Seperti biasa, mereka berdamai ketika sudah selesai bercinta."Mas kenapa sih selalu begitu?" tanya Intan, manja. Ia sebal karena Zein selalu menyalahkannya setiap kali ada pria yang mendekatinya."Maaf ya, Sayang. Mas terlalu cinta sama kamu jadinya cemburu buta. Mas janji akan berusaha untuk lebih mengontrol emosi," jawab Zein.Sebenarnya ia pun tidak ingin seperti itu. Namun entah mengapa jika sedang cemburu dirinya selalu kehilangan kendali. Sehingga pikirannya negatif terus."Tapi tolong jangan diulangi lagi ya, Mas! Kalau gak, nanti aku kabur beneran," ancam Intan."Iya, maaf. Jangan pernah tinggalin aku, ya? Aku gak sanggup," bisik Zein sambil mendekap istrinya.
"Hah? Serius, Sus?" tanya Intan. Ia tak menyangka pasien itu sudah pulang."Iya, Dok. Tadi pas dokter Intan dan Prof pergi, pasien itu langsung minta pulang," jelas suster tanpa dosa.Intan langsung menutup mulutnya. 'Bagus, sih. Tapi artinya tuduhan Mas Zein emang bener, dong?' batin Intan."Kenapa, Dok?" tanya suster."Euh, gak apa-apa, kok, hehe," sahut Intan, kikuk.'Bodo ah, yang penting dia udah pergi dari sini,' gumam Intan dalam hati. Ia tidak mau memusingkan hal itu.Intan pun melanjutkan pekerjaannya.Sementara itu, di tempat lain, Muh memanggil dokter kelapa yang waktu
"Iya sayang, aku salah. Aku minta maaf. Kita bicarakan baik-baik ya, hem?" pinta Zein."Aku butuh waktu buat sendiri," ucap Intan. Kemudian ia meninggalkan Zein menuju kamar.Zein pun membuntutinya. Ia tidak tenang jika Intan masih marah padanya. "Sayang, jangan begitu, dong! Aku bisa jelaskan semuanya," ucap Zein.Saat mereka sudah ada di kamar, Intan kembali berbalik ke arah Zein. "Sekarang Mas pilih. Aku atau kamu yang tidur di sini?" tanya Intan. Ia sedang tidak ingin satu kamar dengan Zein.Tampang Zein memelas. "Sayang," ucapnya sambil mendekat pada Intan dan ingin memeluknya. Wajahnya pun ia dekatkan ke wajah Intan."Cukup! Gak semua masalah bisa kamu selesaikan dengan cara seperti itu.
Uhuk! Uhuk! Zein langsung tersedak saat mendengar ucapan Intan barusan. Mungkin jika di dalam tayangan kartun, telinga dan hidung Zein sudah mengeluarkan asap karena terlalu kesal. "Kamu kok ngomongnya gitu, sih?" Zein protes pada istrinya. "Kamu tega sama aku?" lanjut Zein. "Kamu sendiri, tega sama aku!" skak Intan. Ia masih bisa makan dengan santai saat suaminya sedang kebakaran jenggot seperti itu. Zein tercekat, ia tidak menyangka istrinya bisa seperti itu jika sedang marah. "Aku kan udah minta maaf, Sayang," lirih Zein. "Ya udah, aku juga tinggal minta maaf. Apa susahnya?" sahut Intan, ketus. Seketika selera makan Zein hilang. Mendengar nama Bian, membuat Zein kesal dan tidak berselera. "Gimana caranya supaya aku bisa nebus kesalahanku?" tanya Zein, memelas. Intan memicingkan matanya ke arah Zein. "Pisah kamar sebulan!" sahut Intan, singkat. Bola mata Zein hampir melompat. "Hah? Sebulan? Yang bener aja! Masa sebulan? Bisa gila aku sebulan pisah kamar sam
Melihat suaminya siuman, Intan pun sangat bahagia. "Mas! Maafin aku," ucap Intan sambil memeluk Zein. Zein tersenyum. Ia senang karena Intan sudah tidak marah padanya. "Kamu gak perlu minta maaf, Sayang. Mas yang seharusnya minta maaf," sahut Zein. "Tapi kan gara-gara aku, kamu jadi sakit kayak gini," ujar Intan. "Udah, aku gak apa-apa. Ini cuma karena kurang kasih sayang sama belaian kamu aja," ucap Zein. Intan langsung mengerungkan wajahnya. "Mas!" tegurnya. Ia tidak enak hati pada Muh dan Rani. Sementara itu mertua Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya. "Sepertinya kamu sudah sembuh," sindir Rani. "Sembuh kalau dirawat istri sendiri, Mah," jawab Zein sambil tersenyum. "Mass! Lagi sakit juga. Sempet-sempetnya bercanda, deh," keluh Intan. "Tapi aku serius, Sayang," ucap Zein sambil menatap istrinya. "Ya udah deh, mamah nyesel tadi udah panik. Sekarang mendingan kita pulang yuk, Pah!" ajak Rani. Ia tahu anaknya itu sedang butuh waktu berdua. Apalagi ia telah diab
Malam itu dr.Ira-Khumaira Putri Muhammad (25th) sedang menghadiri pesta pernikahan temannya yang menikah dengan anggota angkatan darat. Pernikahan digelar dengan cukup mewah. Di sebuah hotel yang terletak di Ibu Kota. “Gitu ya kalau nikah sama angkatan. Ribet banget pake pedang pora segala,” ucap Ira pada temannya. “Namanya juga nikah, Ra. Mau pake adat apa juga ribet. Kalau gak mau ribet ya akad nikah aja udah,” timpal sahabat Ira yang bernama Windy. “Hahaha, bisa aja, lo!” “Tapi di sini banyak cowok ganteng, Ra. Lo gak tertarik buat nyari gebetan? Gagah-gagah pula,” tanya Windy. “Dih, ogah banget. Gue sih gak mau punya suami angkatan,” jawab Ira. “Lha, kenapa? Di mana-mana kan cewek pada seneng sama cowok berseragam, Ra,” tanya Windy, heran. “Gak semua, keles. Gue termasuk yang gak mau. Kebanyakan dari mereka itu playboy. Apalagi kalau mereka tugas luar. Beuh, bisa tekanan batin gue mikirin suami takut selingkuh,” jawab Ira, antusias. “Hahaha, itu mah tergantung orangnya, ka
Ternyata Muh dan papahnya Bian itu sudah merencanakan semua ini. Mereka sengaja mengirim Ira ke perbatasan agar bisa bertemu dengan Bian dan berharap kedua anaknya itu saling jatuh cinta di sana.Pagi ini Ira sudah mendarat di Timur. Sebelumnya ia telah membooking sebuah helikopter. Sebab ia malas jika harus menggunakan pesawat komersil yang kecil itu.“Mas, kok helikopternya belum datang, ya?” tanya Ira pada admin helikopter tersebut, melalui panggilan telepon.“Mohon maaf, Mbak. Tadi heli-nya sudah datang. Tapi ada seorang Profesor yang sedang buru-buru. Jadi kami terpaksa memberikan heli tersebut padanya. Sebab ia mengatakan ada kondisi darurat di sana,” jelas admin tersebut.Mendengar kata Profesor, Ira langsung dapat menebak siapa orangnya. “Awas kamu ya, Bang!” gumam Ira, pelan. Ia sangat kesal karena Zein yang merupakan kakaknya it
Ira mengerutkan keningnya. “Apa sih, gak jelas,” ucapnya, kesal. Kemudian ia melanjutkan kegiatannya tanpa menghiraukan Bian. Bian yang kesal pun langsung menggebrak meja. Sampai membuat Ira mengejat. Brug! “Dokter macam apa, kamu? Pasiennya komplain malah diabaikan seperti itu,” bentak Bian. Ira yang terkejut pun langsung menoleh ke arah Bian. “Lalu kamu pikir pasien macam apa yang mengusir dokternya? Tadi kan saya sudah katakan kalau saya tidak mau tahu tentang keluhan kamu lagi. Kamu yang mengusir saya jadi tanggung sendiri akibatnya!” Ira pun membalas Bian dengan membentaknya. Ia tidak terima disalahkan seperti itu oleh Bian. “Tapi saya yakin ini terjadi sebelum saya mengusir kamu!” ucap Bian sambil menunjukkan tangannya yang lebam-lebam. Lebam di tangan Bian diakibatkan oleh tusukan jarum infus. Sebab, kemarin malam Ira sempat kesulitan untuk menemukan pembuluh darah Bian karena dehidrasi. Ira yang sudah paham meng