Sepanjang perjalanan Fagan tak hentinya mengumpat dan merutuki ketua rukun warga di perumahannya. Seenaknya saja pria itu ingin membawa istrinya ke rumah sakit jiwa. Memang siapa pria itu beraninya mengusik istri seorang Fagan Zio Rafiandra, salah satu pengusaha sukses di negaranya. Pa mereka tidak tahu siapa dirinya? Kalau hanya untuk membeli perumahan yang sekarang mereka tempati Fagan pun sanggup. Apalagi cuma membungkam mulut beberapa warga yang sok mengkampanyekan toleransi dan tenggang rasa. Kalau meraka memang setoleran itu harusnya mereka bisa memaklumi sikap Zura yang sedang mengalami depresi. Bukannya malah mengancam memanggil pihak rumah sakit jiwa untuk membawa istri Fagan. "Sabarlah, ingat pesan Ustadz Jafar! Untuk saat ini kesabaranmu yang sedang di uji," ucap Dery yang duduk di kursi kemudi. Fagan mendengus, tatapannya masih fokus dengan jalanan di depannya. Tak dihiraukannya nasihat Dery yang entah sudah ke berapa kalinya. "Memang siapa mereka, beraninya mengusikku
Setelah merasa lebih tenang, Fagan memanggil semua pekerja yang ada di rumahnya. Di ruang tengah, Fagan duduk di sofa ditemani Dery, sedangkan keempat pegawainya duduk di kursi yang berjajar menghadap Fagan. "Sekarang ceritakan bagaimana kronologi kejadiannya?" Dery yang berbicara. "Ceritakan dengan detail dan jangan ada yang tertinggal!" sambungnya dengan nada memerintah. Sedang Fagan menatap iba satu persatu wajah para pekerja yang hampir celaka karena ulah istrinya. Fagan sangat menyesal setelah apa yang dilakukan Zura pada keempat orang itu. Sampai hampir lima menit tak ada satupun dari keempat orang itu yang mau berbicara. Mereka hanya saling pandang lalu menundukkan kepala. Terdengar Fagan menghela nafas panjang. "Bik, katakan bagaimana ceritanya Zura bisa mendapatkan bensin dan korek api? Bukankah aku sudah melarang korek api ada di rumah ini," "Maafkan saya Tuan, saya telah lalai menjaga Nyonya," jawab Bik Minah menangis dengan wajah pucat karena ketakutan. Kembali Fagan
Sudah satu minggu Fagan memutuskan untuk bekerja dari rumah. Semua urusan meeting dan bertemu klien Fagan serahkan kepada Dery. Ketika ada dokumen yang membutuhkan tanda tangan Fagan maka Dery akan mengirim Rangga datang ke rumah Fagan untuk meminta tanda tangan. Semenjak kepergian Bik Minah, Meizura tak lagi membuat masalah. Wanita itu nampak tenang dan mengurung diri di kamar. Hanya ketika waktu makan dia akan keluar kamar. Hal itu membuat Fagan sedikit tenang. Setidaknya Fagan tak perlu khawatir Meizura akan mencelakai orang di sekitar mereka. Sebenarnya Fagan tidak memecat Bi Minah. Dia hanya meminta Bi Minah untuk sementara waktu kembali ke kediaman Rafiandra sampai kondisi mental Meizura kembali normal. Setiap hari Fagan berusaha bangun lebih pagi untuk membuatkan sarapan untuk Meizura. Fagan berharap hal kecil itu bisa membuat Meizura melihat ketulusannya. Namun sampai saat ini respon Meizura pun sangat datar. Semua makanan yang di hidangkan di atas meja makan akan Meizura sa
Setelah makan malam nampak Zahra putri sulung dari Furqon Arrasyid melamun di ruang tengah rumah megah mereka. Sudah dua hari ini wanita bertubuh tinggi semampai itu seperti orang sedang galau dan banyak masalah. Hal itu tak luput dari perhatian Sarah sang ibu tiri. Dari dapur wanita itu memperhatikan anak tirinya itu. "Bik, saya tinggal ya. Tolong bereskan semuanya," perintahnya pada asisten rumah tangganya. Lantas mengelap tangannya yang basah setelag mencuci piring bekas makan malam.Wanita baru menginjak umur tiga delapan tahun itu berjalan mendekati Zahra. "Bunda perhatikan dua hari ini kamu banyak melamun." Sarah ikut mendudukkan dirinya di samping Zahra. "Apa kamu ada masalah?" tanyanya sambil mengelus rambut sebahu Zahra. Zahra menoleh, wajahnya nampak sendu. Digigit bibir bawahnya, ragu untuk bercerita takut membuat hubungan baik dua keluarga akan berakhir. Namun jika ia hanya diam saja, hidup adiknya menjadi taruhan. Tanpa terasa lelehan bening bergulir dari kedua mata in
Di rumah sakit. Di depan ruangan operasi nampak dua keluarga duduk di deretan kursi tunggu yang berbeda. Wajah mereka nampak tegang dan pucat. Di sebelah kiri duduk Furqon bersama istri dan putri sulungnya. Di sisi sebelah kanan terlihat Firdaus dan Kinanti. Sedangkan Fagan berdiri tepat di depan pintu ruangan operasi dengan wajah pucat dan lengan yang memakai gendongan tangan.Fagan sempat menjalani perawatan untuk luka di pundak dan lengannya sebelum Meizura masuk ruang operasi. Begitu perawat selesai mengobati lukanya, suami Zura itu menolak untuk istirahat di ruang rawat inap dan bersikeras untuk menunggu di depan ruang operasi. Tak jauh dari dua keluarga itu berdiri beberapa bodyguard dan orang kepercayaan Furqon. Dua orang berjas sedang membahasa sesuatu sambil berbisik. Setelahnya dua orang itu berjalan mendekati Furqon berbicara sebentar lalu undur diri. Sudah lebih satu jam Meizura masuk ruang operasi karena luka di kepalanya. Menurut Dokter Meizura mengalami benturan cukup
Sudah dua hari ini Meizura berada di ruang perawatan khusus namun belum juga ada kemajuan. Kondisinya masih belum sadar dan beberapa kali sempat drop. Dokter menyatakan jika Meizura mengalami koma yang tidak bisa di prediksi kapan akan kembali sadar. Setelah kondisinya stabil hari ini Meizura dipindahkan ke ruang perawatan. Namun dokter masih membatasi jumlah orang yang diizinkan untuk menjenguk. Hanya satu sampai dua orang yang diizinkan masuk, itupun harus bergantian dan menggunakan pakaian khusus. Orang pertama yang masuk adalah Furqon, di dalam ruangan pria paruh baya itu menitikkan air matanya untuk pertama kalinya setelah kepergian istri pertamanya dulu. Hatinya hancur melihat keadaan putrinya yang terbaring dengan banyak alat menempel di tubuh lemahnya. "Maafkan Papa karena tidak bisa melindungimu tapi mulai hari ini Papa janji akan menuruti semua keinginanmu," ucap Furqon lirih. Tak sanggup berlama-lama pria itu memilih untuk segera keluar. Di luar sudah ada Fagan yang menu
"Saya mohon, jangan pisahkan saya dengan Zura... saya tahu saya salah, tolong berikan saya satu kesempatan saja untuk memperbaiki semuanya." Furqon, Firdaus juga Kinanti membulatkan mata menatap tak percaya pada pria yang sedang bersimpuh di kaki Furqon itu. Mendadak hati Furqon merasa iba. Rasanya tak percaya melihat Fagan, pria angkuh dan sombong bisa meletakkan harga dirinya demi putri bungsunya. Namun rasa kecewa dan amarah sudah menyelimuti hati dan menutup matanya sehingga membunuh rasa iba yang sempat muncul. "Saat kamu memukulnya, apa kamu ingat dia adalah wanita yang telah kamu nikahi dan tak ingin terpisaha darinya?" ujar Furqon dengan tatapan kecewa pada pria yang dulu selalu ia banggakan sebagai menantu kesayangannya.Fagan mendongak, menatap wajah tegang pria yang berdiri di depannya itu. "Maaf, saya memang bersalah. Tapi saya sangat mencintai Zura, tolong jangan pisahkan kami," mohonnya lalu meraih tangan Furqon."Cinta? Ketika kamu mencekiknya apa saat itu di hatimu
Setelah berpikir semalaman aku sudah memantapkan hati untuk berani menghadapi Zura dan segala resiko untuk tetap berada di sisinya. Aku tidak akan jadi pengecut. Jika memang aku harus mendekam di penjara, aku rela. Akan kutebus semua dosa dan kesalahan yang telah kuperbuat namun tidak dengan kehilangan Zura. Bisa kuterima semua kebencian Zura dengan tetap menggandeng tangannya. Satu tahun, dua tahun bahkan puluhan tahun aku rela menunggu maaf darinya. Aku tidak peduli lagi dengan nama baik dan harga diri, semua akan kulepas demi bersama Zenia Mezura Humaira. "Mau kemana kamu?" tanya Mama begitu aku sampai di lantai bawah. "Sebaiknya kamu istirahat saja, jangan dulu kerja. Untuk sarapan biar Mama bawakan ke kamarmu," Kemarin Mama dan Papa memaksa membawaku kemabli pulang ke rumah kami. "Tidak perlu Ma, aku belum lapar. Nanti aku akan makan di kantin rumah sakit." Aku berjalan begitu saja melihat kedua orang tuaku yang sedang sarapan di meja makan. "Duduklah dulu!" Suara Papa terd
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka