“Jodoh sudah ada yang mengaturnya, kita tidak tahu apakah jodoh itu adalah dia yang kita cinta sejak lama, ataukah dia yang sama sekali belum ada rasa padanya.”
~Novita_A12~Pagi itu teramat cerah, tapi kurasa hatiku tidak demikian pula adanya, bagaimana hati ini akan merekah, hari ini Umi berniat meneruskan perjodohanku dengan Hanna, sedangkan hingga detik ini aku belum ada rasa padanya walau secuil saja. Apalagi keyakinan untuk mengikatnya.Hal ini sama sekali tidak pernah terbayang dalam benakku. Aku akan menikah dengan orang yang sama sekali belum aku cintai. Sedari aku duduk di bangku SMA, aku membayangkan akan menikah dengan orang yang aku cinta, walau sejak saat itu aku memang belum bisa mengungkapkan rasa pada siapapun. “Mas Ans?” Secara tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, dan dia Aji adikku yang baru pulang dari Jombang dalam rangka menyelesaikan gelar S1 nya. Aku pun bahagia dengan kedatangannya dan terus memeluknya, suasana taman yang begitu indah didukung dengan udara yang belum tercemari oleh polusi, membuat pertemuanku dengannya seakan pertemuan dengan kekasih, iya kekasih, yang sedang merindukan kekasihnya dengan puncak rindu berkobar membara, tapi hal itu juga belum bisa membuat pikiranku kembali merasa tercerahkan. Adikku Aji melepaskan pelukan itu, dan menyadari bahwa rona senyum kakaknya tidak seperti biasa, mungkin, dia pun khawatir, “Mas Ans kenapa? sepertinya ada yang Mas pikirkan.” Aku sudah duduk di kursi yang terhias bunga anggrek pada pohon di sebelahnya. “Mas tidak apa-apa.” Aku berpura-pura mengembangkan senyum di bibir agar adikku tidak juga ikut terbebani oleh masalah ini.“Mas! Kita ini saudara, Mas yang aku punya satu-satunya, dan kita berkumpul sudah dari kecil. Aku tahu kalau dengan raut wajah Mas yang seperti saat ini berarti Mas lagi ada masalah. Sudahlah, Mas, ceritakan! Siapa tahu solusinya Allah bukakan melalui Aku.”Aku menghela napas dan berpikir sejenak, hatiku pun lunak untuk bisa bercerita pada Aji, sedang kuyakin dia pun satu-satunya yang akan tetap berada di sampingku kelak saat yang lain berpaling, sebab dia saudara kandungku. "Apa iya aku harus menceritakan pada Adikku, sedang hal ini kurasa sedikit konyol. Iya, masalah hati, aku sulit menele’ahnya,"gumamku dalam hati. “Mas!” Lagi-lagi Aji mengagetkanku. “Kenapa malah ngelamun?” Aku tersenyum tipis pertanda hatiku memang sedang bergejolak.“Ini lo ... Mas sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja Mas lagi bingung.” Aku menjelaskan juga dengan perasaan kacau balau, sehingga sulit menata kata-kata bahkan untuk mengawali sebuah cerita. Aji mendengarkan dengan seksama, menatapku dengan seriusnya pun penuh raut tanda tanya, Pertanda sudah sangat siap merekam setiap ceritaku. “Bingung kenapa, Mas?” perkataan yang muncul setelah dia mengangguk kecil.“Umi mau menjodohkan Mas.” “Wah bagus dong, Mas, lagian apa yang Mas beratkan, Mas kan memang belum punya calon istri? Menikah itu menyempurnakan separuh iman lho, Mas. Eh bentar-bentar Mas.”Aji kegirangan sehingga sulit mengontrol setiap perkataan yang dia lontarkan. “Berarti sebentar lagi aku akan punya ponakan dong? Wah ini kejutan luar biasa Mas, aku baru mendapat gelar S.Pd-ku. Menurutku itu saja sudah cukup kok Mas jadi hadiah Mas buat aku...hehe,”lanjutnya. “Aji!” Suara itu terdengar lantang tapi tetap lembut, dan itu suara Umi.“Enggeh, Mi.” Sontak Aji berdiri menghadap Umi, dari kita kecil memang sama-sama tidak bisa untuk tidak segera menghadap jika Umi sudah memanggil.“Sebentar ya, Mas, tadi aku datang dari Jombang memang langsung mencarimu, sebab aku panggil Umi tidak ada.” Aku tersenyum mengiyakan. “Kita lanjut nanti malam ceritanya ya, Mas, terima kasih kejutannya, Mas Ans.” Aji pergi dengan senyum lebar di pipinya. “Aji...Aji.” Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala sembari mendesah pelan.Taman yang ramai dengan bunga-bunga, kembali terasa sepi seakan tidak sedang terhias apa-apa. Kutangkupkan kedua telapak tanganku ke muka. Pasrah.“Apa iya aku harus menikahi Hanna?” Aku membatin. “Mas Ans! Sini dipanggil Umi,” seru Aji memanggil.***“Mas Ans, ini lho adikmu datang kok malah masih diam di taman. Sini, kita makan bareng tadi Hanna sudah masakkan kita makanan special, kesukaan kalian berdua,” tegur Umi yang memang sangat suka dengan masakan Hanna.“Hanna, Mi?” Aji terbelalak, mendadak kaget mendengar nama Hanna.“Iya, calon kakak iparmu.” Aku melihat ada yang tiba-tiba berubah dari rona wajah adikku, tapi dengan pikiranku yang masih kacau ini aku tidak sanggup mengartikannya.Aku duduk di samping Aji, kemudian Abah menyusul. Abah memang selalu datang agak akhir, saat kita semua sudah diyakini beliau berkumpul di meja makan. “Mas Ans! Kamu sudah cerita belum sama adikmu, Aji?”“Sampun, Mi.” *Sampun: SudahSuasana di meja makan terasa hening, aku dengan beban pikiranku yang merasa masih di awang-awang kehilangan nafsu untuk makan. Aku hanya mengambil sedikit masakan Hanna, sedangkan yang lain asyik menikmatinya. Aku pun selesai lebih dulu, dan pamit pada Umi untuk bersiap-siap mengisi kajian, iya kajian dan lagi-lagi aku harus mengajar Hanna, yang pasti dia akan selalu bertanya sehingga menuntutku melihat ke arahnya, dan itu sedikit membuat aku tidak nyaman dan merasa tersiksa. ***Kajian yang kuisi hari ini kurasa kurang maksimal, dan jawaban yang kuberi pada setiap santri yang bertanya pun kuyakin membingungkan. Entahlah sejak kapan aku menjadi orang yang membawa-bawa masalah pribadiku ketika mengajar. Malam pun tiba, langit terhias indahnya bulan purnama yang ditemani oleh bintang-bintang di sampingnya.Sejenak aku bergeming,”Jika bulan saja ditemani bintang, masak iya aku selalu menginginkan kesendirian. Apa iya aku harus menerima perjodohan ini, tapi aku kasihan pada Hanna jika harus tahu aku menikahinya tidak atas landasan cinta.” Terdengar ketukan pintu. “Masuk.” Dan ternyata Aji. “Eh kamu, Ji?” “Iya laa Mas. siapa lagi kalau bukan adikmu yang tampan ini.” “Apaan sih kamu.” “Mas Ans tetap terbebani masalah perjodohan itu?” Aji bertanya sembari duduk di kursi tepi rajang tidurku. “Yaa begitulah, Mas ragu apakah Mas bisa membangun rumah tangga tanpa dasar cinta.” “Mas! Jodoh itu sudah ada yang mengaturnya. Kita tidak tahu bahwa kita akan menikah dengan siapa, dengan orang yang kita cintai kah, atau malah dengan orang yang bahkan kita belum punya rasa sama sekali padanya. Memang sih, kita semua pasti menginginkan untuk menikah dengan orang yang kita cintai, tapi apa Mas bisa menawar jika itu sudah jodoh Mas?” jelasnya panjang. membuat aku yang awalnya berdiri saja di tepi jendela, memutuskan untuk duduk, sebab jika tidak, bisa kesemutan kaki ini mungkin sudah menjalar hingga ubun-ubun. “Terus?” “Yaa, Mas terima lah. Apalagi itu sudah pilihan Umi sama Abah, aku yakin pasti sudah yang dirasa terbaik untuk Mas.”“Walau Mas tidak cinta?” “Iya, Mas! Cinta itu bisa tumbuh secara perlahan. Mas terima dengan bismillah jika Mas merasa ini bukan yang terbaik untuk Mas. Husnudzan Billah (Berbaik sangka pada Allah) ini yang terbaik menurut Allah. Aku pun mengangguk pelan, aku memang merasa lemah saat ini, padahal sebenarnya apa yang diungkapkan adikku itu, hal yang sebenarnya sederhana dan tidak perlu membuka belasan kitab untuk menjawabnya, tapi tetap aku merasa lemah untuk meyakinkan hatiku sendiri. Aji tersenyum kemudian pamit untuk segera ke kamarnya.Hari sudah malam, entah apa yang membuat Umi membatalkan pergi ke rumah Hanna malam ini seperti yang diungkapkan tadi pagi, aku tidak bertanya, kubiarkan semua mengalir apa adanya. Bersambung...Hai, hai, jangan lupa dukung cerita ini dengan vote and komennya, ya ;)“Jika tidak bisa menghalalkan, maka ikhlaskanlah”~Novita_A12~Pov: AjiPerasaanku remuk, aku segera pamit dari kamar Mas Ans sebab tak mampu jika harus selalu berpura-pura menguatkan Mas Ans, sedangkan hatiku sendiri rapuh tak karuan.“Sebenarnya aku bisa membantu Mas Ans untuk mengurungkan niat Umi mengenai perjodohan ini dan melamar Hanna, tapi apalah dayaku yang masih harus meneruskan S2-ku, Umi pasti melarangku menikah saat dalam masa belajarku.Ya Allah, hamba-Mu bingung,” lirihku.Aku berusaha menghilangkan semua keruh dalam hati, juga keegoisanku dengan memuraja’ah hafalan, hingga aku pun mampu terlelap. Di mana letak keegoisanku? Aku merasa sangat egois, hatiku seakan tak rela mengikhlaskan Hanna menikah dengan kakakku sedang aku belum bisa menghalalkannya. “Mas Aji,” panggil Umi. Dengan segera aku membuka pintu kamar, yang ternyata Umi membawakanku pisang goreng hangat, aku sudah yakin itu adalah buatan Hanna dan tidak menjadi heran jika Umi sebenarnya sudah lebih dulu memb
"Setiap insan menginginkan mencintai yang dicintai, tapi Allah lebih tahu siapa yang seharusnya dia cintai. Cinta karena Allah akan menjanjikan kebahagiaan, cinta karena nafsu cenderung celaka dihari kemudian.” ~Novita_A12~"Ya Allah, berarti aku telah salah mengharap surat yang dikirimkan Gus Aji adalah bentuk keseriusannya padaku, aku telah lama menyimpan perasaan yang seharusnya tidak aku miliki."Selama ini aku telah berharap lebih pada Gus Aji, walau sebenarnya aku sadar seharusnya perasaan itu tidak pernah aku biarkan muncul. Dan saat ini aku harus memutuskan untuk mencintai orang yang bahkan aku belum pernah mencintai, ini adalah hal yang sama sekali belum pernah aku bayangkan. “ Jawabannya, kami serahkan pada Hanna, kami selaku orang tua pasti akan selalu mendukung keputusan anak kami,” ucap bapak sembari menoleh ke arahku. "Ya Allah, kenapa hati hamba menjadi tak karuan seperti ini"aku tak paham dengan persaanku, separuh aku senang, separuh lagi aku ragu. Ragu, akankah aku
“Saat memutuskan mencintai, maka saat itu pula kita harus siap dengan rasa sakit hati. Sejatinya bahagia dan duka sebab cinta, laksana telinga dengan mata yang hanya tersekat beberapa jarak saja.”~Novita_A12~Pov: Hanna"Ya Allah... hari ini keluarga pesantren akan menyerahkan seserahan itu, dan saat seserahan itu sudah aku terima, tidak ada peluang aku membatalkannya, jikapun bisa maka akan banyak hati yang tersakiti. Apa iya aku harus membatalkannya?" Pagi ini aku larut dalam lamunan di atas meja belajar yang menghadap ke arah jendela, sengaja menghadap ke arah sana, agar saat belajar otak tetap fresh melihat pemandangan hijau dedaunan di depan sana. “Hanna!” ibu memanggilku, aku pun sadar dari lamunanku, aku terbelalak melihat buku catatanku penuh dengan coretan spiral. ‘Saat ini saja aku sudah pusing melihatnya, apalagi beberapa tahun setelah aku punya anak nanti.’ Pikiranku mulai ngawur entah ke arah mana. Aku tutup buku tersebut, dengan segera meluncur ke dapur. “Enggeh Bu?”
“Cintai sejati, akan berusaha saling memahami walau ujian yang dihadapi lebih samar dari bekas tusukan jarum dan lebih ganas dari mangsa ular berbisa.” ~Novita_A12~Pov: AnsPeperanganku dengan perasaanku dimulai, aku harus berusaha menerima Hanna walau sejatinya aku belum paham, ini akan mudah ataukah sulit bagiku. Sejatinya menumbuhkan rasa cinta itu tidak semudah menunggu tumbuhnya biji sawi yang sekali sebar hanya menunggu beberapa hari langsung bisa tumbuh dan menjanjikan hasil di kemudian hari. Ini adalah cinta yang hingga kini aku pun bahkan tidak tahu bijinya mau aku tanam dimana. Aku masih ada di rumah Hanna, aku hanya diam. Kubiarkan Abah dan Umi yang menyampaikan semuanya. Sebenarnya Aku tak paham jika diminta untuk menyampaikan kata walau sepatah saja. “Mas Ans, ada yang mau disampaikan?” pertanyaan Umi benar-benar mengagetkanku.“Mboten, Mi,” jawabku dengan detak jantung karuan. Suasana kembali hening, karena dirasa sudah agak lama dan semua maksud kedatangan kami pu
“Mencintaimu laksana membangun kokohnya rumah dengan nuansa biru haru kesabaran.”~Novita_A12~“Ku putuskan satu impianAku ingin jadi hafiz Qur’anKu akan bertahan Walau sulit melelahkanAllah beri aku kekuatanKu impikan Sepasang mahkotaKu berikan di akhirat kelakSebagai pertanda Bahwa kau sangat ku cintaAku cinta engkau karena AllahReff:Ku cinta UmmiKu cinta AbiKu harap do’amu Selalu dalam hatiBerharap bersamaDi surga-Nya nantiI love you UmmiI love AbiI love my familyForever in my heart...” Bunyi speaker aktif di kamarku. Ku pasang dengan harapan bisa membantuku saat aku berada di rumah, untuk semakin efektif menghafal al-qur’an. Mengingat aku tidak dari pesantren tahfiz, sehingga aku harus menyiapkan hal-hal yang sekiranya selalu menjadi semangat baru.Gus Ans bergeming, sehingga aku pun cenderung pada tak mengeluarkan suara. Aku masih bingung memulai pembicaraan padahal hanya berbicara lewat telepon, entah apa yang membuat aku seakan merasa Gus Ans ada di hadapan
“Apakah mencintaimu perlu rumus? Jika iya, jelaskan padaku!”~Novita_A12~Kling... (Notifikasi pesan masuk)Ternyata pesan dari adikku, Aji. “Mas! Hanna besok ulang tahun.”Aku kaget saat membaca pesan Aji, aku terdiam dan tidak langsung membalas pesannya. “Kenapa Ji?” Ku layangkan Message balasanku.“Ya, Mas tidak mau kasih dia kejutan gitu?”“Buat apa? Mas kan masih belum sah jadi suaminya, nunggu pas sudah sah lah, InsyaAllah.”“Cie cie, yang udah mulai bisa menerima Hanna nie ye...” Aku tidak membalas pesan Aji sebab jika tetap aku balas, dia akan terus membahas Hanna. Aku matikan data seluler, hp ku letakkan di atas meja. Segera kuraih kitab yang hendak aku sampaikan buat kajian Ba’da dzuhur. Kitab kupegang dengan posisi diri menghadap kiblat, duduk di atas meja belajar adalah hal yang sejatinya bisa membuatku ingat masa kecil dan masa depan. Teringat masa kecil saat untuk belajar saja aku harus dipaksa Umi, dan untuk masa depan, aku belajar salah satu tujuanku untuk bekal men
“Saat hati sudah memilih, maka langkah selanjutnya adalah berusaha, agar pilihan benar-benar menjadi pilihan yang menghadirkan kenyamanan.” ~Novita_A12~Pov: HannaPagi yang cerah, bunga-bunga disapa tetesan embun, merekah. Aku dan mushaf yang kugengam menatap ke arah jendela, biar sinar mentari begitu terlihat indah, pancarannya menggugah agar aku segera keluar rumah, guna menikmati kehangatannya. Aku tidak langsung keluar, aku menunggu waktu duha untuk melaksanakan sholat dua rakaat. Khususnya berdo’a meminta rahmat kepada Allah sebab hari ini usiaku genap 21 th. Selesai sholat duha, aku pun memuraja’ah hafalan surat Al-Waqi’ah yang mana aku menghafalnya sewaktu duduk di bangku MTs, sebagai persyaratan pengambilan ijazah. Aku mengharuskan untuk tetap mengingat-ingat hafalan itu sebab menghafalnya tidak mudah, maka aku tidak ingin melupakan peristiwa yang aku yakin akan mempengaruhi hidupku menjad iindah. Aku pun keluar rumah, berniat menikmati hangat mentari sembari menyiram b
“Dear wanita! Kau tak perlu bingung bagaimana caranya harus bertemu jodohmu, biarkan dia yang bingung memikirkan bagaimana caranya bertemu kamu.” ~Novita_A12~Hari demi hari kulalui di rumah, tidak terasa sudah enam hari aku meninggalkan pesantren. Dan hari ini juga aku harus ke pesantre, tepatnya aku harus ke rumah gus Ans. Bapak dan ibu sudah mengajak kyai Ahmad selaku tokoh di daerahku, dan beberap keluarga lainnya. Ada bibi juga tante dari bapak juga ibu. Untuk mobil, karena kami tidak punya mobil maka paman bersedia untuk meminjamkan mobilnya bahkan bersedia turut mengantarkan seserahan pada pihak laki-laki. Setelah semua siap, dan kue-kue dari tetangga juga terkumpul, ada beberapa yang sengaja ibu buat sendiri beberapa lagi beli kepada tetangga yang memang pandai dalam membuat kue. Seserahan ini tidak seberapa jika dibanding seserahan yang dibawa keluarga gus Ans, tapi memang beginilah keadaan kami, dan hanya seperti ini yang bisa kami bawa. Mobil pun berangkat, aku duduk
“Senyum itu mahal harganya, saat diberikan dari orang yang mencinta kepada yang dicinta.”~Novita_A12~Akhirnya aku sedikit lega, sebab bisa bernapas bebas di kamar, dan aku sendiri, sebab gus Ans lebih memilih istirahat di ruang tamu, padahal di sana ramai, aku yakin gus Ans tak akan betah beristirahat di tempat seperti itu. Tapi ada sedikit sedih, saat mengingat gus Ans bahkan tak tersenyum walau sedikit pun, tampak tidak ada pancaran bahagia dari wajahnya, akankah gus Ans menyesal telah menikah denganku. Tapi tidak ingin membicarakan hal ini kepadanya, aku khawatir saat dia capek seperti ini malah akan menimbulkan ke salah pahaman.“Hanna.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu. Segera aku berdiri, dan membukanya. Dan ternyata gus Ans, benar dugaanku, dia tidak mungkin bisa istirahat di tempat seperti itu, aku pun mempersilakan masuk, dengan pintu tidak aku tutup. Gus Ans membuka jaz hitam yang dia pakai, peci dia letakkan, terlihat ketampanan wajahnya semakin bertambah, sela
“Cinta sejati adalah cinta yang mampu mengikat dengan tali yang suci, tali pernikahan yang ikrarnya perlu pertanggung jawaban pada Sang Ilahi.”~Novita_A12~“Qabiltu Nikahaha watazwijaha bil mahril madzkuuri, Haaalan.”Air mata ini menetes mendengar ucapan yang Gus Ans ikrarkan. Kini aku berada di samping Umi, dengan gaun yang serba putih, dengan berbagai hiasan dan riasan di luar biasanya. Sontak gema sholawat memenuhi ruangan setelah Kiai membacakan do’a untuk kami berdua, aku pun langsung sungkem kepada Ibu dan Bu Nyai yang sedari tadi mendampingiku. Suasana ini tidak akan pernah aku lupakan, saat ikrar tadi diucap saat itu juga aku siap mengabdikan jiwa dan ragaku kepada suamiku, gus Asn. Aku berharap gus Ans menjadi perantaraku bisa meraih surga. Tiba-tiba teringat sebuah hadits yang pernah aku pelajari saat ibtida’ dulu, “Anna Ridhoz zauji huwa ridhollah wa ghadhobuz zauji huwa ghadhobullah(Sesungguhnya ridho suami adalah ridho Allah, dan murka suami adalah murka Allah.)”Akad
“Cinta itu kadang membingungkan, datang tak dengan tanda, hilang pun tiba-tiba.”~Tha~Kini hanya aku dan malam, kupandangi bintang, dengan rasa yang entah bagaimana yang tengah kurasakan, aku tiada bisa melukiskan, sedang dengan segera aku akan melaksanakan sebuah pernikahan, pernikahan yang kuanggap sakral dan sejak dulu aku membayangkan bahwa akan menikah dengan penuh gelimang rasa cinta. Namun, nyatanya tidak sesuai kenyataan. Aku menikah dengan tanpa ada rasa sama sekali, entah karena trauma masa lalu sehingga membuatku seakan hambar akan rasa cinta yang sebentar lagi akan mengikatku dengan ikatan pernikahan, dengan ikatan sakral yang suci berjanji kepada Ilahi rabbi.***Menikah menurutku bukan perihal yang main-main, aku hanya menginginkan menikah sekali seumur hidup, dan yang aku dambakan menikah dengan penuh rasa cinta sehingga menjadi perantara hidup bahagia, tetapi beda dengan yang saat ini kurasakan satu hari sebelum hari perniakahanku saja, rasa itu tak kunjung muncul di
“Patuh pada perintah orang tua adalah salah satu cara untuk kita menyicil dalam membalas jasanya, walau sejatinya sampai kapanpun jasanya tak akan sebanding dengan pengorbanannya.”~Novita_A12~Pov: Ans.Hari demi hari kulalui dengan perasaan yang kurasa hambar, ada senyuman tapi tak mewakili persaan, perasaan ini merasakan ada sebuah keterpaksaan, tapi aku merasa tetap harus melakukan. Hari pernikahanku semakin dekat, dan aku belum ada persiapan perasaan sama sekali, platform sudah Umi pesan, dan kemungkinan untuk di rumah Hanna sudah terpasang, kami yang membiayai dengan ada separuh bantuan dari keluarga Hanna, sebab pernikahan yang cukup meriah ini, Umi yang menginginkan dan mengaturnya aku hanya ikut keputusan Umi dan Abah saja. “Ans!” Terdengar suara Umi memanggil dan langkah kaki itu semakin mendekat ke arahku. Aku yang masih asik dengan pemandangan di luar sana menjawab dengan singkat saja. “Enggeh, Mi?” Aku tidak keluar kamar sebab pintuku memang terbuka dan langkah Umi me
“Menikah adalah sakral, maka untuk menikah harus dipersiapkan sebelumnya, sebab semua insan pasti menginginkan satu kali saja seumur hidup melakukan pernikahan.”~Novita_A12~Daun pacar itu kecil, tapi bukan berarti tidak bermanfaat, maka tidak ada alasan bagi seseorang meremehkan pada seorang yang lain hanya karena hal kecil, sebab hal sekecil apapun saat dicipta pasti sudah disiapkan beserta manfaatnya. Daun pacar memang tidak bisa di makan, tapi memiliki fungsi untuk menghias tangan. “Hanna, ada gunting?”tanya Zuhra.“Ada, buat apa?”jawabku yang masih berdiri meletakkan buku yang kubaca tadi. “Buat memotong daun-daun pacar ini, tentunya, Hanna.”Zuhra memang sedikit mudah kesal tapi kesalnya bukan berarti dia mudah marah, dia hanya menggerutu dengan sedikit nada meninggi, kesal. “Hehe, oke. Iya, nih.” Kuserahkan gunting itu padanya. “Oiya, apa perlu aku panggilkan mbak-mbak yang lain guna membantu kamu?”tanyaku pada Zuhra, sebab kasihan jika dia harus mengerjakan sendirian. Aku
“Cinta boleh saja seperti Henna, melekat di tangan berfungsi menghias pemandangan, tapi kekuatan cinta tidak bisa di ukur dengan lekatnya henna pada tangan sebab cinta sejati tak akan pernah luntur sekalipun dipaksa menjauhi.”~Novita_A12~Cuaca hari ini lebih indah dari kemarin, bunga-bunga yang kuncup kini mulai bermekaran, berwarna kuning, pink, juga putih menghias taman, embun pagi masih bermanja-manja dengan dedaunan, mushaf pink yang kupegang, tak ubahnya bunga-bunga tadi, menghiasi hati ini, indah saat kupandang menggoda hati untuk segera bermanja-manja dengan isi di dalamnya. Dengan Al-qur’an hati ini bisa tenang, hati yang sempit menjadi lapang, suasana hati tenteram menentramkan suasana sekitar sebab diikuti jernihnya pikiran. Mukenah putih yang kupakai menutup seluruh tubuhku, hingga angin saja tak dapat melihat, tubuh ini hangat dengan belaian lembut mukenah panjang. Aku tetap ingin menikmati masa-masa sebelum aku mengubah status santriku menjadi seorang istri, yang seb
“Setiap insan di dunia, pasti memiliki yang namanya cinta. Bedanya, ada yang mengungkapkannya, ada pula yang sebatas memendamnya, semua sesuai dengan caranya.”~Novita_A12~Malam dicipta agar insan dapat beristirahat dengan nikmatnya, setelah seharian bekerja, seharian mencoba berpikir akan kekuasan-Nya, maka dijadikan pada malam suasana yang tenang, jauh dari keramaian, dingin agar mendukung suasana turut hening, damai, tenteram dan menentramkan. Aku diam, melihat terangnya lentera malam, bersinar sehingga catatan yang kupegang dapat terlihat jelas dan dapat kulukiskan setiap luapan perasaan. Aku masih dengan meja kecilku, bisa kulipat saat sudah tak lagi membutuhkannya, tapi aku berharap semoga aku akan ditemukan orang yang akan mencintaiku bukan sekadar karena membutuhkanku, tapi murni ingin mmebimbingku juga mengajakku bersama menuju surga-Nya. Aroma bunga sedap malam yang ditanam di taman, semerbak memenuhi seisi ruangan, aku terbuai dengan aromanya mmebuat aku lupa bahwa aku s
Ada yang mengatakan bahwa jika ingin merasakan cinta maka harus tahu siapa yang hendak dicintainya, aku tahu tapi kenapa cinta itu tak kunjung aku rasakan. Apakah aku ini terlalu lemah untuk menemukan, ataukah cinta itu terlalu mungil sehingga netraku tak mampu menjangkau hingga ke angan, atau mungki cinta itu ibarat angin yang sama sekali tidak bisa secara kasat mata aku genggam. Pada intinya, cinta tak ubahnya misteri, tiba-tiba datang dan kemudian pergi. ***Jingga mulai menyapa, sebentar lagi malam menjadi tanda bahwa acara pernikahanku akan segera dilaksanakan, dan aku tetap dengan kubangan rasa yang sama sekali tidak kutemukan cinta di dalamnya. Segera ku larutkan rasa ini pada hafalan qur’an. Aku memuraja’ahnya berharap melalui perantaranya aku bisa mendapat petunjuk perihakl apa yang hendak aku laksankan, pernikahan. ***Setelah muraja’ah kurasa cukup, satu hari satu juz, maka aku raih kitab yang pernah kupelajari di pesantren, hanya ingin berusaha menyibukkan diri agar ti
Aku terngiang-ngiang perihal kejadian saat kajian, kenapa aku harus bertingkah konyol seperti itu. Tapi aku benar-benar khawatir terhadap gus Ans, rasa ini tidak bisa aku sembunyikan, jika pun aku harus nekad bertanya pada Bunyai itu pun tidak mungkin. Malu rasanya seorang wanita yang masih belum sah menjadi istrinya mengkhawatirkan putranya. Tiba-tiba sebuah kertas jatuh dari atas lemariku, dan itu surat yang kemarin aku selipkan di buku catatan. Aku pun ingat bahwa surat itu belum aku balas, langsung aku raih pulpen di tempat pensilku, segera aku mencoba merangkai kata-kata yang layak aku kirimkan pada gus Ans yang masih berstatus guruku. Setelah kurangkai tulisan itu, dan kurasa layak untuk aku kirimkan. Segera aku lipat, sedikit berbeda dengan surat dari gus Ans, surat dariku tidak aku beri parfum, biarkan wangi kertas itu menjadi saksi tulisan sebagai perwakilan rasa ini. ***Setelah surat itu siap, aku pun ke dapur pesantren dan biasanya ada beberapa santri putra yang turut