“Cintai sejati, akan berusaha saling memahami walau ujian yang dihadapi lebih samar dari bekas tusukan jarum dan lebih ganas dari mangsa ular berbisa.”
~Novita_A12~ Pov: AnsPeperanganku dengan perasaanku dimulai, aku harus berusaha menerima Hanna walau sejatinya aku belum paham, ini akan mudah ataukah sulit bagiku. Sejatinya menumbuhkan rasa cinta itu tidak semudah menunggu tumbuhnya biji sawi yang sekali sebar hanya menunggu beberapa hari langsung bisa tumbuh dan menjanjikan hasil di kemudian hari. Ini adalah cinta yang hingga kini aku pun bahkan tidak tahu bijinya mau aku tanam dimana. Aku masih ada di rumah Hanna, aku hanya diam. Kubiarkan Abah dan Umi yang menyampaikan semuanya. Sebenarnya Aku tak paham jika diminta untuk menyampaikan kata walau sepatah saja. “Mas Ans, ada yang mau disampaikan?” pertanyaan Umi benar-benar mengagetkanku.“Mboten, Mi,” jawabku dengan detak jantung karuan. Suasana kembali hening, karena dirasa sudah agak lama dan semua maksud kedatangan kami pun sudah di sampaikan. Masalah pernikahan akan kami bicarakan kembali saat prosesi lamaran dari keluarga Hanna, saat itu lah tanggal pernikahan kami akan ditetapkan, yang kurasa tidak akan jauh dari jarak pertunangan kami.Kami pun pamit pulang, keluarga Hanna menyambut hangan kedatangan keluarga kami, kami sangat senang, Abah juga Umi menyampaikan terima kasih atas semua sambutan dan wejangannya, sedang aku dan Aji hanya bisa tersenyum dengan sedikit senyum dan anggukan kepala. ***“Mi! Apa Ans bisa ....” tanyaku pada Umi yang tiba-tiba dipotong oleh Adikku, Aji. “Pasti bisa nggeh Mi,” ucapnya. Aku pun menepuk pundaknya sembari berbisik, “Ssst, Mas mau bicara sama Umi.”“ Apa Ans bisa ....” lagi-lagi Aji menyambar pembicaraanku.“Mas Ans pasti bisa, Mas. Masak dengan jarak yang mungkin hanya beberapa bulan saja Mas Ans ndak bisa,” potongnya. “Ajiiiii...,” Aku menggerutu kesal. Kemudian kulanjutkan dengan nada sedikit meninggi, “Ah, sudah lah... lupakan!” Aku kesal pada Aji, tiba-tiba Umi menoleh dan tersenyum melihat ke arahku. “Mas Ans inginnya pernikahan ini dipercepat?” pertanyaan Umi kali ini membuatku semakin merasa sulit bernapas, aku terbelalak. “Mboten ....” aku menjawabnya, dan lagi-lagi Aji memotong pembicaraanku. “Nah, enggeh Mi, itu maksud Mas Ans dari tadi. Enggeh kan Mas?” Aku melotot padanya, dia palingkan mukanya dengan tersenyum remeh sebelumnya membuat aku semakin geram ingin meremas-remas wajah yang berlagak lucu itu. “Ya sudah, Mas. Nanti kita bicarakan saat keluarga Hanna ke rumah, tinggal satu minggu lagi kok.” Aku hanya diam dengan ku pijatkan tangan pada kening mengkerutku. Aji tersenyum puas dengan jawaban Umi, aku sudah tidak sabar menunggu sampai rumah dan membantai dia habis-habisan. ***Di persimpangan agak jauh dari rumah, tiba-tiba Aji menginginkan sopir untuk menghentikan mobilnya. “Mi! Aji mau turun di sini dulu enggeh. Aji mau bertemu teman,” ucapnya meminta izin Umi. Aku pun semakin geram, dia menghadap ke arahku dengan tersenyum yang kurasa itu senyum ledekan. “Iya, Ji. Nanti pulangnya gimana?” Umi mengizinkan.“Nanti Aji diantar teman, kalau tidak Aji mungkin naik gojek Mi,” ucap Aji sembari mencium punggung tangan Umi. Aku geram sembari berucap, “Hati-hati Ji!” Aji tersenyum, “Siap Mas.” Aji mengangkan tangannya layaknya sedang hormat berdera.***Beberapa menit kemudian, kami sampai rumah. Badan ini terasa remuk, hampir seharian kami berada di luar. “Mi! Ans langsung ke kamar nggeh, Ans mau mandi, istirahat sebentar mau nunggu adzan maghrib,” tuturku lemas.Umi tersenyum dan mengelus pundakku, “Yauda, nanti jangan lupa buat makan malam, jangan tidur ya!” “Enggeh Mi, Ans tidak mungkin tidur. Tapi kayaknya setelah sholat isya’ Ans mau langsung tidur, kan sudah kenyang tadi makan di rumah Hanna,” “Cie, yang muali terpesona dengan masakan Hanna.”Aku hanya tersenyum, tidak ingin melanjutkan sebab pasti Umi akan terus menggodaku tentang Hanna. ***Setelah sholat isya’, terdengan suara mobil. Aku yakin itu suara mobil yang mengantarkan Aji. Dengan segera aku menyelinap ke kamar Aji, dan bersiap membantai dia sebab persoalan tadi sore. “Mas Ans!” Aji kaget, dan aku tak kalah kaget, sebab tidak terdengan suara kakinya melangkah dan tiba-tiba dia sudah membuka pintu kamarnya. “Hmm.” Mulai kupasang wajah sinis dan siap membantai Aji. “Hehe... Mas Ans kenapa?” “Kenapa kamu tadi sore berkata seperti itu di hadapan Umi, padahal kamu tahu gimana perasaan Mas,” ucapku dengan nada tinggi. “Mas! Abah sama Umi sudah ke rumah Hanna, apa mas rela jika Abah sama Umi merasa bersalah dengan kebimbangan yang hendak Mas katakan.“Aji! Mas tidak mungkin bisa mengecewakan Umi juga Abah. Mas hanya minta pendapat pada Umi sama Abah, siapa tahu ada saran mengenai rasa ini yang tidak kunjung bisa Mas munculkan.”“Mas! jika mas belum bisa mencintai Hanna secara langsung, coba Mas mencintai Hanna melalui do’a Mas, selipkan do’a buat Hanna, walau bagaimana pun sebenar lagi Mas akan menikah dengan Hanna.”Aku hanya terdiam dan duduk di kursi belajar adikku, sedang Aji masih berdiri di depan lemari dekat pintu, sebab aku langsung menyerbunya begitu dia memasuki kamar.“Sekarang coba Mas renungkan, Hanna sudah menerima Mas, apa Mas mau menyia-nyiakannya, terutama kepercayaan orang tuanya. Orang tuanya rela memberikan anaknya untuk mengabdi pada Mas, yang beliau percayai bahwa Mas akan mencintai Hanna. Jika Mas hanya selalu berpikir hal yang masih belum tentu terjadi, apa Mas yakin itu tidak akan melukai Hanna, bukan cuma Hanna, tapi juga keluargnya pun keluarga kita.”Aku hanya terdiam, kemudian meninggalkan kamar Aji. Aku renungkan perkataannya, kenapa aku menjadi selemah ini, aku hanya memikirkan egoku sendiri. Ku baringkan badan ini, terasa begitu berat saat pikiran dan hati tidak sejalan. Aku baru merasakan sebuat rasa yang harus kupaksakan. *** Pov: Hanna"Allahumma Habbibnii Ilal Qur’an W* Habbibil Qur’an Ilayya"(Ya Allah cintakanlah aku pada Al-qur’an dan cintakan al-qur’an padaku.)Kubaca do’a di atas sembari kubuka pelan mushafku, tidak ada yang bisa aku lakukan saat ini dengan tak kunjung munculnya rasa ini selain dengan do’a. Aku hanya bisa menginginkan sesuatu tapi Allah yang memutuskan. Aku sebenarnya bukan dari pesantren tahfidz, qadarullah aku diberi kesempatan untuk bisa menghafal Al-Qur’an. Belum khatam, karena memang aku ingin menyelesaikan hafalanku dengan suamiku kelak, aku tidak menyangka bahwa yang akan menjadi suamiku adalah guruku sendiri. Kubaca beberapa ayat, aku ulangi beberapa yang aku rasa belum lancar dalam ingatanku, aku yakin dengan aku mengulang-ulang, ada masanya aku akan lancar melafadzkannya. “Kuputuskan satu impianAku ingin jadi hafiz Qu’an Ku akan bertahan walau sulit melelahkan Allah beri aku kekuatan...”Hp ku berbunyi pertanda masuknya sebuah panggilan. Nomor baru, aku bingung dengan segera aku angkat telepon. “Asslamu’alaikum.” “W*’alaikumussalam W*harmatullah.” suara dari seberang, suaranya tidak asing.“Maaf, apakah telepon ini mengganggu?” suara itu terdengar kaku dan gagu. “Tidak, maaf dengan siapa ya?” tanyaku.“Kamu tidak hafal dengan suara Gusmu?” suara itu membuat detak jantungku terasa berhenti. “Gus Ans?” Bersambung...Jangan lupa vote and komennya, ya;)“Mencintaimu laksana membangun kokohnya rumah dengan nuansa biru haru kesabaran.”~Novita_A12~“Ku putuskan satu impianAku ingin jadi hafiz Qur’anKu akan bertahan Walau sulit melelahkanAllah beri aku kekuatanKu impikan Sepasang mahkotaKu berikan di akhirat kelakSebagai pertanda Bahwa kau sangat ku cintaAku cinta engkau karena AllahReff:Ku cinta UmmiKu cinta AbiKu harap do’amu Selalu dalam hatiBerharap bersamaDi surga-Nya nantiI love you UmmiI love AbiI love my familyForever in my heart...” Bunyi speaker aktif di kamarku. Ku pasang dengan harapan bisa membantuku saat aku berada di rumah, untuk semakin efektif menghafal al-qur’an. Mengingat aku tidak dari pesantren tahfiz, sehingga aku harus menyiapkan hal-hal yang sekiranya selalu menjadi semangat baru.Gus Ans bergeming, sehingga aku pun cenderung pada tak mengeluarkan suara. Aku masih bingung memulai pembicaraan padahal hanya berbicara lewat telepon, entah apa yang membuat aku seakan merasa Gus Ans ada di hadapan
“Apakah mencintaimu perlu rumus? Jika iya, jelaskan padaku!”~Novita_A12~Kling... (Notifikasi pesan masuk)Ternyata pesan dari adikku, Aji. “Mas! Hanna besok ulang tahun.”Aku kaget saat membaca pesan Aji, aku terdiam dan tidak langsung membalas pesannya. “Kenapa Ji?” Ku layangkan Message balasanku.“Ya, Mas tidak mau kasih dia kejutan gitu?”“Buat apa? Mas kan masih belum sah jadi suaminya, nunggu pas sudah sah lah, InsyaAllah.”“Cie cie, yang udah mulai bisa menerima Hanna nie ye...” Aku tidak membalas pesan Aji sebab jika tetap aku balas, dia akan terus membahas Hanna. Aku matikan data seluler, hp ku letakkan di atas meja. Segera kuraih kitab yang hendak aku sampaikan buat kajian Ba’da dzuhur. Kitab kupegang dengan posisi diri menghadap kiblat, duduk di atas meja belajar adalah hal yang sejatinya bisa membuatku ingat masa kecil dan masa depan. Teringat masa kecil saat untuk belajar saja aku harus dipaksa Umi, dan untuk masa depan, aku belajar salah satu tujuanku untuk bekal men
“Saat hati sudah memilih, maka langkah selanjutnya adalah berusaha, agar pilihan benar-benar menjadi pilihan yang menghadirkan kenyamanan.” ~Novita_A12~Pov: HannaPagi yang cerah, bunga-bunga disapa tetesan embun, merekah. Aku dan mushaf yang kugengam menatap ke arah jendela, biar sinar mentari begitu terlihat indah, pancarannya menggugah agar aku segera keluar rumah, guna menikmati kehangatannya. Aku tidak langsung keluar, aku menunggu waktu duha untuk melaksanakan sholat dua rakaat. Khususnya berdo’a meminta rahmat kepada Allah sebab hari ini usiaku genap 21 th. Selesai sholat duha, aku pun memuraja’ah hafalan surat Al-Waqi’ah yang mana aku menghafalnya sewaktu duduk di bangku MTs, sebagai persyaratan pengambilan ijazah. Aku mengharuskan untuk tetap mengingat-ingat hafalan itu sebab menghafalnya tidak mudah, maka aku tidak ingin melupakan peristiwa yang aku yakin akan mempengaruhi hidupku menjad iindah. Aku pun keluar rumah, berniat menikmati hangat mentari sembari menyiram b
“Dear wanita! Kau tak perlu bingung bagaimana caranya harus bertemu jodohmu, biarkan dia yang bingung memikirkan bagaimana caranya bertemu kamu.” ~Novita_A12~Hari demi hari kulalui di rumah, tidak terasa sudah enam hari aku meninggalkan pesantren. Dan hari ini juga aku harus ke pesantre, tepatnya aku harus ke rumah gus Ans. Bapak dan ibu sudah mengajak kyai Ahmad selaku tokoh di daerahku, dan beberap keluarga lainnya. Ada bibi juga tante dari bapak juga ibu. Untuk mobil, karena kami tidak punya mobil maka paman bersedia untuk meminjamkan mobilnya bahkan bersedia turut mengantarkan seserahan pada pihak laki-laki. Setelah semua siap, dan kue-kue dari tetangga juga terkumpul, ada beberapa yang sengaja ibu buat sendiri beberapa lagi beli kepada tetangga yang memang pandai dalam membuat kue. Seserahan ini tidak seberapa jika dibanding seserahan yang dibawa keluarga gus Ans, tapi memang beginilah keadaan kami, dan hanya seperti ini yang bisa kami bawa. Mobil pun berangkat, aku duduk
“Rasa adalah hal yang tidak bisa diterka, kadang dia datang secara tiba-tiba dan suka menghilang tanpa satu pun tanda.”~Novita_A12~Aku menatap langit sembari kudekap kitab yang hendak aku bacakan saat kajian dua menit lagi, aku sengaja berangkat lebih awal dan diam di beranda masjid dengan harapan bisa menetralkan rasa yang seakan sering tak seirama dengan keadaan sesungguhnya, aku sulit mencintainya.Kupandangi dengan seksama setiap baris bunga yang mekar indah manjakan netra, burung-burung berkicau dengan suara khasnya. Langit seakan menyapa bahwa aku dilarang bersedih hanya karena dilema. Aku pun heran selama aku pernah dihinggapi masalah, belum pernah aku merasa terbebani seperti saat ini. Setiap masalah pasti tidak ada yang disukai oleh pemiliknya. “Menurutku, masalah terberat dari semua masalah yang pernah kualami adalah masalah cinta, menumbuhkannya butuh waktu lama hingga aku tak kuasa menerka kapan waktunya,” gumamku dalam hati, dan tak terasa aku sudah tiga puluh menit b
“Cinta tak selamanya harus kita pikirkan dari mana sebabnya, ada masanya cinta itu datang secara tiba-tiba, dan memberikan lukisan indah tanpa disengaja.”~Novita_A12~“Hannaaa...”terdengar teriakan yang suaranya tidak lagi samar di telingaku. “Zuhra.”Kami bersalaman dengan berpelukan melepas rindu yang disebabkan lamanya perpisahan.“Kamu ke mana aja?” tanya Zuhra dengan sedikit mengerutkan dahinya. “Aku, ada kok,”jawabku tanpa beban.“Itu ceritanya gimana sih?” Aku menuju lemariku, dan Zuhra pun masih membuntutiku. Aku duduk, dia pun ikut duduk. “Cerita yang mana?” “Kemarin kamu kan ikut Bunyai, Nah setelah itu kenapa tidak ada kembali lagi, sedangkan Bunyai ada, kok?”“Iya, aku di rumah. Sebab aku menunggu la ...” Segera aku tutupkan telapak tanganku ke mulut, kaget. “La, apa?” Zuhra semakin serius dan semakin merapatkan pendengarannya ke arahku. “O-oh, tidak. Itu kemarin aku minta ijin sama Bunyai, aku bertemu bapak, ibuku, jadinya aku minta ijin bermalam beberapa hari saja
“Berbicara rasa, semua memiliki rasa, terlebih rasa cinta, hidup tanpa cinta laksana taman tiada bunga, gersang tiada pesona.” ~Novita_A12~Pagi ini terasa sedikit lega dari hari sebelumnya, aku tak lagi mempermasalahkan rasa, aku bertekad kupasrahkan semua rasa ini kepada Yang Maha Cinta. Aku akan berusaha menerima. Aku sudah berada di antara santri-santri yang hendak melaksanakn sholat subuh, dengan beberapa wiridan yang sengaja aku pinta salah satu santri senior untuk memimpin, niatku untuk mengajari mereka dan agar mereka terbiasa memimpin, sebab mereka tidak akan luput dari memimpin, minimal akan memimpin rumah tangga mereka kelak. Terdengar suara abah menepuk tangannya sebagai pertanda agar segera isqomah, dan sholat subuh akan segera dimulai. Kami berdiri dan merapatkan barisan. Salah satu santri ada yang bertugas memimpin lurusnya shaf, “Sawu sufufakum fainna taswiyatassufuufi min tamamis sholaah.” Dan di jawab makmum yang lain, “ Isytaaghoinaa Lillaahil khoosyi’ah.”Dimul
“Cinta sejati terletak dalam hati, saat dia memutuskan memilih, maka tak akan pernah membiarkan salah pilih.” ~Novita_A12~Perputaran waktu semakin cepat, aku rasa baru saja kembali ke pesantren, dan berangkatku dari rumah saja sudah cukup pagi, sekarang justru telah tiba waktu Zuhur, apa iya harus sesingkat ini jeda untuk menunggu? Menunggu keajaiban sebuah cinta. Segera aku tutup catatan juga kitabku, bergegas ke kamar mandi untuk persiapan melaksanakan sholat Zuhur berjama’ah. “Zuhra, Leli mana?”tanyaku pada Zuhra yang masih sibuk dengan sebuah buku di tangannya.“Kurang tahu, ya mbak. Tadi ke mana?”“Tadi aku lihat dia bermain di halaman banat tiga, coba cek dulu. Ajak mandi, persiapan untuk sholat Zuhur berjama’ah.”“Oke, Mbak.”Zuhra bergegas keluar kamar, sedang aku terus ke kamar mandi, sebelum antri dan khawatir air tiba-tiba mati. Kekurangan air di pesantren adalah hal yang biasa, kita hanya perlu menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, agar tidak banyak membuang waktu
“Senyum itu mahal harganya, saat diberikan dari orang yang mencinta kepada yang dicinta.”~Novita_A12~Akhirnya aku sedikit lega, sebab bisa bernapas bebas di kamar, dan aku sendiri, sebab gus Ans lebih memilih istirahat di ruang tamu, padahal di sana ramai, aku yakin gus Ans tak akan betah beristirahat di tempat seperti itu. Tapi ada sedikit sedih, saat mengingat gus Ans bahkan tak tersenyum walau sedikit pun, tampak tidak ada pancaran bahagia dari wajahnya, akankah gus Ans menyesal telah menikah denganku. Tapi tidak ingin membicarakan hal ini kepadanya, aku khawatir saat dia capek seperti ini malah akan menimbulkan ke salah pahaman.“Hanna.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu. Segera aku berdiri, dan membukanya. Dan ternyata gus Ans, benar dugaanku, dia tidak mungkin bisa istirahat di tempat seperti itu, aku pun mempersilakan masuk, dengan pintu tidak aku tutup. Gus Ans membuka jaz hitam yang dia pakai, peci dia letakkan, terlihat ketampanan wajahnya semakin bertambah, sela
“Cinta sejati adalah cinta yang mampu mengikat dengan tali yang suci, tali pernikahan yang ikrarnya perlu pertanggung jawaban pada Sang Ilahi.”~Novita_A12~“Qabiltu Nikahaha watazwijaha bil mahril madzkuuri, Haaalan.”Air mata ini menetes mendengar ucapan yang Gus Ans ikrarkan. Kini aku berada di samping Umi, dengan gaun yang serba putih, dengan berbagai hiasan dan riasan di luar biasanya. Sontak gema sholawat memenuhi ruangan setelah Kiai membacakan do’a untuk kami berdua, aku pun langsung sungkem kepada Ibu dan Bu Nyai yang sedari tadi mendampingiku. Suasana ini tidak akan pernah aku lupakan, saat ikrar tadi diucap saat itu juga aku siap mengabdikan jiwa dan ragaku kepada suamiku, gus Asn. Aku berharap gus Ans menjadi perantaraku bisa meraih surga. Tiba-tiba teringat sebuah hadits yang pernah aku pelajari saat ibtida’ dulu, “Anna Ridhoz zauji huwa ridhollah wa ghadhobuz zauji huwa ghadhobullah(Sesungguhnya ridho suami adalah ridho Allah, dan murka suami adalah murka Allah.)”Akad
“Cinta itu kadang membingungkan, datang tak dengan tanda, hilang pun tiba-tiba.”~Tha~Kini hanya aku dan malam, kupandangi bintang, dengan rasa yang entah bagaimana yang tengah kurasakan, aku tiada bisa melukiskan, sedang dengan segera aku akan melaksanakan sebuah pernikahan, pernikahan yang kuanggap sakral dan sejak dulu aku membayangkan bahwa akan menikah dengan penuh gelimang rasa cinta. Namun, nyatanya tidak sesuai kenyataan. Aku menikah dengan tanpa ada rasa sama sekali, entah karena trauma masa lalu sehingga membuatku seakan hambar akan rasa cinta yang sebentar lagi akan mengikatku dengan ikatan pernikahan, dengan ikatan sakral yang suci berjanji kepada Ilahi rabbi.***Menikah menurutku bukan perihal yang main-main, aku hanya menginginkan menikah sekali seumur hidup, dan yang aku dambakan menikah dengan penuh rasa cinta sehingga menjadi perantara hidup bahagia, tetapi beda dengan yang saat ini kurasakan satu hari sebelum hari perniakahanku saja, rasa itu tak kunjung muncul di
“Patuh pada perintah orang tua adalah salah satu cara untuk kita menyicil dalam membalas jasanya, walau sejatinya sampai kapanpun jasanya tak akan sebanding dengan pengorbanannya.”~Novita_A12~Pov: Ans.Hari demi hari kulalui dengan perasaan yang kurasa hambar, ada senyuman tapi tak mewakili persaan, perasaan ini merasakan ada sebuah keterpaksaan, tapi aku merasa tetap harus melakukan. Hari pernikahanku semakin dekat, dan aku belum ada persiapan perasaan sama sekali, platform sudah Umi pesan, dan kemungkinan untuk di rumah Hanna sudah terpasang, kami yang membiayai dengan ada separuh bantuan dari keluarga Hanna, sebab pernikahan yang cukup meriah ini, Umi yang menginginkan dan mengaturnya aku hanya ikut keputusan Umi dan Abah saja. “Ans!” Terdengar suara Umi memanggil dan langkah kaki itu semakin mendekat ke arahku. Aku yang masih asik dengan pemandangan di luar sana menjawab dengan singkat saja. “Enggeh, Mi?” Aku tidak keluar kamar sebab pintuku memang terbuka dan langkah Umi me
“Menikah adalah sakral, maka untuk menikah harus dipersiapkan sebelumnya, sebab semua insan pasti menginginkan satu kali saja seumur hidup melakukan pernikahan.”~Novita_A12~Daun pacar itu kecil, tapi bukan berarti tidak bermanfaat, maka tidak ada alasan bagi seseorang meremehkan pada seorang yang lain hanya karena hal kecil, sebab hal sekecil apapun saat dicipta pasti sudah disiapkan beserta manfaatnya. Daun pacar memang tidak bisa di makan, tapi memiliki fungsi untuk menghias tangan. “Hanna, ada gunting?”tanya Zuhra.“Ada, buat apa?”jawabku yang masih berdiri meletakkan buku yang kubaca tadi. “Buat memotong daun-daun pacar ini, tentunya, Hanna.”Zuhra memang sedikit mudah kesal tapi kesalnya bukan berarti dia mudah marah, dia hanya menggerutu dengan sedikit nada meninggi, kesal. “Hehe, oke. Iya, nih.” Kuserahkan gunting itu padanya. “Oiya, apa perlu aku panggilkan mbak-mbak yang lain guna membantu kamu?”tanyaku pada Zuhra, sebab kasihan jika dia harus mengerjakan sendirian. Aku
“Cinta boleh saja seperti Henna, melekat di tangan berfungsi menghias pemandangan, tapi kekuatan cinta tidak bisa di ukur dengan lekatnya henna pada tangan sebab cinta sejati tak akan pernah luntur sekalipun dipaksa menjauhi.”~Novita_A12~Cuaca hari ini lebih indah dari kemarin, bunga-bunga yang kuncup kini mulai bermekaran, berwarna kuning, pink, juga putih menghias taman, embun pagi masih bermanja-manja dengan dedaunan, mushaf pink yang kupegang, tak ubahnya bunga-bunga tadi, menghiasi hati ini, indah saat kupandang menggoda hati untuk segera bermanja-manja dengan isi di dalamnya. Dengan Al-qur’an hati ini bisa tenang, hati yang sempit menjadi lapang, suasana hati tenteram menentramkan suasana sekitar sebab diikuti jernihnya pikiran. Mukenah putih yang kupakai menutup seluruh tubuhku, hingga angin saja tak dapat melihat, tubuh ini hangat dengan belaian lembut mukenah panjang. Aku tetap ingin menikmati masa-masa sebelum aku mengubah status santriku menjadi seorang istri, yang seb
“Setiap insan di dunia, pasti memiliki yang namanya cinta. Bedanya, ada yang mengungkapkannya, ada pula yang sebatas memendamnya, semua sesuai dengan caranya.”~Novita_A12~Malam dicipta agar insan dapat beristirahat dengan nikmatnya, setelah seharian bekerja, seharian mencoba berpikir akan kekuasan-Nya, maka dijadikan pada malam suasana yang tenang, jauh dari keramaian, dingin agar mendukung suasana turut hening, damai, tenteram dan menentramkan. Aku diam, melihat terangnya lentera malam, bersinar sehingga catatan yang kupegang dapat terlihat jelas dan dapat kulukiskan setiap luapan perasaan. Aku masih dengan meja kecilku, bisa kulipat saat sudah tak lagi membutuhkannya, tapi aku berharap semoga aku akan ditemukan orang yang akan mencintaiku bukan sekadar karena membutuhkanku, tapi murni ingin mmebimbingku juga mengajakku bersama menuju surga-Nya. Aroma bunga sedap malam yang ditanam di taman, semerbak memenuhi seisi ruangan, aku terbuai dengan aromanya mmebuat aku lupa bahwa aku s
Ada yang mengatakan bahwa jika ingin merasakan cinta maka harus tahu siapa yang hendak dicintainya, aku tahu tapi kenapa cinta itu tak kunjung aku rasakan. Apakah aku ini terlalu lemah untuk menemukan, ataukah cinta itu terlalu mungil sehingga netraku tak mampu menjangkau hingga ke angan, atau mungki cinta itu ibarat angin yang sama sekali tidak bisa secara kasat mata aku genggam. Pada intinya, cinta tak ubahnya misteri, tiba-tiba datang dan kemudian pergi. ***Jingga mulai menyapa, sebentar lagi malam menjadi tanda bahwa acara pernikahanku akan segera dilaksanakan, dan aku tetap dengan kubangan rasa yang sama sekali tidak kutemukan cinta di dalamnya. Segera ku larutkan rasa ini pada hafalan qur’an. Aku memuraja’ahnya berharap melalui perantaranya aku bisa mendapat petunjuk perihakl apa yang hendak aku laksankan, pernikahan. ***Setelah muraja’ah kurasa cukup, satu hari satu juz, maka aku raih kitab yang pernah kupelajari di pesantren, hanya ingin berusaha menyibukkan diri agar ti
Aku terngiang-ngiang perihal kejadian saat kajian, kenapa aku harus bertingkah konyol seperti itu. Tapi aku benar-benar khawatir terhadap gus Ans, rasa ini tidak bisa aku sembunyikan, jika pun aku harus nekad bertanya pada Bunyai itu pun tidak mungkin. Malu rasanya seorang wanita yang masih belum sah menjadi istrinya mengkhawatirkan putranya. Tiba-tiba sebuah kertas jatuh dari atas lemariku, dan itu surat yang kemarin aku selipkan di buku catatan. Aku pun ingat bahwa surat itu belum aku balas, langsung aku raih pulpen di tempat pensilku, segera aku mencoba merangkai kata-kata yang layak aku kirimkan pada gus Ans yang masih berstatus guruku. Setelah kurangkai tulisan itu, dan kurasa layak untuk aku kirimkan. Segera aku lipat, sedikit berbeda dengan surat dari gus Ans, surat dariku tidak aku beri parfum, biarkan wangi kertas itu menjadi saksi tulisan sebagai perwakilan rasa ini. ***Setelah surat itu siap, aku pun ke dapur pesantren dan biasanya ada beberapa santri putra yang turut