Sayup-sayup dari kejauhan suara azan terdengar merambat dan menyentuh gendang telinga. Seruan sang maha kuasa mengingatkan para hamba untuk kembali mengingatNya. Setelah terjerembab dalam urusan keduniaan sudah saatnya manusia kembali pada fitrahnya. Insiden yang telah terjadi bisa jadi musibah untuk menguatkan tauhid hamba pada sang Ilah. Kun fayakun ... Hujan turun membasahi bumi dan menyapu puing-puing bekas kebakaran. Aroma asap reruntuhan dan bahan kimia masih tercium pekat. Begitupula aroma kesedihan dan tangisan kian menyeruak. Rumah sakit ibu dan anak Rajendra berduka. Keluarga pasien berduka. Kota hujan tengah dihujani air mata. Namun lantunan suara azan yang menggema menguatkan mereka agar ridho menerima segala takdir yang hadir. Kematian ialah takdir mubram. Sebuah ketetapan yang tak mampu ditolak. Garis kuning membentang horizontal di sepanjang rumah sakit Rajendra. Suasana rumah sakit ibu dan anak Rajendra mulai kondusif kendati sempat terjadi chaos. Semua pasien rum
Salwa mengalami koma dan dirawat di rumah sakit ibukota. Aruni tak ingin membuat Nuha semakin khawatir. Oleh karena itu ia menyembunyikan kondisi Salwa dari siapapun kecuali keluarganya dan Darren saat ini. Salwa harus menjalani beberapa kali operasi. Selain kepalanya mengalami cedera serius, ia juga mengalami patah tulang kaki. Usai menjalani serangkaian operasi, Salwa melewati masa kritis dan bangun dari koma meski ia mengalami gangguan penglihatan dan patah tulang kaki. Aruni hanya mengatakan pada Nuha bahwa Salwa hanya perlu rawat inap untuk pemulihan pasca operasi bagian kaki saja dan dianggap tak terlalu serius. Namun Nuha tak lantas percaya sebab Aruni terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. “Ummi, aku kepengen menjenguk Salwa,” ucap Nuha mendekati Aruni. Kondisi Nuha cukup membaik. Ia tirah baring di rumah sebab Darren trauma jika harus meninggalkan Nuha di rumah sakit. Aruni menyerahkan Asyraf yang berada dalam pangkuannya pada Mutia. Ia memberi tempat duduk untuk putri
Epilog (free coin) Setelah melihat kondisi Salwa, Daniel merasa lega. Segala kekecewaan dan kekesalannya pada keluarga yang tak mengabari tentangnya menguap begitu saja. Memastikan Salwa selamat kendati kondisinya tak sesuai harapannya sudah cukup membuatnya tenang dan bahagia. Selama ia dirawat pikirannya justru dipenuhi oleh gadis yang kini tengah berada di hadapannya. Salwa gadis yang tegar. Ia bahkan tidak mengeluh ataupun marah-marah menjalani kondisinya saat ini. Daniel belajar dari gadis itu. Ia seorang yang tabah dan kuat mental. Daniel ingin sekali menemani Salwa selama ia menjalani rawat inap di rumah sakit akan tetapi ia sadar diri, untuk saat ini ia bukan siapa-siapa Salwa. Mungkin Salwa hanya menganggapnya sebagai seorang kakak, pikirnya. Daniel akan pulang karena ia harus mulai mengurus usaha. Ia berinisiatif untuk membuka bisnis dengan modal yang ia miliki sebab jika menunggu keputusan sang ayah dan kakaknya, ia tidak diperbolehkan bekerja mengingat kondisi kesehatan
Prolog:Setelah kejadian insiden ledakan bom yang ditunggangi oleh para perampok gaib, ada banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan Nuha dan Darren termasuk keluarga mereka.Pada insiden itu pengasuh Ratih meninggal dunia. Salwa mengalami cedera serius yang menyebabkan hilangnya fungsi indera penglihatannya dan kaki patah. Adapun nasib Farah masih misterius. Pada saat peristiwa berlangsung ada beberapa bayi yang menjadi korban. Ada yang masih hidup dan ada pula yang meninggal karena luka bakar hingga tak bisa dikenali.Seorang perawat wanita telah menukar identitas bayi yang meninggal dengan bayi yang masih hidup. Ia memiliki alasan tersendiri melakukan hal nekad dan keji tersebut. Karena ia seorang nakes maka dengan mudah ia memanipulasi data korban tanpa sepengetahuan aparat.Wanita tersebut merampas kalung liontin yang masih menempel di leher Farah dan sepatu lusuh yang tersisa satu kemudian memindahkannya pada bayi yang sudah tak bisa dikenali rupanya karena tewas terbakar de
“Bu, bayinya menangis terus bagaimana ini? Sudah dikasih botol susu tapi …” Seorang wanita muda-baby sitter terus mengeluh karena tak mampu meredakan tangisan seorang bayi mungil yang digendongnya. Ia sudah kewalahan karena bayi itu menangis terus menerus. Lama kelamaan ia merasa letih mengasuhnya. Ia tampak frustrasi.Wanita yang berusia di awal tiga puluh tahunan menoleh ke arah baby sitter dengan menatapnya tajam. Merasa sia-sia jika harus mempekerjakan seorang baby sitter yang tak memiliki kemampuan menghandle bayi. “Masa kau tak bisa membuatnya berhenti menangis? Jadi selama ini yayasan tempat bekerja yang menyalurkanmu mengajari apa? Main congklak? Main Mobile legen’? Main gundu?” katanya geram kemudian meraih bayi cantik tersebut dan menggendongnya.Baby sitter hanya menunduk mendengar perkataan sinis dan pedas majikannya. Ia memakluminya karena tabiat asli majikannya tersebut sedikit pemarah. “Maaf, Bu, saya memang masih baru menjadi baby sitter dan ini pertama kalinya saya
“Kenapa masih diam? Ayo! Kita akan pulang sekarang,” Nuha meraih lengan adiknya dan membantunya berjalan. Kini kesehatan Salwa sudah mengalami kemajuan yang pesat. Ia bisa berjalan akan tetapi dengan menggunakan tongkat kruk yang menopang ke dua kakinya. Sementara itu penglihatannya pula sudah berangsur membaik. Ia mulai bisa melihat meski masih buram. Salwa menoleh ke belakang kemudian ke kanan dan ke kiri seperti tengah mencari seseorang. “Salwa, Nuha, ayo!” Aruni memanggil dari kejauhan. Pak Li sudah menunggu di tempat parkir. Mereka akan segera pulang ke rumah Aruni yang terletak di kaki pegunungan. “Iya, Ummi! Salwa ‘kan masih sakit jadi jalan pelan-pelan.” Nuha menjawab sang ibu. Ia terus memapah adiknya karena begitu mengkhawatirkannya. Sebetulnya Salwa disarankan menggunakan kursi roda akan tetapi ia menolak. “Salwa, dengarkan Teteh! Salwa jangan banyak mikir! Apalagi melamun! Sekolah bisa nyusul. Yang penting Salwa sehat dan pulih seperti sedia kala.” Nuha tak henti-he
Bab 4 Awan gelap telah menggelayut manja di bawah langit. Pertanda senja akan segera menyingkap waktu magrib. Cericau burung-burung kedasih mulai tersisih. Suasana kembali hening sebab satu per satu peziarah bertolak dari pemakaman anggota keluarga masing-masing. Aroma tanah merah masih tercium pekat. Pun, aroma taburan bunga dan kesedihan. Di depan pusara Farah, Salwa masih duduk termangu dan melafalkan surat yasin serta mendoakannya. Begitu khusyuk menengadahkan ke dua tangannya berdoa dan berdzikir. Setelah bersitegang di dalam mobil, Nuha mengajak Salwa berziarah ke makam Farah. Barulah Salwa percaya jika Farah sudah tiada setelah mengunjungi makamnya. Salwa merasa bersalah atas meninggalnya Farah. Sebagai seorang tante ia merasa gagal tidak bisa melindungi ke dua keponakannya dengan baik. “Sudah hampir sore, mari kita pulang sebelum magrib datang,” ucap Aruni merangkul pundak Salwa yang membeku ketika melihat pusara tersebut. Ia menatap nanar pusara meski air matanya sudah s
Di sebuah sudut kota yang berada di luar pulau Jawa di mana kota tersebut seringkali disebut dengan pulau seribu masjid karena terkenal dengan destinasi halal. Kota dikelilingi perbukitan yang indah dan pantai-pantai yang berwarna biru berkilauan di mana hamparan pasir putih menjelma permadani yang mengalasinya.Hiduplah sepasang suami istri yang saling mencintai. Meskipun usia pernikahan mereka sudah mencapai pernikahan perak katakanlah di mana usia pernikahan sudah mencapai sepuluh tahun, mereka masih belum dikaruniai momongan. Mereka sepasang suami istri yang saling mencintai. Ketiadaan anak tak lantas membuat mereka berseteru apalagi berpisah. Sang suami begitu mencintai istrinya sehingga baginya ada atau tiada anak bukanlah sebuah masalah besar.Berbagai upaya telah mereka lakukan untuk mendapatkan momongan. Mulai berkonsultasi ke dokter kandungan dan mengikuti serangkaian program hamil. Rupanya takdir masih belum bersikap manis pada mereka.Sehingga sang istri memberikan saran
Setahun kemudian,Yusuf dan Farah kini sudah tinggal terpisah dari keluarganya masing-masing. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Yusuf membangun sebuah rumah mewah untuk istrinya. Tak kalah mewah dengan rumah keluarga istrinya.Karena Yusuf seorang yang paham agama sehingga ia meyakini bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk istrinya. Bahkan ia memberikan nafkah terbaik, lebih baik dari apa yang istrinya dapatkan dari ayahnya. Yusuf bekerja keras di perusahaan sang ayah. Ia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di akhir pekan untuk mengamalkan ilmunya dalam ilmu Quran dan hadist. Selain itu, pemuda tampan itu membuat buku dan banyak melakukan seminar dan workshop sebagai seorang penulis dan pendidik.Malam itu, Yusuf pulang terlambat ke rumah. Tepat pukul sembilan malam, ia baru saja memarkirkan kendaraan SUV miliknya di halaman rumahnya yang sangat asri.Rumah itu dibangun di atas lahan hektaran. Pemuda yang visioner itu ingin kelak memiliki banyak
Perlahan, Yusuf pun melepas jilbab Farah dan tersenyum menatapnya. Tangannya dengan lembut melepas ikatan rambut Farah hingga membuat rambutnya terburai. Rambutnya yang hitam nan panjang mencuri atensinya.Tanpa sàdar, Yusuf merengkuh sejumput rambutnya yang halus kemudian menciumnya seraya memejamkan matanya. Farah menatap suaminya dengan tatapan penuh damba. Pemuda tampan itu kita sudah menjadi miliknya seutuhnya.“Yusuf, aku mau mandi,” ucap Farah dengan gugup. Berdekatan dengan Yusuf sungguh membuat tubuhnya panas dingin. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suaminya.“Tentu, Sayang,” jawab Yusuf sembari berdiri. Pemuda tampan itu berjalan menuju lemari dan mengambil handuk. Kemudian ia menoleh ke arah Farah yang masih sibuk merapikan aksesoris pengàntin. “Sayang, ini handuknya. Aku taruh di atas nakas.”Dipanggil dengan sebutan sayang, Farah semakin salah tingkah. Ia lantas berpikir nama panggilan untuk suaminya. “Yusuf, aku harus memanggilmu apa? Hum, meskipun kita seumuran, k
Sebulan berlalu. Persiapan pernikahan Farah dan Yusuf sudah rampung. Hari bahagia yang dinantikan itu telah tiba. Setelah melewati berbagai macam ujian dan rintangan dalam kisah cinta mereka, akhirnya, Farah dan Yusuf bisa bersanding di sebuah tempat yang sakral dan suci.Pagi itu, pukul 09.00 WIB Farah dan Yusuf akan melangsungkan akad walimah yang diadakan di ballroom salah satu hotel bintang lima milik sang ayah. Di pelaminan, Yusuf dan sang ayah—Attar serta pamannya sudah bergabung dengan keluarga inti pihak perempuan; Darren Dash, Jonathan Dash yang kini sudah duduk di kursi roda, Naufal Alatas, Daniel Dash, penghulu, dan saksi. Di tempat yang berbeda Farah ditemani sang ibu dan keluarga perempuannya menunggu detik demi detik acara yang sakral itu dimulai. Pernikahan diadakan secara syariat di mana pihak lelaki dan perempuan dipisah.Suara microphone mulai menggema. Seorang MC mulai mengarahkan acara hingga tibalah waktunya Yusuf mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang. Set
Darren mendapat telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa putrinya mengendarakan mobil mewahnya dengan sangat cepat menuju pantai. Ia terkejut mendengarnya dan langsung berniat menyusul putrinya. Ia memiliki firasat buruk. Semenjak pagi ia merasa tak enak hati. Ia terus memikirkan putrinya.Tak biasanya putrinya pergi bepergian jauh tanpa mengabarinya. Terdengar aneh bukan!Darren Dash semakin tersulut emosi saat ia berada di jalan menuju pantai yang biasa putrinya kunjungi, ia melihat mobil Yusuf berada di depannya. Tak lain tak bukan, pemuda itu juga terlihat akan pergi ke pantai. Bahkan ia melajukan kendaraannya dengan sangat cepat. Sisi lain, Darren Dash memilih memelankan laju kendaraannya karena ingin tahu apa yang mereka lakukan di pantai berduaan. Tak bisa dibiarkan! Farah sudah keterlaluan.Darren berzikir untuk mengendalikan emosinya. Ia pun melihat mobil milik Yusuf sudah terparkir di area parkir yang luas area pantai. Pria dewasa itu terus melangkahkan kakinya, berjal
Setelah kejadian kecelakaan tadi, Yusuf tergesa-gesa mengejar kembali Farah meskipun kendaraannya ketinggalan jauh. Pemuda itu hanya mengkhawatirkan kondisi gadis itu yang tengah kalut. Kabar tentang cerita masa lalu ke dua orang tuanya sungguh melukai batinnya. Saat ini gadis bermanik hazel itu belum menerima fakta mengejutkan itu.“Argh! Farah jangan bertindak bodoh!” geram Yusuf usai membanting ponselnya hingga terbanting ke atas kursi. Beruntung, ponsel itu tidak jatuh ke kolong kursi mobil.Nomor telepon Farah tidaklah aktif. Yusuf hanya bisa menghela nafas berat mengingat karakter Farah yang memang keras kepala.“Allah, lindungilah Farah. Amin,” gumam Yusuf tak henti-hentinya berzikir. Yusuf mengedarkan pandangannya mencari mobil putih milik Farah. Sial, di jalan yang dilewatinya ada banyak mobil putih namun bukan mobil Farah barang tentu. Mobil Farah termasuk mobil mewah.Yusuf pun menepikan mobilnya menuju pom bensin terdekat. Ia akan mengisi bahan bakar terlebih dahulu untuk
Semua orang yang berada di cafe panik saat melihat adegan yang terjadi di antara Farah dan Elia.Tanpa belas kasih, Elia mengambil cangkir kopi dari nampan—yang dibawa pelayan kemudian menumpahkannya pada wajah Farah dengan gerakan yang sangat cepat.Namun, sebuah pertolongan datang. Dengan gerakan yang lihai dan gesit, sosok pemuda tampan maju, berusaha melindungi Farah. Ia memeluk Farah. Meski tidak benar-benar memeluk karena ke dua tangannya tidak menyentuh tubuh gadis itu.Farah hanya memejamkan matanya reflek saat air cipratan itu mengenai pipinya. Namun saat ia membelakan matanya, ia tersentak kaget, karena Yusuf berada di sana melindunginya dari aksi keji Elia. Kini punggung Yusuf yang terkena cipratan kopi yang panas itu.“Yusuf,” imbuh Farah dengan berurai air mata. Entahlah, perasaan Farah berkecamuk. Cerita dari bibir Elia tentang ayahnya dan menatap Yusuf yang selalu saja menjadi garda terdepan dalam menolongnya, membuat lelehan air mata terus menerus menetes.Tatapan Yusuf
Di sebuah ruang keluarga bernuansa mewah, terlihat sepasang suami dan istri yang sedang duduk berdua sembari menikmati tontonan chanel luar negeri—yang tengah menampilkan sebuah destinasi wisata di Eropa.“Mas, indah sekali ya? Aku pengen jalan-jalan lagi sekeluarga. Berkeliling Eropa dan menikmati musim semi yang indah di sana.”Nuha mengungkapkan keinginannya saat tatapannya tertuju pada colosseum Roma yang berdiri pongah.Darren hanya mengangguk pelan. Meskipun raganya berada di sana, namun pikiran Darren terseret pada memori-memori kelam nan buruk yang seringkali menghantuinya.“Mas, ini salad buah yang diminta,” ucap Nuha pada suaminya ketika ART menaruh semangkuk salad untuk menemani waktu rehat mereka. Darren pun melirik pada mangkuk salad kemudian ia berusaha mengambilnya.PrangTiba-tiba saja Darren menjatuhkan mangkuk salad buah itu. Namun dengan sigap, ART sudah langsung membereskan kekacauan yang ada. “Mas, kenapa?”Nuha terkejut saat melihat suaminya yang tampak syok dan
Dua orang wanita cantik berbeda usia sedang mengobrol di sebuah cafe. Suasana terasa tegang saat wanita berusia kepala lima itu mulai bercerita. Sebetulnya, wanita itu enggan bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Namun karena gadis muda itu bersikukuh akhirnya mau tak mau ia pun mengiyakan permintàan.Di sinilah mereka berada. Sebuah rooftop yang terletak di lantai dua sebuah kafe kopi yang berada tak jauh dari rumah sakit di mana gadis itu bertugas.Mereka adalah Farah dan Maesarah. “Jadi … Om Attar itu mantan tunangannya ibuku?”Farah pun menimpali cerita yang baru saja ibunya Yusuf katakan. Gadis bermanik hazel itu bertanya sekedar untuk mengkonfirmasi.Malam itu, Farah tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di antara ibunya dan tantenya. Namun percakapan itu hanya sekilas sehingga ia dilanda penasaran.Jika Farah bertanya pada mereka, ia yakin mereka tidak akan memberikan jawaban apapun yang memuaskan hatinya.Oleh karena itu, Farah berinisiatif bertanya langsung pad
“Mas kenapa sih? Bete begitu!” beo Daniel pada sang kakak yang sedari tadi terlihat tidak fokus dalam bekerja. Daniel Dash sengaja datang ke kantor kakaknya, membawa sejumlah kontrak kerja hingga menjelaskan laporan soal saham perusahaan. Namun Darren Dash hanya terdiam dengan tatapan yang kosong mirip orang kesambet setan.Lama kelamaan Daniel mulai jenuh melihat respon kakaknya—yang seakan tidak menghargai usaha dirinya. Padahal ia sangat sibuk. Namun demi menyampaikan amanat perusahaan ia mengunjungi kantor pusat PT Jonathan Dash Group. “Mas Darren aku pamit pulang! Lain kali saja aku melapor,” ucap Daniel Dash kemudian membereskan berkas penting perusahaan dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya.“Tunggu! Apa? Kau bahas apa tadi? Sorry, Mas lagi banyak pikiran, jadi gak fokus,” imbuh Darren mengklarifikasi. Seharusnya, Darren juga bisa menahan diri untuk tidak melamun saat jam kerja. Namun siang itu seperti siang sebelumnya, ia masih kepikiran soal omongan Attar dan sikap