"Siap-siap, setelah sholat subuh kita akan berangkat menuju rumah ibu kiayi Manshori. Di sana sedang ada acara dan karena mereka kerabat, maka sewajarnya tugas kita untuk membantu. Dan harus ibu ingatkan yah, pakai pakaian yang pantas, dan tutup rambutnya. Perlihatkan bahwa kamu adalah istri ustadz," terang beliau dengan wajah dingin mencekam. Tahu sih ini subuh, tapi gak perlu menjelma jadi es batu gitu juga lah. Ngajakin jalan kayak ngajakin ribut deh. Gak bisa apa lebih biasa aja, lemah lembut gitu? Katanya istri ustadz, eh salah anda kan istri kiayi."Iya bu," jawabku singkat.Lalu aku melihat ibu mertua itu meninggalkan rumahku dan kembali ke rumahnya melewati pintu perbatasan. Udah kayak zona Demiliterisasi antara Korsel dan Korut aja deh, mirip banget. Tapi mereka bagian Korut nya yah, soalnya bapak mertuaku lebih mirip kayak Kim Joung Un, alias sadis.Balik lagi ke rumah, jadi singkatnya model rumah ini tuh berbentuk L. Untuk bagian yang menghadap depan adalah rumah mertuaku,
"Mas, tadi ibu ngajak aku pergi ke mana sih, aku lupa nama tempatnya, yang jelas ada ri ri nya gitu," kataku saat Husein sudah pulang dari sholat subuh nya. Kadang, dia suka mengisi kultum dulu, alias ceramah singkat tujuh menit gitu lah. Makanya jam setengah tujuh baru kembali ke kamar."Rumah kiayi Manshori yah?""Iya bener, itu maksudnya.""Iya aku sudah dengar, tadi ibu sudah minta izin sama aku buat ajak kamu. Tapi apa perlu aku buat alasan supaya kamu gak jadi ikut?""Kenapa memangnya?""Soalnya kalau kamu ke sana, ibu pasti maksa kamu buat pakai baju gamis panjang, dan aku ragu kamu akan baik-baik saja kalau masih pakai baju yang lebih pendek." Penjelasan Husein sangat tepat dengan apa yang aku pikirkan sejak tadi. Aku memang sempat berpikir untuk memintanya menolak aku pergi, karena meski aku cantik, kalau mereka ngobrolnya tentang agama-agama gitu aku pasti jadi orang yang paling bengong sendirian. Tapi, ada tapinya.Kalau aku gak datang, mereka justru akan semakin membicar
"Husein rencana akan berangkat besok dengan bapak, jadi hari ini kita akan menginap supaya besok bisa stay menerima tamu dengan leluasa."Aku diam tapi aku paham apa inti yang dibicarakan oleh bumer. Aku gak tahu keadaan di sana seperti apa, ada hal apa dan tamunya siapa aja karena ini baru pertama kali buat aku. Cuma yang ku tangkap adalah, aku harus jaga diri, jangan menelan omongan apapun yang bakal menyakitkan hati. Karena di sana yang kita temui bukan hanya satu atau dua orang, melainkan ratusan.Aku memutarkan pandangan mata ke luar jendela. Aku gak nyangka yah, bisa terjun dalam kehidupan rumit kayak gini.. Waktu jadi artis iklan, perasaan aku gak sesulit ini kehidupannya. Sekarang, tiap hari ada aja tantangan baru yang harus aku lewati. Rasa pengen menyerah sih ada, tapi mau mundur udah terlalu jauh kayaknya.***Gak kerasa ya, sudah empat jam kita terombang-ambing di jalanan yang mahadahsyat, akhirnya sampai juga di lokasi tujuan dengan total satu kali istirahat karena supir
Di situlah aku akan berhadapan dengan orang-orang yang entah akan memandangku seperti apa. Nyata kan, di saat ada acara dan harus masak-masak bareng wargberhadapana begini, pasti di sana akan dijadikan ajang bergosip ria yang tak luput membahas hal apapun, mungkin mulai dari perkembangbiakan telur cacing, sampai ke daleman janda sebelah juga pasti akan dibahas.Kuat-kuatin mental Rey, anggap aja nyamuk kalau misalken mereka ngomong seenak jidatnya."Assalamualaikum, boleh kita bantu?" Ibu mertuaku menyapa dan mereka meresponnya dengan random. Ada yang kenal, ada yang enggak. Terlebih sama diriku.Mereka ada yang bilang bahwa Husein beruntung memiliki aku, ada yang bilang kasian perempuan yang mendamba ustadz Husein, pasti kecewa lahir batin. Lah, bukan salahku kan?***Aku duduk di antara orang-orang yang berdatangan memberikan ucapan bela sungkawa meskipun setahu yang ku dengar, pak Kiayi itu sudah meninggal empat tahun lalu. Mereka terus memperingati hari kematiannya setiap tahun s
"Walah Bu, jangan dilebih-lebihkan begitu, saya biasa aja," sahut Aisyah. Idih, senyum ya senyum aja! Gak perlu matanya disipit-sipitkan gitu dong. Biar apa coba?"Nah kan, dipuji saja selalu merendahkan diri. Padahal siapapun laki-laki yang lihat kepribadian Mba Aisyah pasti jatuh cinta," ungkapnya lagi.Sumpah, berasa lagi nonton drama kolosal yang membosankan tau lah! Kalian tuh, lebay banget. Mungkin yah, dari yang aku tangkap oleh ibu mertuaku itu, kayaknya dia mau si Aisyah ini yang jadi menantunya, tapi karena ayah sudah datang dan minta kita berdua dinikahkan, makanya ibu kecewa berat. Lagian PD amat sih Bu, Husein nya juga belum tentu naksir Aisyah. Buktinya, kenapa gak dari dulu Husein nikahin Aisyah, malah terima untuk nikahin aku yang gak sama sekali dia kenal. Logikanya kan gitu!"Kalau Teh Reynata sendiri, lulusan apa?" Lamunanku terpecah saat nenek tua itu mulai bertanya padaku."Saya lulusan S1 seni Bu," jawabku. Untung saja aku cepat tersadar begitu ibu tua itu men
Dingin banget! Udara malam hari di daerah atas gunung begini benar-benar dingin. Ini sudah jam 9 malam, tapi aku gak bisa istirahat sama sekali.Selain berisik, kamarnya juga sempit. Tidur beralaskan kasur lantai yang dihuni dua orang membuatku risih.Aku cuma memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di antara para pedagang-pedagang itu, sedangkan posisiku berdiri di atas tebing yang digunakan tempat bersantai.Syukurlah, Reza peka sama kondisi aku yang lagi sendirian, dia memanggilku dalam sambungan telepon ini.Aku segera mengangkatnya supaya aku juga gak merasa kesepian lagi."Hai, makasih udah telepon," ucapku mengawali percakapan di antara kita."Kok suaranya sengau, habis nangis ya? Ini kamu di mana?"Masa sih suara aku sengau? Kok dia bisa tahu ya? Aku berdehem kecil supaya menormalkan suaraku."Enggak nangis sih, cuma lagi galau aja. Dan aku sekarang lagi ada di tempat yang sangat jauh, lebih jauh dari bandung!" "Oh ya? Di mana tuh, kamu sendiri?""Enggak, di sini banya
"Kamu menyukai ustadz Husein?"Astaga apa ini, tiba-tiba datang langsung nanya hal yang privat. "Maksudnya apa ya, saya gak paham!" jawabku yang memang gak paham apa arti dari pertanyaan itu."Iya. Anda istri yang dijodohkan kan, dan setahu saya kalian seperti kurang akur begitu, apa anda gak menyukai ustadz Husein?""Maaf yah, saya gak menerima pertanyaan aneh." Sekalian aja ku jawab seperti itu supaya dia gak melanjutkan pertanyaan anehnya lagi."Kasihan aja ustadz Husein harus membimbing anda lebih lama agar bisa tunduk dan hormat pada seorang suami."Gemess! Rasanya pen aku cubit ginjalnya. Husein aja gak pernah protes apakah aku cinta sama dia atau enggak. Dia aja menerima aku apa adanya, eh kamu yang gak tau apa-apa malah menyerang dengan opini. Andaikan ibu mertuaku paham bahwa yang dibanggakan nya adalah si pesilat lidah. Pasti bakal terkejut."Mba Aisy!" Ku lihat seseorang lain telah bergabung sama kita bertiga di sini."Eh Aminah, ada apa?" Siapa lagi dia? Mau skak saya d
Dari tadi handphone aku berdering, tapi aku gak bisa mengangkatnya. Setiap mau beranjak ada aja kiriman dari dalam. Sampai-sampai mau nangis pun udah gak bisa. Aku udah di posisi pasrah yang terima benda-benda itu dari dalam, menumpuk, sampai diprotes orang-orang karena di sana kehabisan.Tapi deringnya terus berbunyi, aku jadi khawatir itu berasal dari orang yang penting jadi aku hentikan sementara pekerjaan itu lalu aku angkat teleponnya. "Halo?" Nadaku cukup ketus."Halo Rey, assalamualaikum.""Siapa nih?""Ini saya, Husein."Ya Tuhan, aku gak tau kalau itu panggilan telepon darinya.Kita memang jarang bertukar pesan, dan mataku emang benar-benar gak fokus sama nama panggilan.Duh, gak enak kan jawabnya ketus begini."Maaf Mas, aku gak tahu. Lagian kenapa gak kirim pesan dulu sih?""Sudah 5 pesan, dan kamu di mana sekarang? Saya ada di depan rumah, baru saja tiba. Tapi dari tadi saya gak lihat kamu."Ya iya lah, jelas kamu gak bakal lihat aku Mas, orang aku lagi di belakang cuci