksi keji Elia. Kini punggung Yusuf yang terkena cipratan kopi yang panas itu.“Yusuf,” imbuh Farah dengan berurai air mata. Entahlah, perasaan Farah berkecamuk. Cerita dari bibir Elia tentang ayahnya dan menatap Yusuf yang selalu saja menjadi garda terdepan dalam menolongnya, membuat lelehan air mata terus menerus menetes.Tatapan Yusuf
Di sebuah ruang keluarga bernuansa mewah, terlihat sepasang suami dan istri yang sedang duduk berdua sembari menikmati tontonan chanel luar negeri—yang tengah menampilkan sebuah destinasi wisata di Eropa.“Mas, indah sekali ya? Aku pengen jalan-jalan lagi sekeluarga. Berkeliling Eropa dan menikmati musim semi yang indah di sana.”Nuha mengungkapkan keinginannya saat tatapannya tertuju pada colosseum Roma yang berdiri pongah.Darren hanya mengangguk pelan. Meskipun raganya berada di sana, namun pikiran Darren terseret pada memori-memori kelam nan buruk yang seringkali menghantuinya.“Mas, ini salad buah yang diminta,” ucap Nuha pada suaminya ketika ART menaruh semangkuk salad untuk menemani waktu rehat mereka. Darren pun melirik pada mangkuk salad kemudian ia berusaha mengambilnya.PrangTiba-tiba saja Darren menjatuhkan mangkuk salad buah itu. Namun dengan sigap, ART sudah langsung membereskan kekacauan yang ada. “Mas, kenapa?”Nuha terkejut saat melihat suaminya yang tampak syok dan
Dua orang wanita cantik berbeda usia sedang mengobrol di sebuah cafe. Suasana terasa tegang saat wanita berusia kepala lima itu mulai bercerita. Sebetulnya, wanita itu enggan bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Namun karena gadis muda itu bersikukuh akhirnya mau tak mau ia pun mengiyakan permintàan.Di sinilah mereka berada. Sebuah rooftop yang terletak di lantai dua sebuah kafe kopi yang berada tak jauh dari rumah sakit di mana gadis itu bertugas.Mereka adalah Farah dan Maesarah. “Jadi … Om Attar itu mantan tunangannya ibuku?”Farah pun menimpali cerita yang baru saja ibunya Yusuf katakan. Gadis bermanik hazel itu bertanya sekedar untuk mengkonfirmasi.Malam itu, Farah tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di antara ibunya dan tantenya. Namun percakapan itu hanya sekilas sehingga ia dilanda penasaran.Jika Farah bertanya pada mereka, ia yakin mereka tidak akan memberikan jawaban apapun yang memuaskan hatinya.Oleh karena itu, Farah berinisiatif bertanya langsung pad
“Mas kenapa sih? Bete begitu!” beo Daniel pada sang kakak yang sedari tadi terlihat tidak fokus dalam bekerja. Daniel Dash sengaja datang ke kantor kakaknya, membawa sejumlah kontrak kerja hingga menjelaskan laporan soal saham perusahaan. Namun Darren Dash hanya terdiam dengan tatapan yang kosong mirip orang kesambet setan.Lama kelamaan Daniel mulai jenuh melihat respon kakaknya—yang seakan tidak menghargai usaha dirinya. Padahal ia sangat sibuk. Namun demi menyampaikan amanat perusahaan ia mengunjungi kantor pusat PT Jonathan Dash Group. “Mas Darren aku pamit pulang! Lain kali saja aku melapor,” ucap Daniel Dash kemudian membereskan berkas penting perusahaan dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya.“Tunggu! Apa? Kau bahas apa tadi? Sorry, Mas lagi banyak pikiran, jadi gak fokus,” imbuh Darren mengklarifikasi. Seharusnya, Darren juga bisa menahan diri untuk tidak melamun saat jam kerja. Namun siang itu seperti siang sebelumnya, ia masih kepikiran soal omongan Attar dan sikap