Share

Dinikahi Putra Kiai
Dinikahi Putra Kiai
Penulis: HaluMutu

Perjodohan

Penulis: HaluMutu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-16 11:31:55

“Tidak ada yang mampu memaksa masuknya sebuah cinta dalam atma, pun tidak ada yag mampu merahasiakan cinta saat dia sudah merekah dan sudah siap menebarkan aromanya.”

***

Pov: Ans

“Gus!” panggil Umi.

“Enggeh, Mi.” Aku melipat sajadahku dan meletakkan peci di atasnya.

Aku pun berjalan menuju dapur, terlihat Umi sedang sibuk mengupas buah pepaya untuk dihidangkan sebagai makanan pembuka. Saat Umi menyadari bahwa aku sudah di dekatnya, Umi langsung menyampaikan sebuah pertanyaan yang membuatku syok bukan kepalang.

“Le... kamu kan sudah waktunya menikah, ada baiknya kamu menyegerakannya. Menyempurnakan separuh iman, lho.” Aku turut membantu Ummi menyiapkan sarapan pagi sembari menimang-nimang jawaban.

Aku menjawab dengan perasaan sedikit tak karuan, “Enggeh, Mi. Dalam urusan seperti ini. Ans pasrah sama Ummi, Ans belum ada calon yang pas untuk melangkah ke sana, Mi.”

Tampak sebuah senyum tersungging manis dari tubir bibir Umi, beliau menghampiriku yang sedang duduk di meja makan. “Gimana kalau Hanna?”

Aku terbelalak dan sontak tersedak padahal tidak sedang makan. Umi menepuk pundakku, tertawa ringan melihat tingkah aneh dari putranya ini. “Kenapa, Lee? Ada yang salah?” lanjut Ummi.

“Mboten, Mi. Hanna santri putri Dalbel kan, Mi?”

Umi mengangguk pelan, mengiyakan. “Ya sudah, berarti setuju ya? Dia anaknya baik, pintar, nasabnya juga baik kok.”

Aku hanya tertunduk. Entah apa yang sedang akau pikirkan, pikiranku mendadak melayang dan tidak tentu arah entah ke mana. Membuang pandangan ke bawah demi menutupi kegundahan. Hatiku bingung antara harus merasa bahagia ataukah duka.

Jika bahagia, aku tidak punya rasa cinta sama sekali padanya, kalaupun aku harus berduka, tidak ada yang melukaiku, aku yakin Umi memutuskan hal ini karena memang yakin bahwa Hanna yang terbaik untukku.

“Ya sudah, Mana Abahmu? Panggil sana, lalu kita makan bersama. Jangan pikirkan hal itu, jangan pikirkan hal itu, nanti kamu sholat istikharah dan meminta petunjuk kepada Allah. Kalau Umi dan Abahmu memang sudah mantap dengan Hanna.”

“Enggeh Mi.” Aku terdiam sejenak, kemudian memanggil Abah yang sedang menikmati syarah kitab Minhajul ‘Abidin di ruang tamu.

*Mboten: tidak

*Enggeh: iya

***

Aku termenung memikirkan perkataan Ummi di depan jendela kamar. Bingung harus memutuskan apa. Tidak berdaya jika harus mengecewakan Umi, tapi aku tidak pernah cinta pada Hanna. Apa aku bisa menjalani hidup dengan Hanna tanpa cinta sekecil biji zarrah pun.

Tiba-tiba terlihat dari jendela, Hanna bersama teman-temannya yang sedang berjalan menuju musholla, tempat aku mengajar kitab. Tak lama kemudian terdengar suara pintu diketuk. Spontan aku menutup gorden kamarku dan menyahuti ketukan itu. Segera kuraih kitab dan memakai jas, sebab yakin kalau Umi pasti hendak mengingatkan kalau aku sedang ada jam ngajar santriwati detik ini.

“Enggeh, Mi,”jawabku sambil membuka pintu dalam keadaan sudah rapi dengan kitab kupeluk di dada.

“Wah-wah-wah, putra Umi yang sebentar lagi akan menikah sudah siap saja menjalankan tugas. Jika tugas mengajar saja dipenuhi, apalagi keinginan Umi yang tadi pagi,” seru Umi. Aku hanya tersenyum lalu mencium punggung tangan Umi. Beralih pamit untuk mengajar.

“Do’akan Ans, Mi, semoga bisa menjaga hati.” Umi tersenyum seraya mengangguk pelan.

Aku melangkahkan kaki melewati halaman menuju musholla, tempat santriwati sudah menunggu kajian dimulai. Namun hari ini ada sedikit berbeda, aku seakan tidak berani untuk melihat ke arah santriwati, hanya terfokus pada kitab dan papan putih.

Saat di akhir kajian, tiba-tiba ada santri yang mengangkat tangannya, pertanda dia hendak bertanya. Aku menelan air ludah dengan gugup, lantas mengucap basmalah dalam hati.

Untuk menanggapi siapa yang bertanya, aku tergerak untuk mendongak kecil. Sedikit terkejut saat tahu yang bertanya ialah Hanna. Dia memang santriwati yang cerdas, kritis terhadap penjelasan yang disampaikan.

“Afwan, Gus, saya mau bertanya,” ucapnya mengawali pertanyaannya. Semua kemusykilannya dia sampaikan, dan kujawab sependek pengetahuanku. Aku tidak kembali bertanya apakah dia puas dengan jawabannya ataukah tidak.

Selepas itu, aku langsung menutup kajian hari ini dengan perasaan yang penuh gemuruh, gerah. Waktu satu jam saja seakan sangat lama bagiku kali ini. Dari awal mengisi kajian hingga akhir, mungkin sudah hampir dua puluh kali aku diam-diam melirik jam tanganku.

*Afwan: Maaf

***

Sepulang dari mengisi kajian, tidak biasanya Umi sudah berada di ruang tamu, dan seakan sudah siap mengintrogasiku dengan segudang pertanyaan.

“Le!” Umi tersenyum sambil memberi kode agar aku duduk sebentar.

“Enggeh, Mi.” Aku mencium punggung tangan Umi, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Umi.

Umi tersenyum, hingga akhirnya aku juga tak kuasa menahan senyum. Mukaku medadak seperti udang rebus, seakan menjadi bagian dari peserta yang sedang gugup untuk melakukan interview dengan atasannya.

“Gimana Hanna menurutmu?” Lagi-lagi Umi tersenyum dengan senyum yang seakan menggodaku.

“Gimana yang gimana makudnya enggeh, Mi? Ans mboten paham,” Aku menjawab dengan perasaan yang saling berkecamuk antara akal dan hati.

Hendak menolak, tapi tidak mampu jika harus melihat guratan kecewa di paras beliau karena ujaranku. Dan lagi, aku memang sedang tidak mempunyai calon jika ingin beralasan demikian. Agaknya aku harus pasrah jika sudah seperti ini.

“Kamu sudah melihat Hanna kan? Hanna tadi bertanya tidak ?”

Tampaknya ini memang rencana Umi, menyuruh Hanna menyampaikan pertanyaan, Hanna memang santriwati yang patuh, selalu memenuhi apa yang Umi inginkan.

“Jadi Hanna tadi bertanya karena Umi yang suruh?”

“Loh, kok malah balik nanya sih, Umi kan tadi nanya. Lagian, Hanna memang suka bertanya kok, dia jeli pada setiap penjelasan yang disampaikan.”

Mukaku semakin tidak dapat aku gambarkan sudah seperti apa, gerah, dan entah harus merasa apa hari ini. Pikiranku kacau.

Tanpa menjawab pertanyaan Umi, aku pamit untuk mandi karena merasa gerah. Umi pun heran, padahal biasanya setelah ngajar aku tidak pernah mandi lagi, karena sebelum berangkat sudah mandi.

“Yasudah, sana mandi! habis ini temani Umi buat ngontrol pesantren daerah santriwati, ya!”

Lagi-lagi aku dibuat kaget karena permintaan Umi. Aku tidak banyak berkata, sebab jika Umi sudah meminta, dari kecil aku tidak pernah mampu untuk berkata tidak.

“Enggeh, Mi, Ans mandi dulu.”Aku bergegas menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarku.

***

Saat berada di taman dekat daerah santriwati, tampaknya Umi sengaja agar aku bisa melihat Hanna yang sedang bersih-bersih kantin, sudah beginipun aku tetap aku tak kuasa melihatnya, sebab tetap saja tidak ada tanda-tanda dentam merah jambu itu hadir. Padahal Umi sudah banyak bercerita tentang Hanna.

Semua santriwati menunduk ketika kami lewat. Riuh ramai di kamar masing-masing setelah melenggang dari hadapan kami, sebab tida semua santriwati bisa dengan mudah melihatku. Aku hanya mengajar santriwati kelas Madrasah Tsanawiyah, jadi santri yang lain tidak pernah melihatku.

Umi malah memanggil Hanna untuk membantu memindahkan bunga yang beliau rasa kurang pas posisinya.

“Hanna!” Hanna tidak mengetahui niat perjodohan kami sebab Umi belum ke rumah Hanna, hanya saja pernah memberi kode pada kedua orang tuanya agar tidak menerima orang terlebih dahulu. Orang tua Hanna yang memiliki khidmat besar pada pesantren, tidak pernah berpikir yang lain kecuali hanya mengiyakan.

Hanna mendekat, tapi aku pun masih merasa tidak ada hal yang aneh dari hatiku, meski gadis polos itu sudah berdiri tepat di hadapanku dan umi. Sejatinya yang membuatku gugup bukan Hanna, tapi karena aku belum siap saja dengan kata ‘Nikah’. kata ini adalah kata yang sejatinya sama sekali belum terlintas dalam benakku.

Umi dan Hanna sibuk menata letak bunga, aku hanya membuntuti Umi dari belakang. Hanna tampak juga tidak ada pikiran apa-apa. Tidak tahu apa-apa bahkan.

Setelah dari pondok putri, Umi menyampaikan niatnya bahwa nanti malam akan berkunjung ke rumah Hanna. Mendengar itu, aku hanya bisa mengelus dada dalam angan. Debaran ini makin tidak karuan. Menikah dengan Hanna? satu kalimat yang terasa begitu asing di benakku.

Umi tanpa ragu mengajakku, sedang aku kembali dibuat dilema dengan perasaanku sendiri.

Jantungku mulai berdentam, menguarkan kegundahan.

Aku tidak siap medengar apa yang hendak Umi bicarakan dengan keluarga Hanna nantinya. Seandainya memang harus dengan Hanna, harus gadis itu yang menjadi teman hidupku kelak, setidaknya jangan sekarang ya Rabb. Hamba-Mu ini belum siap.

Bersambung...

Jangan lupa vote and komennya ya, guys.

Semakin banyak vote, makin cepet pula up ceritanya.

Happy reading :)

Bab terkait

  • Dinikahi Putra Kiai   Cinta Bisa Tumbuh Perlahan

    “Jodoh sudah ada yang mengaturnya, kita tidak tahu apakah jodoh itu adalah dia yang kita cinta sejak lama, ataukah dia yang sama sekali belum ada rasa padanya.”~Novita_A12~Pagi itu teramat cerah, tapi kurasa hatiku tidak demikian pula adanya, bagaimana hati ini akan merekah, hari ini Umi berniat meneruskan perjodohanku dengan Hanna, sedangkan hingga detik ini aku belum ada rasa padanya walau secuil saja. Apalagi keyakinan untuk mengikatnya. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayang dalam benakku. Aku akan menikah dengan orang yang sama sekali belum aku cintai. Sedari aku duduk di bangku SMA, aku membayangkan akan menikah dengan orang yang aku cinta, walau sejak saat itu aku memang belum bisa mengungkapkan rasa pada siapapun. “Mas Ans?” Secara tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, dan dia Aji adikku yang baru pulang dari Jombang dalam rangka menyelesaikan gelar S1 nya. Aku pun bahagia dengan kedatangannya dan terus memeluknya, suasana taman yang begitu indah didukung dengan udara

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-16
  • Dinikahi Putra Kiai   Halalkan atau Ikhlaskan

    “Jika tidak bisa menghalalkan, maka ikhlaskanlah”~Novita_A12~Pov: AjiPerasaanku remuk, aku segera pamit dari kamar Mas Ans sebab tak mampu jika harus selalu berpura-pura menguatkan Mas Ans, sedangkan hatiku sendiri rapuh tak karuan.“Sebenarnya aku bisa membantu Mas Ans untuk mengurungkan niat Umi mengenai perjodohan ini dan melamar Hanna, tapi apalah dayaku yang masih harus meneruskan S2-ku, Umi pasti melarangku menikah saat dalam masa belajarku.Ya Allah, hamba-Mu bingung,” lirihku.Aku berusaha menghilangkan semua keruh dalam hati, juga keegoisanku dengan memuraja’ah hafalan, hingga aku pun mampu terlelap. Di mana letak keegoisanku? Aku merasa sangat egois, hatiku seakan tak rela mengikhlaskan Hanna menikah dengan kakakku sedang aku belum bisa menghalalkannya. “Mas Aji,” panggil Umi. Dengan segera aku membuka pintu kamar, yang ternyata Umi membawakanku pisang goreng hangat, aku sudah yakin itu adalah buatan Hanna dan tidak menjadi heran jika Umi sebenarnya sudah lebih dulu memb

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-16
  • Dinikahi Putra Kiai   Memulai

    "Setiap insan menginginkan mencintai yang dicintai, tapi Allah lebih tahu siapa yang seharusnya dia cintai. Cinta karena Allah akan menjanjikan kebahagiaan, cinta karena nafsu cenderung celaka dihari kemudian.” ~Novita_A12~"Ya Allah, berarti aku telah salah mengharap surat yang dikirimkan Gus Aji adalah bentuk keseriusannya padaku, aku telah lama menyimpan perasaan yang seharusnya tidak aku miliki."Selama ini aku telah berharap lebih pada Gus Aji, walau sebenarnya aku sadar seharusnya perasaan itu tidak pernah aku biarkan muncul. Dan saat ini aku harus memutuskan untuk mencintai orang yang bahkan aku belum pernah mencintai, ini adalah hal yang sama sekali belum pernah aku bayangkan. “ Jawabannya, kami serahkan pada Hanna, kami selaku orang tua pasti akan selalu mendukung keputusan anak kami,” ucap bapak sembari menoleh ke arahku. "Ya Allah, kenapa hati hamba menjadi tak karuan seperti ini"aku tak paham dengan persaanku, separuh aku senang, separuh lagi aku ragu. Ragu, akankah aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-16
  • Dinikahi Putra Kiai   Sabar akan Rasa

    “Saat memutuskan mencintai, maka saat itu pula kita harus siap dengan rasa sakit hati. Sejatinya bahagia dan duka sebab cinta, laksana telinga dengan mata yang hanya tersekat beberapa jarak saja.”~Novita_A12~Pov: Hanna"Ya Allah... hari ini keluarga pesantren akan menyerahkan seserahan itu, dan saat seserahan itu sudah aku terima, tidak ada peluang aku membatalkannya, jikapun bisa maka akan banyak hati yang tersakiti. Apa iya aku harus membatalkannya?" Pagi ini aku larut dalam lamunan di atas meja belajar yang menghadap ke arah jendela, sengaja menghadap ke arah sana, agar saat belajar otak tetap fresh melihat pemandangan hijau dedaunan di depan sana. “Hanna!” ibu memanggilku, aku pun sadar dari lamunanku, aku terbelalak melihat buku catatanku penuh dengan coretan spiral. ‘Saat ini saja aku sudah pusing melihatnya, apalagi beberapa tahun setelah aku punya anak nanti.’ Pikiranku mulai ngawur entah ke arah mana. Aku tutup buku tersebut, dengan segera meluncur ke dapur. “Enggeh Bu?”

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-16
  • Dinikahi Putra Kiai   Tikungan Sepertiga Malam

    “Cintai sejati, akan berusaha saling memahami walau ujian yang dihadapi lebih samar dari bekas tusukan jarum dan lebih ganas dari mangsa ular berbisa.” ~Novita_A12~Pov: AnsPeperanganku dengan perasaanku dimulai, aku harus berusaha menerima Hanna walau sejatinya aku belum paham, ini akan mudah ataukah sulit bagiku. Sejatinya menumbuhkan rasa cinta itu tidak semudah menunggu tumbuhnya biji sawi yang sekali sebar hanya menunggu beberapa hari langsung bisa tumbuh dan menjanjikan hasil di kemudian hari. Ini adalah cinta yang hingga kini aku pun bahkan tidak tahu bijinya mau aku tanam dimana. Aku masih ada di rumah Hanna, aku hanya diam. Kubiarkan Abah dan Umi yang menyampaikan semuanya. Sebenarnya Aku tak paham jika diminta untuk menyampaikan kata walau sepatah saja. “Mas Ans, ada yang mau disampaikan?” pertanyaan Umi benar-benar mengagetkanku.“Mboten, Mi,” jawabku dengan detak jantung karuan. Suasana kembali hening, karena dirasa sudah agak lama dan semua maksud kedatangan kami pu

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-16
  • Dinikahi Putra Kiai   Apakah Mencintaimu Butuh Rumus?

    “Mencintaimu laksana membangun kokohnya rumah dengan nuansa biru haru kesabaran.”~Novita_A12~“Ku putuskan satu impianAku ingin jadi hafiz Qur’anKu akan bertahan Walau sulit melelahkanAllah beri aku kekuatanKu impikan Sepasang mahkotaKu berikan di akhirat kelakSebagai pertanda Bahwa kau sangat ku cintaAku cinta engkau karena AllahReff:Ku cinta UmmiKu cinta AbiKu harap do’amu Selalu dalam hatiBerharap bersamaDi surga-Nya nantiI love you UmmiI love AbiI love my familyForever in my heart...” Bunyi speaker aktif di kamarku. Ku pasang dengan harapan bisa membantuku saat aku berada di rumah, untuk semakin efektif menghafal al-qur’an. Mengingat aku tidak dari pesantren tahfiz, sehingga aku harus menyiapkan hal-hal yang sekiranya selalu menjadi semangat baru.Gus Ans bergeming, sehingga aku pun cenderung pada tak mengeluarkan suara. Aku masih bingung memulai pembicaraan padahal hanya berbicara lewat telepon, entah apa yang membuat aku seakan merasa Gus Ans ada di hadapan

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-23
  • Dinikahi Putra Kiai   Dilema Berat

    “Apakah mencintaimu perlu rumus? Jika iya, jelaskan padaku!”~Novita_A12~Kling... (Notifikasi pesan masuk)Ternyata pesan dari adikku, Aji. “Mas! Hanna besok ulang tahun.”Aku kaget saat membaca pesan Aji, aku terdiam dan tidak langsung membalas pesannya. “Kenapa Ji?” Ku layangkan Message balasanku.“Ya, Mas tidak mau kasih dia kejutan gitu?”“Buat apa? Mas kan masih belum sah jadi suaminya, nunggu pas sudah sah lah, InsyaAllah.”“Cie cie, yang udah mulai bisa menerima Hanna nie ye...” Aku tidak membalas pesan Aji sebab jika tetap aku balas, dia akan terus membahas Hanna. Aku matikan data seluler, hp ku letakkan di atas meja. Segera kuraih kitab yang hendak aku sampaikan buat kajian Ba’da dzuhur. Kitab kupegang dengan posisi diri menghadap kiblat, duduk di atas meja belajar adalah hal yang sejatinya bisa membuatku ingat masa kecil dan masa depan. Teringat masa kecil saat untuk belajar saja aku harus dipaksa Umi, dan untuk masa depan, aku belajar salah satu tujuanku untuk bekal men

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-24
  • Dinikahi Putra Kiai   Isi Surat Aji

    “Saat hati sudah memilih, maka langkah selanjutnya adalah berusaha, agar pilihan benar-benar menjadi pilihan yang menghadirkan kenyamanan.” ~Novita_A12~Pov: HannaPagi yang cerah, bunga-bunga disapa tetesan embun, merekah. Aku dan mushaf yang kugengam menatap ke arah jendela, biar sinar mentari begitu terlihat indah, pancarannya menggugah agar aku segera keluar rumah, guna menikmati kehangatannya. Aku tidak langsung keluar, aku menunggu waktu duha untuk melaksanakan sholat dua rakaat. Khususnya berdo’a meminta rahmat kepada Allah sebab hari ini usiaku genap 21 th. Selesai sholat duha, aku pun memuraja’ah hafalan surat Al-Waqi’ah yang mana aku menghafalnya sewaktu duduk di bangku MTs, sebagai persyaratan pengambilan ijazah. Aku mengharuskan untuk tetap mengingat-ingat hafalan itu sebab menghafalnya tidak mudah, maka aku tidak ingin melupakan peristiwa yang aku yakin akan mempengaruhi hidupku menjad iindah. Aku pun keluar rumah, berniat menikmati hangat mentari sembari menyiram b

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-24

Bab terbaru

  • Dinikahi Putra Kiai   Senyummu Manis

    “Senyum itu mahal harganya, saat diberikan dari orang yang mencinta kepada yang dicinta.”~Novita_A12~Akhirnya aku sedikit lega, sebab bisa bernapas bebas di kamar, dan aku sendiri, sebab gus Ans lebih memilih istirahat di ruang tamu, padahal di sana ramai, aku yakin gus Ans tak akan betah beristirahat di tempat seperti itu. Tapi ada sedikit sedih, saat mengingat gus Ans bahkan tak tersenyum walau sedikit pun, tampak tidak ada pancaran bahagia dari wajahnya, akankah gus Ans menyesal telah menikah denganku. Tapi tidak ingin membicarakan hal ini kepadanya, aku khawatir saat dia capek seperti ini malah akan menimbulkan ke salah pahaman.“Hanna.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu. Segera aku berdiri, dan membukanya. Dan ternyata gus Ans, benar dugaanku, dia tidak mungkin bisa istirahat di tempat seperti itu, aku pun mempersilakan masuk, dengan pintu tidak aku tutup. Gus Ans membuka jaz hitam yang dia pakai, peci dia letakkan, terlihat ketampanan wajahnya semakin bertambah, sela

  • Dinikahi Putra Kiai   Cinta Sejati itu

    “Cinta sejati adalah cinta yang mampu mengikat dengan tali yang suci, tali pernikahan yang ikrarnya perlu pertanggung jawaban pada Sang Ilahi.”~Novita_A12~“Qabiltu Nikahaha watazwijaha bil mahril madzkuuri, Haaalan.”Air mata ini menetes mendengar ucapan yang Gus Ans ikrarkan. Kini aku berada di samping Umi, dengan gaun yang serba putih, dengan berbagai hiasan dan riasan di luar biasanya. Sontak gema sholawat memenuhi ruangan setelah Kiai membacakan do’a untuk kami berdua, aku pun langsung sungkem kepada Ibu dan Bu Nyai yang sedari tadi mendampingiku. Suasana ini tidak akan pernah aku lupakan, saat ikrar tadi diucap saat itu juga aku siap mengabdikan jiwa dan ragaku kepada suamiku, gus Asn. Aku berharap gus Ans menjadi perantaraku bisa meraih surga. Tiba-tiba teringat sebuah hadits yang pernah aku pelajari saat ibtida’ dulu, “Anna Ridhoz zauji huwa ridhollah wa ghadhobuz zauji huwa ghadhobullah(Sesungguhnya ridho suami adalah ridho Allah, dan murka suami adalah murka Allah.)”Akad

  • Dinikahi Putra Kiai   Bangunan Besar

    “Cinta itu kadang membingungkan, datang tak dengan tanda, hilang pun tiba-tiba.”~Tha~Kini hanya aku dan malam, kupandangi bintang, dengan rasa yang entah bagaimana yang tengah kurasakan, aku tiada bisa melukiskan, sedang dengan segera aku akan melaksanakan sebuah pernikahan, pernikahan yang kuanggap sakral dan sejak dulu aku membayangkan bahwa akan menikah dengan penuh gelimang rasa cinta. Namun, nyatanya tidak sesuai kenyataan. Aku menikah dengan tanpa ada rasa sama sekali, entah karena trauma masa lalu sehingga membuatku seakan hambar akan rasa cinta yang sebentar lagi akan mengikatku dengan ikatan pernikahan, dengan ikatan sakral yang suci berjanji kepada Ilahi rabbi.***Menikah menurutku bukan perihal yang main-main, aku hanya menginginkan menikah sekali seumur hidup, dan yang aku dambakan menikah dengan penuh rasa cinta sehingga menjadi perantara hidup bahagia, tetapi beda dengan yang saat ini kurasakan satu hari sebelum hari perniakahanku saja, rasa itu tak kunjung muncul di

  • Dinikahi Putra Kiai   Perasaan Tak Menentu

    “Patuh pada perintah orang tua adalah salah satu cara untuk kita menyicil dalam membalas jasanya, walau sejatinya sampai kapanpun jasanya tak akan sebanding dengan pengorbanannya.”~Novita_A12~Pov: Ans.Hari demi hari kulalui dengan perasaan yang kurasa hambar, ada senyuman tapi tak mewakili persaan, perasaan ini merasakan ada sebuah keterpaksaan, tapi aku merasa tetap harus melakukan. Hari pernikahanku semakin dekat, dan aku belum ada persiapan perasaan sama sekali, platform sudah Umi pesan, dan kemungkinan untuk di rumah Hanna sudah terpasang, kami yang membiayai dengan ada separuh bantuan dari keluarga Hanna, sebab pernikahan yang cukup meriah ini, Umi yang menginginkan dan mengaturnya aku hanya ikut keputusan Umi dan Abah saja. “Ans!” Terdengar suara Umi memanggil dan langkah kaki itu semakin mendekat ke arahku. Aku yang masih asik dengan pemandangan di luar sana menjawab dengan singkat saja. “Enggeh, Mi?” Aku tidak keluar kamar sebab pintuku memang terbuka dan langkah Umi me

  • Dinikahi Putra Kiai   Pra-Nikah

    “Menikah adalah sakral, maka untuk menikah harus dipersiapkan sebelumnya, sebab semua insan pasti menginginkan satu kali saja seumur hidup melakukan pernikahan.”~Novita_A12~Daun pacar itu kecil, tapi bukan berarti tidak bermanfaat, maka tidak ada alasan bagi seseorang meremehkan pada seorang yang lain hanya karena hal kecil, sebab hal sekecil apapun saat dicipta pasti sudah disiapkan beserta manfaatnya. Daun pacar memang tidak bisa di makan, tapi memiliki fungsi untuk menghias tangan. “Hanna, ada gunting?”tanya Zuhra.“Ada, buat apa?”jawabku yang masih berdiri meletakkan buku yang kubaca tadi. “Buat memotong daun-daun pacar ini, tentunya, Hanna.”Zuhra memang sedikit mudah kesal tapi kesalnya bukan berarti dia mudah marah, dia hanya menggerutu dengan sedikit nada meninggi, kesal. “Hehe, oke. Iya, nih.” Kuserahkan gunting itu padanya. “Oiya, apa perlu aku panggilkan mbak-mbak yang lain guna membantu kamu?”tanyaku pada Zuhra, sebab kasihan jika dia harus mengerjakan sendirian. Aku

  • Dinikahi Putra Kiai   Hanna dan Henna

    “Cinta boleh saja seperti Henna, melekat di tangan berfungsi menghias pemandangan, tapi kekuatan cinta tidak bisa di ukur dengan lekatnya henna pada tangan sebab cinta sejati tak akan pernah luntur sekalipun dipaksa menjauhi.”~Novita_A12~Cuaca hari ini lebih indah dari kemarin, bunga-bunga yang kuncup kini mulai bermekaran, berwarna kuning, pink, juga putih menghias taman, embun pagi masih bermanja-manja dengan dedaunan, mushaf pink yang kupegang, tak ubahnya bunga-bunga tadi, menghiasi hati ini, indah saat kupandang menggoda hati untuk segera bermanja-manja dengan isi di dalamnya. Dengan Al-qur’an hati ini bisa tenang, hati yang sempit menjadi lapang, suasana hati tenteram menentramkan suasana sekitar sebab diikuti jernihnya pikiran. Mukenah putih yang kupakai menutup seluruh tubuhku, hingga angin saja tak dapat melihat, tubuh ini hangat dengan belaian lembut mukenah panjang. Aku tetap ingin menikmati masa-masa sebelum aku mengubah status santriku menjadi seorang istri, yang seb

  • Dinikahi Putra Kiai   Suatu Malam

    “Setiap insan di dunia, pasti memiliki yang namanya cinta. Bedanya, ada yang mengungkapkannya, ada pula yang sebatas memendamnya, semua sesuai dengan caranya.”~Novita_A12~Malam dicipta agar insan dapat beristirahat dengan nikmatnya, setelah seharian bekerja, seharian mencoba berpikir akan kekuasan-Nya, maka dijadikan pada malam suasana yang tenang, jauh dari keramaian, dingin agar mendukung suasana turut hening, damai, tenteram dan menentramkan. Aku diam, melihat terangnya lentera malam, bersinar sehingga catatan yang kupegang dapat terlihat jelas dan dapat kulukiskan setiap luapan perasaan. Aku masih dengan meja kecilku, bisa kulipat saat sudah tak lagi membutuhkannya, tapi aku berharap semoga aku akan ditemukan orang yang akan mencintaiku bukan sekadar karena membutuhkanku, tapi murni ingin mmebimbingku juga mengajakku bersama menuju surga-Nya. Aroma bunga sedap malam yang ditanam di taman, semerbak memenuhi seisi ruangan, aku terbuai dengan aromanya mmebuat aku lupa bahwa aku s

  • Dinikahi Putra Kiai   Rasa yang Menggenang

    Ada yang mengatakan bahwa jika ingin merasakan cinta maka harus tahu siapa yang hendak dicintainya, aku tahu tapi kenapa cinta itu tak kunjung aku rasakan. Apakah aku ini terlalu lemah untuk menemukan, ataukah cinta itu terlalu mungil sehingga netraku tak mampu menjangkau hingga ke angan, atau mungki cinta itu ibarat angin yang sama sekali tidak bisa secara kasat mata aku genggam. Pada intinya, cinta tak ubahnya misteri, tiba-tiba datang dan kemudian pergi. ***Jingga mulai menyapa, sebentar lagi malam menjadi tanda bahwa acara pernikahanku akan segera dilaksanakan, dan aku tetap dengan kubangan rasa yang sama sekali tidak kutemukan cinta di dalamnya. Segera ku larutkan rasa ini pada hafalan qur’an. Aku memuraja’ahnya berharap melalui perantaranya aku bisa mendapat petunjuk perihakl apa yang hendak aku laksankan, pernikahan. ***Setelah muraja’ah kurasa cukup, satu hari satu juz, maka aku raih kitab yang pernah kupelajari di pesantren, hanya ingin berusaha menyibukkan diri agar ti

  • Dinikahi Putra Kiai   Kehebohan Cinta

    Aku terngiang-ngiang perihal kejadian saat kajian, kenapa aku harus bertingkah konyol seperti itu. Tapi aku benar-benar khawatir terhadap gus Ans, rasa ini tidak bisa aku sembunyikan, jika pun aku harus nekad bertanya pada Bunyai itu pun tidak mungkin. Malu rasanya seorang wanita yang masih belum sah menjadi istrinya mengkhawatirkan putranya. Tiba-tiba sebuah kertas jatuh dari atas lemariku, dan itu surat yang kemarin aku selipkan di buku catatan. Aku pun ingat bahwa surat itu belum aku balas, langsung aku raih pulpen di tempat pensilku, segera aku mencoba merangkai kata-kata yang layak aku kirimkan pada gus Ans yang masih berstatus guruku. Setelah kurangkai tulisan itu, dan kurasa layak untuk aku kirimkan. Segera aku lipat, sedikit berbeda dengan surat dari gus Ans, surat dariku tidak aku beri parfum, biarkan wangi kertas itu menjadi saksi tulisan sebagai perwakilan rasa ini. ***Setelah surat itu siap, aku pun ke dapur pesantren dan biasanya ada beberapa santri putra yang turut

DMCA.com Protection Status