"Rey? Alhamdulillah wasyukurillah, terima kasih kamu sudah pulang Rey." Husein mungkin mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari dari tempatnya saat menerima panggilan telepon dariku bahwa aku sudah ada di depan gerbang pondok.Aku rasa dia juga menunda jam mengajarnya, karena setahuku setelah sholat magrib hari rabu ini, ada satu jam mengajarnya.Aku senyum singkat, "iya biasa aja lagi. Aku juga ngerti, meski lagi marah aku tahu tempat untuk pulang," jawabku judes. Beda sekali dengan ekpresi wajah Husein yang sepertinya lega karena aku sudah ada di hadapannya lagi."Rey, gak gitu. Hehe, maaf Pak itu jin nya belum keluar sepenuhnya," sahut Clara. Sepanjang jalan, dialah manusia terbawel yang tiada henti marahin aku sepuas hatinya. Bahkan, masih berlanjut meski udah nyampe di pondok."Di-ruqyah mandiri aja Pak di kamar!" Kini giliran Nadine yang menyahut. Duh mulut mereka berdua rasanya pengen aku sumpel pakek sendal jepit deh. Bikin aku malu terus di depan Husein. Lagian jangan d
Jidatku penuh sama keringat kayak baru selesai lari maraton. Emang dasar ya, dalam mimpi aja masih dibuat capek! Aku langsung terduduk dan memutarkan pandangan mata ke seluruh penjuru kamar, sampai aku melihat sosok Husein yang sedang tidur di sofa.Duh, laki-laki itu yang dalam sekejap bikin hidup aku jadi super berantakan. Serba salah jadinya, pengen protes mati-matian tapi kayaknya aku gak pantas banget begitu sama orang baik. Kamu itu terlalu baik sekali Mas buat wanita yang kurang ajar kayak aku. Aku mendekati dia ke sofa, dan membangunkan tidurnya. "Mas, Mas Husein bangun!" Dalam sekejap dia langsung membuka matanya."Ada apa Rey, kamu perlu apa?" tanyanya begitu dia sudah dalam poisi duduk."Gak ada Mas, kamu pindah gih tidur di kasur. Biar aku yang di sofa!" kataku lagi. Aku hampir gak bisa berpikir apa-apa karena perasaan aku lagi gak karuan begini. Dia diam sambil menatapku, "ada apa Rey, apa aku punya salah sama kamu tadi siang? Kamu bisa bilang kalau ada yang kamu gak
Aku mulai mengentikan tangisanku.Terbukti benar apa penilaian Clara, bahwa Husein sangat bertanggung jawab. Padahal ibu dan ayah udah bilang bahwa Husein terbaik, tapi saat itu aku mengacuhkannya."Ya sudah, tidur gih Rey di kasur. Aku sudah biasa tidur di sofa, di lantai, di matras, karena aku alumni pondok. Tapi kalau kamu, aku yakin kamu selalu terbiasa tidur di atas ranjang yang empuk. Jangan memaksakan diri."Aku berpikir, kalau misalkan aku tetap naik ke atas ranjang, sia-sia dong confess yang memilukan tadi. Jadi aku berinisiatif untuk membelokkan jalan. Aku ke daerah tempat tidur, dan mengambil selimut tebal itu terus aku gelar di lantai."Ya udah kalau Mas gak mau di tidur di kasur, aku tidur di lantai aja!""Loh buat apa? Kamu jangan menyiksa diri sendiri gitu Reynata, nanti badannya sakit loh!"Aku gak dengar, aku tetap dengan songong nya menata selimut itu di bawah.Lalu aku meraih bantal di kasur dan segera ambil posisi tidur di atas selimut yang tergerai itu. Aku gak
"Siap-siap, setelah sholat subuh kita akan berangkat menuju rumah ibu kiayi Manshori. Di sana sedang ada acara dan karena mereka kerabat, maka sewajarnya tugas kita untuk membantu. Dan harus ibu ingatkan yah, pakai pakaian yang pantas, dan tutup rambutnya. Perlihatkan bahwa kamu adalah istri ustadz," terang beliau dengan wajah dingin mencekam. Tahu sih ini subuh, tapi gak perlu menjelma jadi es batu gitu juga lah. Ngajakin jalan kayak ngajakin ribut deh. Gak bisa apa lebih biasa aja, lemah lembut gitu? Katanya istri ustadz, eh salah anda kan istri kiayi."Iya bu," jawabku singkat.Lalu aku melihat ibu mertua itu meninggalkan rumahku dan kembali ke rumahnya melewati pintu perbatasan. Udah kayak zona Demiliterisasi antara Korsel dan Korut aja deh, mirip banget. Tapi mereka bagian Korut nya yah, soalnya bapak mertuaku lebih mirip kayak Kim Joung Un, alias sadis.Balik lagi ke rumah, jadi singkatnya model rumah ini tuh berbentuk L. Untuk bagian yang menghadap depan adalah rumah mertuaku,
"Mas, tadi ibu ngajak aku pergi ke mana sih, aku lupa nama tempatnya, yang jelas ada ri ri nya gitu," kataku saat Husein sudah pulang dari sholat subuh nya. Kadang, dia suka mengisi kultum dulu, alias ceramah singkat tujuh menit gitu lah. Makanya jam setengah tujuh baru kembali ke kamar."Rumah kiayi Manshori yah?""Iya bener, itu maksudnya.""Iya aku sudah dengar, tadi ibu sudah minta izin sama aku buat ajak kamu. Tapi apa perlu aku buat alasan supaya kamu gak jadi ikut?""Kenapa memangnya?""Soalnya kalau kamu ke sana, ibu pasti maksa kamu buat pakai baju gamis panjang, dan aku ragu kamu akan baik-baik saja kalau masih pakai baju yang lebih pendek." Penjelasan Husein sangat tepat dengan apa yang aku pikirkan sejak tadi. Aku memang sempat berpikir untuk memintanya menolak aku pergi, karena meski aku cantik, kalau mereka ngobrolnya tentang agama-agama gitu aku pasti jadi orang yang paling bengong sendirian. Tapi, ada tapinya.Kalau aku gak datang, mereka justru akan semakin membicar
"Husein rencana akan berangkat besok dengan bapak, jadi hari ini kita akan menginap supaya besok bisa stay menerima tamu dengan leluasa."Aku diam tapi aku paham apa inti yang dibicarakan oleh bumer. Aku gak tahu keadaan di sana seperti apa, ada hal apa dan tamunya siapa aja karena ini baru pertama kali buat aku. Cuma yang ku tangkap adalah, aku harus jaga diri, jangan menelan omongan apapun yang bakal menyakitkan hati. Karena di sana yang kita temui bukan hanya satu atau dua orang, melainkan ratusan.Aku memutarkan pandangan mata ke luar jendela. Aku gak nyangka yah, bisa terjun dalam kehidupan rumit kayak gini.. Waktu jadi artis iklan, perasaan aku gak sesulit ini kehidupannya. Sekarang, tiap hari ada aja tantangan baru yang harus aku lewati. Rasa pengen menyerah sih ada, tapi mau mundur udah terlalu jauh kayaknya.***Gak kerasa ya, sudah empat jam kita terombang-ambing di jalanan yang mahadahsyat, akhirnya sampai juga di lokasi tujuan dengan total satu kali istirahat karena supir
Di situlah aku akan berhadapan dengan orang-orang yang entah akan memandangku seperti apa. Nyata kan, di saat ada acara dan harus masak-masak bareng wargberhadapana begini, pasti di sana akan dijadikan ajang bergosip ria yang tak luput membahas hal apapun, mungkin mulai dari perkembangbiakan telur cacing, sampai ke daleman janda sebelah juga pasti akan dibahas.Kuat-kuatin mental Rey, anggap aja nyamuk kalau misalken mereka ngomong seenak jidatnya."Assalamualaikum, boleh kita bantu?" Ibu mertuaku menyapa dan mereka meresponnya dengan random. Ada yang kenal, ada yang enggak. Terlebih sama diriku.Mereka ada yang bilang bahwa Husein beruntung memiliki aku, ada yang bilang kasian perempuan yang mendamba ustadz Husein, pasti kecewa lahir batin. Lah, bukan salahku kan?***Aku duduk di antara orang-orang yang berdatangan memberikan ucapan bela sungkawa meskipun setahu yang ku dengar, pak Kiayi itu sudah meninggal empat tahun lalu. Mereka terus memperingati hari kematiannya setiap tahun s
"Walah Bu, jangan dilebih-lebihkan begitu, saya biasa aja," sahut Aisyah. Idih, senyum ya senyum aja! Gak perlu matanya disipit-sipitkan gitu dong. Biar apa coba?"Nah kan, dipuji saja selalu merendahkan diri. Padahal siapapun laki-laki yang lihat kepribadian Mba Aisyah pasti jatuh cinta," ungkapnya lagi.Sumpah, berasa lagi nonton drama kolosal yang membosankan tau lah! Kalian tuh, lebay banget. Mungkin yah, dari yang aku tangkap oleh ibu mertuaku itu, kayaknya dia mau si Aisyah ini yang jadi menantunya, tapi karena ayah sudah datang dan minta kita berdua dinikahkan, makanya ibu kecewa berat. Lagian PD amat sih Bu, Husein nya juga belum tentu naksir Aisyah. Buktinya, kenapa gak dari dulu Husein nikahin Aisyah, malah terima untuk nikahin aku yang gak sama sekali dia kenal. Logikanya kan gitu!"Kalau Teh Reynata sendiri, lulusan apa?" Lamunanku terpecah saat nenek tua itu mulai bertanya padaku."Saya lulusan S1 seni Bu," jawabku. Untung saja aku cepat tersadar begitu ibu tua itu men