Mereka tiba di depan sekolah TK Lily. Mereka hanya duduk di dalam mobil, tak ada niatan turun dari mobil dan masuk ke sekolah itu. Lily menghela napas panjang, menatap bangunan sekolahnya. Senyum kecil terukir di wajahnya, mengenang masa lalu. “Dulu, waktu TK, aku punya teman dekat. Tapi, karena aku sering sakit, Bunda harus membawaku pindah ke Jakarta untuk berobat. Kami pun berpisah,” cerita Lily, tanpa diminta. “Sakit apa?” tanya Arsen. “Dulu aku belum tahu. Aku hanya ingat sering mimisan. Setiap kali dibawa ke rumah sakit, dokter selalu mengambil darahku, menusukku dengan jarum besar. Itu mengerikan jika diingat,” jawab Lily, bergidik ngeri. “Setelah itu, baru aku tahu. Aku diduga mengidap leukemia.” “Apa?” Arsen terkejut, menatap Lily tak percaya. Lily menoleh pada Arsen. “Tapi, aku baik-baik saja. Kata Bunda, itu hanya akal-akalan Kakek Buyut. Dia membayar dokter untuk berbohong.” Dahi Arsen berkerut. Kenapa Kakek Buyut Lily melakukan itu? “Kenapa harus berbohong? Kesehat
Lily tak menyangka Arsen akan menanyakan hal itu. Ia jadi salah tingkah, tak tahu harus menjawab apa.Lily kembali menyuapkan es krim ke mulutnya, berusaha menutupi kegugupannya. "Itu ... karena aku merasa kalau ... kamu seperti orang asing."Arsen tertegun. Dahi Arsen berkerut samar ketika perasaan tidak senang tiba-tiba muncul di hatinya setelah mendengar ucapan Lily barusan.Ia menatap Lily yang asyik makan, setelah menghela kecil lalu bertanya, "Apa sekarang aku masih terasa asing bagimu?"Lily mengulum bibirnya, menjilat sisa es krim di sana, lalu menatap Arsen. "Sekarang … aku merasa kamu lebih seperti kakakku." Ia tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. "Karena aku yakin kamu juga menganggapku seperti adik, atau mungkin malah keponakanmu?"Namun, senyum itu lenyap seketika.Tiba-tiba ada rasa sakit yang aneh di dadanya saat ia mengucapkan kata-kata itu. Ada apa dengannya?Lily menggeleng kecil, berusaha keras menyembunyikan perasaannya yang campur aduk.Arsen ingin menangg
Arsen mengemudikan mobil tanpa banyak bicara, sesekali melirik Lily yang duduk di sampingnya. Jari-jari Lily tak lepas dari liontin kalung yang kini melingkar apik di lehernya. Arsen mengalihkan pandangannya ke kaca spion samping, pura-pura mengecek kendaraan di belakang. Meskipun sebenarnya, ia sedang memikirkan jawaban Lily tadi. "Kalung ini ... dari Kak Audrey. Pengawalku dulu." Lily menjawab jujur pertanyaannya, seolah tidak ada lagi rahasia yang perlu dia sembunyikan. Arsen larut dalam ingatan, hingga suara Lily menyadarkannya. "Sekarang kita mau ke mana? Apa mau kembali ke hotel?" Arsen menoleh, lalu menjawab, "Katakan saja jika ada tempat yang ingin kamu datangi lagi, sebelum kita benar-benar kembali ke hotel." Lily terdiam sejenak, berpikir. Lalu, senyum mengembang di wajahnya. "Aku ingin membeli oleh-oleh untuk Bunda. Bunda pasti senang kalau aku bawakan makanan khas Jogja. Bunda juga sudah lama tidak ke Jogja." “Jadi, setelah dari sini, kamu akan langsung menemui Bund
Lily tak begitu mendengar ucapan Arsen. Ia menoleh, namun tak menangkap maksudnya. "Ada apa?" tanyanya. Ia melihat ke arah pandang Arsen. Seketika, Lily salah tingkah. ‘Apa Arsen melihatku dan aktor itu saling pandang? Apa dia … cemburu?’ Lily menggigit sedotan minumannya. ‘Tidak mungkin,’ batinnya. ‘Mana mungkin pria sedingin balok es ini punya perasaan padaku?’ "Kalau sudah selesai, ayo kembali ke hotel. Aku lelah," kata Arsen sambil menghentakkan gelasnya ke meja. Lily tersentak, menatap Arsen yang juga sedang menatapnya. "Apa … kamu baik-baik saja?" tanya Lily, melihat wajah Arsen yang memerah. "Berikan kunci mobilnya. Biar aku yang menyetir." Lily buru-buru meletakkan minumannya saat Arsen bangkit berdiri. Namun, Arsen tak menjawab. Ia hanya merogoh saku celananya, memberikan kunci mobil pada Lily, tanpa berkata apa-apa. Sepanjang perjalanan kembali ke hotel, mereka tak bicara. Lily fokus menyetir, sementara Arsen duduk di sampingnya, tangan terlipat di depan d
Bukannya berpura-pura tidur, Lily malah menatap Arsen lekat-lekat, tak berkedip. Ia semakin salah tingkah saat Arsen menangkap basah jari telunjuknya yang menggantung di udara karena tadi hendak menyentuh punggungnya. "Sudah kubilang, tidur," kata Arsen. "Kamu, sulit sekali diberitahu!" "Maaf ... aku hanya ..." Kalimat Lily terputus. Arsen tiba-tiba menarik jari Lily yang tadi tertangkap, lalu didekatkan ke bibirnya. "Apa sudah tidak sakit?" tanya Arsen, ada nada kekhawatiran di sana. "I... iya. Sudah tidak sakit … sejak kemarin," jawab Lily, gugup. Jantungnya berdetak tak karuan. Lily membiarkan Arsen memegang jarinya. Melihat Arsen menatap jari telunjuknya, Lily memberanikan diri bertanya, "Selama ini ... berapa banyak mantan pacarmu?" Arsen melepaskan jari Lily perlahan dan dengan santai menjawab, "Menurutmu, apa pria sepertiku mudah menjalin komitmen?" Pertanyaan balasan dari Arsen justru membuat bibir Lily kelu. "Apa ... selama ini kamu masih sering ke klub? Mi
Risha menghela napas, bahunya merosot. Ekspresi prihatin tergambar jelas di wajahnya."Keputusan papamu masih sama. Dia tidak akan mengakui Arsen sebagai menantu kalau sampai dia mengingkari janjinya," jawab Risha lirih.Lily terdiam, mencerna kata-kata bundanya. Pantas saja saat itu Arsen tidak langsung mengiyakan permintaannya. Dia tahu Adhitama tidak akan merestui.Apa Arsen menyesal menikah dengannya karena kini sang papa sudah tidak memperlakukannya seperti tuan putri lagi?Pikiran-pikiran itu berkecamuk di benaknya. Namun, ia menepisnya. Arsen sudah bersikap hangat padanya, tidak mungkin dia hanya bersandiwara.Lily masih terdiam, tenggelam dalam pikirannya, hingga sentuhan lembut Risha di lengannya menyadarkannya."Ada apa, Sayang?" tanya Risha khawatir."Tidak apa-apa, Bunda. Aku agak lelah, Bunda. Aku pulang dulu, ya? Aku hanya ingin mengantar oleh-oleh ini," jawab Lily berusaha tersenyum untuk menutupi kekecewaannya."Kamu tidak mau bertemu papamu dulu?" tanya Risha terkejut
Lily panik. Dia mendorong Arsen sekuat tenaga, menjauhkan tubuh pria itu darinya. "Jangan macam-macam!" serunya panik dan takut.Arsen tersenyum tipis melihat Lily buru-buru bangkit dari tempat tidur.Lily berjalan cepat menuju sofa lalu mengambil berkas kontrak di atas meja. Dia melirik Arsen yang berjalan ke kamar mandi, kemudian mulai membaca isi kontrak pernikahan yang terlanjur ia tanda tangani.Matanya membulat sempurna saat membaca poin-poin perjanjian itu.[Pihak pertama dan pihak kedua akan bekerja sama agar Adhitama mengizinkan pihak pertama dan pihak kedua mengumumkan pernikahan keduanya.]Lily mengerutkan keningnya, bingung. Apa maksudnya ini?"Apa jangan-jangan dia benar-benar serius ingin memberi Papa cucu?" gumamnya, tak percaya.Lily menggelengkan kepalanya. Ini tak seperti yang dia bayangkan.Lily menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Lalu, dengan langkah cepat ia meninggalkan kamar sebelum Arsen keluar dari kamar mandi.Saat menuruni tangga, ia berpapasan dengan B
Pagi itu, Sonia menerima panggilan untuk menghadap Arsen di ruang kerjanya. Jantungnya berdebar kencang dilanda panik dan takut.“Bagaimana ini?” Ia menggigit bibir bawahnya, gelisah.Dia tak mungkin mengabaikan perintah Arsen. Sonia mengigit bibir bawahnya, ia meraih ponselnya dan mengirim pesan pada Bryan.[Pak Arsen tiba-tiba memanggilku ke ruangannya. Apa yang harus aku lakukan? Ini pasti ada hubungannya dengan Lily!]Ia menunggu balasan Bryan dengan tak sabar.[Hadapi saja. Lihat apa yang akan dilakukan pamanku, jika memang itu soal Lily.]Sonia sebenarnya tak siap, tapi ia tak punya pilihan. Ia meninggalkan ruangannya, melangkah menuju ruang kerja Arsen.**Sementara itu, Bryan sedang bersama Arya di ruang kerja Arya saat membalas pesan dari Sonia."Ada apa?" tanya Arya, melihat Bryan menyimpan ponselnya kembali ke saku jas."Sonia. Dia bilang Paman Arsen memanggilnya. Dia pikir ini ada hubungannya dengan Lily."Arya mengangguk-angguk. "Bagaimana kerja sama dengan Om Adhitama?"
Dini seketika diam. Dia menatap Lily dengan tatapan tak percaya. “Kamu bercanda? Mana mungkin kamu istrinya Pak Arsen?"Lily mengedikkan kedua bahu. “Seperti gosip yang kamu dengar, aku juga bisa dengan mudah membuat gosip dan membuat gempar dengan pernyataanku," ucapnya .Dini menggeleng pelan dan menganggap Lily hanya sedang bercanda. “Sudahlah Lily! Kamu jangan bertindak aneh-aneh. Lebih baik fokus ke tahap akhir pemilihan direktur pemasaran.”Lily seketika ingat akan hal itu, lalu berkata, “Oh ... ya, aku mau mengajakmu ke suatu tempat.”Dahi Dini berkerut halus. “Ke mana?”“Ikut saja, nanti juga kamu akan tahu.”“Kapan perginya?” tanya Dini penasaran.“Nanti habis makan siang.”Dini mengangguk-angguk.Mereka masuk ke ruangan, di sana sudah ada Sonia dan staff lain yang sedang asik bergosip.“Pak Arsen memang sangat kaya, pulang dari kantor saja memakai helikopter padahal mobil juga banyak di bawah,” ucap salah satu staff.“Pasti dia pergi menjemput kekasihnya untuk mengajak ken
Arsen melihat senyuman hambar tergambar jelas di wajah Lily. Dia membiarkan wanita itu berjalan meninggalkannya di belakang dan hanya memandangi punggung Lily.Arsen membeku di tempatnya untuk beberapa detik, sebelum dia berjalan cepat dan memeluk tubuh Lily dari belakang. "Masih seperti mimpi?" bisiknya.Lily mengangguk. Tak lama dia berjengket.Arsen menggigit telinga Lily sampai wanita itu mengaduh, setelahnya Arsen menyandarkan dagu ke pundak Lily."Masih merasa ini mimpi?" Arsen berbisik lagi di telinga Lily.Lily menggeleng. "Tidak! Aku percaya ini bukan mimpi," ucapnya. Suaranya tercekat. Lily memejamkan mata menahan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat Arsen mulai menciumi lehernya.Perbuatan Arsen membuat Lily tak kuasa.Mereka berakhir kembali ke kamar dan melakukan aktivitas menyenangkan bagi pasangan suami istri seperti malam sebelumnya. Arsen memeluk Lily setelah mereka bercinta, tatapannya beralih ke kalung yang melingkar di leher wanita itu. Arsen men
Malam itu Sonia terlihat senang karena Bryan mengajaknya makan malam. Dia dan Bryan datang ke restoran bintang lima dan diarahkan ke private room yang sudah dipesan Bryan sebelumnya. Saat masuk ke private room, di sana sudah ada Monica dan Arya yang menunggu kedatangan Bryan. Namun, mereka tak menyangka jika ternyata Bryan malah mengajak Sonia. Monica menatap tak senang. Dia bertanya-tanya, kenapa Bryan malah datang bersama Sonia, sedangkan putranya itu tak memberitahu kalau mereka akan makan malam berempat. “Selamat malam, Om, Tante,” sapa Sonia sopan. Bahkan Sonia juga mengulurkan hadiah yang dibawanya untuk Monica. Bukannya menerima hadiah pemberian Sonia, Monica langsung membuang muka. Dia memperlihatkan rasa tak senangnya akan kehadiran Sonia di sana. Sonia kecewa karena Monica tak mengambil hadiah yang dibawanya, sampai Bryan yang menerimanya lalu meletakkan di samping kursi Monica. “Ternyata kamu mengajaknya ikut makan malam,” ucap Monica dengan nada ketus, “pad
Lily panik, dia berdiri kemudian mendekat ke arah Arsen. Lily meraih tangan pria itu dan menariknya masuk."Apa yang kamu lakukan di sini?" Lily ketakutan, mengintip dari ambang pintu, dia menoleh ke kiri lalu kanan sebelum menutup pintu.Lily memandang Arsen cemas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat pria itu malah berjalan meninggalkannya.Lily mengekori Arsen yang mendekat ke meja kerjanya, pria itu mengambil lembaran kertas di atas meja lalu membacanya.Lily takut Arsen akan mengomentari pekerjaannya, lalu menyambar kertas itu dari tangan sang suami.Arsen membalik badannya, dia menyandarkan pinggang ke meja kerja Lily lalu bersedekap mengamati seisi ruangan."Sudah sepi apa kamu tidak takut sendirian? Ada yang bilang di sini seram." Lily memandang Arsen yang berdiri di depannya. Dia menggeleng lalu berkata," Aku tidak takut hantu, manusia lebih menakutkan."Arsen menarik sudut bibir, tangannya menggapai pinggang Lily hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya."Aku manusia,
Lily berpura-pura tak mendengar obrolan Juna dan Dini. Dia kembali menikmati sarapannya dan menyesap kopi yang baru saja Dini buatkan. Lily berprinsip tidak akan mempercayai omongan orang lain jika tidak mengalami atau melihatnya secara langsung. Dia tidak ingin menjadi orang bodoh untuk kesekian kali di hidupnya. Termakan omongan orang yang hanya ingin merusak kebahagiaannya. Terlebih ini tentang Arsen. Pria yang dia cintai. "Lily bagaimana menurutmu?" Lily menoleh Dini yang bertanya, dia meletakkan gelas kopinya lantas menjawab," Aku malas mengomentari gosip." Lily tersenyum. "Sebentar lagi aku mau ke lantai tujuh," ucapnya. Juna hanya menatap datar melihat reaksi Lily. *** Sepuluh menit kemudian Lily berjalan pelan menuju lantai tujuh. Saat keluar lift sebuah pesan masuk dari Arsen. Lily berhenti sejenak untuk membaca pesan itu. [ Pulang awal saja kalau merasa sakit dan tidak nyaman ] Lily tersenyum, membalas kembali pesan dari Arsen untuk menenangkan pr
Lily pergi ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin lalu memakai syal yang Thomas berikan untuk menutupi lehernya. Lily memerhatikan dengan seksama dan memastikan syal itu sudah menutup sempurna di lehernya. “Sepertinya sudah aman,” gumam Lily. Lily merapikan tasnya karena harus segera kembali ke ruang divisi pemasaran, tetapi saat masih berdiri di depan cermin, Sonia tiba–tiba keluar dari salah satu bilik kamar mandi dan berdiri mensejajari Lily sambil cuci tangan. “Syalmu bagus.” Sonia melirik Lily yang berdiri di sampingnya. “Apa karena tak bisa mendapatkan Pak Arsen, lalu sekarang kamu mengincar asistennya? Seleramu sekarang turun, ya,” sindir Sonia sambil tersenyum miring. Lily berdiri tegap, ekspresi wajahnya datar menanggapi ucapan Sonia. “Aku tidak perlu menjelaskan kehidupan pribadiku padamu,” balas Lily dengan enteng, “lagi pula aku tidak butuh orang yang mengajakku bicara agar dianggap teman tapi kemudian menusuk dari belakang dan merundungku.” Lily bicara
Hari berikutnya Lily sudah bangun, tapi malas membuka mata. Dia masih betah memeluk Arsen di atas ranjang, merasakan betapa nyamannya kulit mereka saat bersentuhan. Lily tersenyum, merasa senang karena kejadian malam tadi yang dilewatinya bersama Arsen bukanlah mimpi. Dia bahagia, meskipun merasa pegal dan perih di beberapa bagian tubuhnya. Lily semakin mencurukkan kepala saat Arsen menariknya lebih dalam ke pelukan. Dia ingin berlama-lama seperti ini, tapi sadar tetap harus pergi bekerja. "Sudah pagi, tidak mandi?" Suara Arsen yang serak dan lengket terdengar begitu seksi di telinga Lily. Dia tersenyum menyadari kalau pria seksi itu adalah miliknya. "Aku boleh terlambat 'kan Pak CEO? Aku masih ingin bersamamu," kata Lily, memeluk erat Arsen dan masih enggan membuka mata. "Terserah! Tidak ada yang akan memarahimu." Arsen membalas setelah itu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Lily. Lily berbunga-bunga, berpikir setidaknya masih bisa bermalas-malasan se
Arsen mengerutkan kening, menahan tubuhnya dan menatap curiga pada Lily. "Tunggu! Kamu minum alkohol?" Arsen melihat Lily kaget mendengar pertanyaannya. Dia memegang tangan Lily karena Lily baru saja memukul dadanya. "Sembarangan! Apa kamu mencium bau alkohol dari mulutku?" Amuk Lily dengan bibir cemberut. Arsen tersenyum lantas menahan tangan Lily di sisi kepala wanita itu. "Aku harus memastikan kamu menginginkannya dengan kesadaran penuh." Arsen memandang mata Lily, tatapan mereka saling mengunci. "Aku sadar, aku menginginkanmu," balas Lily. Lily merasakan cekalan tangan Arsen melonggar bersamaan dengan pria itu yang kembali menyatukan bibir mereka. Arsen menjauhkan wajah, menatap begitu dalam pada Lily, dari mata indah sampai bibir ranum gadis itu tak luput dari sapuan pandangannya. “Aku tidak akan mundur, jadi kamu jangan menyesal,” ucap Arsen. Lily menggeleng pelan dengan senyum manis di wajahnya. “Aku tidak akan menyesal.” Mendapat sinyal untuk terus maju dari
Lily penasaran. Benarkah apa yang dikatakan bundanya kalau pria akan luluh dengan mudah di atas ranjang? Lily membawa pulang ke mansion Arsen semua baju tidur dan lingerie yang tadi mereka beli. Lily menyimpannya rapi ke dalam lemari, lalu memakai satu baju tidur yang bundanya bilang sangat cocok untuknya tadi. Dia mematut diri di depan cermin menunggu Arsen pulang. "Aku tidak bisa membiarkan Sonia menang, apalagi karena masalah internal rumah tangga seperti ini," ucap Lily. "Kalau memang jalan lurus susah ditempuh, aku akan menggunakan jalan orang dalam." Lily mengerjap, kemudian menggeleng untuk menyadarkan diri. "Tidak! Intinya malam ini aku harus mendapatkan hatinya." Lily melihat kembali model baju tidur yang dia pakai dari pantulan cermin. Lily yang begitu polos, manis dan tidak tahu apa-apa tentang hal berbau dua puluh satu tiba-tiba harus merayu pria. "Tenang! Pokoknya aku harus membuat Arsen luluh," ucap Lily lagi. Dia lantas menyemprotkan parfum mahal ya