Percakapan kita beralih ke sofa kamar. Karena kata Husein barusan, obrolan suami istri yang menjurus pada hal-hal intim, sebaiknya di bahas di dalam kamar, dan cukup hanya keduanya lah yang tahu. Kalau kita masih ada di ruang tamu, dikhawatirkan akan banyak telinga yang mendengar. Sedangkan aib rumah tangga hendaknya ditutup rapat-rapat dari semua orang.Kita duduk saling bersebelahan. "Rey, saya mau nanya. Serius kah ucapan kamu tadi pagi?"Aku sempat bingung apa yang dia maksud, tapi sedetik kemudian aku langsung paham. Semua ini tentang aku yang membolehkan dia mencium ku."Memangnya kedengaran kayak bercanda ya Mas?""Mau dijawab jujur atau bohong nih?""Jujur dong! Bohong kan dosa," selaku lagi."Iya. Ucapan itu kedengarannya hanya sebagai rasa kasihan kamu terhadap saya Rey." Aku masih mencerna ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Husein, karena aku gak paham bagian mananya ucapan ku dinilai sebagai rasa kasihan."Maksud Mas apa ya? Kok bisa Mas nilai seperti itu?""Iy
Mana tinggal besok hari lagi. Aku gak tau kenapa rasanya kecewa banget baru dikasih tau H-1 begini. Pasti kalau seminar kayak gitu rata-rata dikasih tahunya seminggu sebelum berangkat kan? Apalagi aku lihat jadwal ceramahnya sangat padat dalam satu minggu ke depan. Kenapa dia gitu sih? Aku kan jadi sedih."Oh, sendiri?""Berdua sama Mba Aisyah. Tapi kita berangkat beda kendaraan," tambahnya lagi sambil menegaskan hal yang mungkin akan aku pertanyakan.Aneh, kalau dulu aku berharap bisa lepas jauh atau berpisah sementara waktu sama Husein, tapi sekarang kenapa ada rasa gak rela kayk gini ya? Apalagi saat aku dengar dia akan pergi sama si Aisyah. Walau gak bakal satu mobil dan satu kamar, tapi kan meresahkan banget buat diingat-ingat."Kok diam?" tanyanya kembali memecah lamunanku."Kok harus sama dia, guru yang lain gak ada?" Aku masih berusaha buat berpikir wajar, meskipun dalam hati udah dongkol banget."Karena yang alumni Al-Azhar kita berdua Rey, jadi kami yang diundang. Nanti kam
Aku pulang dari kobong dengan jalan yang tergesa-gesa sambil dibarengi dengan terngiang-ngiang nya cerita dari anak-anak tadi yang membuat aku seperti kebakaran jenggot. Panas terik di siang hari aja kalah sama panasnya hati aku akibat ulah mereka yang entah cerita itu benar atau hanya dilebih-lebihkan.Apalagi ditambah kenyataan bahwa Husein akan tugas bersama Aisyah nanti! Bener-bener bikin aku makin murka.Sholat ashar baru saja selesai, dan mungkin saja Husein udah kembali ada di kamarnya lagi. Jadi aku udah mempersiapkan diri kalau nanti ditanyain habis dari mana aja. Yah, entar seklian aja aku bakal jujur, kalau habis dapat asupan gas tiga kilo gram dan bensin. Entar lagi bakal meledak gitu, biar dia kebingungan."Salamulekom!" Sangkingnya kesal, ucapan salam ku hampir terdengar seperti menyimpang dari lafadz sebenarnya.Aku berjalan ke arah kamar dan menemukan Husein yang udah ada di sana."Dari mana Rey ba'da ashar baru datang?" tanyanya menghampiri aku di depan pintu."Kan
Setelah aku selesai mandi dengan imajinasinya yang luar biasa, aku pun segera kembali menuju ke kamar dan gak sengaja melihat Husein lagi menyimpun barang yang akan dia bawa ke Jakarta besok."Sini biar aku aja!" kataku yang langsung menggeser tubuhnya dan meraih baju yang dia pegang."Gak usah, biar saja Rey." Sempat dia meraih kembali pakaiannya itu tapi dengan cepat aku merebutnya lagi."Aku aja! Aku pilihkan outfit untuk dipakai sama Mas dalam satu minggu ke depan pas lagi ngisi seminar nya, nanti difoto tiap lagi pakek bajunya," paparku dengan ketus."Tapi kok ngambek sih ngasih tahunya? Saya ada salah lagi ya Rey? Jujur saja!" kata dia menghentikan pergerakan aku. Sial! Baru dipegang tangannya aja aku udah nervous banget nih!"Kalau gak ikhlas jangan dilanjutkan ya Rey, biar saya sendiri aja yang tata!"Aku pun dengan kesal sedikit melempar baju itu ke dalam koper. "Aku bukannya gak ikhlas Mas, tapi aku kesel.""Ya kesel nya kenapa? Coba cerita, kalau marah-marah begini gimana m
Aku sengaja mengatur alarm lebih pagi meski lagi libur sholat, alasannya ya karena aku harus menyiapkan segala keperluan dia yang kemarin sore tertunda akibat perdebatan yang yang mendadak terjadi. Alhasil, pagi-pagi seperti inilah saatnya aku mengemasi baju, kitab-kitab nya, makanan cemilan, minuman buat di perjalanan dan embel-embel nya lagi.Pokoknya, ya bagi para istri-istri yang lain pasti udah paham lah, harus ngapain. But for me, this a first time banget.."Eh udah bangun," sapanya ketika dia udah tiba di kamar setelah selesai sholat subuh berjamaah di masjid."Iya lah, kan harus siapin baju."Tapi kelihatannya ekpresi Husein seperti lagi kaget begitu deh."Bentar Rey, itu baju aku banyak banget!! Kan di sana pasti ada laundry gitu, kenapa harus sebanyak itu?" Dia kaget banget begitu melihat pemandangan tujuh setel baju koko dan tujuh setel baju santai yang aku siapkan di atas kasur. "Enggak banyak, cuma tujuh kok!""Astaghfirullah, itu banyak sayang. Gak perlu sebanyak itu,
Setelah semua selesai, aku mengantar kepergian Husein sampai ke depan pintu mobilnya. Di belakang kami juga udah ada bapak dan ibu mertua yang turut mengantarkan keberangkatan Husein."Sudah gak ada yang ketinggalan lagi? Nanti bapak nyusul di penutupan acaranya yah," kata bapak mertuaku."Iya Pak, doakan perjalanan Husein selamat ya." Ku lihat dia mencium punggung lengan bapaknya.Sedangkan aku masih berdiri di sebelah pintu penumpang dan sengaja berdiri jauh dari mereka."Itu Aisyah."Kita semua menoleh ke sosok yang dimaksud oleh ibu mertuaku. Siapa lagi sih manusia yang matanya selalu berbinar kalau ketemu Aisyah? Ya dia doang. Berasa kayak ketemu bidadari kayangan! Beda kalau ketemunya sama aku, berasa liat rentenir kali langsung kabur gitu aja. Derita gak disukai sama mertua sendiri ya gitu, dibeda-bedakan."Kenapa gak bareng Husein aja sih, kan kalian satu arah satu tujuan?" Kala ibunya berkata seperti itu, Husein menoleh ke arahku dan memeriksa ekpresiku."Bu, kita bukan mu
Dua hari dari kepergian Husein membuat rasa kesepian yang luar biasa. Gak ada lagi ceramah-ceramah menjengkelkan yang menemani aku setiap harinya, yang tadinya aku selalu ilfeel, tapi lama kelamaan aku kangen ocehannya dia. Dan tahukah kalian apa yang lebih menyebalkan dari itu? Husein jarang sekali kasih kabar sama aku. Setelah satu teleponnya yang mengabari bahwa dia udah sampai di Jakarta, udah itu hening aja ke sananya.Kadang kalau aku nanya lagi apa, udah makan atau belum di pagi hari dia bisa balasnya sore, atau malem.So, kenapa slow respon seperti itu ke istrinya sendiri? Katanya nyuruh aku gak usah khawatir, tapi kalau begini siapa yang gak merengek terus coba. Bahkan telepon dari aku juga sering gak diangkat dan gak pernah ditelepon balik. Jengkel sih, tapi gengsi kalau mau jujur! Cuma ngobrol sama anak-anak aja yang bantu bikin waktu aku gak terasa lebih lama. Tapi, mereka juga ada jadwalnya tersendiri. Kalau waktunya mengaji atau ekstrakulikuler, aku harus pulang dan g
Ku perhatikan di sekitar kantin, dan aku menemukan Reza yang lagi duduk di sebuah meja di sudut ruangan. Ada rasa takut saat kaki ini melangkah mendekati dirinya."Hai, lama ya nunggunya?" ucapku basa-basi dan aku langsung duduk di depannya."Enggak sayang, aku justru excited banget nunggu kamu di sini, gak sabaran!"Aku mulai risih ketika dia manggil aku sayang. Bukannya apa, ini adalah tempat tinggalku dan wilayahnya Husein, banyak santri dan anak buahnya di sini yang mungkin bakal dengar pembicaraan kita. Berarti aku harus pertegas sesuatu nih sama Reza, supaya dia gak berkata macam-macam nantinya."Za, aku gak nyangka kamu bisa bertindak seceroboh ini, sampai-sampai buat ide yang di luar batas."Dia termenung sejenak sebelum melanjutkan ucapannya lagi."Maksud kamu Rey? Ini adalah usaha aku supaya kita bisa bertemu terus, kan kamu yang maunya begitu?""Iya sih, tapi gak begini juga Za. Ini terlalu beresiko! Iya sekarang pas Husein gak ada, nanti ketika dia udah datang, apa kamu