Share

209. Dream catcher

“No, I don’t miss you!” tukas Salwa berwajah kesal.

Jawaban Salwa sontak menyadarkan Daniel bahwa dirinya tidak sedang bermimpi tetapi nyata. Gadis itu berteriak padanya.

“Oi, kau? Salwa?” pekik Daniel, membuat Salwa kesal melihat ekspresinya yang dianggap sedang berakting. Daniel bangun dan berjalan ke arahnya.

“Mister lebay ih! Emang aku hantu? Segitunya ngeliatin aku.”

“Ah, ya kau memang mirip hantu, suka tiba-tiba datang.”

Daniel terbahak melihat raut wajah Salwa yang justru terlihat menggemaskan.

“Iya. Aku hantu, hihihi,”

Salwa menyerupai suara kunti.

Daniel kembali tergelak melihat tingkah gadis itu yang polos dan sedikit pemarah.

“Mister, aku pergi dulu ya. Sampai ketemu besok di hotel,”

Alih-alih bercakap-cakap lama karena tak lama bersua, Salwa memilih meninggalkan Daniel begitu saja. Salwa tetap harus menjaga sikap saat bertemu dengannya karena Daniel adalah adik suami kakaknya. Hubungan mereka tetaplah ipar. Meskipun tak bisa dipungkiri saat bersamanya Salwa merasa memiliki sosok seorang kakak laki-laki.

“Wawa, tunggu! Aku punya sesuatu untukmu,” seru Daniel dengan antusias.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Daniel memang ingin memberikan sesuatu untuknya, buah tangan yang sengaja dia beli untuknya. Dia berencana akan memberikannya besok saat acara pesta pernikahan sang kakak berlangsung. Namun ternyata takdir tengah berbaik hati padanya. Salwa mengunjungi sang kakak di rumahnya.

“Hem, kenapa panggil Wawa?” protes Salwa tak terima.

“Karena lebih mudah ketimbang Salwa.”

No! I dislike it!”

“Kenapa emang?”

“Om Alwi meledekku dengan panggilan itu,”

“Baiklah, aku panggil apa ya biar mudah,”

Daniel berpura-pura berpikir keras. “Ah, ya, Sal!”

“Hei, suka-suka! Susah payah Ummi dan Abi memberi nama,”

“Jangan marah terus! Nanti cepat tua! Ayo!”

Daniel mengajak Salwa masuk rumah.

Salwa mengekori langkah Daniel menuju ruang keluarga di mana anggota keluarga yang lain sedang berkumpul. Beberapa pasang mata melihat kedatangan Daniel dan Salwa. Jonathan ialah sosok yang paling memperhatikan kedekatan mereka.

Salwa duduk di dekat sang ibu yang tengah mengobrol dengan mereka soal pertanian yang dia kelola.

Tak berselang lama Daniel kembali menuju ruang tamu dan memanggil Salwa.

“Sal, sini!” katanya berjalan lebih dulu keluar rumah diikuti Salwa di belakangnya.

“Mau kemana?”

Aruni mencekal tangan Salwa karena merasa penasaran, mengapa Salwa mengikuti Daniel.

“Itu dia mau kasih aku sesuatu. Tapi aku belum tahu apa,” cicit Salwa dengan tersenyum tipis.

Kinan yang duduk di samping Jonathan sama sekali tak peduli dengan keberadaan Salwa. Berbeda dengan Jonathan yang begitu gelisah melihat kedekatan mereka. Mereka tak boleh dekat.

Salwa dan Daniel duduk di teras rumah di mana pengawal tengah berjaga di sana. Riko dan Raka selalu berada di sisi majikannya.

“Mister, eh, Mas Daniel, kok aneh ya aku panggil Mas tapi nama belakangnya bule. Biasanya ‘kan Mas Joko, Mas Edi, Mas Handoko. Ini Mas Daniel,”

Salwa menutup mulutnya untuk menahan tawa. “Tapi kalau aku panggil Mister takutnya Mas Darren atau Om Jon marah,”

Salwa duduk di kursi besi yang berada di teras.

“Terserah kau mau manggil apa, Neng!”

Daniel mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Dia menaruh sebuah paper bag berwarna merah di atas meja yang menghalangi jarak mereka.

“Ya udah Om Daniel bagaimana?”

Salwa terus mengoceh.

“Aku masih mahasiswa Sal,”

Daniel menghela nafas panjang menyikapi gadis itu. Namun dia sama sekali tak marah padanya.

“Eh, mau kasih apa?”

Salwa menoleh kemudian tatapannya terpacak pada sebuah paper bag berwarna merah tersebut.

“Ini, bukalah!”

Telunjuk Daniel mendorongnya ke hadapan Salwa. Tanpa ragu Salwa mengambil paper bag tersebut kemudian melihat isinya. Tangannya dengan tak sabar merogoh apa isi di dalamnya. Seketika matanya berbinar kala melihat apa yang dipegangnya.

“Wow! Beautiful! Cantiknya … ini oleh-oleh dari Kanada? Gantungan yang sangat cantik! Ish, si Mister, eh, si Mas bule baik banget!”

“Itu namanya Dream catcher!” ucap Daniel tangannya terulur membenarkan posisi benang yang membelit di antara ring gantungan tersebut. Secara tak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan Salwa hingga membuat Salwa menarik tangannya karena merasa sangat malu. Dia tak pernah sedekat itu dengan seorang pemuda.

“Kenapa?” tanya Daniel saat melihat Salwa menarik tangannya cepat dan memalingkan wajahnya karena malu.

“Tidak apa-apa,”

“Apa kau suka? Ini buatmu, ambilah!”

Daniel memilih berdiri dan membuang pandangannya. Sengaja, agar Salwa mengambil hadiah darinya.

“Namanya Dream catcher, penangkap mimpi buruk,”

Daniel merapatkan sweater yang dipakainya.

“Hah? Drem kecer?”

Salwa melihat kembali gantungan berbentuk ring di mana di dalamnya ada jalinan benang rajut dan gantungannya terbuat dari bulu itu dengan begitu antusias.

“Dream Catcher, Sweety!”

Daniel keceplosan. “Dream catcher, Sal,”

“Ini digantung ya?”

“Bukan? Dibanting, ya digantung!”

“Makasih,”

Salwa pun menerima hadiah tersebut dengan senang hati.

“Konon, dream catcher itu biasa digantung di langit-langit kamar karena memiliki fungsi untuk menangkap mimpi buruk yang datang. Itu lah kenapa ada jaring di dalamnya,” jelas Daniel menatap Salwa begitu intens saat Salwa memainkan benda etnik berasal dari suku Indian yang manis tersebut.

“Salwa, apa kau sudah punya pacar?” tanya Daniel tiba-tiba.

Salwa tersedak mendengar pertanyaan macam apa itu.

“Belum. Eh, tidak! Ummi melarangku pacaran,” jawab Salwa apa adanya.

Daniel hanya menundukan pandangannya dan tersenyum tipis.

“Baguslah,”

Salwa terdiam sejenak mencoba mencerna pertanyaan Daniel.

***

Kepala Tania terasa berat begitu pula matanya sulit digerakkan. Seolah dia butuh energi berlebih untuk bangun dari sisa-sisa kesadarannya.

Satu detik, dua detik, tiga detik,

Akhirnya kelopak matanya perlahan terbuka lebar. Dia masih menyipitkan matanya demi menyesuaikan dengan intensitas cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.

“Argh, aku di mana?” panik Tania dengan meremat rambutnya karena merasa pusing luar biasa.

Pandangannya beredar setelah memperoleh sisa-sisa kesadarannya, melihat ruangan asing berwarna putih dan berukuran sempit jika dibandingkan dengan kamar tidurnya. Tatapannya beralih pada pakaian yang dia kenakan. Dia begiru panik saat menyadari jika dirinya memakai kemeja seorang pria.

“Astaga …” gumam Tania dengan berlinang air mata meratapi kebodohannya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
jihan sufyan
next kak......
goodnovel comment avatar
Riana Tepuna
makin suka ceritanya terbaiklah menarik perhatian ditunggu lanjutanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status