Pov Fagan. "Kalau begitu, ceraikan dia!" Jantungku terasa hampir meledak mendengar ucapan enteng dari Zahra. Brakkk.....Reflek aku menggebrak meja yang memisahkan aku dengan kakak iparku itu. Enak sekali wanita ini bicara, apa dia sudah lupa dengan janjinya? "Tarik kembali ucapanmu!!" sentakku tidak terima. "Apa kamu sudah lupa siapa orang yang sudah membantumu? Jika bukan karena bantuanku, sekarang rumah kalian pasti sudah di sitai!" Terlihat wanita di depanku ini menghela nafas panjang. "Aku tidak akan lupa dengan semua bantuanmu. Tapi, ini demi kebaikan kamu juga Zura." Kutatap wanita itu tajam, bagaimana bisa dia mengatakan demi kebaikanku dan Zura? Dia pikir untuk apa selama ini aku membantunya jika harus tetap kehilangan istriku. "Sampai matipun aku tidak akan menceraikan Zura," kekehku. Lagi-lagi wanita itu menghela nafas, sejenak dia menundukkan kepalanya lalu menatapku lagi. "Bukankah aku sudah menceritakan semuanya, termasuk kondisi mental Zura? Kamu tidak mengenal
Pov Meizura.Sebelum pintu tertutup aku sempat mendengar Mas Fagan meminta Bi Minah untuk membuatkannya kopi. Ah.... Ini kesempatanku.Segera aku mengambil botol kecil yang sudah aku bawa dari rumah Eyang. Setelahnya aku segera keluar kamar. Di dapur terlihat Bibi sedang meracik kopi. "Bi, tolong ambilkan obat mag, perutku rasanya gak enak," ujarku berbohong. "Sakit kenapa, Nya? Apa salah makan?" tanyanya sambil mengelus lenganku."Mungkin, tolong ya Bi," sambungku memelas. Tak menunggu lama Bibi segera mengambil kotak obat yang ada almari ruang tengah. Begitu Bibi Pergi dengan cepat aku menuangkan hampir separuh botol obat pencahar ke dalam gelas yang sudah disiapkan Bibi. Setelah itu aku segera berjalan menuju meja makan, mengambil duduk dan berpura-pura sakit perut. "Ini obatnya." Bibi berjalan cepat sambil membawa satu strip obat. "Cepat di minum, biar sakitnya cepat hilang." Bibi menuangkan air kedalam gelas dan memberikannya padaku. "Makasih Bi," ucapku lalu menunjuk keara
Pov Fagan. "Papa..... Papa....." Suara kecil terdengar keras sekali.Kubuka mata dan melihat sekelilingku hanya padang rumput yang luas. "Di mana ini? Apa aku sudah mati?" Aku menoleh ke kanan dan kiriku, sepi sekali. "Papa......" Suara kecil itu terdengar kembali. Entah dorongan dari mana aku mulai melangkah mengikuti suara itu. "Papa..... Papa....," Suara itu berasal dari sebuah pohon besar. "Siapa itu?" teriakku waspada. "Ini aku Pa," jawab seorang anak kecil yang tiba-tiba muncul dari balik pohon. "Akkh......" Aku tersentak, mundur. Begitu kagetnya sampai aku terjatuh. Sambil beringsut kuarahkan tanganku menunjuk anak kecil yang wajahnya dan tubuhnya tidak utuh, sungguh sangat menyeramkan untukku. Entah siapa dia? Mungkin hantu atau setan, tapi yang pasti dia tidak seperti manusia pada umumnya. "Si..... siapa kamu?" tanyaku dengan terbata. Ada rasa takut dan ngeri yang membuat tubuhku gemetaran. "Papa....." "Papa? Siapa yang kamu panggil Papa?" Aku menoleh kebelakang
Pov Meizura.Sudah dua hari berlalu dan Mas Fagan belum juga pulang ke rumah. Dari yang kudengar saat Mas Fagan menelpon Bibi, Mas Fagan bukan belum sembuh tetapi karena ada urusan di luar sehingga dia tidak pulang. Pria itu berpesan agar Bibi mengawasiku. Cih.... memang dia pikir aku anak kecil yang harus diawasi. Berdoalah saja agar Bibi tidak kembali lengah supaya aku tidak bisa menjalankan rencanaku.Tin .... Tin...... Di luar terdengar suara klakson mobi. Sepertinya itu mobil Mama Kinanti. Terbukti dengan sikap Bibi yang langsung bergegas menarik tanganku masuk ke dalam kamar. Setelahnya Bibi berpesan agar aku tidak bersuara dan segera mengunci pintu dari luar. Dengan patuh aku hanya mengangguk. Bukan karena takut, aku hanya tidak ingin membuat Bibi dimarahin Mas Fagan. Lagi pula aku juga tidak membutuhkan bantuan Mama mertuaku itu. Jika aku mau sekarang pun aku bisa keluar dari rumah ini. Tapi tidak aku lakukan sebelum Mas Fagan membayar semua dosa-dosanya padaku aku akan tet
Pov Fagan. Brakkk..... Pintu di tutupnya dengan kasar sampai menimbulkan suara yang sangat keras. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, berusaha menahan emosi yang terpecik dengan sikap kasar Zura. Bak benang kusut, kesalahpahaman kami semakin rumit saja. Setiap kali bersama selalu berakhir dengan pertengkaran. Semakin hari sikap Zura semakin kasar dan dingin padaku. Tapi aku tidak boleh menyerah, asalkan terus bersabar suatu hari nanti pasti hatinya akan luluh juga. Kuketuk pintu sampai tiga kali namun tak mendapat sahutan darinya. "Zura, keluarlah! Kamu harus sarapan. Aku nggak mau nanti asam lambung kamu naik," kataku dengan suara selembut mungkin. "Zura..... Apa aku bawakan sarapannya kedalam kamar?" tanyaku yang tetap tak dijawabnya. "Maaf Tuan, lebih baik Tuan sarapan dulu saja. Biar nanti saya yang bawakan makanan untuk Nyonya," sahut Bibi yang sudah berdiri beberapa langkah dari posisiku. Kuhela nafas panjang, sedikit ada rasa kecewa hinggap di hatiku. Sejak kemarin aku
Brakkkk...... Firdaus menggebrak meja, "Jawab!!!!" Fagan menarik nafas panjang, wajahnya masih menunduk berusaha untuk tetap tenang dan tidak terpancing emosi. Saat ini posisinya memang salah, semua kejadian buruk yang terjadi adalah buah dari perbuatannya sendiri. "Siapa yang memberitahu Papa?" Fagan mendongakkan wajahnya menatap Firdaus yang berdiri dengan bertolak pinggang. "Itu tidak seperti yang Papa dan mereka pikirkan. Selama pernikahan aku dan Zura sangat bahagia. Hanya setelah Zura menemui 'wanita ular itu' semuanya jadi berubah." Sambung Fagan mencoba menjelaskan asal muasal masalah dalam rumah tangganya.Firdaus menghela nafas panjang, emosinya sedikit menurun mendengar penjelasan Fagan. Hatinya juga merasa iba melihat ekspresi sendu di wajah putra sulungnya itu. Putra sulung Firdaus itu tak seperti biasanya yang selalu bersemangat dan angkuh saat bicara. Kali ini pria itu nampak sangat frustasi dan kelelahan. "Asisten rumah tangga di rumah almarhum Eyang Farida menelpo
Sepanjang perjalanan Fagan tak hentinya mengumpat dan merutuki ketua rukun warga di perumahannya. Seenaknya saja pria itu ingin membawa istrinya ke rumah sakit jiwa. Memang siapa pria itu beraninya mengusik istri seorang Fagan Zio Rafiandra, salah satu pengusaha sukses di negaranya. Pa mereka tidak tahu siapa dirinya? Kalau hanya untuk membeli perumahan yang sekarang mereka tempati Fagan pun sanggup. Apalagi cuma membungkam mulut beberapa warga yang sok mengkampanyekan toleransi dan tenggang rasa. Kalau meraka memang setoleran itu harusnya mereka bisa memaklumi sikap Zura yang sedang mengalami depresi. Bukannya malah mengancam memanggil pihak rumah sakit jiwa untuk membawa istri Fagan. "Sabarlah, ingat pesan Ustadz Jafar! Untuk saat ini kesabaranmu yang sedang di uji," ucap Dery yang duduk di kursi kemudi. Fagan mendengus, tatapannya masih fokus dengan jalanan di depannya. Tak dihiraukannya nasihat Dery yang entah sudah ke berapa kalinya. "Memang siapa mereka, beraninya mengusikku
Setelah merasa lebih tenang, Fagan memanggil semua pekerja yang ada di rumahnya. Di ruang tengah, Fagan duduk di sofa ditemani Dery, sedangkan keempat pegawainya duduk di kursi yang berjajar menghadap Fagan. "Sekarang ceritakan bagaimana kronologi kejadiannya?" Dery yang berbicara. "Ceritakan dengan detail dan jangan ada yang tertinggal!" sambungnya dengan nada memerintah. Sedang Fagan menatap iba satu persatu wajah para pekerja yang hampir celaka karena ulah istrinya. Fagan sangat menyesal setelah apa yang dilakukan Zura pada keempat orang itu. Sampai hampir lima menit tak ada satupun dari keempat orang itu yang mau berbicara. Mereka hanya saling pandang lalu menundukkan kepala. Terdengar Fagan menghela nafas panjang. "Bik, katakan bagaimana ceritanya Zura bisa mendapatkan bensin dan korek api? Bukankah aku sudah melarang korek api ada di rumah ini," "Maafkan saya Tuan, saya telah lalai menjaga Nyonya," jawab Bik Minah menangis dengan wajah pucat karena ketakutan. Kembali Fagan
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka