“No, I don’t miss you!” tukas Salwa berwajah kesal.
Jawaban Salwa sontak menyadarkan Daniel bahwa dirinya tidak sedang bermimpi tetapi nyata. Gadis itu berteriak padanya.
“Oi, kau? Salwa?” pekik Daniel, membuat Salwa kesal melihat ekspresinya yang dianggap sedang berakting. Daniel bangun dan berjalan ke arahnya.
“Mister lebay ih! Emang aku hantu? Segitunya ngeliatin aku.”
“Ah, ya kau memang mirip hantu, suka tiba-tiba datang.”
Daniel terbahak melihat raut wajah Salwa yang justru terlihat menggemaskan.
“Iya. Aku hantu, hihihi,”
Salwa menyerupai suara kunti.
Daniel kembali tergelak melihat tingkah gadis itu yang polos dan sedikit pemarah.
“Mister, aku pergi dulu ya. Sampai ketemu besok di hotel,”
Alih-alih bercakap-cakap lama karena tak lama bersua, Salwa memilih meninggalkan Daniel begitu saja. Salwa tetap harus menjaga sikap saat bertemu dengannya karena Daniel adalah adik suami kakaknya. Hubungan mereka tetaplah ipar. Meskipun tak bisa dipungkiri saat bersamanya Salwa merasa memiliki sosok seorang kakak laki-laki.
“Wawa, tunggu! Aku punya sesuatu untukmu,” seru Daniel dengan antusias.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Daniel memang ingin memberikan sesuatu untuknya, buah tangan yang sengaja dia beli untuknya. Dia berencana akan memberikannya besok saat acara pesta pernikahan sang kakak berlangsung. Namun ternyata takdir tengah berbaik hati padanya. Salwa mengunjungi sang kakak di rumahnya.
“Hem, kenapa panggil Wawa?” protes Salwa tak terima.
“Karena lebih mudah ketimbang Salwa.”
“No! I dislike it!”
“Kenapa emang?”
“Om Alwi meledekku dengan panggilan itu,”
“Baiklah, aku panggil apa ya biar mudah,”
Daniel berpura-pura berpikir keras. “Ah, ya, Sal!”
“Hei, suka-suka! Susah payah Ummi dan Abi memberi nama,”
“Jangan marah terus! Nanti cepat tua! Ayo!”
Daniel mengajak Salwa masuk rumah.
Salwa mengekori langkah Daniel menuju ruang keluarga di mana anggota keluarga yang lain sedang berkumpul. Beberapa pasang mata melihat kedatangan Daniel dan Salwa. Jonathan ialah sosok yang paling memperhatikan kedekatan mereka.
Salwa duduk di dekat sang ibu yang tengah mengobrol dengan mereka soal pertanian yang dia kelola.
Tak berselang lama Daniel kembali menuju ruang tamu dan memanggil Salwa.
“Sal, sini!” katanya berjalan lebih dulu keluar rumah diikuti Salwa di belakangnya.
“Mau kemana?”
Aruni mencekal tangan Salwa karena merasa penasaran, mengapa Salwa mengikuti Daniel.
“Itu dia mau kasih aku sesuatu. Tapi aku belum tahu apa,” cicit Salwa dengan tersenyum tipis.
Kinan yang duduk di samping Jonathan sama sekali tak peduli dengan keberadaan Salwa. Berbeda dengan Jonathan yang begitu gelisah melihat kedekatan mereka. Mereka tak boleh dekat.
Salwa dan Daniel duduk di teras rumah di mana pengawal tengah berjaga di sana. Riko dan Raka selalu berada di sisi majikannya.
“Mister, eh, Mas Daniel, kok aneh ya aku panggil Mas tapi nama belakangnya bule. Biasanya ‘kan Mas Joko, Mas Edi, Mas Handoko. Ini Mas Daniel,”
Salwa menutup mulutnya untuk menahan tawa. “Tapi kalau aku panggil Mister takutnya Mas Darren atau Om Jon marah,”
Salwa duduk di kursi besi yang berada di teras.
“Terserah kau mau manggil apa, Neng!”
Daniel mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Dia menaruh sebuah paper bag berwarna merah di atas meja yang menghalangi jarak mereka.
“Ya udah Om Daniel bagaimana?”
Salwa terus mengoceh.
“Aku masih mahasiswa Sal,”
Daniel menghela nafas panjang menyikapi gadis itu. Namun dia sama sekali tak marah padanya.
“Eh, mau kasih apa?”
Salwa menoleh kemudian tatapannya terpacak pada sebuah paper bag berwarna merah tersebut.
“Ini, bukalah!”
Telunjuk Daniel mendorongnya ke hadapan Salwa. Tanpa ragu Salwa mengambil paper bag tersebut kemudian melihat isinya. Tangannya dengan tak sabar merogoh apa isi di dalamnya. Seketika matanya berbinar kala melihat apa yang dipegangnya.
“Wow! Beautiful! Cantiknya … ini oleh-oleh dari Kanada? Gantungan yang sangat cantik! Ish, si Mister, eh, si Mas bule baik banget!”
“Itu namanya Dream catcher!” ucap Daniel tangannya terulur membenarkan posisi benang yang membelit di antara ring gantungan tersebut. Secara tak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan Salwa hingga membuat Salwa menarik tangannya karena merasa sangat malu. Dia tak pernah sedekat itu dengan seorang pemuda.
“Kenapa?” tanya Daniel saat melihat Salwa menarik tangannya cepat dan memalingkan wajahnya karena malu.
“Tidak apa-apa,”
“Apa kau suka? Ini buatmu, ambilah!”
Daniel memilih berdiri dan membuang pandangannya. Sengaja, agar Salwa mengambil hadiah darinya.
“Namanya Dream catcher, penangkap mimpi buruk,”
Daniel merapatkan sweater yang dipakainya.
“Hah? Drem kecer?”
Salwa melihat kembali gantungan berbentuk ring di mana di dalamnya ada jalinan benang rajut dan gantungannya terbuat dari bulu itu dengan begitu antusias.
“Dream Catcher, Sweety!”
Daniel keceplosan. “Dream catcher, Sal,”
“Ini digantung ya?”
“Bukan? Dibanting, ya digantung!”
“Makasih,”
Salwa pun menerima hadiah tersebut dengan senang hati.
“Konon, dream catcher itu biasa digantung di langit-langit kamar karena memiliki fungsi untuk menangkap mimpi buruk yang datang. Itu lah kenapa ada jaring di dalamnya,” jelas Daniel menatap Salwa begitu intens saat Salwa memainkan benda etnik berasal dari suku Indian yang manis tersebut.
“Salwa, apa kau sudah punya pacar?” tanya Daniel tiba-tiba.
Salwa tersedak mendengar pertanyaan macam apa itu.
“Belum. Eh, tidak! Ummi melarangku pacaran,” jawab Salwa apa adanya.
Daniel hanya menundukan pandangannya dan tersenyum tipis.
“Baguslah,”
Salwa terdiam sejenak mencoba mencerna pertanyaan Daniel.
***
Kepala Tania terasa berat begitu pula matanya sulit digerakkan. Seolah dia butuh energi berlebih untuk bangun dari sisa-sisa kesadarannya.
Satu detik, dua detik, tiga detik,
Akhirnya kelopak matanya perlahan terbuka lebar. Dia masih menyipitkan matanya demi menyesuaikan dengan intensitas cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.
“Argh, aku di mana?” panik Tania dengan meremat rambutnya karena merasa pusing luar biasa.
Pandangannya beredar setelah memperoleh sisa-sisa kesadarannya, melihat ruangan asing berwarna putih dan berukuran sempit jika dibandingkan dengan kamar tidurnya. Tatapannya beralih pada pakaian yang dia kenakan. Dia begiru panik saat menyadari jika dirinya memakai kemeja seorang pria.
“Astaga …” gumam Tania dengan berlinang air mata meratapi kebodohannya.
“Dokter sudah bangun rupanya? Aku akan ambilkan dulu teh hangat agar Dokter bisa merasa lebih baik?” Seorang wanita muda sembari menggendong bayi menghampiri Tania yang terlihat menyedihkan. Air matanya terus berlinang. Dia mengira telah kehilangan kehormatannya akibat kebodohannya, mabuk-mabukan. Melihat siapa yang datang, rupanya seorang wanita muda yang pernah ditolongnya, Tania segera menyeka air matanya dan menyingkirkan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Bagian intinya sama sekali tak sakit. Dia pun bangun dan mendekati wanita muda itu kemudian bertanya. “Lisna? Kenapa aku bisa berada di sini? Apakah kau yang menggantikan pakaianku? Kenapa aku bisa memakai pakaian pria?” Lisna menciut saat diberondong pertanyaan tanpa jeda. “Sebentar Dokter,” Lisna berjalan menuju karpet dan meletakan bayinya di sana. “Dokter, beruntung Bang Langit menemukan Dokter. Dia yang membawa Dokter ke sini. Kebetulan Bang Langit tinggal di kos sebelah.” “Siapa Langit?” “Bang Langit itu
Pesta perayaan pernikahan Darren Dash dan Mariyam Nuha didapuk sebagai salah satu perayaan pernikahan termewah yang unik di tanah air tahun ini, dengan mengusung konsep adat Sunda di mana sang mempelai wanita berasal dari kota Bogor sedangkan sang mempelai pria merupakan seorang blasteran Melayu-Aussie yang membuatnya tampak berbeda. Tak seperti pesta pernikahan saat di pantai yang mengusung konsep beach party yang terkesan modern.Ballroom hotel telah disulap sedemikian rupa mirip seperti istana. Backdrop bernuansa putih-hijau menjadi latar pelaminan. Aneka bunga hidup menghiasi semua sudut. Kursi kayu para tamu tak luput dihias dengan pita merah. Pun, makanan sebagai hidangan telah tertata rapi, mulai dari menu khas Sunda hingga Eropa disajikan oleh chef langsung.Sepasang pengantin tampak memukau dengan penampilan pakaian adat yang paripurna. Pengantin wanita tampil cantik dan elegan dengan mengenakan kebaya brokat berwarna putih lengkap dengan hiasan siger sebagai mahkota di kepal
Sebulan kemudian, ketika matahari mulai pudar dan langit terasa berat.“Di mana Nuha, Mom?” tanya Darren saat ia baru pulang dari kantor, satu tangan menenteng tas kerja dan satu tangan lainnya menyampirkan jaket ke pundaknya yang kokoh.Hal pertama yang seringkali ia tanyakan ialah sosok istrinya yang selalu menyematkan senyum manis saat menyambut kedatangannya. Ketika Nuha tidak berangkat kuliah, begitu Darren pulang maka ia sudah berdandan rapi dan cantik di depan rumah, melambaikan tangannya dengan wajah ceria, menyambut kepulangannya. Hal yang sederhana tetapi ampuh menambah cita rasa dalam hubungan mereka sebagai suami istri yang masih terbilang baru.Raut kecewa terlukis di wajahnya seketika saat tak mendapat sambutan hangat tersebut. Seperti seorang anak kecil yang merajuk, tak jadi dibelikan mainan oleh bapaknya, padahal sudah dinanti-nanti saban hari.“Nuha dari tadi di dalam kamar. Katanya masuk angin.”Kinan menoleh sejenak untuk menjawab pertanyaan putra sambungnya kemudi
“Sayang, ini jahe hangat buatan Mommy. Minumlah!” Darren duduk di samping ranjang di mana Nuha berbaring memunggunginya. Tangannya terulur mengusap begitu lembut kepalanya. Hanya terdengar nafas yang menderu dari bibir Nuha. Rupanya Nuha tertidur pulas. Terlihat damai. Andai tak ingat waktu Darren ingin ikut bergabung tidur di bawah selimut yang sama dengannya. Memeluknya dan merasakan hangat tubuhnya. Sebagai sepasang pengantin baru rasa-rasanya hubungan mereka masih hangat-hangatnya, tak ingin berpisah dan ingin lebih banyak bergumul berdua. Namun Darren harus menahan diri ketika mendapati sang istri tengah sakit. Darren menengok arlojinya kemudian menaruh gelas berisi jahe di atas nakas. Ia melangkahkan kakinya menuju jendela raksasa yang menghadap balkon. Tampak di luar sana matahari telah benar-benar tumbang di ufuk barat saat ia menyibak tirai jendela yang tertutup. Pandangannya beredar menyisir sudut kamar, lalu ia menyimpulkan bahwa Nuha telah mengurung diri di kamar denga
Kanada, 09.00 a.m.“Argh,”Terdengar suara seorang pemuda yang frustasi tengah mengerang kesal di balik kamarnya sendirian. Menatap pantulan wajahnya di cermin besar yang terlihat pucat dengan rambut yang mulai rontok saat ia mengusainya hingga membuatnya berteriak tak karuan.Matanya seakan melompat dari tempatnya kala melihat di sela-sela jarinya terselip helaian rambut. Sebelumnya ia berpikir hanya penderita kanker otak yang mengalami kerontokan tapi dugaannya keliru sebab kerontokan diakibatkan oleh kemoterapi.Di depàn bilik kamarnya sang pengawal memasang indera pendengarannya dengan waspada, mengawasi segala tindak tanduk apa yang tuan mudanya lakukan. Ia mengkhawatirkan telah terjadi sesuatu pada majikannya. Pasalnya tuan mudanya seringkali mengalami perubahan suasana hati yang naik turun dalam waktu yang singkat dengan alasan yang tak masuk akal menurutnya.“Mas Daniel, ada yang bisa saya bantu?” tanya Riko dengan suara agak keras dan tegas.Daniel sama sekali tak menyahut, i
Nuha keluar kamar dengan begitu antusias. Sore ini ia akan menjalani cek up rutin ke dokter kandungan meski tak ada yang mengantarnya. Mertuanya tengah berada di luar kota sedangkan Darren sedang melakukan perjalanan bisnis ke Jepang.Mau tak mau Nuha akan pergi ke sana sendirian usai kuliah. Ia belum berani mengabarkan kehamilannya pada sang ibu dengan alasan yang sedikit rumit. Kehamilan terlalu muda. Ia akan mengabarinya saat usia kehamilan telah melewati trimester pertama. Ada begitu banyak kekhawatiran yang melanda pikirannya seperti ia takut jika akan mengalami keguguran. Dan, ia tak ingin terlalu euforia atas kehamilannya.“Mbak, sudah siap?” tanya Pak Li menoleh ke belakang melihat nona mudanya baru saja duduk di bangku ke dua kendaraan yang dikemudikannya.“Sudah, Pak,” jawab Nuha dengan menyematkan senyum tipis.Pak Li mengendarai mobil dengan hati-hati dan kecepatan sedang. Pak Li sudah diwanti-wanti oleh Darren agar menjaga istrinya dengan baik.Setengah jam kemudian Nuha
Pagi itu para siswa sekolah madrasah aliyah Al Fatma tengah mengadakan ujian tengah semester. Semua guru atau dikenal dengan panggilan ustaz ataupun ustazah berpenampilan rapi, memasuki kelas masing-masing untuk mengawasi anak didiknya dalam mengawal ujian tersebut. Semua siswa pun antusias menyambut ujian tersebut meski dengan perasaan yang berkecamuk, antara gelisah dan gugup apakah mereka bisa melewati ujian tersebut dengan lancar atau tidak. Seperti halnya siswi lain Salwa sudah memasuki ruang kelasnya dan duduk di bangku sesuai nomor absensinya. Ketika Salwa hendak mendaratkan bokongnya di sebuah kursi kayu kosong, teman-teman sekelasnya yang telah tiba lebih dulu berteriak padanya. “Salaaaah!” seru mereka serentak hingga membuat Salwa mendengus kesal sebab posisinya kini tanggung, jarak bokongnya dengan dudukan kursi hanya tinggal beberapa centi lagi. Salwa terpaksa berdiri lagi dan memasang wajah garang pada temannya. “Apa? Salah apa?” pekik Salwa dengan mengedarkan pandang
Sepulang Darren Dash dari perjalanan bisnisnya, Nuha meminta restu sang suami untuk bersua dengan sang ibu karena ia merasa sangat merindukannya kendati ia sering melakukan video call dengan ibu tercinta.“Mas, apa boleh aku pergi mengunjungi Ummi? Aku sangat merindukan beliau.” Nuha berbicara pelan sekali, nafasnya masih belum teratur. Ia tengah berada di bawah satu selimut bersama sang suami.Setelah berbagi kehangatan di atas ranjang-yang awalnya takkan mereka lakukan, mengingat usia kehamilan yang masih muda, Darren memeluk Nuha begitu posesif. Nuha tak kuasa menolak sentuhan suaminya yang memabukkan. Mereka pasangan yang tengah hangat-hangatnya hingga baru beberapa hari saja berpisah membuat mereka saling merindu dan melampiaskan rasa rindu kala bertemu.“Tentu boleh Sweety!” tukas Darren dengan suara seraknya. “Makasih, Mas,”Nuha tersenyum kemudian menoleh untuk berhadapan dengan sang suami. Tangannya bergerilya menyentuh wajah sang suami yang semakin hari semakin tampan menur